scndbrr

Tibalah akhirnya pada hari yang telah dinanti-nantikan oleh banyak orang. Hari ini Festival CLF itu akan dilangsungkan. Semua jerih payah para model ketika mengikuti training bersama mentor yang merupakan seorang model senior akhirnya terbayarkan.

Sedikit penjelasan mengenai Festival CLF, festifal ini merupakan festival yang diadakan setiap tahun terhitung mulai dari tahun 2010 silam. Sesuai dengan namanya “Condividere La Felicità” yang diambil dari bahasa Itali, berarti “berbagi kebahagiaan”.

Festival CLF ini sendiri menyajikan acara fashion show yang diikuti oleh para designer dan model terkenal. Namun, untuk model dilakukan perekrutan anggota yang masih belum terlalu berpengalaman di bidang ini atau dengan kata lain model baru.

Orang-orang yang datang ke acara Festival CLF ini biasanya merupakan para kaum yang berasal dari golongan atas. Pakaian-pakaian yang diperlihatkan kepada para tamu yang hadir di Festival CLF ini nantinya akan dilelang dan diambil harga tertingginya.

Uang hasil perolehan lelang dari pakaian-pakaian tersebut nantinya akan dikumpulkan menjadi satu dan disumbangkan untuk biaya pengobatan orang-orang yang mengidap penyakit jantung yang mungkin juga kebetulan sedang mengalami masalah ekonomi.

Maka Festival CLF ini memang persis seperti namanya, merupakan tempat untuk berbagi kebahagiaan.

Kembali lagi, kini Valle terlihat sedang sibuk untuk melakuka persiapan. Dirinya sedang dipoles oleh ahli tata rias untuk penampilannya nanti.

Karena Valle memiki paras yang amat cantik dan masih ditambah lagi dengan kulitnya yang begitu sehat, maka para penata rias yang bertanggung jawab atas dirinya itu berulang kali memberikan pujian sebagai bentuk dari penyaluran rasa kagum mereka.

“Valle, lo itu ga pake make-up aja juga udah cantik. Ini ditambah make-up makin cantik. Padahal cuma dipakein tipis-tipis doang loh!” ucap salah satu penata rias itu yang bernama mbak Kayla.

Valle yang merasa malu dipuji secara terang-terangan begitu lantas terkekeh sambil mengayunkan tangan kanannya untuk memberikan pukulan ringan kepada mbak Kayla, “Mbak mah bisa banget bikin aku salting!”

Mereka berdua tertawa bersama hingga akhirnya terdengar suara yang menginterupsi kegiatan senda gurau keduanya itu.

“Model udah siap semua belum ya?” tanya orang itu mengedarkan pandangannya menelisik seluruh orang yang berada di ruang persiapan ini. Karena mendapati anggukan mantap dari sang kepala penata rias yang duduk di depan tanpa merias satu pun model, orang itu segera melanjutkan kalimatnya yang tadi memang sengaja ia jeda, “Oke kalau gitu semuanya ikutin saya buat stand by di belakang panggung ya.”

Setelah mendengar perkataan orang itu yang merupakan penanggung jawab para model hari ini, maka Valle segera bangkit berdiri dan berjalan ke arah panggung mengikuti model yang lainnya. Dirinya tidak dapat berjalan berdampingan dengan Syakira sebab perempuan itu berada jauh di depan sana, sedangkan dirinya berada di barisan hampir paling akhir.

Urutan barisan ini telah ditentukan langsung oleh mentor yang melakukan training kepada para model selama lima hari ke belakang. Dia adalah Yura Izana.

Katanya, model yang terdapat di barisan dari tengah menuju ke akhir ini merupakan orang-orang terpilih yang akan mengenakan pakaian yang terpilih juga. Dapat disimpulkan bahwa Valle termasuk dari segilintir orang beruntung yang dapat merasakan hal ini di dalam hidupnya.

Di sisi lain terdapat empat pria rupawan yang duduk di kursi VIP yang sebelumnya sudah disediakan khusus untuk mereka semua. Mereka adalah Nolan dan teman-temannya.

Jacob serius dengan pesannya pada beberapa hari yang lalu. Pria itu sungguhan mendatangi kediaman Nolan dan memaksa sahabatnya untuk datang menghadiri acara Festival CLF ini.

Nolan yang sedang terlelap itu dikejutkan dengan suara alarm kebakaran yang sengaja disetel oleh Jacob dengan volume yang terlampau keras dan dia dekatkan dengan telinga Nolan.

Maka tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauan sahabatnya ini. Karena Nolan sudah kaget setengah mati yang kemudian membuat pria itu sepenuhnya sadar dan tidak akan dapat tertidur kembali.

Beruntung Nolan tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Karena akan sangat klise sekali jika kakak laki-lakinya harus mengobati adik kandungnya sendiri, bukan?

“Eh nanti pokoknya gue mau nandain inceran gue ya!” seru orang yang duduk di barisan paling ujung kanan, dia adalah Rego. Nolan yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya menggelengkan kepalanya, sedangkan yang lain kompak mengacungkan jempol tangannya.


Setelah sambutan-sambutan yang diberikan oleh beberapa orang penting yang hadir di acara Festival CLF ini, kini tibalah puncak acara di mana fashion show akan segera dimulai.

Jumlah total model yang akan tampil pada hari ini adalah 25, 15 diantaranya merupakan para model senior yang memiliki jam terbang yang tinggi dan pengalaman yang begitu banyak. Sedangkan 10 sisanya merupakan para model biasa atau para model yang baru mulai meniti karirnya.

“Eh kalo kita menangin lelangnya, terus kita bisa dikasih waktu buat kenalan sama model yang make bajunya itu ga ya?” celetuk seseorang yang duduk di ujung paling kiri, dia adalah Jacob.

Khava yang mendengar pertanyaan konyol sahabatnya itu langsung refleks melayangkan pukulan yang tidak terlalu keras di paha laki-laki itu. Kebetulan Khava duduk di samping Jacob persis sehingga dirinya dapat dengan mudah untuk melancarkan aksinya itu.

“Udah gila lo?! Mereka itu bukan wanita bayaran anjir!” marahnya dengan suara yang sengaja ia kecilkan, dirinya tidak mau membuat keributan di tangah acara yang akan dimulai ini.

Jacob mengusapkan telapak tangannya di bagian pahanya yang baru saja ditampar oleh sahabatnya itu, “Ya kalem kek, gue kan juga cuma nanya doang elah!” balasnya tidak terima.

Nolan lagi-lagi hanya menjadi pendengar diantara mereka semua. Pria itu terlihat sangat pendiam hari ini. Bukan berarti pada hari-hari sebelumnya dia tidak pendiam, namun semenjak bertemu dengan wanita itu, kini pikiran Nolan dipenuhi oleh bayang-bayang wajahnya saja.

Fashion show pun dimulai dan ketiga pria itu kembali berisik untuk memperebutkan model incaran mereka masing-masing, “Sumpah ya sumpah, ini pokoknya punya gue. Buat gue!” aku Rego dengan suaranya yang menggebu-gebu.

Jacob melirik tajam ke arah Rego, “Mana ada woi?! Itu gua punya ya ga usah ngadi-ngadi lu!” sarkasnya yang membuat Rego mendelik ke arah dirinya.

“Berisik, njing! Lo berdua pada bisa diem ga sih?!” maki Khava yang tidak tahan melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu. Dirinya merotasikan bola matanya jengah karena ternyata makiannya tadi tidak membuat baik Rego maupun Jacob untuk diam dan mendengarkannya.

“Baik yang selanjutnya ini adalah yang ke-sepuluh. Baju yang dirancang oleh designer terkenal Kylie Major dan digunakan oleh model Syakira Wihelmia. Mari kita mulai untuk lelangnya.”

“Sepuluh juta!” teriak Jacob sambil mengangkat tinggi-tinggi papan nomor peserta lelang miliknya.

“Baik, ada yang lebih tinggi lagi?” tanya pemimpin lelang yang ada di depan sana.

“Dua puluh juta!” pekik Rego yang tersenyum sinis ke arah Jacob.

“Tiga puluh juta!” tambah Jacob yang sudah terlanjur geram hingga tidak menunggu pemimpin lelang untuk berbicara terlebih dahulu.

“Lima puluh juta!” tantang Rego yang ingin segera membuat Jacob menyerah.

“Lima puluh lima juta!”

“Enam puluh juta!”

“Enam puluh lima juta!”

“Enam puluh enam juta!”

“Sudah? Tidak ada lagi yang mau menambahi?” “Baiklah untuk baju ini dipatok dengan harga enam puluh enam juta rupiah oleh saudara Rego.

Tok tok tok.

Rego memang terkenal dengan sikap keras kepalanya. Dirinya akan mengejar sesuatu yang sangat ia inginkan. Seperti pada sekarang ini.

Sebenarnya tadi Jacob masih sanggup untuk menambah barang sepuluh sampai dua puluh juta lagi, namun pria itu jika sahabatnya ini tidak akan mengalah untuknya.

Maka dirinya pikir ada baiknya jika dia yang mengalah untuk membuat acara lelang ini dapat segera dilanjutkan. Pasalnya bagian tawar-menawar merekalah yang paling banyak memakan waktu jika dilihat dari sejak awal lelang dimulai.

Khava yang baru saja melihat persaingan sengit kedua sahabatnya itu menelan ludahnya dengan susah payah. Dirinya tidak menyangka jika sahabat-sahabatnya bisa sekompetitif ini. Karena biasanya mereka tidak pernah terlalu menganggap serius akan suatu hal.

Acara lelang pun berlanjut hingga pada akhirnya tiba pada baju yang terakhir. Sang model mulai berjalan dan memeragakan pakaian yang digunakannya dengan sangat baik di hadapan orang-orang yang sudah hadir.

Sejak model itu berjalan keluar dari tirai yang memisahkan belakang layar dengan panggung ini, mata Nolan tidak berkedip barang sekali saja. Napas pria itu tercekat di kerongkongannya. Detak jantungnya yang masih stabil hingga sebelum model ini tampil kini berubah melonjak menjadi begitu cepat.

“Cewe aneh?” gumam Nolan dengan suara yang hampir dirinya sendiri pun tidak dapat dengar.

“Ini adalah baju terakhir yang sekaligus akan menjadi penutup dari acara lelang di Festival CLF ini. Designer yang merancang baju ini adalah Andrea Zahira dan model yang menggunakannya adalah Vallesha Eleanor,” jelas pemimpin lelang.

“Vallesha Eleanor?” gumam Nolan lagi yang kali ini membuat Khava hingga menoleh ke arahnya. “Hah? Apa? Lo ngomong sama gue?” tanyanya. Nolan hanya menggelengkan kepalanya itu untuk menjawab pertanyaan Khava yang ternyata mendengar gumaman yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Mari kita mulai lelangnya sekarang, dipersilahkan bagi yang ingin memberikan harga.”

“Tiga ratus juta!” teriak seseorang yang ada di sana.

Sampai detik ini, Nolan masih terus saja memaku tatap kepada Valle. Pandangannya tidak dirinya lepaskan meskipun hanya sebentar saja.

Namun, dirinya kemudian sadar ketika hampir saja baju yang digunakan oleh Valle akan dipatok dengan harga tiga ratus juta rupiah yang diberikan oleh seorang om-om yang usianya diperkirakan 40 tahun-an. Sepertinya tidak ada yang berani menandingi orang tersebut.

Kecuali satu orang ini.

Di saat palu yang digunakan sebagai penanda tercapainya kesepakatan itu mau diayunkan, maka pada saat itu juga menyembul naiklah nomor papan lelang milik seseorang.

“Enam ratus juta!” pekiknya yang membuat semua mata kini hanya tertuju kepadanya seorang. Bahkan begitu juga dengan Valle.

Dua kali lipatnya. Orang itu dengan entengnya menyuarakan nominal yang tidak dapat dibilang kecil. Tentu saja semua orang menjadi keheranan dan berakhir dengan rasa penasaran kepada pemilik suara tadi.

Nolan. Dia adalah orang yang telah membuat gempar ruangan ini.

Valle yang mengingat wajah Nolan langsung melotot tidak percaya, tangan kanannya terulur untuk menutupi mulutnya sendiri yang refleks terbuka. Nolan yang melihat gerakan Valle barusan menyunggingkan senyum miringnya. Senyuman yang terlihat sangat jahat.

“Mampus gue”, batin Valle.


Setelah selesai acara pelelangan, maka tugasnya sebagai model pada Festival CLF tahun ini juga telah usai. Maka dari itu, Valle segera bergegas untuk berganti pakaian di ruang ganti. Setelah selesai, wanita itu langsung berpamitan dengan para rekan model yang lain termasuk Syakira.

“Sya gue balik duluan ya,” pamit Valle menyentuh pundak Syakira sekilas.

Syakira yang merasakan sentuhan itu lantas membalikkan badannya yang membelakangi Valle. “Eh kenapa kok lo keliatannya buru-buru banget? Kan tadi udah janji mau balik bareng gue naik kereta. Katanya gue boleh ikut lo baliknya?” cerca Syakira.

“Sorry anu itu gue lagi ada punya urusan ini aja sampe ditelpon sama orang rumah,” bohong Valle dengan terpaksa. Wanita itu ingin cepat-cepat pergi dari sini pasalnya dirinya tidak mau bertemu dengan sosok pria yang pernah ia muntahi beberapa hari yang lalu.

Karena takut ditahan Syakira lebih lama lagi dan hal itu akan membuat dirinya berada di dalam bahaya, maka Valle langsung menyelonong pergi begitu saja tanpa menunggu balasan dari Syakira.

“Sorry, Sya. Maafin gue kali ini,” ucap Valle ketika dirinya masih berjalan untuk keluar dari gedung ini dengan langkah kaki yang cepat.

“Vallesha kan?”

Panggilan dari arah belakang itu membuat tubuh Valle menegang. Valle tau betul siapa pemilik suara khas ini. Betul saja ketika Valle melihat ke belakang, maka dirinya disuguhkan pemandangan seorang wanita paruh baya yang seusia dengan bundanya sedang bersama seorang wanita muda lain yang dirinya tidak kenal.

“Bener kok tante itu. Soalnya tadi tante lihat kamu di panggung,” ucap wanita paruh baya itu menambahkan.

“Hehehe iya tante.” Vallesha yang masih terkejut itu bingung harus bagaimana, maka jadilah seperti sekarang ini dirinya hanya terkekeh seperti orang bodoh.

“Oh iya, ini kenalin. Namanya Aurora. Calon istrinya Morgan.”

Deg.

“Cantik sekali kan? Sudah cantik baik, terus dia itu penurut loh! Dibilangin sama calon mertuanya biar jadi seorang ibu rumah tangga yang bisa fokus mengurus suami dan anaknya di rumah langsung mau. Ga kaya mantan pacarnya Morgan yang terakhir, egois. Cuma mementingkan dirinya sendiri, maunya jadi wanita karir.”

Valle mati-matian menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk. Kedua tangannya terkepal dengan kuat pada sisi-sisi tubuhnya. Kepalanya tertunduk, tidak tahan untuk menatap orang yang ada di depannya.

Valle tahu semua kalimat yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu sepenuhnya ditembakkan untuk dirinya. Hal itu membuat dirinya mati kutu karena diserang secara langsung seperti ini.

“Sayang? Kamu ke mana aja sih? Udah aku cariin dari tadi loh, ternyata kamu di sini.”

Kepala Valle perlahan terangkat untuk melihat suara orang yang berkata demikian kepadanya. Bukannya mau terlalu percaya diri, namun dirinya juga terkejut dengan adanya tangan kekar yang tiba-tiba saja merangkul pinggang rampingnya itu dengan posesif.

Nolan, lagi-lagi pria itu. Mengapa pada hari ini Valle terus bertemu dengan Nolan sih? Terlebih lagi harus di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini ya?

“Apa? Oh kamu mau minta hadiah dari aku karena hari ini udah tampil dengan baik ya?” tanya Nolan lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban dari sang lawan bicara. Hal itu tentu menambah kebingungan Valle. Hadiah? Hadiah apa, batinnya.

“Yakin kamu mau di sini?” Nolan terus mengatakan omong kosong yang membuat lipatan pada dahi Valle bertambah semakin banyak hingga dapat terlihat jelas.

“Ya udah kalau itu yang kamu mau,” final Nolan pada akhirnya.

Cup.

Nolan mendaratkan bibir tipisnya tepat di atas bibir ranum milik Valle. Awalnya benda kenyal nan basah milik pria itu hanya terdiam, namun tiba-tiba saja dirinya bergerak dan melumat bibir wanita yang sudah mengambil first kiss nya itu.

Valle berusaha berontak untuk dapat melepaskan dirinya. Namun sayang, tenaga yang dimiliki oleh wanita itu kalah jauh dari milik sang pria. Nolan melektakkan tangan kanannya di tengkuk Valle untuk memperdalam ciumannya. Sedangkan tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk mengusap lembut punggu wanita itu.

Ini yang benar saja? Nolan melakukannya di tempat umum yang terbuka dan terdapat banyak pasang mata yang menyaksikan kegiatan mereka berdua!

GILA. Sepertinya Nolan sudah tidak waras lagi.

Lumatan Nolan yang awalnya lebut kini justru semakin menjadi-jadi. “Emmhhh,” Pria itu menyecap seluruh permukaan bibir Valle. Tidak puas dengan hanya sampai di situ saja, Nolan juga masih berusaha mendorong lidahnya untuk menerobos masuk ke dalam mulut Valle.

Bukankah katanya first kiss nya diambil oleh Valle pada malam itu? Lantas mengapa hari ini dirinya terlihat seperti pemain yang sudah handal?

“Ngghhh,” Valle tidak dapat menahan lenguhan tertahannya namun dirinya masih dapat mempertahankan untuk tidak membuka mulutnya dan membiarkan Nolan masuk begitu saja.

Ketika pasokan oksigen wanita itu sudah mulai habis. Valle yang sudah tidak kuat, memukul dada bidang Nolan dengan cukup keras hingga membuat pagutan mereka berdua terlepas.

Benang saliva tercipta begitu tautan keduanya terpisah. Napas Valle terdengar sangat tersengal-sengal. Berbeda dengan wanita itu, Nolan justru hanya terlihat seperti biasa saja.

“Jangan ganggu calon istri saya lagi ya, bu.”

Setelah mengatakan hal itu Nolan kembali merangkul pinggang Valle kemudian mereka berdua melenggang pergi dari hadapan wanita paruh baya yang sekarang ini sedang terbakar api amarah melihat ketidaksopanan yang disuguhkan oleh mantan pacar putranya.

“Wah bangsat juga temen, lu!”

“Dia temen lu juga, anjing!”

“Yang paling bener mah temen kita semua, goblok!”

Gue cuma mau ngambil balik first kiss gue—Nolan.

by scndbrr

Dentuman musik yang begitu keras hingga mampu memekakkan gendang telinga ini menjadi ciri khas dari tempat yang kini disinggahi oleh Valle dan kedua sahabatnya, yaitu Kajio dan Cleo. Sebenarnya mereka dapat dikatakan sering menghabiskan waktu di tempat seperti ini, namun frekuensinya tetaplah tidak terlalu banyak.

Mereka bertiga ke tempat ini biasanya adalah untuk menyalurkan hobi atau sekedar untuk bersenang-senang saja. Masih banyak di luar sana orang-orang yang beranggapan bahwa tempat seperti ini itu adalah tempat yang penuh dengan manusia berdosa. Padahal justru banyak orang yang memang datang ke sini dengan tujuan benar-benar menikmati lagu dan menggerakkan tubuhnya untuk dapat melepas penat. Tidak lebih dari itu.

Namanya juga stigma masyarakat. Akan lebih susah untuk memberikan pengertian kepada orang-orang yang mudah termakan oleh stereotype. Biarkanlah orang lain mau berkata apa, yang terpenting adalah bagaimana diri kita untuk menghadapi hal tersebut.

Valle, Kajio dan Cleo tidak pernah disalahpahami oleh keluarga mereka lantaran ketiganya memang selalu berucap jujur ketika memang mau datang ke tempat ini. Mereka juga selalu pulang dan tidak berakhir dengan menginap di luar rumah. Hal itulah yang membuat keluarga mereka dapat percaya.

Utamakanlah komunikasi di manapun kalian berada.

Diantara mereka bertiga, Cleo adalah orang yang paling kuat minum. Pria itu pernah sekali mendapat tantangan dari kedua sahabatnya itu untuk menghabiskan beberapa botol minuman beralkohol dalam waktu yang singkat dan dirinya berhasil.

Berbeda dengan Cleo, Kajio itu berbanding terbalik dengan dirinya. Pria itu sangarlah lemah jika lawannya adalah minuman beralkohol. Sebetulnya Cleo paling malas pergi ke tempat minum jika Kajio merengek untuk mendapatkan minuman lebih dari satu gelas, karena itu berarti dirinya harus berakhir pulang menggendong temannya itu hingga membuat punggung serasa ingin patah.

Sedangkan batas minum Valle berada di tengah-tengah. Jika dipaksakan Valle bisa menenggak beberapa gelas, namun jika sudah lebih dari satu botol maka dirinya akan mulai tidak bisa memegang kendali atas tubuhnya secara benar-benar sadar.

Seperti pada sekarang ini. Tidak terasa Valle sudah menghabiskan satu botol minuman dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi itu. Alhasil, dirinya sudah sempoyongan ke sana dan ke mari.

Secara tidak sadar, Valle bangkit dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan Cleo yang sibuk bermain ponsel dan mengabaikan panggilan Kajio dari dance floor begitu saja. Kajio pikir sahabatnya itu ingin pergi ke toilet, maka dirinya hanya mengendikkan bahunya acuh lantas kembali menari lagi.

“Emmhh...” “P-pusing bangeth...”

Valle melangkahkan kakinya dengan berat menuju ke arah toilet. Ternyata dugaan Kajio benar, tempat yang dituju oleh wanita itu adalah toilet.

Bruk.

Namun sayangnya sebelum menemukan tempat yang menjadi tujuannya, Valle harus menabrak tubuh tegap milik seorang laki-laki dengan sangat keras. Wanita itu mengaduh kesakitan karena dirinya sekarang terjatuh ke lantai. “Shhh sakit..” ucapnya sambil mengusap lututnya yang terkantuk.

Pria yang menabraknya ini bukannya segera membantu Valle untuk berdiri, justru dirinya ingin berlalu begitu saja melanjutkan jalannya yang sempat terhenti karena adanya gangguan yang lewat. Kurang lebih seperti itulah isi yang ada di dalam otaknya.

Benar, pria itu menganggap Valle sebagai gangguan.

Valle yang menangkap gerak-gerik dari pria itu yang akan pergi meninggalkan dirinya begitu saja langsung memegangi kedua kaki pria itu dengan kedua tangannya. Awalnya hanya pegangan saja, namun karena pria itu berusaha untuk melepaskannya maka Valle tidak ada pilihan lain selain memeluk kedua kaki jenjang itu.

“Mau kemana lu?!” “Minta m-maaf sama gue dulu woi!”

Valle terus meracau dengan kedua matanya yang terpejam. Rupanya gadis itu merasakan kepalanya berdenyut dengan hebat sehingga dirinya sekarang merasa pening.

Tidak mau berurusan dengan hal yang tidak penting bagi dirinya, pria itu berusaha untuk melepaskan kakinya dari pelukan kuat yang diberikan oleh Valle. Karena dengan menghentak-hentakkan kakinya tidak cukup, maka pria itu sedikit merendahkan tubuhnya ke arah Valle berniat untuk melepaskan tangan Valle dengan menggunakan tangannya sendiri.

Ketika pria itu masih sedang berusaha untuk menjauhkan tangan Valle dari kakinya, gerakan tiba-tiba Valle yang menarik kerah baju pria itu membuat dirinya kini berada posisi canggung dengan berlutut dan berhadapan langsung dengan wajah Valle.

“Mmm M-morgan?” tanya Valle sambil menatap lurus ke arah manik pria itu.

Mendapati dirinya dipanggil bukan dengan namanya membuat pria itu menggelengkan kepala dan berusaha untuk melepas pegangan tangan Valle pada kerah bajunya. “Gue bukan Morgan, gue Nolan. Lepasin ga!” Valle tidak mengindahkan permintaaan Nolan, dirinya justru mengerjapkan kedua matanya dengan lucu hingga membuat Nolan terkesiap.

“Hngg N-nolan?” tanya Valle lagi seperti ingin memastikan sesuatu kemudian dirinya terkekeh di akhir. Sikap aneh Valle membuat Nolan mengernyitkan dahinya karena kebingungan. Dirinya merasa bahwa hari ini adalah hari sialnya hingga harus berpapasan dengan wanita aneh modelan Valle ketika kembali dari toilet.

Ternyata tidak sampai di situ saja perbuatan aneh Valle. Hal berikutnya yang dilakukan oleh Wanita itu sangatlah di luar dugaan. Dapat dipastikan setelah sadar nanti, pasti wanita itu tidak akan berhenti untuk merutuki kebodohan dirinya sendiri sampai kapan pun.

Sret.

Kedua tangan Valle yang masih bertengger dengan manis memegangi kerah baju Nolan tiba-tiba saja tergerak untuk menarik ke arah dirinya sendiri. Tindakan Valle ini sangatlah cepat sehingga membuat Nolan yang tadinya masih terlarut untuk meratapi nasib buruknya hari ini belum siap akan hal yang dilakukan oleh Valle.

Cup.

Valle, wanita itu memajukan wajahnya kemudian menempelkan bibir ranum miliknya di atas bibir tipis Nolan.

Dua benda kenyal nan basah yang dimiliki oleh mereka berdua kini menyatu tanpa adanya celah barang sedikit pun juga.

Valle menyunggingkan senyumnya saat ini dan dirinya masih tetap setia untuk memejamkan kedua matanya itu. Berbeda dengan Valle yang terlihat tenang. Nolan kini membelalakkan kedua matanya dan tubuhnya menegang. Entah mengapa tapi tubuhnya itu seolah-olah tidak mau menerima perintah yang diberikan oleh Nolan untuk segera menyingkir dari sana. Tubuh itu justru hanya diam mematung.

Belum selesai di situ, Valle kembali melakukan hal yang membuat dirinya akan kehilangan keberanian untuk dapat menatap dengan wajah Nolan lagi jika kelak mereka berdua akan berjumpa kembali.

Wanita itu menarik tubuhnya hingga membuat penyatuan bibirnya dengan Nolan terlepas begitu saja.

“Hoeekkk!”

Syur.

Maka keluarlah semua. Semua isi perut Valle hari ini telah dimuntahkannya ke atas baju Nolan mungkin hingga habis tak bersisa.

“ARRGGGHHHH!!!” teriak pria itu marah.

Valle yang tersentak begitu rungunya mendengar suara yang terlampau keras itu membuat kesadarannya yang tadi telah hilang kini telah kembali seluruhnya. Wanita itu melotot tidak percaya menatap ke arah depan tepat ke baju Nolan yang sudah menjadi tempat penampungan muntahannya.

“S-sory!” gumam Valle yang langsung berdiri dan berlari sekencang-kencangnya ke arah pintu keluar club ini. Dirinya mengabaikan tatapan orang-orang di sana yang melihatnya dengan penuh tanda tanya. Masih beruntung tempat kejadian hal memalukan barusan sangatlah sepi, jadi tidak ada orang lain yang melihatnya.

Valle meninggalkan Nolan begitu saja yang saat ini terlihat berusaha keras untuk dapat menahan amarahnya.

“Cewe aneh!”

by scndbrr

Kata orang, sangat sulit untuk dapat mengubah kepribadian orang lain. Kepribadian itu ibaratnya seperti identitas yang sudah melebur menjadi satu dan mendarah daging dengan sang pemilik tubuh tersebut. Maka, dapat dipastikan usaha yang ekstra pun tidak juga menjamin terpisahnya kepribadian dengan sang pemiliknya itu.

Namun, apakah kalian juga pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan “Batu yang terus-menerus terkena tetesan air, sekeras apapun batu itu, tetesan air akan melunakkannya”? Percaya atau tidak, ternyata pepatah itu benar adanya.

Siapa yang pernah menyangka jika seorang laki-laki yang dingin, pendiam, tidak terlalu suka bergaul dengan orang lain, dan juga tidak pernah mempedulikan kehadiran orang lain di hidupnya itu dapat berubah 180 derat? Jawabannya tidak ada.

Bahkan keluarganya pun sudah menyerah untuk dapat membuat putra bungsu dan adik mereka itu setidaknya dapat menjadi seperti orang lain pada umumnya. Mereka sudah kehabisan akal untuk melakukan hal tersebut.

Padahal jika ditilik kembali, sebetulnya apa yang kurang dari dirinya? Tampan sudah jelas dilihat dari banyaknya wanita yang mengejarnya dari dirinya masih duduk di bangku sekolah untuk mengenyam pendidikannya hingga sekarang ketika pria itu sudah tumbuh menjadi dewasa dan memegang jabatan yang penting.

Kaya? Bergelimangan harta? Tolong jangan ditanyakan lagi. Sebab sepertinya kekayaan yang dimiliki olehnya dirinya sendiri itu jika ditotalkan seluruhnya maka tidak akan habis untuk tujuh turunannya kelak. Mohon digaris bawahi, kekayaan yang dimiliki oleh dirinya sendiri.

Sayangnya, hanya dua hal itu saja yang dapat dibanggakan dari pria itu. Selebihnya tidak ada.

Jiwa anti sosialnya, perangainya yang buruk, dan sikap acuh tak acuhnya dengan orang lain membuat siapapun wanita yang sudah berusaha untuk mengejarnya akan langsung mengambil arah putar balik. Karena bagi kebanyakan wanita, tampan dan mapan saja belum cukup. Mereka membutuhkan sosok yang juga dapat memberikan perhatian dan kasih sayang.

Atau pada kata lain yang mudah dipahami adalah mereka ingin diperlakukan bak ratu oleh pasangan mereka masing-masing.

Bukannya banyak mau atau tidak dapat menyukuri suatu hal. Namun, karena wanita lebih sering menggunakan perasaannya ketimbang logikanya sendiri, maka hal itu sudah pasti akan menjadi syarat utama bagi siapapun pria yang mau masuk ke dalam hati mereka.

Kembali lagi kepada pria ini. Meskipun dirinya sudah sadar bahwa banyak yang menyayangkan kepribadiannya yang sangat buruk ini, namun ternyata hal itu tidak membuat pria itu berusaha untuk memperbaikinya. Justru dirinya berpikir bahwa jika semua wanita di dunia ini beranggapan demikian, maka tidak masalah bagiku untuk melajang seumur hidup.

Pria itu merasa dirinya sudah memiliki segala-galanya, lantas buat apa lagi dirinya harus merubah diri? Hanya untuk wanita? Itu bukanlah hal yang terlalu penting bagi dirinya.

Tentu tidak. Tenang saja bagi kalian yang mulai terbesit sebuah pikiran konyol di benak kalian masing-masing. Alangkah baiknya jika kalian semua membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia adalah pria normal, masih lurus di jalan yang benar.

Ketika dirinya sudah merasa nyaman dengan hidupnya yang berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri. Tiba-tiba saja datanglah seorang wanita aneh, bahkan menurutnya kelewat aneh ke dalam skenario jalan hidupnya itu.

Aneh maksud pria itu di sini adalah karena wanita itu dapat dengan mudahnya mematahkan prinsip hidupnya sendiri yang sudah ia bangun dengan sangat kokoh. Hancur begitu saja, hilang tak bersisa. Entah ke mana prinsip itu terbang? Mungkin sudah dibawa angin yang menyapunya.

Meskipun dirinya di awal tadi pernah menyatakan bahwa ia tidak akan masalah jika harus menjalani hidup tanpa adanya seorang pendamping di sisinya, namun pria itu tentu saja masih memiliki standar wanita yang menurutnya layak untuk dijadikan pasangan.

Bagaimana bisa seorang wanita tidak sesuai dengan standarnya itu, bahkan sangat jauh dapat menggoyahkan dirinya? Menggetarkan hatinya yang sempat mati rasa dengan wanita manapun yang pernah ia temui selama dirinya hidup mulai dari lahir hingga detik ini.

Tidak mungkin. Ini pasti terdapat kesalahan pada sistem kerja dunia yang ditinggalinya, pikir pria itu.

Hanya berawal dari pertemuan singkat yang dapat dikatakan hanyalah sebuah kebetulan belaka saja, hingga akhirnya mereka dipertemukan kembali di pertemuan kedua yang menjadi awal mula kisah mereka berdua ditorehkan pada sejarah hidup mereka berdua masing-masing.

Rasa peduli terhadap sesama manusia yang tiba-tiba muncul begitu saja dari dalam dirinya membawa pria itu untuk bersikap sok pahlawan di depan sang wanita dan berakhir dengan dirinya yang mengelak dan bersembunyi di balik kata kasihan.

Lantas, apakah benar itu semua hanyalah sebuah rasa kasihan saja? Tidak lebih? Tidak ada sedikit saja perasaan yang terlibat di dalam sana? Jawabannya akan ditemukan di dalam alur perjalanan mereka ini.

Mari sekarang kita beralih kepada sang wanita yang berhasil membuat pria itu menjadi rela untuk dapat merubah kepribadiannya demi dirinya.

Seorang wanita yang memiliki positive vibes adalah kalimat yang cocok untuk dapat menggambarkan bagaimana sosok dari dirinya itu. Hidupnya yang dipenuhi dengan senyuman manis miliknya, pandangan teduh yang selalu terpancar ketika dirinya sedang menatap orang lain, bahkan sikapnya yang periang dapat menjadi pelipur bagi sebagian orang.

Memiliki seorang anggota keluarga seperti dirinya merupakan anugerah terbesar yang dapat diperoleh oleh keluarga manapun. Bagaimana tidak jika wanita itu selalu memberikan kata-kata penyemangat yang mungkin bagi segelintir orang hal tersebut tidaklah terlalu penting, namun bagi orang-orang yang membutuhkannya maka dengan mendengarkannya rasanya dapat membuat mereka kembali hidup.

Masih sama, memiliki seorang teman dan sahabat seperti dirinya juga akan membuat siapapun orang itu memiliki sepasang telinga yang siap mendengarkan semua keluh kesah mereka. Terkadang orang-orang lupa. Sebagian dari mereka hanya akan menceritakan cerita bahagia dan kabar gembira kepada orang lain. Namun, melupakan dan memendam rasa kecewa serta kisah pahit mereka.

Semuanya pasti akan mengatakan bahwa hal itu memang sudah sepatutnya berlaku demikian. Bukankah tidak baik untuk membagikan pengalaman buruk kita kepada orang lain? Namun sayangnya mereka semua keliru. Kita semua tidak sadar bahwa kita butuh tempat yang pas untuk dapat mengadu. Bukan mengadu nasib, melainkan mengadu perasaan yang terhimpit batu besar di dalam kerongkongan kita supaya kita juga dapat hidup dengan perasaan sejahtera.

Wanita itu tidak pernah mengeluh ketika dirinya menjadi tempat penampungan rasa sedih orang-orang yang ada di hidupnya. Karena menurutnya, hidup itu adalah pemberian nikmat Tuhan yang tak ternilai. Kehilangan seseorang di masa lalunya membuat wanita itu sangat menghargai apa arti dari kehidupan itu sendiri. Sebaik mungkin, dirinya ingin dapat menjaga hidupnya sendiri dan jika diperbolehkan juga dengan hidup orang-orang tersayangnya.

Awalnya dirinya berpikir untuk menjaga semua hidup milik orang lain, namun setelah berjumpa dengan makhluk jadi-jadian baginya itu dirinya berusaha untuk menarik kembali perkataannya yang pernah terlontar begitu saja.

Jadi-jadian adalah kata yang ia gunakan untuk menjuluki seseorang yang dirinya amat benci itu. Sungguh, orang itu sangatlah menyebalkan, pikirnya.

Mengapa keberuntungan dan kesialannya itu harus datang di waktu yang bersamaan?

Bagaimana bisa ketika kita baru saja merasakan kebahagiaan yang begitu luar biasa atas pencapaian dari usaha keras kita sendiri, kemudian ditampar oleh nasib buruknya yang tiba-tiba hadir?

Makhluk itu, orang itu, pria itu telah mengusik kehidupannya.

Wanita itu berjanji tidak akan melepaskan pria itu begitu saja. Dirinya akan berlari sekencang mungkin untuk dapat mencekal sang pria dan membuatnya mengucapkan sebuah kata maaf.

Seumur-umur baru kali ini dirinya bertemu dengan sosok yang membuatnya naik pitam hingga kepalanya didera rasa pening. Emosi yang meluap-luap dari dalam dirinya akan ia tumpahkan jika mendapatkan kesempatan untuk berhadapan langsung dengan pria itu.

Namun, mengapa ketika hari itu tiba sangg wanita justru terdiam? Dirinya diam mematung dan tidak mampu untuk melancarkan aksinya. Lidahnya kelu tidak dapat mengeluarkan barang satu patah kata pun. Tubuhnya panas dingin menatap sosok yang ada di depannya. Terdapat satu hal janggal lagi yang menurut dirinya sendiri sudah terlampau janggal.

Pusat kehidupan dari wanita itu berdetak dalam tempo yang cepat. Bahkan terlalu cepat. Darahnya berdesir membuat dirinya terus bergeleng ribut.

Tidak akan. Satu kata itu terus ia gumamkan.

Tidak akan sang wanita itu terjatuh di dalam pesona sosok pria jadi-jadian itu bukan? Siapapun itu tolong katakan kepada wanita ini bahwa dirinya memang sudah jatuh terlalu dalam hingga tidak akan pernah dapat menemukan jalan untuk keluar dari labirin yang diciptakan oleh sang pria.

by scndbrr

Sebut saja Brina gadis bodoh karena tingkah dirinya sendiri pada saat ini. Bagaimana bisa gadis itu terlihat seperti orang gila yang haus akan minuman beralkohol? Terlebih lagi di acara ini.

Memang benar apa yang dikatakan Brina kepada Sheila, temannya itu. Jika acara ini hanyalah ajang adu kuat minum dengan para senior jurusannya yang akan melaksanakan sidang wisuda sebentar lagi, namun bukan berarti dirinya dapat bertindak seperti ini sekarang.

Acara yang tidak bermutu namun tidak dapat dihapuskan secara mutlak begitu saja. Karena jika ada salah satu pembangkang yang menolak hadirnya acara ini, maka sama saja orang itu sedang mengibarkan bendera perang.

Betul, asal-muasal acara ini karena orang-orang yang merasa dirinya kelebihan harta kemudian ingin berfoya-foya namun dengan cara yang merepotkan orang lain. Aneh sekali bukan? Mereka yang mau senang-senang, tapi mengapa harus membuat orang lain merasa tidak nyaman? Ini namanya pelanggaran hak asasi.

Tentu saja tidak semua tempat memiliki tradisi yang tidak layak untuk dilestarikan seperti ini. Namun sayangnya, Brina harus menjadi salah satu korbannya kali ini. Jika dirinya dapat memilih, pastilah gadis itu tidak akan sudi untuk melakukannya.

Setidaknya biarkanlah Brina untuk dapat menimba ilmu di perguruan tinggi dengan tenang dan damai. Ini sudah tahun ketiganya di sini, maka tinggal menghitung waktu saja untuk gadis itu dapat lulus. Jadi rasa-rasanya tidak tepat jika dirinya harus mencari gara-gara. Masalah hidupnya saja sudah menumpuk seperti hutang-hutang negara yang tidak kunjung lunas.

Kembali lagi, di dalam ruangan yang tidak terlalu luas ini demi apapun sudah banyak sekali tatapan lapar yang diberikan oleh para seniornya kepada Brina. Tentu saja gadis itu tidak menyadarinya karena dirinya sudah dalam keadaan mabuk berat.

Sialnya lagi adalah kenyataan Sheila Regina Amerta yang sudah pamit pulang duluan sejak satu jam lalu. Perempuan itu harus kembali ke kampung halamannya begitu mendapatkan kabar bahwa omanya telah dipanggil untuk menghadap Sang Maha Kuasa.

Baiklah, lantas apa yang akan terjadi kepada Brina? Lihat saja, sekarang gadis itu sudah dibawa oleh salah satu seniornya yang terkenal dengan catatan kelakuan buruknya terhadap mahasiswi lain.

Senior itu ibaratnya seekor buaya yang sudah siap untuk menyantap mangsanya saat ini juga. Kebetulan dirinya disuguhkan sasaran yang empuk seperti Brina yang kesadaraannya kini sudah mulai menghilang.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah diberikan kepadanya, sang senior tersebut berniat untuk segera menyelesaikan urusannya itu dengan Brina. Urusan tidak bermoralnya di sini maksudnya.


Sekarang ini Brina berada di dalam kendaraan roda empat milik orang orang bejat yang sedang melaju kencang ke arah suatu tempat. Tidak lain dan tidak bukan, tempat yang dirinya tuju adalah sebuah hotel yang letaknya memang tidak jauh dari tempat mereka minum-minum tadi.

Ketika sedang berjalan menuju ke salah satu kamar yang telah dipesan oleh senior tersebut, tiba-tiba saja sang senior dikagetkan dengan tepukan pada pundaknya.

Bukan terkejut karena hal apa, namun memang dirinya sejak awal memang sudah menahan gugup setengah mati karena dirinya juga sedikit ketakutan mengingat perbuatannya ini akan memakan korban baru.

Senior itu hanya terdiam mematung dan tidak berani untuk barang sekedar membalikkan badannya melihat siapa orang yang telah mengagetkan dirinya dengan tepukan ringan yang diberika tadi.

“Lo mau ngapain?” tanya seorang laki-laki yang diketahui merupakan pelaku tepuk-menepuk itu. Suaranya begitu rendah sarat sedang berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam dirinya.

Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari orang yang ditanyainnya membuat laki-lak itu menjadi geram. Tangannya terulur untuk mencengkeram kerah pakaian yang dikenakan olehnya, “Gue tanya lo mau ngapain ANJING?!!” sentak laki-laki itu.

“BRENGSEK!!” teriak Fino yang sudah kalap dengan api amarah.

Ya, benar. Laki-laki itu adalah Fino. Matthew Gheofino telah kembali.

Setelah memastikan Brina sudah aman di tempat yang sedikit jauh dari dirinya dan senior kurang ajar itu, Fino tanpa berbasa-basi lagi langsung melayangkan bogeman mentahnya ke wajah sang senior.

Sebetulnya malas sekali jika tangan bersihnya itu harus bersentuhan dengan wajah kotor milik orang gila modelan senior ini. Namun, karena orang gila itu sudah berani menyentuh gadis keyangannya maka tidak ada pilihan lain selain untuk memberikan pelajaran.

“Hngghh? F-fino??” panggil Brina sambil mengerjap-ngerjapkan matanya untuk dapat memastikan apakah penglihatannya ini benar atau tidak. Pasalnya bagaimana mungkin dirinya dapat melihat orang yang sedang sangat dirindukannya sekarang ini?

Tidak mungkin, pikirnya.


Sinar matahari bersinar dengan begitu terangnya menyambut kedatangan sang pagi di hari ini. Karena begitu terang, sinar itu terlihat tengah mengusik seorang gadis yang terlelap karena memasuki jendela yang tirainya sudah terbuka.

Gadis itu menggeliatkan tubuhnya karena merasa tidurnya telah terganggu. Kedua kelopak matanya perlahan-lahan mulai terbuka dan berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya.

Gadis itu adalah Brina.

Dirinya kini mengubah posisinya yang dari tiduran menjadi duduk di atas kasur. Tunggu, kasur? Kasur ini bukanlah kasur yang ada di kosannya. Tempat ini juga buan merupakan kamar kosannya. Lantas Brina sekarang sedang ada di mana?

Brina secara refleks langsung memandangi dirinya sendiri. Bersyukur pakaian yang dikenakannya masih melekat sempurna tanpa kurang satu pun. Tapi tetap saja, gadis itu terus mengumpat untuk merutuki kebodohan dirinya sendiri sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut efek dari minuman alkohol semalam.

Tidak mau berpikiran negatif, Brina langsung bergegas untuk bangun dan beranjak dari kasur. Dirinya berjalan mengendap-ngendap ke arah pintu kamar yang terletak di salah satu sudut ruangan ini.

Ceklek.

Bukan. Bukanlah Brina yang membuka pintu itu. Namun orang lain yang sedang berjalan ke arahnya dan sekarang tengah berhenti tepat di hadapannya.

Orang itu menatap lamat-lamat ke arah wajah cantik Brina, wajah inilah yang sangat ia rindukan setiap harinya. Berbekal dengan sering melihat fotonya di ponsel miliknya, akhirnya hari ini datang juga. Hari untuk dapat melihat secara langsung paras cantik dari gadisnya itu.

Berbeda dengan orang itu, Brina sedang terkejut dalam diam. Dirinya merasa sedang berada di dunia mimpi. Namun biarkanlah jika pada kenyataannya ini hanyalah bunga tidurnya saja. Yang terpenting, dirinya dapat melihat senyuman manis orang yang tiba-tiba saja menghilang dari kehidupannya bak ditelan bumi tanpa adanya kabar.

Selalu seperti ini. Mereka berdua selalu saja berbicara hanya dengan melalui tatapan mata saja. Entahlah. Mungkin hanya itulah cara yang paling jujur untuk dapat saling mengekspresikan perasaannya masing-masing?

Konon katanya, mulut dan tindakan kita dapat berbohong, namun tidak dengan mata seseorang. Ternyata, ungkapan itu benar. Setidaknya Brina dan Fino yang meyakininya.

Tenang saja, orang itu adalah Fino. Bukan senior atau kakak tingkat kurang ajar yang mau merusak Brina semalam.

“Hai, Bunda Nana?” “Aku udah pulang.” “Aku kembali ke rumah aku.” “Ternyata cuma kamu rumah aku, Na.”

“Selama datang, Ayah Nono.” “Aku kangen banget sama kamu.” “Janji jangan pernah ninggalin aku lagi ya?”

“Iya. Aku janji.”

Kita lewatin semuanya bareng-bareng.

by scndbrr

Keadaan jalanan pada sore hari ini terlihat sangatlah padat mengingat sekarang merupakan jam pulang untuk orang-orang yang sedang bekerja.

Lalu lintas yang membuat kepala siapapun menjadi pening ini juga semakin membuat Brina menjadi bergerak dengan gelisah pada kursi penumpang.

Kedua mata Brina sejak tadi tidak henti-hentinya untuk mengeluarkan cairan bening dari sana. Gadis muda itu menatap lurus ke arah depan dan terus menggumamkan nama seseorang yang sangat ia takuti akan pergi meninggalkannya hari ini.

Fino.

Rayyan yang mampu menangkap pemandangan itu dari ekor matanya menjadi tidak tega. Meskipun dirinya tidak tahu permasalan yang sedang terjadi di antara adik tirinya dengan sahabat karibnya itu, namun dapat dia tebak bahwa semuanya sedang tidak baik-baik saja.

Tangan kiri Rayyan terulur untuk menyentuk tautan kedua tangan Brina di atas pahanya yang terlihat gemetar hebat. Dirinya berusaha untuk menenangkan sang adik, “Tenang brin. Bentar lagi kita sampai kok,” ucap Rayyan tanpa menolehkan kepalanya untuk memandang ke arah Brina, laki-laki itu harus tetap fokus menyetir.


Brina langsung turun begitu saja dan berlari masuk ke dalam bandara meninggalkan sang kakak ketika dua saudara tak sedarah itu telah sampai di tempat tujuan mereka berdua.

Rupanya yang ada di pikiran gadis itu hanyalah Fino, Fino, dan Fino saja. Hal itu terbukti dengan dirinya yang tidak menyadari bahwa kini dia menggunakan alas kaki yang berbeda.

Tidak berbohong, Brina memang panik bukan main saat ini.

Gadis itu melangkahkan kakinya ke sana dan ke sini. Pandangannya menyapu seluruh penjuru untuk dapat menemukan sosok yang sangat ingin ia lihat.

Keadaan Brina sekarang sudah sangat kacau. Wajahnya memerah, kedua matanya sembab, dahinya yang dipenuhi oleh peluh, rambutnya yang terlihat acak-acakan, dan napasnya pun tersengal-sengal.

Berlarian menyusuri sebuah gedung yang begitu luas ini bukanlah perkara yang mudah. Terlebih lagi dengan tujuan untuk dapat menemukan satu orang di antara ribuan orang yang ada di sini.

Merasakan pasokan udaranya yang sudah habis, membuat Brina mau tidak mau berhenti sejenak untuk beristirahat.

Tubuh gadis itu membungkuk dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua lututnya sendiri. Dirinya berusaha untuk dapat menetralkan deru napasnya yang terdengar putus-putus itu.

Setelah dirasa cukup, tangan kanan Brina terulur untuk mengusap keringatnya yang membanjiri wajah cantik gadis itu, “Ayo Na, kamu harus ketemu sama Fino sekarang.”

Kalimat itulah yang membuat Brina tidak menyerah begitu saja. Sebab gadis itu sangat tahu jika dirinya tidak dapat menemukan sosok yang menjadi sumber kebahagiannya itu sekarang, maka kemungkinan besar hingga selamanya pun dirinya juga tidak akan bertemu lagi dengan Fino.

Sudah hentikan. Bahkan hanya untuk membayangkannya saja Brina tidak sanggup.


Ada kemauan, pasti ada jalan. Sudah sangat sering kalimat motivasi itu dikumandangkan. Namun bagaimana jika kasusnya ada kemauan tetapi tetap tidak ada jalan? Jawabannya mudah. Tentu kita harus membuat jalan itu sendiri.

Memang benar jika berkata itu lebih mudah ketimbang berbuat. Pasalnya tidak sesuai dengan teori yang ada, tidak semuanya dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita mau.

Jika sudah begini, bolehkah Brina untuk menyerah? Dirinya sudah berjuang untuk hubungannya dengan Fino. Namun bukankah jika hanya satu dari mereka berdua yang berjuang, maka hasilnya akan kosong?

Brina tidak ingin membela dirinya sendiri dengan mengakui bahwa alasannya tetap memberika sedikit batasan kepada Fino karena gadis itu masih trauma. Dirinya takut hubungannya berakhir dengan hadirnya orang ketiga seperti apa yang terjadi kepada keluarganya.

Dia hanya takut. Ketakutannya itu amatlah besar.

Bertemu dengan sosok Fino yang mampu menjadi penawar atas rasa sakit yang dideritanya membuat Brina merasa menjadi seorang perempuan yang sangat beruntung.

Biarkanlah rasa kecewa yang menggerogoti jiwanya itu dilipur oleh senyuman manis dari seorang laki-laki yang selalu meratukan dirinya.

Gadis itu paham betul jika bersyukur saja tidak akan cukup. Dirinya juga harus menjaga anugerah pemberian dang sang pemilik semesta ini bukan?

Namun jika situasinya seperti sekarang, lantas apa yang harus diperbuat oleh gadis itu? Menangis sudah. Berusaha mencari juga sudah. Mana hasilnya? Tidak ada. Semuanya terasa sia-sia.


Dengan tubuh yang sudah lesu dan lemas layaknya tak bertulang, gadis itu berjalan dengan tatapan kosong dan mendudukkan dirinya pada sebuah bangko yang kosong.

Satu tetes air matanya yang dengan tidak sopan meluncur begitu saja tanpa permisi, membuat dirinya mengusap pipinya yang basah itu dengan gerakan kasar.

Sudah selesai, ya?

Gadis itu berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri dengan pertanyaan retorik yang ia ucapkan di dalam hatinya. Kini Brina berdiri dari posisi duduknya tadi dan berniat untuk pulang saja.

Sebut saja ini adalah kemurahan tak ternilai harganya yang diberikan oleh sang pemilik semesta ini kepada dua insan muda-mudi yang sedang dimabuk asmara itu.

Brina tiba-tiba saja merasakan sebuah dekapan hangat dari arah belakang tubuhnya. Tangan besar orang itu bertengger dan melingkar dengan manis di pinggang ramping miliknya.

Erat.

Dekapan itu sangatlah erat seperti orang itu mau mengatakan bahwa dirinya membenci takdir yang membuatnya harus berdiri di atas kata perpisahan yang menyakitkan.

Menyadari siapa pemilik dari tangan itu, Brina membalikkan tubuhnya untuk dapat melihat dan memastikannya dengan kedua mata kepalanya sendiri.

“F-fin?” panggil Brina dengan suara yang sedikit gemetar karena dirinya berusaha untuk dapat menahan tangsinya yang sejak tadi minta dilepaskan.

Iris yang berwarna hitam kecoklatan dan hitam pekat itu saling beradu pandang dalam waktu yang tidak singkat. Kedua orang itu terlihat seolah-olah sedang berbicara, menyampaikan isi hati mereka melalui sorot tatap mereka berdua.

Fino adalah yang pertama memutuskan kontak mata mereka.

Posisi keduanya sekarang terlihat sangat intim karena tubuh mereka yang berhimpitan seperti tidak bercelah.

Laki-laki itu masih setia melingkarkan tangan besarnya pada pinggang gadisnya itu sebelum akhirnya tangannya itu ia alihkan untuk sedikit membenahi helaian rambut gadisnya yang terlihat berantakan.

Entah dikomando oleh siapa, namun secara tiba-tiba Fino menyatukan bibirnya dengan milik Brina. Dirinya tidak berniat untuk menggerakkannya sama sekali. Laki-laki itu hanya berusaha untuk mengucapkan salam perpisaha yang terakhir kalinya.

Brina sedikit tersentak karena terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh Fino. Namun seakan mengerti, gadis itu tidak menolaknya. Dirinya memejamkan kedua matanya, berusaha untuk merasakan kenyamanan itu.

Setelah dirasa cukup, Fino melepaskan tautan bibir mereka berdua dan menatap lurus ke arah manik gadis yang ada di hadapannya ini,

“Makasih untuk segalanya, Na. Maaf, aku belum bisa nepatin janji aku buat nunggu kamu dan ngelewatin semua hal bareng-bareng. Aku pamit sekarang ya? Jaga diri kamu baik-baik... ...dan aku mohon lupain aku.”

Deg.

by scndbrr

Setelah mendapati pesan yang kurang mengenakkan dari sang ayah, sekarang yang terbesit di pikiran Fino hanyalah Brina. Dirinya membutuhkan Brina saat ini.

Beruntung karena sebelumnya dirinya sudah membuat janji untuk berjumpa dengan gadis itu setelah pulang sekolah, maka Fino tidak perlu bersusah payah untuk mencari berbagai alasan lain tanpa mengatakan yang sebenarnya kepada Brina.

Karena Fino dan Brina bersekolah di tempat yang berbeda, maka Fino memutuskan untuk menjemput Brina di sekolahan gadis itu.

Pada awalnya Brina sempat menolak niat baik yang ditawarkan oleh Fino, namun ketika Fino terus saja bersih keras untuk melakukannya maka Brina tidak mempunyai pilihan lain selain hanya pasrah menuruti kemauan laki-laki itu.

Di sinilah Brina sekarang berada. Duduk di halte tempat pemberhentian bus yang letaknya tepat di samping sekolahnya. Jarak antara halte tersebut dengan sekolahannya bahkan sangatlah dekat.

Gadis itu mendudukkan dirinya di salah satu sisi pada kursi panjang yang ada di sana.

Setelah mendapatkan pesan bahwa Fino sudah dalam perjalanan untuk menemuinya, Brina memutuskan untuk memasukkan ponsel miliknya itu ke dalam tas.

Karena sedikit mulai merasa bosan menunggu Fino yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya, Brina mengambil kembali ponsel miliknya yang tadi sudah dirinya masukkan ke dalam tas sekolahnya.

Tidak hanya itu, Brina juga mengeluarkan earphone bluetooth miliknya yang memang selalu dirinya bawa ke manapun gadis itu pergi.

Jemari lentiknya bergerak dengan lincah untuk mencari playlist yang menurutnya cocok dengan suasana hati dirinya sendiri pada saat ini.

Setelah menemukan deretan lagu yang dicarinya, Brina mulai menekan tombol untuk memainkan salah satu lagu pilihannya yang telah dipilihnya untuk menjadi lagu pertama yang ia dengarkan.

Keadaan di sekitar halte pada saat ini sudah sepi lantaran jam pulang sekolah sudah lewat sejak tadi. Semua siswa dan siswi SMANSA sudah pulang menyisakan beberapa murid yang masih berkegiatan di sekolah dan juga yang belum dijemput.

Secara refleks, kedua mata Brina terpejam untuk dapat lebih menikmati sebuah lagu favoritnya yang mengalun dengan merdu memasuki indera pendengarannya itu.

Kedua kaki gadis itu yang sedikit tergantung bebas di atas tanah, ia gerakkan ke arah depan secara bergantian. Kemudian kedua tangannya melakukan gerakan acak yang tidak terlalu jelas. Dirinya hanya melakukan itu secara alami.

Ketika bagian reff dinyanyikan oleh sang pemilik lagu, Brina menyunggingkan senyuman termanisnya. Kata-kata yang terangkai dengan indah membuatnya teringat akan seseorang.

Terlalu asik berlarut dan melebur di dalam dunia yang ia ciptakan sendiri ini, membuat Brina tidak menyadari terdapat orang lain yang tengah menikmati senyuman manisnya itu.

Dia, Fino.

Laki-laki itu sudah sampai di sini kurang lebih sekitar setengah jam yang lalu. Namun dirinya dengan sengaja tidak langsung menghampiri gadis yang terlihat sedang bersenandung ria itu.

Fino menatap teduh ke arah Brina duduk. Laki-laki itu merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Bahkan dirinya berani mengajukan diri sebagai kandidat orang paling beruntung sedunia jika memang terdapat acara penghargaannya.

Bagaimana tidak? Jika laki-laki itu masih diberi kesempatan oleh sang pemilik semesta ini untuk dapat berjumpa kembali dengan orang yang sangat dirinya sayangi bahkan melebihi dirinya sendiri.

Tidak. Bukannya Fino tidak menyayangi keluarganya sendiri dan sahabatnya, Rayyan.

Kehadiran Brina di dalam hidupnya tidak dapat dibandingkan dengan eksistensi siapapun itu. Karena hanya Brinanya lah yang selalu ada untuknya di saat laki-laki itu merasakan keterpurukan. Tidak hanya di dalam sukacitanya saja.

Mungkin terlalu dini untuk dapat menyatakan hal ini. Namun percayalah, kasih sayang yang muda-mudi itu salurkan satu sama lain adalah sejati. Ketulusan hati mereka berdua tidak perlu lagi diragukan.

Mereka adalah seorang anak yang tidak dapat memperoleh kebahagian dari kedua belah keluarganya masing-masing. Meskipun permasalahan yang dihadapi oleh mereka berbeda, namun mereka sama-sama hancur di sini.

Keluarga, tempat pertama di mana kita mengenal dunia ini justru menjadi tempat yang menurut mereka paling mengerikan. Mereka membencinya karena hanya luka dan trauma yang mereka dapatkan.

Rasa kecewa kepada sosok yang seharusnya menjadi role model dari para anak-anaknya sangatlah mendalam. Bahkan sudah tidak dapat dijelaskan lagi oleh kata-kata yang keluar dari mulut.

Memang betul jika mereka berdua masih bisa mencapai ke titik ini dengan baik, namun siapa yang tahu jika di belakang layar mereka tidak henti-hentinya menitikkan air mata di dalam perjalanannya?

Tidak ada yang tahu. Itulah sifat alamiah dari manusia. Mereka hanya melihat dari luar saja.

Brina memang terlihat sebagai seorang anak perempuan yang sempurna dengan segala hal yang ia kuasai. Dirinya memiliki paras yang cantik, dirinya memiliki otak yang cemerlang, dan dirinya juga memiliki keluarga dengan latar belakang yang bagus.

Namun, apakah semua orang juga tahu bahwa Brina juga memiliki bekas luka sayatan di pergelangan tangan kanannya?

Mungkin hampir semua orang tidak menyadarinya karena gadis itu berusaha untuk menutupinya dengan menggunakan jam tangan yang tidak pernah ia lupa untuk memakainya.

Luka sayatan itulah yang menjadi bukti konkret dari kerumpangan keadaannya yang selalu terlihat sempurna di mata orang lain. Luka sayatan itu yang menjadi saksi betapa frustasinya seorang gadis yang bahkan usianya masih belasan tahun.

Di sisi lain, kita memiliki Fino yang selalu dielu-elukan menjadi pria paling rupawan di mana pun dirinya berpijak. Pria yang terlihat keren karena dapat memenangkan beberapa macam pertandingan balap mobil yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Pria yang memiliki seorang ayah kaya raya dan masa depannya yang terjamin karena dirinya pasti akan menjadi ahli waris perusahaan ayahnya itu kelak.

Namun, apakah semua orang juga tahu jika Fino harus mendengarkan hal yang sangat tidak pantas?

Hal yang membuat dirinya sendiri pun merasa menyesal bukan main setelah mendengarkannya. Hal yang menjadi kelemahannya selama ini. Hal yang membuatnya tidak dapat menegakkan kepalanya dengan bebas untuk melihat dunia sekitar.

Memang itu semua bukan suatu kesalahan yang diperbuat oleh dirinya sendiri, namun tetap saja jika berkaitan dengan orang yang berhubungan darah langsung dengannya, maka sama saja dirinya juga terhubung bukan?

Fino amat membenci kenyataan ini. Ketika kesehatan mentalnya harus terganggu karena tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari kedua orang tuanya itu, lantas mengapa dirinya juga harus menanggung kesalahan dari orang tuanya juga?

Tidak adil rasanya. Sangatlah tidak adil.

Brina yang baru saja membuka matanya kembali untuk memastikan apakah orang yang akan menjemputnya itu sudah datang atau belum sedikit terkejut karena ternyata di hadapannya kini sudah terdapat orang tersebut.

Fino berdiri dan sedikit menyandarkan tubuh tegapnya di motor besar kesayangannya itu. Laki-laki itu menyapa Brina yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman lebar hingga membuat kedua matanya menipis membentuk bulan sabit.

Brina yang melihat hal itu bergegas untuk memasukkan ponsel dan earphone miliknya ke dalam tas. Kemudian gadis itu segera menghampiri Fino yang ditebaknya sudah cukup lama menunggu di sana.

“Udah lama ya pasti?” ucap Brina sambil menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.

“Cantik.” Alih-alih menjawab, Fino justru berucap demikian dan membuat semburat merah muda muncul pada kedua pipi putih milik Brina.

Brina berdeham singkat dan langsung menolehkan pandangan kedua matanya ke arah lain untuk dapat menghindari wajah Fino yang membuat jantungnya berdegup dengan cepat.

Rupanya gadis itu sedang salting.

Fino hanya terkekeh melihat tingkah dari Brina yang sangat menggemaskan itu menurutnya. Tangannya kemudian beralih untuk mengambil helm yang baru saja ia beli terlebih dahulu sebelum ke sini berjaga-jaga jika Brina tidak membawanya.

Betul saja, gadis itu memang tidak membawa helm, bahkan mempunya saja tidak, karena setiap hari dirinya memang diantar-jemput menggunakan kendaraan roda empat.

Pada detik ini juga Fino memutuskan untuk memberikan hak milik mutlak atas helm berwarna biru langit itu kepada Brina.

Tidak hanya mengambilkan helm dan menyerahkannya kepada Brina, namun yang Fino lakukan adalah memakaikannya pada kepala gadis itu dengan sangat hati-hati. Dirinya tentu tidak mau membuat kepala gadis itu terluka.

Tubuh Brina menegang dan dirinya menahan napasnya ketika Fino sedang berusaha untuk mengaitkan kaitan helmnya. Jarak tubuh mereka berdua yang hanya terpaut dengan sangat tipis itu membuat Brina dapat merasakan hembusan hangat napas Fino yang menerpa kulit wajahnya.

“Dah,” celetuk Fino yang diakhiri dengan tangan kanannya yang terulur untuk mengusap kepala Brina. Ralat, yang betul adalah kepala Brina yang sudah terbalut dengan helm.

Lagi, laki-laki itu tersenyum kembali.

Tidak sampai di situ saja. Sebelum membiarkan Brina untuk menaiki motornya, Fino menurunkan footstep motornya terlebih dahulu dengan menggunakan tangannya.

Brina mematung menyaksikan semua yang dilakukan oleh Fino. Gadis itu merasakan sebuah de javu saat ini. Semuanya sama seperti saat dirinya pertama kali bertemu kembali dengan Fino setelah berpisah bertahun-tahun tanpa saling bertukar kabar.

“Na, ayo,” ajak Fino yang dibalas oleh anggukan lucu dari Brina.

Fino sejak tadi sedang mati-matian untuk menahan dirinya berbuat lebih kepada Brina. Mengapa gadis yang sangat disayanginya ini begitu menggemaskan? Bikin repot hati aja, batin Fino.

Setelah Brina sudah naik dan mendudukkan dirinya di jok motor Fino, dirinya menjadi bingung harus berpegangan di mana. Alhasil berakhir kedua tangannya yang terjuntai begitu saja ke bawah.

“Pegangannya di sini, Na.” Fino langsung mengaitkan kedua tangan Brina di depan perutnya menghiraukan reaksi Brina yang bisa saja protes akan tindakannya ini.

Tangan kanan laki-laki itu menepuk pelan sekali ke arah kaitan tangan Brina sebelum dirinya beralih untuk menyalakan motornya dan mulai melajukannya meninggalkan area sekolah gadisnya.

Sore ini mereka berdua berkendara tanpa memiliki tujuan arah yang jelas. Fino mengendarai motornya dengan kecepatan sedang memutari kota ini. Brina menyamankan kepalanya pada punggung lebar milik Fino.

Biarkanlah mereka berdua melakukan hal ini. Karena hanya inilah cara yang dilakukan mereka untuk dapat saling menguatkan satu sama lain.

by scndbrr

Flashback.

Sore ini tidak seperti biasanya. Matahari seolah-olah sudah menyembunyikan dirinya dan beralih dengan awan hitam pekat yang mulai menggantung di langit.

Sekarang jam dinding yang ada di ruang tamu pada sebuah rumah kontrakan kecil menunjukkan pukul 5 sore.

Seorang anak laki-laki yang baru saja pulang ke rumah itu setelah menghabiskan waktunya untuk berlatih futsal di luar jam sekolah hari ini mendudukkan dirinya di sofa.

Dirinya sangat keheranan ketika berulang kali memanggil nama adiknya di depan tadi namun tidak kunjung mendapatkan sahutan dari adiknya itu.

Ditambah lagi dengan pintu rumah yang masih dalam keadaan terkunci rapat dan kuncinya itu juga masih berada di bawah pot tanaman bunga anggrek yang tidak jauh dari sana.

Memang sudah menjadi kebiasaan bagi kedua bersaudara itu untuk meletakkan kunci rumah di sana.

Karena mereka berdua bersekolah di tempat yang berbeda, sehingga kemungkinan besar mereka akan menjadi lebih sering pulang terpisah. Tidak tahu siapa yang akan sampai di rumah duluan, entah itu sang kakak ataupun sang adik.

Maka dari itulah mereka berdua memutuskan untuk berbuat demikian, hal itu bertujuan agar dapat mempermudah keduanya.

Kembali lagi, jika tadi anak laki-laki itu menemukan kunci rumah ini masih berada di bawa pot tanaman itu artinya sang adik belum kembali dari sekolahnya bukan?

Dirinya beralih untuk melihat jadwal sekolah adiknya yang terpampang dengan jelas pada dinding kamarnya. Tidak. Tidak ada jadwal tambahan bagi mata pelajaran apapun atau bahkan kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh adiknya itu.

Hari ini, hari Selasa. Seharusnya adiknya itu justru pulang lebih awal karena memang di jadwal tertulis seperti itu.

Entah mengapa rasa khawatir mulai muncul dan membuat pikiran sang kakak menjadi bercabang ke mana-mana.

Jujur, anak laki-laki itu takut. Kali ini dirinya tidak akan kehilangan anggota keluarganya lagi kan?

Keterbatasan ekonomi yang menjulang tinggi dan berubah menjadi pagar yang mengelilinginya, membuat anak laki-laki itu bergegas untuk mendatangi sekolahan adiknya.

Dirinya tidak dapat hanya sekedar bertanya dari rumah, karena anak laki-laki itu tidak memiliki alat komunikasi yang bernama telepon.

Anak laki-laki itu berlari dengan sekuat tenaga dan kekuatan yang masih tersisa di dalam dirinya pada hari ini. Sesungguhnya dirinya sudah sangat lelah, namun firasatnya kali ini kurang baik. Di sepanjang perjalanan, anak laki-laki itu tak henti-hentinya menggumamkan kata, “Vivian pasti baik-baik aja.”

Terdengar bodoh, namun dirinya berusaha untuk mempercayai benar adanya kehadiran sebuah sugesti. Kata orang, jika kita meyakinkan diri kita akan terjadi hal yang baik, maka hal baik itu akan betulan datang.

Maka dari itu, setidaknya biarkanlah sekali ini saja hal baik terjadi kepadanya. Jangan melulu hal buruk yang menimpanya, namun berikanlah suatu hal yang juga dapat menjadi penghiburan bagi dirinya.

Sekali ini saja.


Belum sampai di tempat menuntut ilmu adik tercintanya itu, sang kakak justru dibuat terkejut karena menemukan sosok yang sedang dicarinya dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

Di pinggir jalan yang sangat sepi ini, seorang anak perempuan yang usianya masih muda belia tergeletak begitu saja. Pakaiannya sudah terkoyak dan sekujur tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka yang masih basah.

Dengan langkah yang terseok-seok, sang anak laki-laki berusaha untuk mendekati tubuh anak perempuan itu. Tubuhnya menegang begitu sudah memastikan dengan betul siapa anak perempuan itu.

Dia, adiknya.

Kedua mata anak perempuan itu tertutup tidak sempurna dan suara napasnya terdengar tidak beraturan. Sepertinya dirinya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Tubuhnya ambruk begitu saja ke tanah. Kedua tangannya terulur untuk meraih kepala sang adik dan dengan hati-hati dirinya meletakkannya di pangkuannya.

Anak laki-laki itu meneriaki nama adiknya dengan jeritan pilu dan berusaha untuk meminta pertolongan pada orang lain.

“VIVIAN!” “VIVIAN BANGUN!!” “T-TOLONG!” “SIAPAPUN TOLONGIN A-ADEK SAYA!!”

Namun sayangnya, lingkungan ini sangatlah sepi sehingga pada saat itu tidak terdapat satu pun orang dewasa yang dapat dimintai bantuan olehnya.

Dengan berlinangan air mata dan tangan yang sedikit gemetar, sang kakak berusaha untuk membawa adiknya itu pulang ke rumah kecil mereka.

Kenapa? Itu adalah pertanyaan yang sangat ingin anak laki-laki itu utarakan.

Kenapa selalu saja begini?

Di saat dirinya baru saja bangkit dari keterpurukannya ditinggal selamanya oleh dua orang yang berarti, yang mampu memberikannya kesempatan untuk melihat dunia ini, kenapa datang musibah lainnya?

Musibah baru yang kali ini dirinya sendiri sudah tidak sanggup lagi untuk menghadapinya.

Jika kalian semua lupa, biar diingatkan sekali lagi. Dia, hanya seorang anak laki-laki yang bahkan belum cukup umur untuk dapat memiliki kartu identitas.

Lantas mengapa semesta seolah-olah sangat kejam sekali kepadanya? Memang apa kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lampau sehingga membuat dirinya harus menanggung semua ini?

“B-bang... ...bang H-hasta...”

Panggilan lembut dengan menggunakan suara yang sangat lembah dari sang adik kepada kakaknya itu membuat dirinya berhenti meratapi nasib malangnya.

Atensi dari seorang kakak itu kini hanya tertuju kepada sang adik seluruhnya. Dirinya memang sudah menunggu adiknya ini siuman kemudian dapat menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya.

Setelah mendengar penjelasan dari sang adik yang membuat hatinya teriris-iris, tubuh Hasta memanas. Kedua tangannya terkepal dengan sangat kuat dan napas anak laki-laki itu memburu. Giginya bergemelatuk dan urat-urat lehernya tercetak dengan sangat jelas.

Hasta sedang berusaha untuk dapat menahan emosinya.

Anak laki-laki itu kini sedang sangat marah.

“Narion, Rayyan. Tunggu pembalasan dari gue BRENGSEK!”

by scndbrr

Seorang pemuda tengah berdiri di depan salah satu pintu ruangan pasien rawat inap jangka panjang yang ada di rumah sakit ini. Dirinya hanya terdiam di sana dan terlihat ragu untuk masuk ke dalamnya.

Setelah memantapkan hatinya, akhirnya pemuda itu menggeser sekat yang menjadi penghalang di depannya sekarang ini. Pintu tadi pun terbuka dan menyuguhkan pemandangan yang selalu ia lihat beberapa tahun kebelakang.

Terlihat sosok seorang gadis muda yang sedang duduk di atas brankar dengan pandangan kedua netranya mengarah ke jendela untuk melihat dunia luar.

Tiba-tiba saja rasa sesak menyeruak di dalam dirinya. Matanya memanas dan seketika kedua kakinya melemas seolah kehilangan tumpuan untuk dapat berpijak dengan tegak.

Tidak mau sampai gadis yang menjadi satu-satunya sumber kebahagiannya itu menyadari bahwa dirinya sedang berusaha mati-matian untuk dapat menahan tangisnya, pemuda itu mengalihkan perasaan kalutnya dengan mulai menyapanya dengan lembut.

“Hai, princess! Kamu lagi ngapain?” ucap pemuda itu dengan suaranya yang sedikit bergetar maka dirinya berusaha untuk menyamarkannya dengan berdeham singkat di akhir.

Hening. Tidak ada jawaban dari sang lawan bicara. Tidak apa-apa, karena pemuda itu sudah sangat terbiasa dengan hal ini.

Pemuda itu mengulurkan tangannya dengan hati-hati, berniat untuk menyentuh tangan sang gadis tadi dan menyadarkannya dari lamunannya.

Namun ketika baru saja kulit mereka bersentuhan, gadis tadi langsung berteriak dengan sangat histeris kemudian menangis dengan pilu sambil berusaha untuk menghindari dan menjauhi pemuda tadi.

“J-JANGAN!” “JANGAN S-SENTUH AKU!!” “S-SAYA SALAH!” “SAYA BERJANJI TIDAK AKAN MENYUKAI KAKAK!!” “SAYA J-JANJI KAK, JANGAN PUKUL SAYA LAGI!!!” ucap gadis itu sambil terus mengatupkan kedua tangannya menjadi satu lantas menggosoknya dengan gerakan yang acak.

Dirinya sedang memohon. Memohon ampun untuk sesuatu yang sama sekali bukan menjadi bagian dari kesalahannya.

Pemuda itu panik bukan main ketika melihat sang gadis ternyata mulai kambuh lagi. Sudah beberapa bulan ini dirinya tidak pernah melihat keadaan seseorang yang kini berada di hadapannya dengan keadaan yang sekacau ini. Dirinya pikir dia sudah sembuh, namun ternyata salah.

“Vi, ini aku!” “Adek, ini abang kamu bukan orang brengsek itu!!” “SADAR!” teriak pemuda itu berusaha untuk menyadarkan orang itu.

Bukan. Bukannya pemuda itu sengaja membuat dirinya terlihat sangat kejam dengan meneriaki sesorang yang jelas-jelas sedang ketakutan itu. Namun, hanya inilah satu-satunya cara untuk dapat membuatnya menjadi lebih baik.

Suara teriakan dari gadis itu mulai melemah ketika sang pemuda tadi merengkuh tubuhnya dengan perlahan. Tangannya mengusap lembut punggung sang gadis berusaha untuk memberikan ketenangan kepadanya.

“Gapapa.” “Gapapa sayang, semuanya udah gapapa.” “Sekarang kamu aman sama abang. Udah ya,” bujuk pemuda itu kepada gadis itu yang dibalas oleh anggukan kecil darinya.

Perlahan-lahan kedua mata sang gadis mulai terpejam karena merasakan sebuah kenyaman yang melingkupinya. Sang pemuda yang melihat hal itu hanya bisa menghela napasnya dengan lega.

Dirinya dengan sangat hati-hati menggendong gadis itu ala bridal style dan meletakkannya di ranjang tidurnya kembali. Tadi karena aksinya sendiri yang berusaha untuk menghindari pemuda itu, sang gadis sampai harus terbangun dan turun dari atas brankarnya.

Pemuda itu menatap sendu ke arah wajah gadis di depannya ini. Secara refleks tangannya merapihkan rambut sang gadis yang menutupi wajahnya sendiri.

Dirinya juga mengambil sapu tangan miliknya yang memang selalu ia bawa dan dirinya letakkan di saku belakang celananya untuk mengusap daerah dahi dan pelipis gadis itu yang mengalirkan buliran bening.

Hatinya sangat hancur bahkan hingga berkeping-keping dan sudah tidak dapat lagi diperbaiki ketika melihat satu-satunya sumber kebahagiannya itu seperti tadi.

Dunianya seakan runtuh dan dirinya menjadi orang yang paling gagal di dunia ini untuk dapat menjaga adik kandung perempuannya.

Ketika mengingat kembali siapa yang telah menyebabkan adiknya menjadi menderita seperti ini, rasanya pemuda itu ingin langsung menghabisi orang tersebut tanpa berbasa-basi lagi.

Bogeman mentah tangannya sudah siap untuk didaratkan pada pipi manusia bejat itu yang membuat sumber kebahagiannya ini menjadi rapuh.

Namun sayangnya dunia tidak berpihak kepadanya. Dirinya hanya sendirian di dunia yang kejam dan penuh dengan monster mengerikan bernama manusia beserta tipu daya muslihatnya yang tak kalah akan dapat membuat kita bergidik ngeri.

Setidaknya pemuda itu harus memiliki persiapan dan rencana yang benar-benar matang untuk dapat memberikan pelajaran yang setimpal kepada sang pelaku.

Karena sebetulnya dari awal pun pemuda itu sudah tahu bahwa lawannya bukanlah orang biasa juga sepertinya, melainkan seseorang yang memliki kekuasaan dan bergelimangan harta.

Dirinya bisa apa? Apa yang dapat dilakukan oleh seorang laki-laki yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas? Bagaimana bisa dirinya melawan orang-orang yang masih saja berlindung di balik ketiak orang tuanya itu?

Baginya, mereka adalah pengecut yang berani berbuat namun tidak berani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Adiknya harus menjadi korban dan menanggung trauma berat yang tidak dapat disepelekan begitu saja.

Mental kejiwaannya terganggu sehingga mengharuskannya untuk putus sekolah dan membuatnya terkurung di dalam jeruji luka batin dan fisik yang mendalam bagi dirinya.

Semuanya semakin menjadi ketika mengingat mereka berdua hanyalah sebatang kara di sini. Mereka tidak punya satu pun orang dewasa yang ada di sisinya untuk dapat diandalkan.

Mau tidak mau, suka tidak suka, dan sanggup tidak sanggup sang pemuda yang merupakan kakak kandung dari gadis itu harus siap menjadi tameng baja dapat melindungi adiknya itu.

Namun sayangnya semuanya tidak berjalan dengan mulus sesuai dengan apa yang telah diekspetasikan oleh dirinya. Pemuda itu, gagal dalam menjalankan misinya. Dirinya tidak dapat menjadi sang adik.

Gagal. Gue gagal.

by scndbrr

Sebenarnya kehadiran Brina di taman ini karena adanya rasa terpaksa dalam dirinya.

Dengan berat hati, gadis itu menuruti kemauan Fino untuk bertemu lantaran rasa khawatirnya yang mampu mengalahkan egonya sendiri.

Memang begitulah Brina. Jika hal tersebut menyangkut dengan Fino, maka dirinya tidak akan pernah berpikir dua kali untuk segera bertindak.

Di sinilah Brina dan Fino kini berada. Pada sebuah taman yang ukurannya memang tidaklah terlalu luas, namun tempat itu memiliki sejuta kenangan bagi kedua muda-mudi ini.

Taman yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdua dahulu menimba ilmu ketika masih mengenyam pendidikan pada sekolah dasar.

Taman yang selalu menjadi tempat pelarian bagi mereka berdua ketika suasana hati mereka sedang baik ataupun sebaliknya.

Taman yang menjadi saksi bisu atas kebahagian yang bersemi dan juga sekaligus atas kesedihan mereka berdua yang mendalam.

Mungkin jika ditanya, mereka berdua akan kompak menjawab bahwa taman ini telah menjadi rumah kedua bagi mereka berdua. Atau bahkan justru menjadi rumah pertama mereka?

Setelah hampir lima tahun lebih tidak pernah berkunjung ke taman ini, rasanya ada banyak perubahan yang terjadi di sini.

Mulai dari beberapa fasilitas umum di taman ini yang telah diperbaiki dan dibangun, hingga juga beberapa tata letak bagiannya yang berubah.

Meskipun demikian, namun bagi Brina dan Fino tempat ini masih menjadi tempat ternyaman bagi mereka berdua.

Brina tiba-tiba saja teringat kilas balik memori yang terputar pada otaknya begitu saja, mengingat masa-masa indahnya dengan Fino dulu ketika mereka menghabiskan waktu di taman ini.

Menunggu sang surya yang menenggelamkan dirinya di barat adalah momen favorit mereka berdua.

Jika ditanya mengapa? Dan bukankah saat itu mereka berdua masih terlampau kecil untuk pulang ketika menjelang petang hari.

Jawabannya adalah, karena mereka berdua memiliki satu alasan yang sama. Yaitu, mereka tidak ingin berada di rumah mereka berdua masing-masing.

Karena di dalam bangunan luas tempat tinggal mereka hanya terdapat kesunyian.

Mereka sama-sama kesepian.

Mungkin bagi sebagian orang itu adalah masalah sepele, namun tidak bagi mereka berdua.

Ketika sedang terlarut di dalam lamunannya sendiri, Brina sedikit tersentak lantaran terkejut akan tindakan Fino yang dilakukan secara tiba-tiba.

Laki-laki itu meraih tangan Brina, memiliki tujuan untuk menggenggamya.

Entah mengapa, rasanya dirinya membutuhkan hal itu sekarang. Setidaknya hanya untuk kali ini saja.

Brina menghentakkan tangannya dengan kasar dan langsung menarik tangannya dengan cepat.

Gadis itu berdeham singkat untuk mencairkan suasana yang langsung berubah canggung akibat ulahnya barusan.

Tapi tunggu dulu, bukankah tindakan tiba-tiba Fino tadi yang justru menjadi asal muasalnya?

“Brin,” panggil Fino dengan suara yang terdengar parau.

Gadis yang namanya dipanggil itu menoleh kemudian menatap tepat pada kedua netra Fino yang memancarkan tatapan sendu.

Brina menatap lamat-lamat wajah Fino yang menurutnya menjadi lebih tirus. Dirinya yakin bahwa laki-laki di hadapannya kini telah kehilangan banyak berat badannya.

Tidak hanya itu, Brina juga memperhatikan kantung mata milik Fino yang terlihat membesar dan berwarna hitam. Jika laki-laki itu disandingkan dengan panda, mungkin mereka berdua tidak ada bedanya.

Fino terlihat lelah.

Sangat lelah.

Bukannya mau bersikap sok tahu, namun sepertinya Brina tahu mengapa laki-laki ini begitu bersikeras untuk menemuinya sekarang.

Pasti ini semua ada hubungannya sama keluarganya, batin gadis itu.

“Aku boleh pinjem tangan kamu sebentar nggak?” tanya Fino dengan lembut.

Brina menghela napas pelan kemudian mengulurkan tangannya dan membiarkan laki-laki itu untuk melakukan hal yang diinginkannya.

Posisi mereka berdua sekarang adalah sama-sama sedang duduk pada kursi panjang taman yang terletak di dekat air mancur dan di samping pohon besar dan lampu taman.

Fino menundukkan kepalanya dan tangan kanannya masih setia untuk menggenggam tangan kanan Brina.

Gadis itu tahu bahwa laki-laki ini sedang tidak baik-baik saja.

Dengan ragu-ragu Brina lantas membawa tubuh besar Fino ke dalam dekapannya. Dia berharap pelukan hangatnya dapat membuat laki-laki itu menjadi lebih baik.

Fino sedikit terkejut dan tidak menyangka juka Brina akan mau melakukan hal ini untuknya. Perlakuan yang memang sudah biasanya ia peroleh dari Brina ketika dulu.

Ternyata, Brinanya masih sama.

Dia tidak pernah berubah.

Seketika Fino teringat akan perilaku buruknya belakangan ini yang berbuat semena-mena kepada Brina.

Memang benar jika semuanya dikarenakan kecelakaan tempo lalu, namun tetap saja dirinya sudah menyakiti orang yang sangat ia sayangi.

Posisi wajah Fino yang berada pada ceruk leher Brina membuat gadis itu dapat merasakan hembusan napas hangat dari sana.

Genggaman tangan Fino pada tangan Brina terlepas karena laki-laki itu kini telah melingkarkan kedua tangannya pada pinggang kecil Brina, memeluknya dengan posesif.

Bukanlah baru kali ini Fino dikecewakan oleh ayahnya. Karena mungkin jika dirunut, bisa jadi kali ini mendapat nomor antrean yang ke seratus sekian.

Namun, rasanya masih saja tetap sakit. Fino merasa dirinya tidak dianggap sebagai seorang anak di keluarganya sendiri.

Silahkan jika kalian ingin menyebut Fino sebagai laki-laki lemah yang mentalnya langsung jatuh ketika menghadapi perkara begitu saja.

Semua orang berhak untuk berpendapat bukan?

Mungkin kalian memang tidak tahu apa yang sebenarnya dialami oleh Fino.

Hidup di dalam sebuah keluarga yang selalu dipandang harmonis oleh semua orang bahkan selalu dijadikan keluarga panutan bagi beberapa orang.

Cukup.

Sudah, Fino muak akan semua drama ini.

Beruntungnya, laki-laki itu memiliki sandaran terbaik di dunia ini. Sandaran yang ada untuk menyalurkan ketenangan untuknya. Sandaran yang tidak pernah menyudutkan atau menghakiminya begitu saja.

Dia, bunda Nananya.

Rasanya nyaman sekali ketika dirinya merasakan usapan lembut pada surai miliknya.

Ini yang sangat disukai oleh Fino.

Ini juga lah yang menjadi alasan kuatnya menjadikan Brina sebagai wanita pujaan hatinya.

Perempuan itu, selalu dapat memberikan ketenangan untuknya.

Dimanapun dan kapanpun itu.

Makasih banyak, Na. Aku sayang kamu.

by scndbrr

Sesuai dengan apa yang telah dijanjikan laki-laki pemilik kulit eksotis itu. Sekarang, dirinya ditemani oleh seorang perempuan cantik untuk pergi ke tempat tujuan mereka berdua.

Panti Asuhan Mutiara Ibu, yang terletak di daerah pinggir dari kota metropolitan ini.

Hilarius telah membulatkan tekadnya sebelum dirinya memutuskan untuk melajukan kendaraan roda empatnya menjemput Oryza.

Sejak semalam, perasaan Oryza tidak karuan.

Bagaimana bisa dirinya terlihat biasa saja ketika diajak oleh sang idola untuk menghadiri konsernya secara langsung?

Bukankah ini yang sering dikatakan orang-orang sebagai “kekuatan orang dalam”?

Bahkan orang dalam pada kasusnya sekarang bukan sembarang orang dalam biasa.

Mungkin hal ini dapat dikatakan seperti mendapatkan golden ticket untuk maju ke babak selanjutnya ketika sedang mengikuti kompetisi ajang menyanyi yang sering perempuan itu saksikan pada di televisi miliknya.

Karena itulah, Oryza banyak melakukan persiapan sebelum dirinya berjumpa dengan sang idola yang telah mengisi hatinya tiga tahun ke belakang ini hingga membuat perempuan ini menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk lelaki manapun yang berniat untuk mengetuk dan memasukinya.

Persiapan Oryza sukses membuat Ellena yang berstatus sebagai sahabat dekatnya geleng-geleng kepala melihat tingkah bestienya itu.

Mulai dari memilih pakaian yang akan dikenakan olehnya besok, memilih tas jinjing yang warnanya senada dengan dress yang dipakai, memilih sepatu dengan jenis yang cocok dengan tempat yang akan dikunjunginya esok hari, hingga harus menentukan model rambut dan juga polesan make-up apa yang yang akan membuat wajah cantiknya itu akan terlihat berkali-kali lipat terlihat cantik di mata Hilarius.

Banyak sekali bukan persiapan yang dilakukan olehnya?

Kebiasaan buruk Oryza adalah ketika dirinya meminta pendapat dari orang lain tentang suatu hal, namun pada akhirnya perempuan itu akan memilih pilihan pertamanya.

Entahlah, menurut dirinya pilihan pertama itu selalu yang terbaik. Lantas kalau begitu, mengapa dirinya harus repot-repot bertanya kepada Ellena? Memang aneh.

Setelah sempat membuat kegaduhan pada pagi hari ini dengan kelimpungan mencari keberadaan parfum varian favoritenya, akhirnya Oryza kini telah duduk manis tepat di samping Hilarius yang sedang fokus menyetir.

Saat pertama kali memasuki mobil keluaran negara Bunga Sakura ini, perempuan itu merasa sedikit canggung. Bahkan dirinya pun lupa tidak menyapa manusia lain yang ada di dalamnya selain dirinya.

Hilarius yang menyadari jika Oryza tidak berani menatap langsung pada kedua matanya, terkekeh pelan tanpa mengeluarkan suara. Menurutnya perempuan ini sangat menggemaskan.

Hilarius sesekali melirik ke arah kaca yang terdapat di bagian atas untuk melihat perempuan di sampingnya ini dari ekor matanya.

Laki-laki itu mampu menangkap bayangan tangan Oryza yang tertaut antara satu dengan yang lainnya kemudian dirinya melakukan gerakan meremas di sana.

Gugup.

Perempuan itu terlihat sangat jelas sedang berusaha untuk menekan rasa gugupnya.

Hilarius yang peka akan keadaan di sekitarnya pun menjulurkan tangan kirinya untuk memutar lagu.

Dirinya berharap hal ini akan membuat perempuan yang ada di sebelahnya menjadi sedikit lebih rileks.

“Nyalain lagu, gapapa kan?” tanyanya tanpa menoleh kea rah Oryza sebab dirinya harus tetap fokus memandang jalanan di depannya.

Suara bass milik Hilarius yang masuk ke dalam gendang telingan Oryza dengan sopan sontak mengundang atensi dari perempuan itu.

Karena tak ingin membuat idolanya itu menunggu jawabannya terlalu lama, Oryza langsung menyahutinya, “I-iya, gapapa kok,” ucapnya dengan sedikit terbata karena tiba-tiba saja kerongkongannya menjadi kering sehingga suaranya seperti tercekattidak mau keluar.

Keadaan dirinya yang gugup harus bertambah lantaran kedua netranya melihat seorang Hilarius Kalandra memegang kendali stir mobil hanya dengan menggunakan satu tangan saja.

Laki-laki itu terlihat sangat ber-damage.

Hilarius menyunggingkan senyuman manisnya dengan tipis membuat Oryza harus meremat dress yang digunakan olehnya.

Manis banget senyumannya, batinnya.

Karena tidak terletak di tengah kota, maka mereka berdua membutuhkan kurang lebih 2 jam perjalanan untuk dapat bertemu dengan anak-anak kecil yang ada di Panti Asuhan Mutiara Ibu.

Setelah melewati suasana canggung pada 30 menit ke belakang, akhirnya Oryza terlihat mulai merasa nyaman dan tidak kaku lagi.

Itu semua berkat Hilarius yang tiada hentinya melempari topik pembiacaraan kepada perempuan itu. Sehingga mau tidak mau Oryza harus menanggapinya.

Namun, siapa sangka hal itu justru dapat membuat mereka berdua kini dapat tertawa hingga terbahah-bahak padahal benang merah yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua hanyalah perihal hewan monyet.

“Eh sumpah lo juga pernah ketipu?” tanya Hilarius yang langsung mendapatkan anggukan mantap dari Oryza.

“Iya gila! Gue kan awalnya ga mau tuh ya, soalnya kaya ngapain aja gitu segala foto sama monyet, maksud gue kan bisa monyetnya aja yang kita foto,” jelas Oryza sambil mengerutu dan memperlihatkan wajahnya yang benar-benar terlihat kesal ketika mengingat kejadian itu.

“Terus, terus gimana? Lanjutin dong, gue mau tau modusnya pegawai di sana sama pa engga ke setiap pengunjungnya,” balas Hilarius dengan sorot matanya yang terlihat sangat berbinar-binar tidak sabar mendengarkan kelanjutan kisah dari perempuan yang duduk di samping itu.

“Ya pokoknya gue kaya dikasih makanannya si monkey itu, terus tiba-tiba bapaknya bilang gini, ‘Hadap ke kamera sini mbak, 1 2 3, cekrek, udah deh kefoto, terus langsung dibilangin disuruh nebus pas di pintu keluarnya,” jelas Oryza sambil mempraktekkan secara langsung dengan gerakan tubuhnya yang semakin membuat ceritanya barusan terdengar sangat nyata bagi Hilarus.

Pria itu bahkan dapat membayangkannya sekarang.

“Wah iya? Parah, parah sama persis njir kaya gue dulu.” Suara cekikikan yang keluar dari mulur dua insan itu memenuhi setiap sudut ruangan pada mobil ini.

Tanpa Oryza sadari ternyata kendaraan yang dinaikinya baru saja terpakir dengan manis di sebuah pekarangan yang tidak luas yang dikelilingi oleh berbagai macam jenis tanaman yang membuat tempat ini terlihat asri dan terasa sangat sejuk.

“Yuk turun, kita udah sampe,” ajak Hilarius menyadarkan lamunan Oryza barusan yang sedang mengagumi pemandangan di sisi kaca sebelahnya.

Perempuan itu lantas bergegas untuk melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuh depannya, kemudian beranjak keluar dari mobil mengekori Hilarius yang berjalan di depannya.

Laki-laki itu tampaknya menyadari ketertinggalan Oryza di belakangnya dikarenakan Langkah besar yang diambil oleh dirinya.

Hilarius berhenti sejenak hingga membuat Oryza menatapnya dengan tatapan bingung sambil mengerutkan keningnya menyiratkan dirinya bertanya menagapa laki-laki itu tiba-tiba berhenti.

Tanpa berbasa-basi lagi, Hilarius mengambil tangan kanan Oryza yang menganggur dan menggenggamnya dengan pelan. Laki-laki mempersempit Langkah kaki jenjangnya berusaha untuk mengimbangi Langkah perempuan yang ada di sebelahnya.

Jantung Oryza rasanya sudah mau lompat ke perut. Debarannya organ inti kehidupannya berdebar begitu keras ketika merasakan kehangatan yang mejalar pada telapak tangannya.

Perempuan itu tidak dapat menyembunyikan semburat merah muda yang merona begitu saja pada kedua pipinya.

Dirinya mengulum bibirnya ke dalam menahan bibirnya agar ujungnya tidak tertarik ke atas dan menghasilkan lengkungan manis yang terpatri di sana.

Kehadiran Hilarius dan Oryza disambut dengan ramah oleh ibu pengurus panti asuhan ini dan juga oleh anak-anak di sini.

Anak-anak ini tampaknya sudah sangat akrab dengan Hilarius terbukti dengan mereka yang tidak segan-segan merentangkan kedua tangannya dan langsung mendekap tubuh Hilarius begitu saja.

Hal itu membuat tautan pada tangan mereka berdua terlepas.

“Kak Hil, perempuan itu siapa?” tanya dari seorang bocah laki-laki yang kini sedang digendong oleh Hilarius.

Kedua netra laki-laki itu mengikuti arah tunjuk dari bocah tadi yang diketahui beranama Bastian. “Dia?” tanya Hilarius kepada Batian untuk memastikan pertanyaan bocah itu.

Bastian menganggukkan kepala berkali-kali untuk menjawab pertanyaan dari Hilarius.

“Kakak itu namanya kak Oryza… …calon pacar kak Hilar,”

Deg.

Apa?

Bisa diulangi sekali lagi?

Hilarius tidak sedang salah bicara kan?

Oryza mengerjapkan kedua matanya berkali-kali dengan lucu dan tiba-tiba saja perempuan itu mengalami cegukan.

Hilarius yang menatapnya buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain lantaran merasa teralu gemas dengan perempuan itu.


Kegiatan Hilarius di panti asuhan pada hari ini berjalan dengan lancar. Ditambah lagi dengan kehadiran Oryza di sisinya membuat semuanya menjadi sempurna.

Apalagi jika laki-laki melihat kembali kilas balik kejadian yang baru saja dialaminya.

Flashback beberapa jam yang lalu.

Di depan sana, Hilarius sedang memainkan gitar akustik. Tangannya terlihat lincah dan tidak kesulitan memetik dawai yang terbentang pada badan gitar hingga memunculkan harmonisasi yang apik.

Laki-laki itu memadukan suara merdunya dengan permainan gitarnya yang sukses menghibur semua anak-anak yang ada di sini.

Ketika telah selesai membawakan lagu permintaan salah satu dari anak panti, suara riuh yang dihasilkan dari benturan antar kulit telapak tangan penonton terdengar meriah.

“KEREN!”

“KAK HIL HEBAT BANGET!!”

“MANTAP, GA ADA OBAT DAH KAKAK KITA SEMUA!!!”

Begitulah kira-kira suara-suara dari penonton yang melontarkan berbagai pujian atas penampilan Hilarius.

Hilarius beristirahat sejenak sambil meneguk air mineral untuk membasasi kengkongannya yang terasa kering itu. Kedua netranya tidak terlepas mengamati setiap pergerakan yang dilakukan Oryza.

Oryza tahu jika permainan itu adalah permainan terakhir Hilarius di sini. Dirinya bersiap untuk membereskan barang-barang pribadinya karena tadi laki-laki berkata akan pulang setelah mempersembahkan penampilannya di sini.

“Aku mau bawain satu lagu lagi,” celetuk Hilarius tiba-tiba membuat Oryza kembali memusatkan perhatiannya kepada pria itu.

Hilarius tersenyum singkat lalu kembali duduk dan mengambil gitarnya.

Hilarius memilih lagu Better Than Better Could Ever Be – Stephen Jerzak & Cady Groves.

”...Girl, you’re my sun shiny day, you’d take my life away, if you ever wanted to go...”

Kalimat itu dengan sengaja Hilarius berikan penekanan di sana. Dirinya berharap perempuan yang disukainya menyadari maksud dari perasaan yang terpendam di dalam dirinya itu.

by scndbrr