scndbrr

TW // Bullying TW // Physical Abuse CW // Cigarettes CW // Harsh Word

Flashback.

Di dalam sebuah ruangan sempit dan sesak dengan penerangan yang terlampau minim ini, seorang gadis muda tergeletak begitu saja di lantai yang tidak berkeramik.

Kondisi gadis itu terlihat sangat berantakan hingga tak karuan. Seragam putih biru yang digunakannya tampak kusut dan terdapat beberapa bagian yang telah terkoyak.

Surai panjang berwarna hitam pekat yang sebelumnya telah diikat rapi oleh tali rambut miliknya, kini telah kusut dan menjuntai ke mana-mana dengan tidak rapi.

Lebam berwarna biru keunguan yang bertebaran di sekujur tubuhnya terlihat sangat kontras dengan warna kulit gadis itu yang seputih susu.

Tidak hanya itu, namun juga terdapat luka gores baik yang masih basah maupun yang sudah kering seiring berjalannya waktu juga tak mau kalah mengukir pada badan gadis itu.

Ditambah dengan wajah bengkak dan mata sembabnya yang begitu kentara menambah kesan prihatin bagi siapapun yang melihat keadaan gadis itu sekarang.

Byur.

Gadis itu tersentak kaget begitu air dingin yang memiliki bau tak sedap membasahi tubuhnya yang sudah tak berdaya lagi.

Dirinya mengerjapkan kedua matanya berulang kali, berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netranya.

Dengan gerakan lemah, dirinya berusaha untuk menelisik seluruh isi gudang milik sekolahnya itu. Kedua matanya sontak menyipit begitu pandangannya menangkap bayangan dua sosok yang membuat tubuhnya kini bergetar menahan rasa takut.

Kedua sosok itu adalah dua pemuda yang berstatus sebagai kakak kelasnya di sekolah menengah ini.

Karena merasa sedang diperhatikan, salah satu dari kedua laki-laki itu menoleh ke arahnya dan mengeluarkan smirk yang mengerikan begitu mendapati mangsanya telah sadar kembali.

Gadis itu beringsut dan menundukkan kepalanya dalam-dalam lantaran tidak berani menatap kedua laki-laki yang sedang duduk santai tidak jauh darinya.

Laki-laki tadi yang tidak menoleh ke arahnya kini berjalan mendekat ke arah gadis itu. Dirinya meninggalkan sobat karibnya yang terlihat sedang berusaha untuk menyulut sebatang nikotin untuk dihisapnya.

Gadis itu menutup kedua matanya erat-erat begitu dirinya merasakan cengkeraman yang begitu kuat pada tulang kedua selangkanya. Itu ulah laki-laki tadi.

“Shhh,” terdengar erangan lirih yang keluar dari mulut kecil gadis itu.

Dirinya kesakitan.

Lagi-lagi, sang pelaku mencetak senyum kemenangan melihat keadaan korbannya.

Laki-laki itu melepaskan cengkeraman yang diperbuat oleh tangan kanannya dan beralih untuk manarik kasar dagu gadis itu, membiarkan tangan kirinya yang masih terus memberikan tekanan pada pundak ringkih gadis itu.

Cairan bening yang sudah mati-matian dirinya tahan akhirnya lolos begitu saja dan meluncur ke bawah membasahi kedua pipi putihnya yang mulus.

Terdengar suara tertawa mengejek dari laki-laki itu, “Ga usah nangis, anjing! Katanya mau main-main sama kita?” ucap laki-laki itu kemudian memberikan tatapan meremehkan kepadanya.

Gadis itu tercekat, rasanya dirinya sangat sulit untuk bernapas sekarang. Bahkan untuk meneguk salivanya saja dirinya tidak mampu.

Tiba-tiba usapan lembut yang menyapu pipinya sedikit membuatnya tertegun dalam beberapa saat, sebelum akhirnya kulit kepalanya merasakan perih yang teramat ketika surainya ditarik kasar oleh laki-laki tadi.

“LO GA PUNYA KACA YA DI RUMAH?! LO EMANG SIAPA BANGSAT, BISA-BISANYA SUKA SAMA TEMEN GUE!” bentak laki-laki dengan nada suara yang meninggi tepat di depan wajah sang gadis.

Isakan tangis yang sudah tidak dapat ia tahan akhirnya pecah begitu saja. Tangannya berusaha untuk melepaskan cengkeraman pada surainya yang dapat ia bayangkan mungkin kulit kepalanya sudah ikut terkelupas.

Sakit sekali.

Di sisi lain, laki-laki lain yang sejak tadi hanya mengamati saja lantaran sedang asik mengepulkan asap dari lintingan kertas yang dibakar bangkit berdiri dan ikut mendekat ke arah mereka.

Wajah rupawan yang terlihat datar dari laki-laki itu menatap tidak minat ke arah gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan yang nanar.

Terlihat jelas dari tatapan gadis itu yang memohon agar laki-laki ini berbaik hati kepadanya dan mau melepaskan dirinya sekarang juga.

Namun sayangnya bukan memberikan bantuan kepadanya, laki-laki tadi justru memutuskan kontak mata mereka duluan dan memalingkan wajahnya ke arah lain begitu saja.

Laki-laki yang masih setia menarik surai panjang gadis itu dengan keras kemudian memutuskan untuk melepaskan tangannya dari sana.

Jika kalian semua berpikiran bahwa laki-laki itu akan mengakhiri siksaan kejamnya pada gadis itu, maka jawabannya adalah salah. Karena laki-laki itu justru sedang bersiap untuk melakukan hal yang lain.

Tangan kanannya terangkat ke udara kemudian dihempaskan olehnya kuat-kuat untuk menghantam pipi gadis itu.

Plak.

Suara benturan yang dihasilkan antara kulit telapak tangan laki-laki itu dengan kulit pipi sang gadis terdengar sangat nyaring lantaran kerasnya tamparan tadi.

“Ahkk s-sakit!!” teriak gadis itu sambil memegangi pipinya yang sudah memeraha akibat perbuatan kasar dari laki-laki tadi. Bahkan kini terlihat dengan jelas cetakan tangan di sana.

Laki-laki yang memalingkan wajahnya tadi kembali menatap gadis itu. Kali ini terdapat tatapan teduh karena memiliki sedikit rasa kasihan dan prihatin kepadanya.

Dirinya menarik paksa temannya yang baru saja memukul gadis itu. Tangannya terulur untuk merapikan anakan rambut di sekitar dahi gadis itu yang sudah bercampur dengan keringat.

Karena merasa aneh, gadis itu mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang sedang berlutut di hadapannya kini.

Dengan tatapan memburan yang disebabkan oleh genangan air mata yang bersarang pada kedua pelupuk mata gadis itu, dirinya berusaha untuk menatap laki-laki itu.

“Pintar, buka matanya gitu dong. Kan jadi keliatan cantik,” ujar laki-laki itu sambil menyunggingkan senyum manisnya.

Sebut saja gadis itu bodoh lantaran masih sempat-sempatnya dirinya merasa berdebar ketika melihat lengkungan yang terpatri pada bibir laki-laki di depannya ini.

Ketika masih terlarut di dalam rasa kekagumannya akan makhluk ciptaan Tuhan yang sangat sempurna ini, gadis itu tiba-tiba kembali mengadu kesakitan.

“P-panashh kakk!” “SAKIT!!” “AHHKKK SAKIT BANGET!!!” “K-kak Narion lepasin aku!”

Racau gadis itu berusaha untuk menarik lengan tangan kanannya yang sedang ditekan-tekan menggunakan rokok yang masih terbakar.

Gila.

Apa yang mereka berdua lakukan terhadap gadis itu adalah hal gila.


Flashback End.

Narion dan Rayyan sudah berada di tempat yang telah mereka berdua sepakati untuk bertemu sekarang sejak kurang lebih 30 menit yang lalu.

Namun, hingga detik ini tidak ada yang berniat untuk membuka mulutnya dan memulai percakapan di antara mereka berdua.

Entah karena merasa canggung karena sudah lama tidak berjumpa satu sama lain atau karena ada suatu hal lain yang merupakan kelemahan mereka berdua.

Yang pasti, pertemuan kembali mereka berdua ini tidak membuat kedua belah pihak menjadi senang.

Setelah mempertimbangkannya cukup lama, akhirnya Narion mengalah terlebih dahulu kali ini. “Brina beneran adek tiri lo?” tanyanya to the point. Laki-laki itu memang terkenal tidak terlalu suka basa-basi yang justru akan berakhir basi.

Rayyan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan teman lamanya itu. Kedua netranya memperhatikan wajah Narion dengan lamat-lamat. Ternyata sudha cukup lama mereka berdua tidak bertemu.

“Lo suka sama Brina?” tanya balik Rayyan yang sukses membuat Narion menatap lurus arah kedua matanya.

Bukannya menjawa pertanyaan yag telah dilontarkan oleh Rayyan, Narion justru mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat mereka seakan-akan kembali membuka luka lama.

“Cewe itu sekarang gimana?”

Deg.

Mengapa dia bisa menanyakan tentang hal itu dengan mudah? batin Rayyan.

Rayyan menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum menjawab pertanyaan Narion. “Gue ga tau. Terakhir ketemu yang pas waktu kejadian itu,” jawab Rayyan dengan jujujur karena memang begitu kenyataannya. Rayyan tidak pernah bertemu dengan Vivi lagi.

“Iya itu semua salah gue. Bukan salah lo,” ucapan Narion yang sangat tiba-tiba ini membuat Rayyan bergeming.

Apa maksudnya?

Karena tidak kunjung mendapat balasan dari orang yang sedang diajaknya berbincang, maka Narion memutuskan untuk melanjutkan ucapannya tadi.

“Emang lo juga salah. Lo ga bisa ngelak itu. Tapi...

Rayyan menatap Narion dengan sungguh-sungguh menanti kalimat lanjutan dari mulut laki-laki itu.

...Yang bikin dia kaya gitu gue. Jadi yang salah di sini gue.”

Rayyan sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja dirinya dengar. Bagaimana bisa teman lamanya ini mengakuinya begitu saja? Bukankah dulu dirinya terlihat sangat kekeh merasa tidak bersalah?

Mungkin dirinya sekarang sudah berubah. batinnya.

Rayyan menggelengkan kepalanya dan berdeham pelan untuk membuat fokus Narion kembali kepadanya lagi.

“Lo tenang aja. Semuanya udah selesai,” ucap Rayyan meyakinkan Narion bahwa mereka sekarang sudah aman. Tidak akan ada yang mengetahui soal kejadian di masa lalu mereka.

Setidaknya untuk sekarang, mereka bisa hidup dengan tenang. Beda lagi urusannya dengan esok hari. Tidak ada yang bisa memprediksinya bukan?

Terlebih mereka juga tampaknya melupakan satu hal ini. Hal yang sangat penting. Kunci dari semuanya.

Sang korban.

Bukankah sang korban dari mereka masih dapat mengingat dengan jelas perlakukan buruk mereka kepadanya kala itu?

Vivi.

Siapa dia dan di mana dia sekarang?

Apakah dirinya memiliki hubungan dengan Fino dan Brina juga?

by scndbrr

Flashback.

Muak.

Anak perempuan yang masih kecil itu sudah tidak tahan lagi untuk menjadi saksi dari adu mulut dari kedua orang tuanya yang sama-sama egois.

Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan putri semata wayang mereka berdua yang harus menutup telinga rapat-rapat ketika suara benda yang melayang bersahutan dengan nada tinggi dari kedua orang dewasa itu.

Katanya sih sudah dewasa, namun kelakuan mereka berdua tidak mencerminkan hal tersebut. Mungkin jika dibandingkan, anak mereka justru akan terlihat lebih dewasa di sini.

Jika mereka berpikiran bahwa putri mereka masih kecil sehingga hal yang mereka perbuat saat ini tidak akan membuat anak tersebut terluka, jawabannya adalah salah.

Pernah dengar penjelasan dari para ahli yang menjelaskan bahwa ingatan dari masa kanak-kanak seseorang justru akan membekas lebih lama daripada ingatan mereka yang lainnya.

Dan itulah yang Brina rasakan.

Dirinya lelah, bahkan sangat terlampau lelah.

Entah dari mana harus mulai menceritakan kisah kelam keluarganya.

Yang pasti sejak di malam itu, hari-hari Brina yang awalnya berisikan ketenangan karena kesibukan tuntutan pekerjaan orang tuanya masing-masing, langsung berubah diisi oleh suara-suara pertengkaran mereka mereka berdua.

Mengapa dikatakan jika hari-hari yang Brina lalui memang selalu tenang sejak awal? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kedua orang tua dari anak perempuan itu memiliki watak gila kerja yang sama.

Mereka berdua terbiasa bangun pagi-pagi buta dan kembali ketika matahari sudah tenggelam. Tentu saja hal itu membuat mereka tidak dapat berjumpa dengan Brina.

Satu-satunya hal yang seharusnya membuat Hari dan Sania menyesal hingga detik ini, adalah ketika kedua orang itu tidak dapat melihat putri semata wayangnya itu tumbuh.

Namun, jika Brina disuruh memilih menjalani harinya dengan rasa sepi dan sunyi yang menggerogotinya atau menjalani harinya dengan rasa sakit dan takut melihat kedua orang yang ia sayangi beradu argumen, maka dapat dipastikan Brina pasti akan memilih yang pertama.

Tidak apa jika dirinya harus merasakan seolah-olah tidak mempunya orang tua, ketimbang dirinya harus mendengarkan sumpah serapa yang keluar dari mulut kedua orang tuanya yang saling menyerang satu sama lain.

Karena percayalah, itu semua lebih sakit.

Brina tidak tahu siapa yang salah di sini. Apakah papanya? Atau justru mamanya?

Anak perempuan yang usianya bahkan belum genap 10 tahun itu lebih memilih untuk menaruh kepercayaan kepada mamanya karena sebetulnya Brina lebih dekat dengan Sania ketimbang dengan Hari.

Ditambah lagi dengan fakta yang tidak dapat Hari elak lagi. Pria dewasa itu sering kali kelepasan dengan menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya ketika sedang bersitegang dengan Sania.

Hal itu membuat Brina menarik kesimpulan dengan pasti bahwa papanya-lah yang bersalah di sini.

Sakit.

Hari merasakan hatinya hancur berkeping-keping ketika putri semata wayangnya yang amat dirinya sayangi itu mendeklarikan pernyataan kekecewaannya kepada dirinya.

Bukan ini yang dirinya mau. Bukan ini juga yang seharusnya terjadi.

Ingin sekali pria itu menjelaskan semuanya dengan gamblang kepada Brina tanpa menutup-nutupinya. Namun sayangnya, sosok ayah telah melekat dengan sangat kuat pada dirinya.

Hari memilih untuk bungkam.

Bukan karena pria itu terlalu malas untuk memberikan pernyataan pembelaannya, namun dirinya hanya tidak mau jika nanti justru putrinya ikut terluka karenanya.

Sudah cukup.

Biarkan dirinya saja yang terluka, putri kecilnya jangan sampai.

Hari berharap agar suatu saat Brina mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Tapi jika boleh, dirinya juga lebih berharap lagi Brina melupakannya dan tidak mengingatnya lagi.

Karena jika putrinya itu tahu apa alasan dari pria itu yang bertindak keras kepada istrinya, Brina akan semakin sakit.


“Halo sayang? Kamu apa kabar?” sapa Sania begitu panggilan suaranya telah tersambung dengan seseorang di sana. Wanita itu kini tengah bertelepon di balkon ruang santai keluarga.

”...”

Sania menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum kembali berbicara,“Ih aku kesel banget deh sama si Hari. Dia itu drama banget tau ga sih!” ucapnya sambil memainkan gelas piala berisi alkohol dengan memutar-mutarkannya secara perlahan.

”...”

“Padahalkan gampang, dia tinggal ceraiin aku aja, ngapain dibuat ribet gini coba?!” suara Sania meninggi karena dirinya merasa kesal ketika mulai membahas tentang topik ini.

Wanita itu menyibak surainya ke arah yang berlawanan kemudian berbalik badan dengan kepala yang menunduk memperhatikan tangannya yang membenahi piyama berbahan satin miliknya.

”...”

Sambil mendengarkan penuturan sesorang di seberang sana, Sania masih belum mengangkat kepalanya dan masih sibuk dengan piyamanya yang berbahan satin itu.

”...”

“Iya deh mending gitu aja. Cuma bisa nunggu sih aku mah bener kata kamu. Kalau gitu udah dulu ya sayang, selamat malam, selamat tidur. Jangan lupa mimpiin aku nanti, I love you!

Deg.

Sania terkejut bukan main begitu menatap lurus ke depan dan mendapati Brina, putri kecilnya itu sedang menatapnya dengan tatapan yang memancarkan kekecewaan mendalam.

Hening.

Selama beberapa saat, ibu dan anak itu hanya saling memaku tatap satu sama lain. Tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut mereka. Mereka memilih untuk menutup mulu masing-masing dengan rapat.

Sebenarnya wajah Brina juga tidak kalah terkejutnya dengan Sania, bahkan anak kecil itu tadi sempat membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf o dan menutupnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya sendiri.

Bagaimana bisa?

Bukankah selama ini penjahatnya adalah papanya? Lantas apa ini? Maksud dari perkataan mamanya barusan kepada orang yang ditelpon dengannya tadi itu apa?

Apakah satu kata yang terus saja berputar-putar di dalam kepala Brina adalah jawabannya?

Tidak.

Hanya dengan membayangkannya saja Brina sudah tidak mampu. Namun, bukankah hal yang dilihat dan didengarkannya barusan itu sudah dapat menjelaskan semuanya?

Selingkuh.

Sania bermain di belakang Hari.

Brina kehilangan kemampuannya untuk berbicara lagi. Dirinya yang masih kecil saja sudah dapat mencerna hal itu dengan sangat baik.

Jadi ini adalah alasan dari keributan yang selalu diperdebatkan oelh merek berdua?

Karena hadirnya orang ketiga di dalam hubungan yang dibina oleh kedua orang tuanya?

“Pantesan,” celetuk Brina tiba-tiba yang membuat Sania menatapnya dengan perasaan yang sudah kalut.

Sania berusaha untuk berjalan mendekati putrinya, namun Brina mengangkat salah satu tangannya mengisyaratkan agar mamanya itu tetap diam di tempatnya berpijak sekarang.

“Mama jahat,” lirih Brina lagi disusul oleh air matanya yang meluncur begitu mulus pada pipi putihnya.

Sania menggelengkan kepalanya dengan ribut dan menggigit belah bibir bawahnya kuat-kuat. Hatinya ikut berdenyut nyeri begitu melihat pertahan putrinya yang hancur.

Brina mengusap air matanya yang berlinangan dengan kasar kemudian berusaha untuk mentralkan napasnya yang sedikit terengah-engah.

Anak perempuan itu menatap sosok ibu di depannya ini dengan tatapan nyalang yang menyiratkan semua amarahnya. “Papah terlalu buat Mamah! Brina benci sama Mamah!”

Setelah mengutarakan hal itu, Brina berbalik dan berlari menuju ke kamarnya. Anak perempuan itu menutup pintu ruangan pribadi miliknya dengan kasar kemudian menguncinya dari dalam.

Sania tiba-tiba saja merasakan bahwa dirinya seakan-akan kehilangan keseimbangannya. Dirinya luruh begitu saja.

Bukankah dia sudah melakukan hal ini dengan lama?

Bukankah ketika menyadari bahwa suami sahnya itu mengetahui kelakuannya ini, dirinya tidak peduli?

Lantas mengapa ketika dipergoki secara langsung oleh putrinya, ada rasa sesal yang menyerbu ruang pada rongga dadanya?

Bahkan rasanya sangatlah sesak.

Entah mengapa dirinya merasa menyesal.

Menyesal telah melukai putri semata wayangnya itu sendiri.

Dirinya sendiri yang telah melukainya, bukan orang lain, namun dirinya-lah sendiri.

by scndbrr

Dua laki-laki itu terdiam, larut di dalam keheningan yang mereka berdua ciptakan masing-masing.

Diantara mereka tampaknya tidak ada yang memiliki niatan untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang ini, bahkan hingga membuat temperatur suhu di sekitar mereka seakan-akan meningkat drastis.

Setelah kesunyian menyelimuti mereka cukup lama, akhirnya suara dehaman dari Rayyan yang menggema di dalam ruangan pribadinya menjadi awal mula percakapannya dengan Fino

Ekhem.

Fino yang pada awalnya menundukkan kepalanya pun langsung menoleh ke arah sahabatnya itu begitu mendapatkan sinyal bahwa sahabatnya ini akan mulai berbicara.

“Iya,” ucap Rayyan tiba-tiba sambil menatap Fino.

Fino yang masih belum dapat menangkap konteks dari maksud konfirmasi Rayyan barusan menaikkan kedua alisnya menyiratkan bahwa dirinya tidak memahami arah pembicaraan ini.

Bohong.

Sudah jelas jika Fino mengetahui artinya.

Laki-laki itu hanya ingin memastikan sekali lagi fakta mengejutkan yang ia ketahui pada hari ini.

Itu saja.

“Iya, bener. Brina itu adek tiri gue,” jelas Rayyan kemudian bangkit dari posisi duduknya dan dirinya beralih untuk membelakangi Fino.

Fino tidak langsung menanggapi perkataan Rayyan barusan. Laki-laki itu justru mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Terdapat juga kerutan dalam pada dahinya yang terpampang dengan sangat jelas.

”...”

“Lo, serius?” tanya Fino dengan suara yang amat pelan hingga hampir tak terdengar oleh Rayyan.

Rayyan membalikkan badannya untuk menatap Fino sekilas, kemudian dirinya mengusak surainya yang sudah mulai panjang itu dengan kasar.

Sebelum menjawab pertanyaan retorik dari sahabatnya ini, Rayyan sempat berusaha untuk menenangkan dirinya yang entah mengapa tiba-tiba menjadi emosi sekarang.

“Nyokap... Ehm maksud gue, mami sendiri yang ngasih tau.”

Tidak ada jawaban apa-apa dari Fino. Laki-laki itu terlihat terkejut bukan main dengan kenyataan ini. Meskipun dirinya masih belum dapat mengingat Brina, namun mengetahui suatu hal penting tentang kehidupan perempuan itu membuat hati Fino sedikit menghangat.

Fino juga tidak tahu apa arti dari semua perasaan anehnya saat ini.

Karena tak kunjung mendapatkan reaksi dari lawan bicaranya, Rayyan berniat untuk melanjutkan perkataannya. Laki-laki itu terlihat ingin mengungkapkan semua hal yang ada di isi otaknya sekarang.

Semuanya itu, berkaitan dengan Brina...

...dan sudah pasti juga dengan Fino.

Setelah menghirup udara dan mengeluarkannya dengan rileks berulang kali, Rayyan akhirnya mengutarakan seluruh pemikirannya kepada Fino.

“Fin, gue mau ngomong. Jujur gue ga terlalu tau tentang sejarah lo sama Brina itu gimana. Gue cuma tau kalo Brina itu first love lo dan kalian ketemu pas waktu masih SD. Udah itu aja. Gue ga tau lebih dalem lagi, karna lo ga pernah cerita selain tentang tadi.”

Fino terdiam, berusaha untuk memusatkan seluruh atensinya kepada sahabatnya yang kini berdiri di hadapannya.

“Iya, gue ngerti kok. Ga ada di dunia ini yang mau buat ngalamin kecelakaan. Apalagi kecelakaan parah kaya lo sampe bisa bikin lo hilang ingatan. Lo ga salah, gue paham. Tapi...” Rayyan berhenti sejenak untuk menetralkan deru napasnya yang mulai terdengar tidak beraturan. Rasa sesak tiba-tiba saja menggerogoti laki-laki itu.

Fino masih setia untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Dirinya juga tidak menatap ke arah kedua netra Rayyan yang justru terlihat sedang memandanginya dengan intens.

Meskipun ucapan sahabatnya ini terjeda, Fino masih saja tidak berniat untuk mengeluarkan barang satu patah kata pun, bahkan sekedar untuk menanyakan mengapa laki-laki itu berhenti berbicara pun tidak.

Dirinya hanya berusaha sabar untuk menunggu lanjutan rangkaian kata-kata yang akan kembali dituturkan oleh sahabatnya itu.

”...Tapi sekarang beda Fin. Gue ga bisa mentolerir sikap lo lagi. Kalo gue boleh ngomong jujur sama lo, selama beberapa hari ke belakang ini, perlakuan lo ke Brina udah cukup keterlaluan. Ga seharusnya lo kaya gitu ke dia. Apalagi kalo lo inget dia itu siapa.” Rayyan sengaja menegaskan kalimat terkhirnya dengan jelas membuat Fino tercekat.

“Dia adek gue, jangan lo sakitin!” seru Rayyan menambahkan lagi.

Kepingan-kepingan memori yang acak tiba-tiba saja memenuhi kepala Fino.

Di sana, Fino dapat melihat dengan jelas wajah cantik Brina yang sedang tersenyum dengan sangat manis ke arahnya.

Fino merasakan denyuta nyeri pada kepalanya sehingga kedua tangan besarnya terulur untuk memegangi kepalanya sendiri.

Rayyan yang melihat perubahan ekspresi datar Fino tadi menjadi seperti orang sedang amat kesakitan juga ikut panik. Dirinya melupakan sejenak rasa kesalnya kepada sahabatnya ini yang telah memperlakukan adik tirinya dengan tidak baik.

“Fin? Fino, lo kenapa? Lo gapapa kan?” Rayyan kesulitan untuk menghentikan tangan Fino yang sedang berusaha untuk mencengkeram rambutnya dengan kuat-kuat.

“S-sakit anjing!”

“Gua juga pengen bisa inget semuanya, tapi gua belum bisa!”

“Ga segampang itu buat percaya tentang yang kalian omongin soal Brina ke gua!”

Fino terus saja meracau tidak jelas sambil juga diiringi dengan umpatannya.

Rayyan juga tidak tega melihat kondisi Fino yang seperti sekarang ini. Namun, satu-satunya yang dapat membuat sahabatnya itu mendapatkan kembali ingatannya hanyalah dirinya sendiri.

Tekad yang kuat pastilah akan membuahkan hasil yang baik.

Seharusnya Fino menyadari slogan itu sejak awal. Bukannya mudah termakan dengan hasutan licik dari Najla, perempuan yang bahkan tidak ia ketahui kehadirannya sebelumnya.

Atau justru bukan dari situ hal ini terjadi?

Apakah semuanya bermula dari orang itu?

Orang yang sepertinya memiliki dendam besar kepada Fino hingga berniat untuk merampas semua hal yang ada di sisi laki-laki itu.

Sekarang jalan keluar satu-satunya adalah Fino harus segera dapat mengingat kembali memori-memori yang terjerembab di dalam labirin pikirannya.

Karena hanya dengan begitulah semua teka-teki yang rumpang ini akan dapat terpecahkan.

by scndbrr

Tanpa berlama-lama lagi, Fino langsung menyambar kunci motornya yang tergeletak begitu saja di atas meja cafe. Setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Rayyan barusan, laki-laki itu rasanya ingin bergegas bertemu dengan sahabatnya itu.

Laki-laki itu terlihat tergesa-gesa keluar dari cafe tempatnya dan Najla tengah menikmati waktu weekend mereka berdua. Bahkan, Fino pun telah melupakan eksistensi Najla di sana dengan pergi tanpa berpamitan dengannya.

Najla yang sejak tadi terus saja meneriaki nama Fino akhirnya menyerah setelah laki-laki itu perlahan mulai menghilang dari pandangan kedua matanya.

“Sialan!” gerutu Najla tak kuasa untuk menahan umpatannya.

Entah mengapa, namun perasaan perempuan licik itu menjadi tidak enak. Pasalnya Najla sesungguhnya sudah tahu alasan dari ketidakfokusan Fino ketika sedang bersamanya tadi.

Notifikasi pesan yang dikirimkan oleh Brina melalui fitur dm twitter kepada Fino tidak sengaja terlihat oleh dirinya.

Najla berusaha untuk tetap tenang, karena perempuan itu tahu jika Fino masih belum mendapatkan ingatannya yang hilang. Sehingga menurutnya dia tidak perlu menjadi terlalu ketakutan seperti sekarang.

Meskipun demikian, tetap saja masih terbesit rasa gundah ketika memikirkan kebohongan yang telah dirancang dengan apik olehnya akan runtuh begitu saja. Tentu ini semua hanyalah masalah waktu saja.

Najla tahu betul akan hal itu.

Perempuan itu mencengkeram kuat-kuat rambutnya sendiri lantas menghempaskan dengan kasar pada detik yang berikutnya.

Jemari lentiknya bergerak untuk mengambil ponselnya yang berada di dalam sling bagnya, kemudian dirinya mencari kontak seseorang di sana dan melakukan panggilan dengan orang tersebut.

M.

“Ngapain lo telfon gue?” suara bass milik laki-laki yang ada di seberang sana menyambut indera pendengaran Najla begitu panggilan darinya dijawab oleh sang penerima.

Najla meneguk salivanya dengan susah payah. Lidahnya tiba-tiba menjadi kelu untuk mengutarakan rangkaian kata-kata yang sudah tersusun rapi di dalam otaknya.

“Halo? Na, halo? Lo ada di sana ga sih?” cerca laki-laki itu karena dirinya tidak kunjung mendapat jawaban dari Najla.

Laki-laki itu berdecak sebal karena merasa waktu berharganya telah terbuang sia-sia begitu saja, “Kalo lo ga mau ngomong apa-apa gue tutup ya?” tanyanya sekali lagi kepada Najla untuk sekedar memastikan.

Lagi-lagi, karena tidak ada suara dari perempuan yang tiba-tiba saja menghubunginya, laki-laki itu berniat untuk memutuskan panggilan ini sepihak sebelum suara lirih Najla sukses menghentikan aksinya.

“Gue rasa kita bakal gagal...

Laki-laki yang ada di seberang sana hanya terdiam, menunggu Najla untuk melanjutkan perkataannya yang sengaja ia jeda.

...Fino jatuh lagi sama Brina.”

Tut.

Setelah mengatakan kalimat yang membuat Najla harus mengumpulkan seluruh keberaniannya dulu baru dapat ia ucapkan, dirinya kemudian memilih untuk memutuskan panggilan terlebih dahulu, menyisakan laki-laki yang itu diliputi oleh rasa bingung.

Mendengar perkataan Najla barusan membuat darah yang ada di dalam tubuh laki-laki itu seakan-akan bergejolak hingga mendidih.

Karena telah tersulut emosi, laki-laki itu membanting ponselnya ke lantai dengan kuat hingga menimbulkan suara benturan dengan yang keras.

Dengan wajah memerah seperti sedang kesetanan, dirinya lantas melayangkan pukulannya untuk meninju kaca yang ada di hadapannya sekarang.

“ARGHHH ANJING!!!”

Laki-laki itu tampak tidak peduli dengan darah segar yang secara perlahan mulai mengalir dari kulit buku-buku tangan kanannya.

Dirinya menatap nyalang ke arah depan dan mengetatkan rahangnya sambil membayangkan wajah bahagia Fino tempo lalu yang sedang bersama dengan Brina.

Tidak.

Laki-laki itu tidak akan rela sampai kapanpun jika Fino mendapatkan kebahagiannya dengan Brina begitu saja.

Tekadnya untuk menghancurkan dunianya Fino sudah bulat. Dirinya tidak dapat membiarkan teman lamanya itu untuk meraih kenikmatan hidup selamanya.

Setidaknya tidak mulai sekarang.

Jika laki-laki itu harus merasakan rasa sepi dan kehilangan yang masih terus saja menggerogoti tubuhnya hingga detik ini, maka Fino juga tidak boleh berbahagia dengan orang yang dikasihi olehnya.

Begitulah pemikiran darinya, pembuat semua kekacauan ini dimulai.

by scndbrr

Laki-laki pemilik dari nama lengkap Matthew Gheofino itu sejak tadi tidak bisa diam. Dirinya bergerak dengan gusar setelah melihat notifikasi yang terpampang jelas pada layar ponselnya.

Memang benar jika saat ini Fino sedang menghindari Brina. Alasannya tentu sudah jelas, karena ia tidak kenal dengan perempuan itu. Terlebih lagi, Brina berusaha untuk mendekati dirinya yang sudah mempunyai Najla.

Setidaknya hal itu yang Fino tahu. Padahal fakta sesungguhnya justru berkebalikan hingga 180 derajat.

Entahlah, biarkan waktu saja yang menjawabnya.

Mari kita kembali lagi.

Tunggu sebentar, lantas mengapa laki-laki mengeluarkan gerak-gerik seperti orang yang serang ketakutan sesuatu, jika dirinya saja hanya melihat pesan yang dikirimkan oleh Brina melalui fitur dm pada aplikasi twitter?

Apakah isi dari pesan tersebut sangatlah penting baginya?

Bukannya yang terpenting bagi laki-laki itu hanyalah Najla seorang? Perempuan yang berpura-pura menjadi bunda Nananya.

Saking tidak fokusnya memikirkan isi pesan Brina, Fino hingga tak sadar jika Najla sejak tadi telah memanggil dirinya berulang kali.

“Fino ihh!!” pekik perempuan itu yang membuat Fino sedikit tersentak karena terkejut. Laki-laki itu lantas memusatkan seluruh atensinya kepada Najla.

“Hm? Kenapa?” tanyanya dengan nada suara yang terdengar malas.

Najla menghembuskan napasnya dengan kasar kemudian menatap tajam ke arah Fino, “Kamu tuh lagi mikirin apaan sih?! Kan lagi aku ajak ngomong!!” tanya balik Najla yang terlihat sedang menahan emosinya.

Fino yang dapat dengan cepat memahami sutuasi pun mengalah. Laki-laki memasukkan ponsel miliknya ke dalam saku celananya dan beralih untuk menatap Najla dengan teduh.

“Kamu mau ngomong apa? Maaf ya, tadi aku lagi kepikiran sesuatu,” jelas Fino sambil mengelus tangan Najla yang kini tengah digenggam olehnya.

Najla berdecak tidak suka dengan jawaban yang diberikan oleh Fino barusan, “Mikirin sesuatu apa?” tanya perempuan itu kekeh seakan memaksa Fino untuk mau menjawabnya.

“Hah?” Fino sedikit tergagap karena bingung untuk untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Najla.

Tidak mungkin bukan jika laki-laki berterus terang sedang memikirkan maksud dari isi pesan dm Brina tadi?

Lagipula, mengapa Fino terlihat meributkan hal tersebut?

Bukankah seharusnya dirinya senang karena artinya Brina tidak akan menggangunya lagi?

Bukankah itu adalah niat awalnya hingga mengharuskan laki-laki itu untuk memblokir nomor ponsel milik Brina?

Mengapa Fino justru seperti kehilangan sesuatu?

Sesuatu yang sangat amat berharga, namun belum juga dirinya sadari kehadirannya itu.

Perasaan laki-laki itu kini sangatlah carut-marut. Bayangan wajah Brina yang belakangan ini terus saja tampak di hadapannya membuat kepala Fino berdenyut nyeri.

Terdapat rasa jangggal yang mengganjal di dalam relung hatinya ketika laki-laki memikirkan hari-hari kedepannya nanti tanpa adanya pesan sepihak dari perempuan itu.

Fino tidak tahu apakah ini hanyalah sebuah kebetulan belaka saja, karena dirinya telah terbiasa untuk mendapatkan perhatian lebih dari Brina, meskipun dirinya tidak pernah merespon perempuan itu dengan baik.

Ataukah memang terdapat perasaan lain yang hinggap begitu saja tanpa dirinya sadari selama satu bulan terakhir ini.

Mungkin salah satunya perasaan nyaman?

Entahlah Fino juga masih bingung akan hal itu.

Namun, satu hal yang pasti.

Kini Fino merasakan bahwa ucapan yang selalu diutarakan oleh Rayyan kepadanya setiap saat, hingga dirinya menjadi bosan akan kalimat itu akan terealisasi secara nyata sekarang.

“Penyesalan selalu datang di akhir.”

by scndbrr

Narion dan Brina masih berada di sekitar kawasan rumah sakit. Mereka berdua berada di dalam mobil yang masih terparkir dengan rapi di tempat parkir rumah sakit ini.

Brina terduduk pada kursi penumpang, menatap lurus ke arah depan dengan tatapannya yang kosong.

Perempuan itu masih tidak dapat mempercayai hal yang sedang menimpa dirinya pada kali ini.

Bukankah itu semua terdengar sangat konyol?

Namun mau bagaimanapun juga hal ini adalah nyata adanya.

Narion ikut terdiam bersama dengan keterdiaman Brina yang sejak tadi tidak mau membuka mulutnya untuk mengeluarkan barang satu patah kata pun.

Karena merasa sesak yang teramat dalam pada dadanya ketika kejadian yang baru saja terjadi tadi melintas di otak Brina.

Perempuan itu mengepalkan telapak tangan kanannya erat-erat, kemudian membawanya ke depan dadanya sendiri, lantas memukulkannya di sana dengan cukup keras.

Kedua matanya sengaja perempuan itu pejamkan kuat-kuat sebagai perlindungan dirinya yang tengah menahan rasa sakit luar biasa di hatinya.

Tidak.

Brina tidak menangis.

Perempuan itu masih belum mengizinkan cairan bening yang sudah menumpuk pada kedua pelupuk matanya untuk lolos begitu saja.

Narion yang pada awalnya menundukkan kepalanya frustasi, langsung menoleh ke arah Brina setelah mendengar suara yang dihasilkan dari benturan kulit yangan perempuan itu dengan tulang dadanya sendiri.

Laki-laki itu terkejut kemudian dirinya memberanikan diri untuk menangkap tangan Brina yang masih saja terus menyakiti dirinya sendiri. Berusaha untuk menghentikan aksi perempuan itu.

Perlahan Narion membawa tubuh mungil Brina untuk masuk ke dalam dekapannya. Laki-laki merengkuhnya dengan sangat hati-hati, takut jika saja dirinya membuat Brina tidak nyaman.

Hening.

Tidak ada suara apapun selain dari suara deru napas mereka berdua yang saling beradu dan bersahutan satu sama yang lainnya.

Hingga pada akhirnya mulailah terdengar isakan yang awalnya lirih kemudian lama-lama berubah menjadi keras.

Brina menangis.

Benteng kokoh yang telah dibangun oleh perempuan itu akhirnya runtuh juga sekarang.

Di dalam pelukan hangat yang diberikan oleh Narion kepada Brina, perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala rasa kesedihan dan juga rasa kecewanya.

Narion yang menyadari betapa sakitnya perempuan yang ia sayangi ini hanya bisa menenangkannya dengan terus memberikan usapan lembut pada punggung Brina.

Laki-laki itu berharap, hal yang dirinya lakukan ini dapat sedikit memberikan kekuatan untuk Brina supaya dirinya dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.

Suara rintik hujan di luar mobil membuat suara tangisan Brina menjadi teredam karena kalah kuat dengannya.

Lihat, semesta itu lucu bukan?

Bukankah semesta yang menciptakan kondisi tidak masuk akal seperti ini untuk Brina?

Bukankah semesta yang mengambil sumber kebahagian Brina yang beru saja ia temukan kembali?

Bukankah semesta yang menghancurkan segalanya untuk Brina?

Hancur berantakan.

Lantas mengapa semesta terlihat seolah-olah sedang memberikan simpatinya untuk Brina yang sedang menangis sekarang?

Jika dikatakan semesta pun tahu luka yang sedang dialami oleh manusia yang tinggal di dalamnya sehingga mereka pun ikut menemani dengan menumpahkan kesedihannya dalam bentuk tetesan air dari langit, lantas mengapa semesta harus merampas kebahagiaan Brina secara tiba-tiba?

Semesta yang berbuat, semesta juga yang ingin terlihat seperti pahlawan.

Kalau disebut sebagai pahlawan kesiangan, Brina setuju.

Sudah cukup.

Brina muak dengan semesta dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

by scndbrr

Di sinilah Brina dan Narion kini berada. Di dalam sebuah kendaraan roda empat yang tengah membelah jalanan raya yang terlihat cukup padat dengan berbagai alat transportasi yang lainnya.

Hening, tidak ada yang berbicara diantara mereka.

Narion sesekali menyempatkan dirinya untuk melirik sekilas ke arah Brina yang sedang mengedarkan pandangannya ke samping jendela.

Mimik wajah perempuan itu memang terlihat sangat antusias untuk dapat segera bertemu dengan orang yang amat disayangi olehnya.

Namun, entah mengapa gelagat tubuhnya tidak menyatakan demikian.

Brina terus saja meremat ujung rok abu-abunya dengan gusar. Perempuan itu merasakan gelisah yang teramat dalam. Ada rasa takut yang hinggap ketika memikirkan bagaimana respon dari Fino nanti.

Melihat hal tersebut, Narion mengulurkan tangannya untuk menyetel sebuah musik. Dirinya sengaja untuk memilih lagu yang memiliki tempo lambat.

Laki-laki itu pikir mungkin dengan begini dapat membuat perempuan yang sedang duduk di sebelahnya akan menjadi lebih rileks.

Brina langsung menolehkan kepalanya untuk memandang Narion sejenak sebagai tanggapan dirinya yang bingung akan sikap Narion yang tiba-tiba saja memutar musik.

Narion hanya mengendikkan bahunya dan memberikan senyuman tipis kepada perempuan itu sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak dilontarkan oleh Brina, namun tertulis dengan jelas pada dahinya.

Mendapati hal itu, Brina kemudian membalas senyuman Narion tadi dengan senyuman tulus yang membuat hati Narion menghangat. Perempuan itu lantas ikut menyenandungkan lirik lagu yang saat ini sedang mengudara.

Narion merasa sedikit lega ketika dirinya melihat Brina yang kembali menjadi riang seperti pada hari-hari biasanya. Setidanya untuk sekarang.

Tanpa terasa, akhirnya mereka berdua telah sampai pada tempat tujuan mereka. Ralat, mungkin ini hanyalah tempat yang menjadi tempat tujuan bagi Brina saja, tidak dengan Narion.

Setelah sampai di depan pintu kamar tempat Fino dirawat, Brina menghentikan langkahnya.

Narion yang dapat membaca dengan jelas apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan itu mengusap pundak Brina dengan lembut.

Laki-laki itu memberikan tatapan yang sangat teduh untuk meyakinkan Brina bahwa tidak akan terjadi hal buruk. Jika pun ada, maka dirinya tidak sendirian, karena ada Narion yang kini bersamanya.

Pergelutan hati Brina yang hampir saja membuat perempuan itu putar haluan untuk kembali ke rumah saja dirinya urungkan. Brina memilih untuk mencoba lagi menghadapi kenyataan yang dirasa cukup pahit baginya.

Dengan gerakan perlahan, Brina membuka pintu yang ada di depannya.

Deg.

Sepertinya pilihan yang diambil oleh perempuan itu kali ini salah.

Kedua anak muda yang berlawanan jenis di dalam ruangan itu langsung serempak mengalihkan atensi mereka karena merasa terusik oleh kedatangan Brina dan Narion.

Di sana, Najla terlihat sedang menyuapi Fino dengan begitu mesra.

Sakit.

Sakit sekali rasanya bagi Brina.

Perempuan itu merasa dirinya tidak sanggup untuk terus melihat Nononya bersanding dengan perempuan lain.

“Ayo,” ajak Narion sambil menggenggam tangan Brina.

Brina berusaha untuk mengatur napasnya dan perlahan mendekat ke arah brankar Fino.

“Lo ngapain dateng ke sini lagi?” tanya Fino dengan nada ketus yang membuat nyali Brina sedikit menciut.

Di sisi lain, Najla terlihat menatap Brina dengan sinis tidak suka dengan kehadiran dirinya di sini.

“A-aku bawain makanan kesukaan kamu, No. Batagor,” jawab Brina dengan sedikit tergagap karena dirinya kini sedang diliputi oleh rasa gugup.

Setelah mengatakan hal itu, Brina kemudian berusaha untuk membuka bungkusan yang telah dibawa olehnya.

Namun gerakan Brina tiba-tiba terhenti karena mendengar ucapan dari Najla, “Emang sejak kapan Fino suka makanan begituan? Dasar cewe ga jelas!”

Bukannya menatap Najla, Brina justru memusatkan kedua netranya untuk memaku tatap pada Fino yang tengah tersenyum miring ke arahnya.

Apa arti dari senyuman itu?

Terlintas sebuah ide licik di benak Najla ketika melihat perubahan raut wajah Brina yang mendadak menjadi kebingungan.

Dirinya pikir dengan melakukan hal ini, maka akan membuat Brina menjadi tambah buruk di mata Fino.

“Ahh panas!” teriak Najla yang sontak membuat semua orang memperhatikan dirinya.

Perempuan itu dengan sengaja menumpahkan kuah sup panas yang memang sedang dipegang olehnya ke tangannya sendiri.

Namun yang membuat geram di sini adalah, Najla seolah-olah membuat hal itu terjadi akibat ulah Brina bukan karena kecerobohan yang disengaja oleh dirinya sendiri.

Perempuan itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Brina kemudian mengguyur sedikit kuah panas ke arah tangan kirinya yang terbebas.

Dari arah pandang Brina dan Narion terlihat sangat jelas bahwa memang Najla yang menumpahkan kuah panas itu.

Akan tetapi, dari seberang sana Fino justru melihat senggolan pada legan Brina-lah yang menyebabkan mangkok itu kehilangan keseimbangannya dan berakhir sedikit bergoyang hingga menumpahkan apa yang ada di dalamnya.

“WOI! LO UDAH GILA?!” teriak Fino ke arah wajah Brina dengan suaranya yang mengglegar membuat perempuan itu berjengit ngeri.

“MAKSUD LO APA NYELAKAIN CEWE GUA KAYA GINI?!”

Brina terus saja menggelengkan kepalanya dengan ribut, “B-bukan aku. Itu d-dia yang numpahin sendiri.” Perempuan itu berusaha untuk membela dirinya sendiri.

“Aduh ini sakit banget sayang...” rengek Najla sambil mengeluarkan air mata buayanya. Tentu saja hal itu membuat Fino semakin menjadi tersulu emosi.

Fino turun dari atas brankarnya kemudian menyeret Brina dengan kasar ke arah pintu. Brina sedikit terseok-seok karena dirinya terpaksa untuk mengikuti langkah kaki Fino yang besar-besar.

Setelah sampai di depan pintu kamar rawat inapnya itu, Fino lantas menyentak lengan Brina dengan cukup kasar hingga membuat perempuan itu sedikit meringis karena menahan rasa sakit.

“KALO JADI COWO ITU GA USAH KASAR SAMA CEWE BISA GA?!” bentak Narion yang tidak terima melihat Brina diperlakukan seperti itu.

“Kalian keluar dari sini,” ucap Fino menatap nyalang ke arah Brina dan Narion. Jari telunjuk tangan kanannya terangkat untuk menunjuk wajah Brina, “Lo ga usah balik ke sini lagi.” Kemudian pandangan kedua netranya beralih kepada Narion, “Dan lo jaga cewe lo ini biar ga usah banyak tingkah!”

Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Mengapa kini semuanya menjadi seperti ini?

Kacau, rusak, dan patah.

Brina mungkin tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan baik meskipun dirinya terpisah oleh Fino selama 9 tahun tanpa adanya satupun kabar dari laki-laki itu.

Namun jika Brina harus melihat tatapan kedua manik Fino yang kemarin-kemarin menatap dirinya dengan penuh kasih sayang, kini telah berubah menjadi tatapan yang dikabuti oleh kebencian.

Itu sulit.

Perempuan itu tidak dapat menghadapinya.

Semesta, tolong jangan ambil Nono dari Nana. Sebab terlalu banyak hal yang sudah Brina korbankan selama 18 tahun dirinya bernapas di muka bumi ini.

Brina membutuhkan ayah Nono, sumber kebahagiaannya.

by scndbrr

Perempuan yang memiliki nama lengkap Johana Sabrina itu terlihat sangat tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang dirinya amat sayangi.

Fino.

Keadaannya pada pagi hari ini terlihat jauh lebih baik ketimbang dengan semalam. Bahkan perempuan itu sudah dapat menerbitkan senyuman manisnya yang membuat siapapun yang melihatnya menghangat.

Termasuk dengan Narion dan Hasta.

Kedua laki-laki itu tidak dapat menyembunyikan perasaan mereka untuk sahabat dekatnya. Tampak dari gelagat aneh Narion yang tidak berani untuk menatap langsung kedua iris kecoklatan milik Brina.

Lqain halnya dengan Narion. Ketika sedang salah tingkah karena lawan jenis, Hasta biasanya justru menjadi pribadi yang berputar 180 derajat sikapnya. Laki-laki itu akan berubah menjadi kalem, sangat berbeda dengan sifat aslinya yang cenderung ke arah banyak tingkah.

Baiklah, mari kita lupakan sejenak tentang dua laki-laki itu.

Kembali lagi dengan Brina yang kini sudah sampai di rumah sakit yang ia dapati informasinya menjadi tempat pengobatan Fino. Perempuan itu langsung berjalan menuju ke arah resepsionis untuk menanyakan ruangan yang ditempati oleh Nononya.

Setelah mendapatkan informasi mengenai di mana laki-laki itu berada, Brina langsung menghampiri Narion dan Hasta kembali dan mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke ruangan yang dituju.

Ketika mereka bertiga sudah sampai di depan pintu ruangan tersebut, Brina menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak.

Perempuan itu tidak langsung mengetuk pintu dan masuk ke sana, melainkan dirinya memilih untuk menetralkan debaran jantungnya yang sudah tidak karuan.

Yang benar saja, mengapa di saat seperti ini perasaaan Brina seperti memiliki firasat yang buruk?

Entah mengapa di kepala perempuan itu sejak berjalan menuju ke ruangan ini terus saja berspekulasi tentang kemungkinan-kemungkinan aneh yang dapat membuat dirinya merasa gusar.

itu semua memang hanyalah imajinasi liar yang tiba-tiba saja hinggap di otaknya. Namun, rasanya semua imajinasi tadi bisa saja terjadi pada detik ini juga.

Sempat menghela napas dengan berat, Brina akhirnya memberanikan diri untuk membuka sekat yang menjadi penghalang di depannya itu.

Narion dan Hasta pun turut masuk ke dalam mengekori Brina.

Tidak.

Bukan ini yang Brina mau.

Betapa terkejutnya Brina bahkan Narion dan Hasta pun juga sama ketika melihat pemandangan yang tersaji untuk mereka bertiga ini.

Sedikit sesak.

Bohong.

Bahkan rasanya sangatlah sesak.

Brina melihat Nononya sedang terbaring di atas brankar sambil memeluk seorang perempuan yang dirinya sama sekali tidak kenal.

“Anjing!” umpat Hasta keceplosan.

Narion langsung menatap Brina dan laki-laki itu mengetahui bahwa perempuan yang hari ini sangat excited untuk bertemu dengan laki-laki yang sedang terlelap dengan perempuan lain itu terluka.

Hal itu Narion yakini, pasalnya Brina meremat kuat-kuat buket bunga yang dirinya tadi sempatkan beli terlebih dahulu sebelum datang ke tempat ini.

Fino yang merasa waktu tidurnya sedikit terusik setelah terdengar suara pintu yang tiba-tiba terbuka dan juga suara laki-laki yang sedang mengumpat pun lantas membuka matanya secara perlahan.

Laki-laki itu tampak tengah menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya.

Setelah dirasa dirinya sudah sepenuhnya sadar dan jiwanya pun juga telah terkumpul, Fino bangkit dari posisi tidurnya dengan perlahan untuk dapat beralih menjadi posisi duduk.

Dirinya terlihat bergerak dengan sangat hati-hati karena takut membuat perempuan yang juga tadi ikut terlelap bersamanya bangun.

“No...” panggil Brina lirih dengan suaranya yang terdengar gemetar.

“Kalian siapa?” tanya Fino kepada mereka.

“Kamu nggak inget aku?” tanya Brina kembali sambil menatap Fino dengan nanar.

“Kalian salah masuk kamar ya?”

Deg.

Apa lagi ini, ya Tuhan?

“Eh bro, lo masa ga kenal? Brina ini, Sabrina.” Hasta yang sediki geram dengan Fino langsung menyela Brina ketika Brina terlihat ingin mengucapkan sesuatu.

“Lo ga mungkin amnesia kan?” tanya Narion yang membuat atensi Brina, Fino dan Hasta terpusat padanya.

“Gue cuma nanya aja. Tapi ga mungkin lah ya? Ya kali.” ucap Narion yang diakhiri dengan kekehan garingnya.

Mungkin karena merasa terganggu dengan suara orang-orang yang ada di ruangan ini, akhirnya perempuan yang terbaring di sebelah Fino terbangun.

Dirinya sedikit terkejut karena mendapati banyak orang yang mengelilinginya.

Ralat, mengelilingi Fino maksudnya.

“Eh kalian temennya Nono, ya?” bukannya menyapa terlebih dahulu, perempuan itu justru langsung melontarkan pertanyaan kepada Brina, Narion dan Hasta yang kini sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan.

Tunggu dulu.

Tadi apa kata perempuan itu?

Nono?

Itu kan panggilan kesayangan milik Brina, kenapa perempuan itu bisa tahu dan memakainya juga?

“Sayang kamu keganggu ya tidurnya? Maaf ya, Na.” ujar Fino kepada perempuan itu dengan lembut sambil mengusap pelan rambut panjangnya.

Katakan kalau ini semua hanyalah mimpi.

Cepat katakan.

Lutut Brina melemas, jika tidak ada Narion yang menahan pinggang ramping perempuan itu, mungkin Brina sekarang sudah tersungkur di lantai kamar ini.

“Dia siapa lo? Cewe lo?” tanya Hasta dengan nada suaranya yang tidak santai.

“Hai, kenalin ya aku Najla. Bunda Nana sayangnya ayah Nono.” bukannya Fino yang menjawab, melainkan perempuan itu sendiri yang kini terlihat memperkenalkan dirinya dengan bangga.

“Bunda Nana?” gumam Brina sambil menatap ke arah Najla, perempuan yang sedang tersenyum sinis kepadanya.

Najla menganggukkan kepalanya lantas meraih tangan besar milik Fino dan menautkan jari-jarinya di sana.

“Iya, gue cewenya Fino.” tambah Najla lagi yang sukses membuat satu buliran bening mengalir begitu saja dari bola matanya tanpa disadari oleh Brina.

“Kalian siapa sih? Beneran temen gue? Tapi kok gue ngrasa ga kenal sama kalian semua ya? Terutama lo.” ucap Fino sambil mengarahkan jari telunjuk tangannya yang terbebas dari genggaman Najla ke arah muka Brina.

Sakit.

Rasanya sakit sekali.

Ingin sekali Brina rasanya untuk berteriak sekarang dan bertanya dengan lantang. Sebenernya ini yang lagi mimpi siapa sih? Dirinya atau justru Fino?

Tidak mungkin ini sebuah realitan kan?

Iya kan?

Ayolah, siapapun itu tolong katakan juka ini hanya prank tidak jelas atau bunga tidur diantara kita saja, bukan yang lain.

Tolong.

Siapapun itu tolong Brina.

“Kok malah pada diem? Ga jelas banget sih lo semua! Mending kalian pergi deh! Ganggu orang lagi istirahat aja!” ketus Fino dengan sedikit mengintimidasi mereka bertiga.

Hasta yang mulai tersulut emosinya pun baru akan melangkahkan kakinya menuju ke arah ranjang Fino, namun langkah laki-laki terhenti ketika melihat gelengan lemah dari Brina.

Hasta mengusak surainya dengan kasar dan akhirnya pun mengalah untuk menuruti permintaan sahabat dekatnya itu.

“No, aku ga tau kamu kenapa. Aku juga ga kenal sama perempuan ini. Aku jujur udah ngrasa seneng banget ngeliat keadaan kamu sekarang yang udah baik-baik aja. Makasih ya karna udah sadar. Makasih juga karna ga pergi gitu aja. Makasih karna kamu nepatin janji kamu ke aku...

...Tapi bunda Nana sayang kamu itu aku No, bukan dia!” tangisan yang telah ditahan mati-matian oleh perempuan itu akhirnya pecah juga.

Brina kembali menangis.

Lagi.

Kali ini penyebabnya datang dari orang yang dirinya anggap sebagai sumber kebahagiannya.

Orang yang pada waktu itu telah mendeklarasikan dirinya dengan mantap bahwa dia akan selalu ada untuk Brina.

Orang yang pada waktu itu telah berjanji akan selalu menunggu Brina hingga kapanpun juga.

Orang yang pada waktu itu telah menyatakan dirinya dengan jelas bahwa dia akan ikut terjatuh disaat Brina juga terjatuh.

Namun mengapa sekarang orang itu justru menyakitinya?

Mengapa orang itu justru menghancurkannya?

Menghancurkan kepercayaan yang telah Brina bangun dengan susah payah.

Melawan berbagai trust issues yang dimilikinya sejak dirinya kecil.

Mengapa?

Sekali lagi, semesta dan pencipnya mengambil kebahagian Brina.

Entah untuk sementara saja, atau justru hingga selama-lamanya.

Tidak ada yang tahu.

by scndbrr

CW // Self Harm CW // Blood

Tengah malam dimana seharusnya merupakan waktu orang-orang untuk memejamkan matanya, rehat sejenak dari urusan duniawi, melepas penat yang kian membuat kepala ini menjadi berat.

Sayangnya tengah malam kali ini membuat segelintir orang kalang kabut. Mereka panik, mereka khawatir, mereka ketakutan. Takut akan kehilangan seseorang yang mereka sayangi dengan sepenuh hati.

Brina, gadis muda itu kini tengah duduk di lantai kamarnya yang dingin selepas dirinya melakukan hal yang itu kembali.

Meski sudah sempat diperingati oleh sahabat dekatnya, namun ternyata kabar mengejutkan yang dirinya ketahui malam ini mampu membuat akal sehat gadis itu melayang.

Gadis itu tahu bahwa apa yang ia lakukan ini salah. Gadis itu tahu dengan melakukan hal ini tidak akan membuat Fino langsung sadar begitu saja.

Namun, bagi gadis itu hanya dengan melakukan hal inilah dirinya akan merasakan sedikit ketenangan. Ketenangan yang perlahan masuk ke dalam tubuhnya dan bersemayam di dalam jiwanya.

Membuatnya bisa kembali bernapas dengan lega, meskipun rasa nyeri dari torehan lukanya itu menganga dan mengalirkan darah segar yang cukup deras.

Brina melakukan self harm lagi.

Dengan penampilan yang terlihat berantakan, gadis itu menutup kedua matanya dan menggigit ujung bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan isakan tangis yang minta diloloskan.

Bukan.

Brina bukan ingin menumpahkan air matanya karena merasa kesakitan setelah kembali menyayat tangannya sendiri.

Melainkan, gadis itu merasakan sakit yang teramat dalam pada hatinya ketika harus membayangkan bagaimana keadaan Fino sekarang.

Jika ditanya rasanya seperti apa, gadis itu ingin sekali menjawab bahwa rasanya seperti sedang ditimpa oleh ribuan ton beban pada pundak sempitnya itu.

Sekuat apapun Brina berusaha untuk tegar dan menunggu kedatangan dari kedua sahabatnya Narion dan Hasta itu, akhirnya dirinya pun tak kuasa untuk menahan pedihnya.

Dia menangis. Brina menangis dengan sangat pilu.

Buliran bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya akhirnya lolos dan terjun bebas dengan sangat brutal. Membuat wajah cantik milik gadis itu terlihat berwarna merah dan berlinangan air mata.

Tangisan Brina yang mampu menyayat hati siapapun pendengarnya. Termasuk Narion dan Hasta yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumah besar yang hanya ditinggali oleh perempuan malang itu.

Narion dan Hasta saling bertukar pandangan sebelum akhirnya Narion melangkahkan kedua kaki jenjangnya dengan tempo yang cepat menuju ke ruangan yang tadi disebutkan oleh Hasta.

Di kamar.

Hasta juga tak mau kalah. Dirinya segera bergegas untuk menyusul Narion yang memimpin jauh di depannya, bahkan hampir sampai di depan pintu putih yang menjadi sekat ruangan pribadi perempuan itu.

Tanpa berlama-lama lagi, Narion langsung membuka kenop pintu tersebut dan langsung terpampanglah pemandangan yang membuat hatinya ikut berdenyut nyeri.

Benar.

Kedua sahabat dekat Brina, Narion dan Hasta juga mengetahui bahwa sahabat perempuannya itu akan bertindak untuk menyakiti dirinya sendiri ketika sedang dilanda rasa cemas dan takut.

Namun sepengetahuan mereka berdua, Brina sudah tidak pernah melakukan aksi itu lagi setelah hal itu hampir saja merenggut nyawanya pada waktu lampau.

Yang mengetahui tentang tragedi itu hanyalah empat orang saja. Diantaranya adalah Narion, Hasta, Brina sendiri, dan yang terakhir adalah Maya, ibu tiri Brina.

Maya memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak memberitahukannya kepada siapapun termasuk suaminya sebab itu adalah permintaan yang diajukan langsung oleh putri tirinya itu sendiri.

Karena Brina berjanji kepada Maya bahwa dirinya tidak akan lagi melakukan hal itu kembali, maka akhirnya Maya pun setuju untuk membungkam mulutnya.

Mengingat mengenai tragedi itu, Narion dan Hasta tidak habis pikir dengan apa yang kedua netra mereka lihat sekarang. Pasalnya lagi-lagi cairan yang berwarna merah pekat itu mengalir dari bagian tubuh Brina yang sama pada saat itu.

Entah mengapa Brina selalu menggoreskan benda tajam pada bagian lengan bawahnya yang dekat dengan nadi-nadinya itu bersarang. Apakah dirinya tidak mengetahui seberapa bahayanya hal tersebut?

Narion sempat membeku setelah melihat genangan darah yang tercecer di sekitar tubuh Brina duduk.

Kedua maniknya terpaku justru terpaku dengan hal itu, bukannya dengan perempuan yang sedang menangis dengan tersedu-sedu hingga untuk bernapaspun rasanya sulit.

Hasta yang menyadari hal itu langsung menghampiri Brina dan mendekapnya dengan hangat. Laki-laki itu berharap dirinya dapat menyalurkan ketenangan untuk perempuan itu.

Secara perlahan, Hasta menaik-turunkan telapak tangannya pada punggung ringkih milik Brina secara berangsur-angsur sambil terus menggumamkan kalimat ini dengan lembut,

It's okay, i'ts okay Brin. Fino pasti baik-baik aja.”

Brina yang mendengarkan begitu kalimat itu mengudara dan menyapada indera pendengarannya kemudian mencengkeram erat ujung baju milik Hasta dan kembali menangis sambil meracau dengan suaranya yang terputus-putus dan napasnya yang tersengal-sengal.

“F-fino...” “Fino gimana, Has?” “Fino beneran bakal baik-baik aja?” “Fino pasti bisa sadar kan? Iya kan, Has?”

“Gue belum sempet bilang ke dia soal perasaan gue yang sebenernya.” “Gue belum ceritain masalah yang gue hadepin ke dia, sesuai sama apa yang dia minta.” “Gue belum sempet dengerin kisahnya dia selama kita ga bareng-bareng.”

“A-ayah Nono...”

“Gue sayang banget sama ayah Nono!” “Gue belum lama ketemu sama orang yang jadi alasan bahagia gue.” “Gue ga mau kehilangan dia.”

“Takut...”

by scndbrr

Brina terus saja meronta kepada Fino untuk segera melepaskan genggaman tangannya. Namun laki-laki itu memilih untuk menulikan pendengarannya dan terus melangkah ke suatu tempat yang menjadi tujuannya sekarang.

Rooftop.

Setelah sampai di tempat ini, Fino akhirnya membebaskan tangan Brina darinya. Tatapan laki-laki itu tidak berpaling barang sedetik saja dari perempuan yang kini sedang berdiri tepat di hadapannya.

“Ngapain ke sini sih?” tanya Brina dengan sedikit ketus lantaran dirinya sedang menahan kesal.

Fino tidak menjawab. Dirinya hanya diam seribu bahasa, mengunci mulutnya rapat-rapat.

Brina yang awalnya tidak memandang Fino ketika dirinya bertanya tadi, akhirnya mulai memandangi laki-laki itu dengan dahinya yang sedikit berkerut. Perempuan ini bingung, mengapa lawan bicaranya tidak menanggapi pertanyaan yang telah dilotarkan olehnya.

Lantas, perempuan itu menjulurkan tangan kanannya dan membuat gerakan ke arah kanan dan kiri seperti kerja dari wiper pembersih kaca mobil ketika sedang turun hujan.

Tiba-tiba saja Fino menahan tangan Brina yang masih setiap untuk bergerak menyadarkannya. Laki-laki itu masih tetap diam. Dirinya hanya memaku tatap pada Brina sekarang.

Gerakan Fino yang sangat tiba-tiba tadi membuat Brina merasakan gelenyar aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya, perempuan itu berusaha untuk meloloskan tangannya yang kini digenggam oleh Fino.

Brina sedikit menunduk untuk dapat menutupi semburat merah pada pipinya yang tidak tahu waktu muncul begitu saja sekarang ini. Oh ayolah, mengapa harus muncul sekarang sih? Timming yang sangat tidak tepat.

“Na, liat aku.” suara bariton milik Fino membuat pergerakan Brina berhenti total.

“Na, please...” ucapnya lagi berharap kali ini Nananya mau mendengarkan dirinya.

Dengan ragu-ragu, Brina pun mengalah kemudian sedikit mendongakkan kepalanya untuk dapat melihat raut wajah Fino.

Fino yang melihat hal itupun langsung menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan mencetak senyuman manisnya.

Siapapun yang melihat sunggingan senyum yang terpatri pada wajah Fino sekarang ini pasti juga akan terdorong untuk berbuat hal yang sama. Tidak terkecuali dengan Brina. Dirinya juga kini tengah mati-matian untuk menahan senyumnya di depan Fino.

“Apa?” cicit Brina berniat untuk membuka percakapan diantara mereka berdua setelah beberapa detik hanya saling memaku tatap satu sama lain tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

Fino tidak langsung menjawab Brina, dirinya memilih untuk mengelus pelan pucuk kepala Brina. Laki-laki itu tampak menikmati semerbak wangi aroma strawberry yang menguar dari rambut hitam legam milik Brina ketika sedang diusapnya.

Brina memejamkan kedua matanya dengan spontan begitu rasa nyaman mengerubungi dirinya. Entah mengapa usapan lembut Fino dapat membuat perempuan itu menjadi tenang.

“Jangan menghindar dari aku lagi, ya?” interupsi dari Fino membuat Brina membuka matanya kembali dan menatap kedua manik laki-laki itu dengan tatapan yang terlihat sedikit sendu.

“Tapi ga semua masalah harus aku bagi sama kamu kan, No?” Brina mengembalikan pertanyaan Fino dengan pertanyaan dari dirinya sendiri.

Mungkin perempuan itu tidak sadar berucap dengan suara yang terdengar gemetar dan lemah, namun Fino dapat merasakan semua hal itu dengan sangat jelas. Dirinya merasakan beban yang dipikul oleh Brina bukanlah beban yang sepele, melainkan cukup berat.

“Iya, Na. Kamu Bener. Tapi aku mau kamu tahu satu hal ini, Na...

... Kita semua butuh satu orang yang bisa jadi tempat berbagi beban kita. Dan aku berharap aku bisa jadi satu orang itu buat kamu. Kita jalanin semuanya bareng-bareng ya, Na?”

by scndbrr