scndbrr

Nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimanapun juga kini Sabrina telah menginjakkan kakinya di kawasan sekolah orang yang sedang dirinya hindari. Fino.

Sejak tadi gadis itu terlihat gusar dengan terus menelisik ke setiap sudut tempat ini. Dirinya berharap supaya tidak bertemu dengan orang itu.

Berulang kali Sabrina meyakinkan dirinya sendiri dengan tujuan utamanya datang ke sini. Studi Banding. Benar, hanya itu dan tidak ada niatan lain.

Para pengurus OSIS SMANDA (SMA Negeri 2) menyambut hangat kehadiran dari beberapa perwakilan pengurus OSIS SMANSA (SMA Negeri 1).

Narion selaku ketua osis yang sudah mengenal ketua osis SMANDA pun tidak merasa canggung. Terlihat dengan dirinya yang sekarang ini justru sedang saling melemparkan gurauan ringan satu sama lain.

Berbanding terbalik dengan Brina yang merasa asing di tempat ini pasalnya gadis itu tidak memiliki satupun kenalan di sekolah ini. Oh, ralat. Ada satu, tapi orang itu mungkin sudah masuk ke dalam daftar blacklist Brina.

Hasta yang menyadarinya dari keterdiaman sahabatnya itu langsung mendekatinya. Dirinya dengan santai menyampirkan tangan kanannya pada pundak Brina.

“Kalem napa Brin, tegang amat muka lu udah kaya mau pengumuman remidi Fisika aja.” ledek Hasta yang diakhiri dengan kekehan tengilnya.

Brina yang mendengar penuturan Hasta barusan hanya memutarkan kedua bola matanya jengah. Dirinya tidak mau menanggapi ejekan sahabatnya itu dan memilih untuk meloloskan diri dari rangkulan Hasta.

Ketika mereka semua sedang berjalan menuju ke aula karena telah dipersilahkan ke sana, tiba-tiba saja terengar teriakan yang cukup keras dari salah satu arah yang sepertinya ditujukan kepada Brina.

“AWAS, MINGGIR!!!”

Bugh.

Sebuah bola basket yang keras mendarat tepat pada dahi sempit milik Brina. Gadis itu sempat limbung dan hampir saja kehilangan pijakannya hingga tubuhnya lebih dulu ditangkap oleh tangan besar milik seseorang.

“Na, kamu gapapa?” tanya orang itu dengan wajahnya yang menyiratkan kekhawatiran besar pada Brina.

Semua siswa dan siswi yang berlalu-lalang pun menghentikan aktivitas mereka sejenak dan seluruh atensi mereka kini tertuju kepada dua muda-mudi dengan posisi yang cukup membuat salah paham di tengah lapangan.

Bagaimana tidak? Jika posisi mereka berdua kini terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah saling merengkuh. Lebih tepatnya hanya orang yang menolong Brina tadi yang mendekapnya, tidak dengan Brina.

“Na?” tanya orang itu lagi yang membuyarkan lamunan Brina.

Ternyata pada hari ini Brina tidak diberkahi keberuntungan seperti yang diharapkan olehnya. Hal itu terbukti dengan dirinya yang harus bertemu dengan orang ini. Fino.

Atau justru inilah skenario yang telah dibuat oleh Tuhan untuk mempertemukan mereka pada hari ini? Entahlah, tidak ada yang tahu. Karena sesungguhnya Fino juga terkejut menjumpai Brina di lapangan sekolahnya.

“Iya, aku gapapa.” Brina menjawab pertanyaan Fino tadi yang sudah berlalu kemudian dirinya melepaskan tangan Fino yang kini tengah menyangga tubuhnya.

“Gapapa apanya? Itu jidat kamu bengkak!” sahut Fino yang membuat Brina sontak menyentuh bagian keningnya.

“SIAPA YANG UDAH MAIN BASKET TAPI GA DI LAPANGANNYA, ANJING?!” seru Fino dengan nada bicaranya yang meninggi membuat Brina tersentak kaget.

“GUA UDAH PERNAH BILANG KALO INI BISA JADI BAHAYA KAN? KENAPA MASIH AJA DILAKUIN? SIAPA? NGAKU LO, MAJU SINI!” tambahnya lagi yang sudah tersulut dengan api amarah.

“G-gue Fin, sorry.” lirih seorang laki-laki yang datang dari arah belakang. Laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya dan tidak berani untuk menatap kedua netra Fino.

Fino mencengkeram erat kerah baju laki-laki tadi dan tangannya bergerak ke atas hampir saja melayangkan sebuah bogeman mentah kepadanya.

Namun karena merasakan rematan kecil pada bagian ujung bajunya dan menangkap sebuah gelengan lemah dari wajah polos milik Brina, Fino akhirnya mengurungkan niatnya untuk memukul siswa itu.

Fino menatap Brina dengan lamat-lamat. Mengamati iris kecoklatan milik perempuan itu hingga tanpa sadar dirinya tenggelam di dalam tatapan teduh yang dipancarkan oleh Nananya.

Kemudian tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, Brina menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan sesuatu yang membuat Fino menghela napasnya dengan pelan.

“Aku beneran gapapa, Fino. Jangan berantem, aku ga suka.”

Tanpa berlama-lama lagi, Fino akhirnya memutuskan untuk menarik tangan Brina dan membawa perempuan itu untuk menjauh dari sana. Narion dan Hasta saling bertukar pandangan dengan tatapan yang sulit untuk dapat diartikan.

by scndbrr

Sejak tadi Rayyan tidak berhenti untuk memaki Fino di dalam hatinya. Bagaimana bisa temannya itu tidak mengatakan satu patah katapun kepadanya dan langsung menarik tangannya menuju ke arah parkiran?

Rayyan itu orangnya emosional, mudah sekali untuk marah ketika terdapat hal yang menyulut emosinya.

Karena kali ini sahabat dekatnya yang membuatnya naik pitam, maka dirinya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Namun tetap saja dirinya masih kesal dengan tindakan Fino sekarang.

Menurutnya perilaku Fino pada hari ini sangatlah aneh. Mulai dari ketika dirinya bertemu dengan Fino saat sahabatnya itu baru memasuki kelas mereka. Wajah Fino terlihat muram.

Memang biasanya Fino juga tidak pernah menunjukkan wajahnya yang ceria, namun entah mengapa Rayyan menilai bahwa hari ini aura Fino terlihat lebih suram.

Sepertinya sahabatnya ini sedang ditimpa suatu hal yang tidak mengenakkan, pikir Rayyan.

“Ini kita mau ke mana, anjing?!” tanya Rayyan dengan menggunakan nada tinggi yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.

“Temenin gua,” jawab Fino sekenanya sambil mulai melajukan kendaraan roda empat miliknya.

“Ya tau, TAPI MAU NEMENIN KE MANA SAT?!” tanya Rayyan kembali dengan penuh penekanan pada kata-kata yang terakhir.

“Ke rumahnya bunda Nana sayang,” jawab Fino tanpa menatap ke arah Rayyan. Dirinya fokus membelah jalanan raya yang tampak cukup padat di sore hari ini.

Sedangkan Rayyan? Dirinya hanya mengerjapkan kedua matanya berulang kali ketika mendengarkan jawaban yang dituturkan oleh Fino barusan.

Bunda Nana sayang?


Setelah bergelut dengan hiruk pikuk suasana kemacetan di ibu kota, akhirnya sekarang Fino dan Rayyan telah tiba di depan gerbang hitam yang berdiri kokoh menjulang ke atas.

Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam putih-hitam berjalan mendekat ke arah mobil Fino dan berkata, “Mau ada perlu apa ya mas? Bapak sama ibu lagi ga ada di rumah. Oh atau mas ini temannya non Brina juga ya?”

Juga ya? Fino sedikit bingung ketika mendengar hal tersebut. Pasalnya Fino tidak tahu jika di dalam sana sudah terdapat sahabat-sahabat Brina, tidak lain dan tidak bukan adalah Narion dan Hasta.

Karena tidak ingin membuat pria paruh baya yang berdiri di samping mobilnya itu menunggu jawabannya dengan lebih lama, maka Fino tidak terlalu memikirkan ucapan pria paruh tadi.

Fino yang tadi sempat sekilas melihat nama dari pria paruh baya itu di baju seragamnya pun menjawab, “Iya pak Aceng, saya Fino temennya Brina.”

Tanpa berbasa-basi lagi, pak Aceng langsung membukakan gerbang rumah dan mempersilahkan Fino untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir para tamu biasanya.

“Silahkan langsung masuk ke dalam aja mas, tadi dua temannya sudah duluan dari pagi malah.” ucap pak Aceng yang diakhiri dengan senyuman, dan gesture tubuh jempol tangan kanan mengarah ke pintu masuk rumah.

Fino membalasnya dengan anggukan ramah dan kemudian melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju ke depan pintu akses utama dari rumah itu yang memang sudah sedikit terbuka.


Di sisi lain, ketiga anak muda terlihat tengah membuat dapur rumah seseorang menjadi berantakan. Bahkan penampilan dapur itu sudah cocok mendapatkan sematan istilah kapal pecah.

Pelakunya adalah Brina, Narion dan Hasta.

Mereka sepertinya memiliki niat baik untuk membuat hidangan makan siang. Namun, sayangnya bukan suatu menu yang tersaji, melainkan justru kekacauan di mana-mana.

Ya, meskipun Brina adalah seorang perempuan, dirinya tidak dapat memasak. Mungkin ada satu yang dia bisa, memasak air.

Lagipula stigma masyarakat yang beranggapan bahwa semua perempuan di muka bumi ini harus bisa memasak sudah tidak relevan lagi di masa sekarang bukan?

“Brin, tadi kan gue udah bilang, kalo kiita mending pesen makanan aja!” teriak Hasta yang sedang membersihkan lantai yang terkena telur.

“Ya maap si, kan gue pengen nyoba resepnya si selebgram itu,” bela Brina yang tidak mau mengalah.

Brina sebenernya tahu bahwa kali ini dirinyalah yang salah. Hal itu sudah dapat dipastikan 100%.

Namun, kalian semua pernah dengar istilah ini bukan? Bahwa perempuan itu selalu benar. Dari situlah Brina merangkak dan membenarkan ulahnya pada hari ini.

“Udah-udah, jangan pada berantem,” sela Narion yang datang dari arah kamar mandi di lantai bawah dekat dengan tangga.

Ketika mereka bertiga masih sibuk untuk mengembalikan keadaan dapur seperti semula, derap langkah kaki yang dihasilkan dari suara sepasang sepatu yang beradu sukses menyita atensi mereka semua.

Brina menolehkan kepalanya dan dirinya terkejut bukan main ketika mendapati sosok yang tengah dihindarinya pada saat ini.

Fino.

Pemuda itu berdiri di depan sana sambil mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan maksud untuk menyapa dirinya. Tidak lupa juga menyunggingkan senyuman manis khasnya.

“Hai, Na?” ucapnya dengan nada yang sedikit canggung.


Di sinilah mereka semua berada. Duduk lesehan bersama pada ruang tengah rumah ini.

Brina sebagai tuan rumah yang baik memiliki inisiatif untuk membuatkan minuman bagi mereka semua, maka dirinya segera bergegas pergi ke dapur.

“Kalian temennya Brina ya? Kenalin gua Fino,” ujar Fino sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah tempat duduk Narion dan Hasta dengan maksud untuk menyalami mereka berdua.

Karena Narion tidak kunjung mengambil jabatan tangan Fino, maka Hasta langsung menarik tangan Fino dan menjabatnya, “Iya. Nama gue Hasta. Kalo dia Narion.”

Fino hanya ber-oh ria dan kembali duduk di tempatnya.

Rayyan sejak tadi hanya mengamati segala hal yang ada di sekitarnya. Entah mengapa perasaan pemuda itu menjadi sedikit gelisah sekarang.

Tak selang lama, Brina pun datang dengan memegang sebuah nampan yang berisi gelas-gelas minuman dingin di atasnya.

“Di kulkas cuma ada jus ini, gapapa kan? tanyanya sambil mengambil satu per satu gelas tadi dan meletakkannya di depan keempat pemuda itu.

Entah mengapa ketika akan memberikan gelas tersebut kepada Fino, Brina menjadi sedikit tidak fokus dan berakibat menumpahkan sedikit isinya pada pakaiannya sendiri.

“Kamu gapapa?” “Lo gapapa?”

Kalimat yang meluncur dari dua mulut orang yang berbeda membuat suasana justru menjadi hening seketika.

“Gapapa.” “Mau ganti baju dulu deh,” jawab Brina yang segera beranjak dari sana, meninggalkan dua orang tadi yang saling bersahutan, kini menjadi berpandangan dengan sengit

Setelah menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang satu sama lain, akhirnya rumah Brina menjadi senyap kembali. Hanya menyisakan Brina seorang diri di dalamnya.

Narion telah tiba di rumah Hasta untuk mengantarkan sahabatnya itu. Ketika ingin berpamitan pulang, tangan Hasta menahan lengannya.

“Gue rasa Fino orangnya. Temen rasa pacar atau pacar rasa temen Brina waktu masih SD.” “Lo jangan mau kalah sama dia. Karna selama ini gue udah ngalah demi lo,” ucap Hasta dengan nada seriusnya yang membuat Narion tertegun.

by scndbrr

Sejak tadi Rayyan tidak berhenti untuk memaki Fino di dalam hatinya. Bagaimana bisa temannya itu tidak mengatakan satu patah katapun kepadanya dan langsung menarik tangannya menuju ke arah parkiran?

Rayyan itu orangnya emosional, mudah sekali untuk marah ketika terdapat hal yang menyulut emosinya.

Karena kali ini sahabat dekatnya yang membuatnya naik pitam, maka dirinya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Namun tetap saja dirinya masih kesal dengan tindakan Fino sekarang.

Menurutnya perilaku Fino pada hari ini sangatlah aneh. Mulai dari ketika dirinya bertemu dengan Fino saat sahabatnya itu baru memasuki kelas mereka. Wajah Fino terlihat muram.

Memang biasanya Fino juga tidak pernah menunjukkan wajahnya yang ceria, namun entah mengapa Rayyan menilai bahwa hari ini aura Fino terlihat lebih suram.

Sepertinya sahabatnya ini sedang ditimpa suatu hal yang tidak mengenakkan, pikir Rayyan.

“Ini kita mau ke mana, anjing?!” tanya Rayyan dengan menggunakan nada tinggi yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.

“Temenin gua,” jawab Fino sekenanya sambil mulai melajukan kendaraan roda empat miliknya.

“Ya tau, TAPI MAU NEMENIN KE MANA SAT?!” tanya Rayyan kembali dengan penuh penekanan pada kata-kata yang terakhir.

“Ke rumahnya bunda Nana sayang,” jawab Fino tanpa menatap ke arah Rayyan. Dirinya fokus membelah jalanan raya yang tampak cukup padat di sore hari ini.

Sedangkan Rayyan? Dirinya hanya mengerjapkan kedua matanya berulang kali ketika mendengarkan jawaban yang dituturkan oleh Fino barusan.

Bunda Nana sayang?


Setelah bergelut dengan hiruk pikuk suasana kemacetan di ibu kota, akhirnya sekarang Fino dan Rayyan telah tiba di depan gerbang hitam yang berdiri kokoh menjulang ke atas.

Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam putih-hitam berjalan mendekat ke arah mobil Fino dan berkata, “Mau ada perlu apa ya mas? Bapak sama ibu lagi ga ada di rumah. Oh atau mas ini temannya non Brina juga ya?”

Juga ya? Fino sedikit bingung ketika mendengar hal tersebut. Pasalnya Fino tidak tahu jika di dalam sana sudah terdapat sahabat-sahabat Brina, tidak lain dan tidak bukan adalah Narion dan Hasta.

Karena tidak ingin membuat pria paruh baya yang berdiri di samping mobilnya itu menunggu jawabannya dengan lebih lama, maka Fino tidak terlalu memikirkan ucapan pria paruh tadi.

Fino yang tadi sempat sekilas melihat nama dari pria paruh baya itu di baju seragamnya pun menjawab, “Iya pak Aceng, saya Fino temennya Brina.”

Tanpa berbasa-basi lagi, pak Aceng langsung membukakan gerbang rumah dan mempersilahkan Fino untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir para tamu biasanya.

“Silahkan langsung masuk ke dalam aja mas, tadi dua temannya sudah duluan dari pagi malah.” ucap pak Aceng yang diakhiri dengan senyuman, dan gesture tubuh jempol tangan kanan mengarah ke pintu masuk rumah.

Fino membalasnya dengan anggukan ramah dan kemudian melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju ke depan pintu akses utama dari rumah itu yang memang sudah sedikit terbuka.


Di sisi lain, ketiga anak muda terlihat tengah membuat dapur rumah seseorang menjadi berantakan. Bahkan penampilan dapur itu sudah cocok mendapatkan sematan istilah kapal pecah.

Pelakunya adalah Brina, Narion dan Hasta.

Mereka sepertinya memiliki niat baik untuk membuat hidangan makan siang. Namun, sayangnya bukan suatu menu yang tersaji, melainkan justru kekacauan di mana-mana.

Ya, meskipun Brina adalah seorang perempuan, dirinya tidak dapat memasak. Mungkin ada satu yang dia bisa, memasak air.

Lagipula stigma masyarakat yang beranggapan bahwa semua perempuan di muka bumi ini harus bisa memasak sudah tidak relevan lagi di masa sekarang bukan?

“Brin, tadi kan gue udah bilang, kalo kiita mending pesen makanan aja!” teriak Hasta yang sedang membersihkan lantai yang terkena telur.

“Ya maap si, kan gue pengen nyoba resepnya si selebgram itu,” bela Brina yang tidak mau mengalah.

Brina sebenernya tahu bahwa kali ini dirinyalah yang salah. Hal itu sudah dapat dipastikan 100%.

Namun, kalian semua pernah dengar istilah ini bukan? Bahwa perempuan itu selalu benar. Dari situlah Brina merangkak dan membenarkan ulahnya pada hari ini.

“Udah-udah, jangan pada berantem,” sela Narion yang datang dari arah kamar mandi di lantai bawah dekat dengan tangga.

Ketika mereka bertiga masih sibuk untuk mengembalikan keadaan dapur seperti semula, derap langkah kaki yang dihasilkan dari suara sepasang sepatu yang beradu sukses menyita atensi mereka semua.

Brina menolehkan kepalanya dan dirinya terkejut bukan main ketika mendapati sosok yang tengah dihindarinya pada saat ini.

Fino.

Pemuda itu berdiri di depan sana sambil mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan maksud untuk menyapa dirinya. Tidak lupa juga menyunggingkan senyuman manis khasnya.

“Hai, Na?” ucapnya dengan nada yang sedikit canggung.


Di sinilah mereka semua berada. Duduk lesehan bersama pada ruang tengah rumah ini.

Brina sebagai tuan rumah yang baik memiliki inisiatif untuk membuatkan minuman bagi mereka semua, maka dirinya segera bergegas pergi ke dapur.

“Kalian temennya Brina ya? Kenalin gua Fino,” ujar Fino sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah tempat duduk Narion dan Hasta dengan maksud untuk menyalami mereka berdua.

Karena Narion tidak kunjung mengambil jabatan tangan Fino, maka Hasta langsung menarik tangan Fino dan menjabatnya, “Iya. Nama gue Hasta. Kalo dia Narion.”

Fino hanya ber-oh ria dan kembali duduk di tempatnya.

Rayyan sejak tadi hanya mengamati segala hal yang ada di sekitarnya. Entah mengapa perasaan pemuda itu menjadi sedikit gelisah sekarang.

Tak selang lama, Brina pun datang dengan memegang sebuah nampan yang berisi gelas-gelas minuman dingin di atasnya.

“Di kulkas cuma ada jus ini, gapapa kan? tanyanya sambil mengambil satu per satu gelas tadi dan meletakkannya di depan keempat pemuda itu.

Entah mengapa ketika akan memberikan gelas tersebut kepada Fino, Brina menjadi sedikit tidak fokus dan berakibat menumpahkan sedikit isinya pada pakaiannya sendiri.

“Kamu gapapa?” “Lo gapapa?”

Kalimat yang meluncur dari dua mulut orang yang berbeda membuat suasana justru menjadi hening seketika.

“Gapapa.” “Mau ganti baju dulu deh,” jawab Brina yang segera beranjak dari sana, meninggalkan dua orang tadi yang saling bersahutan, kini menjadi berpandangan dengan sengit

Setelah menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang satu sama lain, akhirnya rumah Brina menjadi senyap kembali. Hanya menyisakan Brina seorang diri di dalamnya.

Narion telah tiba di rumah Hasta untuk mengantarkan sahabatnya itu. Ketika ingin berpamitan pulang, tangan Hasta menahan lengannya.

“Gue rasa Fino orangnya. Temen rasa pacar atau pacar rasa temen Brina waktu masih SD.” “Lo jangan mau kalah sama dia. Karna selama ini gue udah ngalah demi lo,” ucap Hasta dengan nada seriusnya yang membuat Narion tertegun.

by scndbrr

CW // Self Harm CW // Blood

Di balik pintu kayu berlapiskan besi yang menjadi sekat antar ruang sempit tempat membuang hajat, di sana terdapat seorang gadis muda yang tengah terduduk di atas kloset duduk.

Kepalanya tertunduk dalam, hingga surai kecoklatan yang hari ini dengan sengaja dirinya biarkan terurai begitu saja menutupi seluruh bagian wajahnya.

Jemari-jemari lentiknya meremat ujung rok abu-abu yang dikenakan oleh dirinya dengan erat-erat dan tubuhnya terlihat bergetar dengan sangat hebat.

Karena sibuk untuk menenangkan tubuhnya yang terus saja bergetar, tanpa dirinya sadari, gadis itu menggigit bibir bawahnya hingga mengalirkan darah segar dari sana.

Sekuat tenaga gadis itu mati-matian menahan cairan bening yang mendesak untuk segera diloloskan dari kedua bola matanya yang mulai memanas.

Sesak.

Itu yang dirinya rasakan sekarang.

Jangan. Tolong, jangan lagi.

Dengan ragu-ragu tangan kanannya melepaskan rematan pada ujung roknya dan terulur untuk mengambil sebuah benda yang ada di dalam tasnya.

Benda itu.

Benda yang tidak pernah absen untuk selalu dirinya bawa ke manapun dirinya pergi.

Benda yang menjadi alat pelampiasannya ketika dirinya sedang berada di dalam kondisi yang seperti sekarang ini.

Benda yang sudah lama dirinya tinggalkan berkat kedua sahabatnya, Hasta dan Narion.

Namun sayangnya dengan sangat terpaksa, pada hari ini benda itu harus Brina gunakan kembali.

Benda tadi, merupakan sebuah cutter.

Brina membuka penutup cutter tersebut hingga terbuka dan menampilkan bagian tajamnya dengan sempurna.

Setelah terdiam sejenak untuk mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Brina memutuskan untuk melakukan aksinya yang sempat tertunda.

Cutter yang sebelumnya digenggam oleh tangan kanannya, kini dialihkan ke tangan yang kiri. Kemudian Brina merentangkan tangan kanannnya lurus ke depan.

Tanpa rasa takut, Brina menggoreskan bagian tajam cutter tadi pada tangan kanannya. Dirinya terlihat membuat pola-pola abstrak yang tidak beratura bentuknya di sana.

Apakah rasanya sakit? Tentu saja sakit.

Bagaimana bisa tidak sakit jika perlakuan gadis ini sekarang membuat darah segar bercucuran dari lengannya?

Namun, bagi Brina sendiri tidak mengapa. Karena hanya dengan cara inilah rasa cemas dan takut akibat trauma masa kecilnya dapat berangsur-angsur menghilang.


Di sisi lain, Fino tampak panik setengah mati karena tidak dapat menemukan sosok Nananya di manapun.

Pemuda itu sudah berlarian ke sana kemari untuk mencari Brina. Namun sayang, hasilnya nihil.

Bayangan Brina tidak dapat ditangkap oleh kedua netranya yang masih saja sibuk menelisik ke setiap sudut tempat ini.

“Kamu di mana sih, Na?” gumam Fino dengan nada yang terdengar sangat frustasi.

Dirinya mengusak surainya dengan kasar dan menendang kerikil-kerikil kecil yang ada di hadapannya untuk menyalurkan rasa kesal dan emosi yang meluap-luap.

“Apa mungkin masih di kamar mandi ya?” tanyanya kepada dirinya sendiri.

Tanpa berlama-lama lagi Fino menyusuri semua toilet wanita umum yang ada di tempat ini.

Mengabaikan tatapan aneh dan teriakan dari para kaum hawa yang terkejut melihat dirinya memasuki daerah yang dapat dikatakan cukup privasi untuk gender tersebut.

Sampai pada akhirnya Fino berhenti di depan salah satu pintu toilet yang terlihat terkunci dari dalam.

Menurut firasat pemuda itu, orang yang sedang dicarinya sekarang ada di dalam sana.

“Na? Nana? Kamu ada di dalem sini, Na?” panggil Fino sambil mengetuk pintu toilet itu.

Hening.

Tidak ada sahutan dari sana.

Samar-samar, Fino mendengar suara isakan lirih yang tertahan.

Fino yang yakin dengan apa kata hatinya sekarang, langsung berusaha untuk mendobrak pintu di depannya.

Berulang kali pemuda itu menabrakkan tubuhnya pada benda yang menjadi penghalang bagi dirinya sekarang.

Tanpa kenal lelah dan memikirkan rasa sakit yang mulai menjalar pada lengan dan bahunya, Fino terus berusaha seperti orang yang sedang kerasukan setan.

Setelah mencoba terus-menerus tanpa beristirahat, akhirnya pintu tadi berhasil terbuka.

Brak.

Tiada hasil yang mengkhianati usaha keras kita.

Untuk kali ini, Fino mengakui benar adanya slogan tersebut.

Betapa terkejutnya Fino ketika kedua bola matanya melihat pemandangan menyakitkan di depannya ini.

Di depan sana, Nananya tergelak begitu saja di lantai toilet yang sedikit basah dan dingin. Penampilannya tampak sangat kacau dengan darah yang berceceran di mana-mana.

Hati Fino berdenyut nyeri mendapati luka sayatan di sekujur lengan bawah kanan Brina.

Dia tahu.

Fino tahu bahwa Brina sendirilah yang membuat luka itu.

Dan hal itu semakin membuatnya menjadi ikut merasakan sakit.

Fino menggendong tubuh lemah Brina ala bridal style dan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Setelah sampai di rumah sakit, Brina segera mendapatkan pertolongan dari perawat di sana.

Fino yang dipersilahkan untuk menunggu di ruang tunggu hanya bisa menuruti perkataan perawat tadi.

Memang bukanlah luka besar atau penyakit yang amat serius, namun Fino masih saja diliputi oleh rasa gelisah.

Dirinya menautkan jemari kedua tangannya dan menekannya dengan kuat.

Buliran air bening sebesar biji jagung keluar bermunculan di sekitar daerah dahi dan pelipis pemuda itu.

Dia, cemas.

Fino tidak dapat menyembunyikan perasaan itu.

Perawat yang keluar dan menghampiri Fino pun belum selesai mengucapkan semua kalimat yang ingin disampaikannya kepada Fino.

Namun, Fino justru sudah berlari terlebih dahulu menuju brankar tempat Brina terbaring.

Fino mendudukkan dirinya pada kursi yang memang sudah tersedia di sana.

Setelah menghela napasnya dengan berat, salah satu tangan besarnya terulur untuk merapikan anak rambut Sabrina yang menjuntai dengan tidak rapi.

Dirinya menyelipkan rambut-rambut kecil tadi pada sela telinga kanan dan kiri Brina.

Sesekali, ditatapnya wajah tenang Brina yang sekarang sedang terlelap dengan lekat.

Pandangan yang dipancarkan oleh kedua manik Fino tampak sangat teduh.

Setelah puas memandangi wajah cantik yang tak akan pernah membuatnya bosan untuk memperhatikannya, Fino meraih tangan kanan Brina yang sudah dibalut oleh perban.

Fino mengusap perban luka itu menggunakan telapak tangannya dengan sangat hati-hati, kemudian mengecupnya.

“Na...” “Bunda Nana,” panggil Fino yang sudah tahu bahwa dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun.

Don't do that again.“ “Please, I beg you.

Setelah mengatakan hal itu, Fino menitikkan air matanya.

Pemuda itu menangis.

Menangis dalam diam, tanpa suara.

Dirinya tidak mau sampai mengganggu dan membuat Nananya terbangun.

Namun ternyata dia salah.

Brina, gadis itu tidak tertidur.

Dirinya hanya memejamkan kedua matanya karena tidak mau bersitatap dengan iris hitam legam milik pemuda ini.

Brina dapat merasakan perlakuan Fino barusan kepadanya.

Dirinya mendengarkan semua rentetan kata yang keluar dari belah bibir Fino.

Dan satu lagi.

Gadis ini juga tahu bahwa pemuda yang sekarang ini sedang bersamanya tengah menangis.

Nono menangis untuk Nananya.

by scndbrr

Suasana ruang Osis yang sedang digunakan untuk saling bertukar pikiran antar para peserta rapat pada siang menjelang sore hari ini terlihat semakin memanas.

Bukan.

Bukan karena orang-orang yang duduk di dalam sana kini sedang mendebatkan suatu persoalan.

Namun, karena para anggota rapat yang mulai kelelahan dengan pembahasan yang tidak kungjung menjumpai benang merah sejak tadi.

Hal itu ditambah lagi dengan perasaan jengkel yang hinggap pada beberapa orang diantara mereka. Mereka merasa kesal waktu pulangnya menjadi lebih lama dari para murid lain. Hasta contohnya.

Di sisi lain, terdapat Brina yang justru sibuk dengan pikirannya sendiri yang terus saja berputar mengelilingi benaknya sampai dirinya pun menjadi pening.

Eh Fino tau nggak sih kalo gue sekolah di SMANSA? Dia bakal ke sini ga ya? Gue kangen sama Fino, kangen banget malahan. Tapi jujur gue takut buat ketemu sama dia. Takut canggung.

Kira-kira begitulah isi pikiran Brina yang membuat fokusnya menjadi terbagi pada saat ini. Hingga ketika Narion memanggil namanya pun, gadis itu tidak menyadarinya.

“Brina,” panggil Narion lagi yang ketiga kalinya.

“Brin, lo dengerin gue tadi kan?” tanya Narion memastikan apakah Brina memperhatikan dirinya ketika sedang menjelaskan mekanisme event yang akan meraka garap bersama dalam waktu dekat ini.

Hasta yang melihat sahabatnya itu masih saja tidak merespon Narion sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Brina dan tangan kanannya terulur untuk menepuk pelan pipi gadis itu.

“Heh! Lo ditanyain itu sama si Narion, nyet!” seru Hasta yang mampu membangunkan Brina dari lamunannya.

“Eh? Gimana-gimana? Sorry, tadi gue kurang merhatiin hehe,” ucap Brina jujur yang diakhiri dengan kekehan garingnya.

“Oke kalau gitu, kita cukupkan aja rapat kali ini. Gue liat kalian udah pada cape, jadi kurang bisa fokus ke forum ini. Besok, kita lanjut lagi ya. Untuk jamnya menyusul. Terima kasih semua,” ujar Narion selaku pemimpin rapat.

Para anggota rapat terlihat sumringah ketika mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh kepala mereka. Akhirnya ketua mereka ini melunak setidaknya untuk hari ini saja.

Satu per satu anggota pengurus Osis bergegas meninggalkan ruangan rapat ini hingga tinggal menyisakan tiga anak di dalamnya.

Di sana ada Brina, Hasta, dan Narion.

Baru saja Narion ingin membuka mulutnya untuk menanyakan mengapa hari ini Brina tidak terlihat seperti biasanya, namun gadis itu justru sudah meninggalkan ruangan rapat begitu saja.

“Gue balik duluan yak, lagi mau ada urusan mendadak nih,” pamitnya kepada kedua sahabatnya yang menampilkan raut wajah kebingungan.


Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, seorang gadis belia tengah berdiam diri, terpaku pada sosok yang ditangkap oleh kedua netranya itu. Sang gadis masih tidak percaya akan apa yang dilihat oleh dirinya sendiri.

Semuanya terasa seperti mimpi.

Sebab dari kata “kebetulan” yang sering diucapkan oleh orang-orang disekitarnya, persentase dirinya untuk dapat mengalami hal ini sangatlah kecil, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin.

Dia.

Sosok yang mengisi ruangan khusus di dalam hatinya, ada di depan sana. Berdiri dengan gagah serta menyunggingkan senyuman manis khasnya yang membuat kedua matanya menghilang.

“Woi, brin! Napa lu? Abis liat setan? Kok cengo gitu mukanya?” tanya Hasta terus-menerus yang merasa heran melihat gelagat aneh Brina.

“Nyet! Lo kemasukan apa gimana, njing?!” tambah Hasta yang mulai sedikit meninggikan nada bicaranya.

Di seberang sana, seorang pemuda yang menyadari atensi dari orang yang telah membuat dirinya menunggu hingga hampir satu jam itu mulai mendekat.

Dirinya melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk memasuki kawasan sekolah yang bukan merupakan almamaternya sendiri.

Tatapan kedua manik yang memiliki iris hitam legam itu mampu membuat siapapun yang melihatnya dapat ikut turut tenggelam bersamanya.

Teduh sekali pembawaannya. Rasa nyaman langsung menyeruak di dalam diri gadis itu ketika dirinya bersitatap dengan pribadi yang selalu mengisi kepalanya selama sembilan tahun ke belakang.

Setelah dirinya sudah berpijak tepat di hadapan gadisnya itu, lantas tanpa berbasa-basi lagi, Fino langsung menarik lengan Brina ke arahnya hingga membuat Brina yang tidak siap dengan gerakan cepat Fino menjadi limbung dan menabrak dada bidang milik pemuda itu.

Kedua tangan besar Fino mendekap punggung sempit Brina yang kini sedang berada di dalam pelukannya.

Karena selisih tinggi badan mereka berdua yang terpaut cukup jauh, membuat Fino menumpukan dagunya di atas kepala Brina dengan nyaman.

“Nana, I miss you, I miss you, I miss you,” gumam Fino yang masih dapat didengar dengan jelas oleh indera pendengaran Brina.

Brina hanya dapat menahan senyumnya. Kedua ujung bibirnya terus saja memaksa untuk terangkat ke arah kanan dan kiri ketika mengetahui bahwa Nononya ini tidak berubah. Dia masih Nono yang dulu. Nono yang selalu memberikan pelukan hangat baginya.

Posisi keduanya saat ini sukses membuat siswa-siswi lain yang masih ada di sana terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Pasalnya mereka seperti sedang melihat sepasang kekasih yang tengah saling menyalurkan rasa rindu yang telah lama terpendam dalam waktu yang cukup lama.

Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Hasta dan Narion.

Hasta sampai menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan kedua tangannya akibat terlalu shock melihat kejadian yang ada di depan matanya ini.

Sedangkan Narion masih dengan wajah dingin dan cueknya menatap tajam ke arah Fino. Jujur saja, tatapan Narion cukup sulit untuk dapat diartikan.

Brina yang mulai menyadari bahwa kini dirinya dan Fino tengah disoroti oleh beberapa pasang mata, maka dirinya langsung melepaskan pelukan dari Fino.

Fino yang mengetahui bahwa Brina sedang menghindari tatapan-tatapan yang mengisyaratkan tanda tanya besar dari orang-orang yang ada di sana justru menggenggam jemari lentik milik Brina.

Pemuda itu membawa Brina ke arah tempat parkir motornya yang tidak jauh dari sana.

Fino meraih sebuah helm bogo yang memang baru ia beli berusan untuk Brina. Pemuda itu memakaikan helm tadi dengan sangat hati-hati kepada Brina.

Setelah selesai memakaikan helm, Fino lantas menurunkan footstep pada motornya untuk Brina.

Brina hanya terdiam dengan kedua sorot matanya yang tidak pernah lepas dari gerak-gerik pemuda itu.

Masih belum selesai. Fino melangjutkannya dengan melepas jaket yang ia kenakan dan mengikatkannya di pinggang ramping milik Brina.

Tampaknya pemuda itu tahu jika rok Brina cukup pendek, sehingga jika dirinya naik motor maka nanti akan tersingkap.

Fino ingin memberikan kenyamanan untuk Brina supaya gadis itu tidak merasa risih.

Sekarang, pertahanan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Brina harus runtuh, hancur, berantakan begitu saja. Dan Fino adalah pelakunya.

by scndbrr

Brina pov.

Kata orang, anak itu adalah suatu anugerah. Anugerah terbesar yang dititipkan oleh Sang Pencipta. Maka dari itu, banyak pasangan suami-istri yang menantikannya.

Benar seperti itu kan? Atau aku salah?

Bukankah seharusnya orang tua memberikan pelukan hangat bagi para anaknya ketika mereka telah lahir?

Entahlah.

Selama aku hidup, yang aku tahu seperti itu. Aku melihat para orang tua lain berlaku demikian dengan anaknya.

Menurutku, jika mereka saja sangat menunggu kehadiran dari anak-anak itu, bukankah sudah sepantasnya akan demikian?

Bukankah seharusnya mereka menyelimuti buah hatinya dengan limpahan kasih sayang yang tidak akan pernah habis persediannya?

Bukankah mereka akan selalu menjadi garda terdepan yang selalu siap kapanpun untuk melindungi darah dagingnya sendiri?

Bukankah mereka berdua sudah seharusnya menjadi sandaran bagi para anaknya?

Membantunya untuk dapat berdiri kembali ketika dirinya terjatuh.

Menyeka bulir bening yang keluar dari kedua maniknya ketika dirinya menangis.

Mengucapkan rangkaian kata penenang ketika dirinya sedang dilanda rasa cemas.

Menemaninya ketika dirinya berada di titik terendah dalam hidup mereka.

Bukankah semua itu adalah hal dasar yang sudah selayaknya menjadi kewajiban dari mereka berdua, penyebab pribadi itu datang ke dunia ini?

Namun, mengapa tidak dengan diriku? Mengapa aku tidak demikian? Mengapa aku diperlakukan berbeda?

Hadirnya diriku ke dunia ini seolah-olah tidak diharapkan oleh mereka.

Bukan.

Aku bukanlah hasil dari hubungan gelap, perselingkuhan, atau bahkan kecelakaan.

Kedua orang itu tidak pernah menganggap adanya diriku. Kehadiranku tidak dapat mengalihkan perhatian mereka. Mereka berdua terlalu sibuk dengan egonya masing-masing.

Sampai mereka lupa, ada aku di sini.

Namun tidak mengapa, karena aku dapat menemukan sosok dia.

Karena dia, aku dapat merasakan setidaknya sekali, bagaimana hangatnya ketika berada di dalam sebuah keluarga yang dapat menjadi rumah yang nyaman bagi diri kita.

Brina pov end.


Author pov.

“Eh sorry, sorry. Kok gue jadi mellow gini sih hahaha,” ucap seorang gadis belia sambil mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap cairan bening pada pipinya.

“Udah ya? Nggak usah dilanjutin lagi wawancaranya. Liat kan? Gue juga udah bilang kalo cerita tentang keluarga gue itu nggak menarik,” tambah gadis tadi yang kini sudah beranjak berdiri dari kursi tempatnya duduk. Gadis itu kemudian sedikit merapikan roknya abu-abunya dan melangkahkan kakinya keluar ruangan bernuansa biru dongker yang tidak terlalu luas itu.

“Jadi gimana nih?” tanya seorang pemuda yang usianya dapat diperkirakan sepantar dengan gadis tadi.

“Lo sih, Has! Kan gue udah bilang jangan bahas keluarga sama Brina,” ujar pemuda lainnya yang terlihat cukup marah karena mukanya yang memerah. Lalu pemuda itu juga keluar dari ruangan untuk menyusul gadis tadi yang merupakan sahabat dekatnya.

“Ya gimana mau nggak bahas soal keluarga, orang tema tugasnya aja begitu,” gumam Hasta setelah kedua sahabatnya meninggalkannya sendirian di kamar tidurnya.

Author pov end.


Fino pov.

Kalau saja di dunia ini diadakan perlombaan keluarga harmonis, saya penuh percaya diri akan mengatakan dengan lantang bahwa keluarga sayalah yang pasti akan menjuarainya.

Serius, saya sedang tidak bercanda.

Saking harmonisnya keluarga saya, saya saja tidak pernah melihat kedua orang tua saya menggunakan nada bicara yang tinggi. Apalagi melihat ayah saya menggunakan kekerasan untuk mendidik kedua jagoannya.

Kalau ditanya senang atau tidak, sudah tentu jawabannya adalah iya.

Namun, apakah ada yang tahu isi hati saya yang sesungguhnya?

Mungkin bagi kebanyakan orang, keluarga kami akan menjadi rumah yang dipenuhi oleh sukacita.

Keluarga kecil yang mampu memberikan dekapan hangat ketika saya merasa kesepian.

Keluarga kecil yang siap menjadi perisai untuk saya ketika saya mendapat ujaran kebencian dari orang lain.

Keluarga kecil yang mampu memahami diri saya dengan sangat baik.

Keluarga kecil yang mendukung semua hal apapun yang saya geluti.

Keluarga kecil yang selalu diidam-idamkan oleh semua orang.

Lantas apakah benar begitu?

Saya ini adalah seorang anak laki-laki.

Laki-laki sekali lagi saya tekankan.

Mengapa semua hal selalu dibebaskan untuk saya? Mengapa saya tidak dilarang melakukan hal ini atau itu? Mengapa sekarang saya merasa bahwa mereka tidak peduli dengan diri saya?

Mengapa? Saya tanya, mengapa?

Apakah benar, mereka membebaskan saya hanya karena tidak ingin direpotkan oleh diri saya? Apakah benar demikian?

Bukannya saya menjadi seorang anak yang tamak dan tidak mau bersyukur.

Namun, bukankah teguran dari orang tua kita juga merupakan bahasa cinta dari mereka untuk kita para anaknya?

Mereka berdua tidak pernah membenarkan saya ketika saya sedang berjalan pada jalan yang salah. Tidak pernah mengingatkan saya. Tidak pernah juga mengkritik saya.

Jujur saja, saya menjadi bingung sendiri.

Saya juga ingin dimarahi. Saya ingin diteriaki. Bahkan saya juga ingin dipukul, jika perlu.

Karena hanya dengan begitulah, saya menjadi merasa diperhatikan oleh mereka. Bukannya hanya ditemani oleh mbok di rumah saja.

Entahlah.

Seolah-olah Tuhan tahu apa yang saya inginkan ini, sehingga Tuhan mengirimkan dia kepada saya.

Dia hadir dan merubah segalanya.

Membuat tiga bulan saya pada saat itu menjadi lebih berwarna.

Fino pov end.


Author pov.

Dua anak manusia yang memiliki latar belakang keluarga yang jauh berbeda. Bahkan perbedaannya hingga 180 derajat.

Mereka berdua dipertemukan oleh sebuah kebetulan yang dapat dikatakan cukup konyol.

Namun, siapa sangka jika ketidaksengajaan itu merupakan skenario terbaik yang telah disusun oleh yang ada di atas sana?

Cerita yang dirancang dengan sedemikian rupa bagi mereka berdua.

Ketika dua insan yang saling memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, menjadi penawar bagi rasa sakit dan sepi yang hinggap di relung hati mereka.

Ketika dua pribadi dengan dua jalan pemikiran yang berbeda disatukan menjadi satu anggota tubuh.

Ketika dua perasaan yang berbeda kini telah melebur menjadi satu.

Ketika semua hal itu terjadi, maka kisah mereka berdua pun dimulai.

Apakah kalian pernah mendengar mengenai first love? Apakah kalian mempercayai adanya first love? Apakah kalian setuju dengan pernyataan orang lain yang mengatakan bahwa first love itu tidak akan pernah berhasil?

Bagi Fino, Brina adalah cinta pertamanya. Dan bagi Brina, Fino pun juga merupakan cinta pertamanya.

Saat itu mereka berdua masih terlalu muda. Terlalu muda untuk mengenal tentang cinta. Terlalu dini untuk dapat menganggap serius sebuah hubungan.

Namun, tidak ada yang tahu. Baik Fino, Brina, hingga kita sendiri.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Ada hal apa yang telah menunggu mereka berdua di depan sana. Hal yang baik kah? Atau bisa jadi, hal yang buruk kah?

Selamat mengikuti kisah mereka berdua.

by scndbrr

Flashback.

Grena adalah wanita yang hidup dengan prinsip yang telah dibuat oleh dirinya sendiri. Dirinya berpendirian kuat, dan sampai kapanpun hal itu tidak akan dapat dipatahkan oleh siapapun. Namun, siapa sangka jika semua keteguhannya tadi dapat dirobohkan oleh sosok pria yang masih berstatus sebagai suaminya?

Jevano Adelard, adalah orang pertama yang mampu menembus ke dalam pertahanan yang telah dibentuk oleh Grena. Pria itu mampu menyihir Grena untuk menjadi seseorang wanita bodoh yang mau bertekuk lutut di hadapannya.

Katakan saja jika Grena adalah wanita tidak waras, yang masih mau untuk mempertahankan rumah tangganya bersama Jevano, yang jelas-jelas tidak layak untuk diperjuangkan. Namun, kita semua di sini tidak berhak atas kehidupan Grena. Jadi, biarlah wanita itu sendiri yang memutuskan mau bagaimana dirinya menjalani hidupnya.

Setelah mengatakan dengan gamblang kepada Jevano bahwa dirinya ingin berpisah dengan membatalkan janji pernikahannya, Grena benar-benar pergi angkat kaki dari rumah yang ia tinggali selama kurang lebih hampir enam bulan itu. Ia menghilang begitu saja dari jangkauan Jevano bagaikan ditelan bumi.

Jevano masih berusaha untuk terus mencari wanitanya. Dirinya bertanya kepada teman-teman terdekat Grena, mengunjungi apartemen istrinya itu setiap hari, bahkan sampai mencari tahu jadwal pemotretan Grena yang memang sudah berpindah ke perusahaan lain.

Sayangnya, semua kerja kerasnya untuk dapat bertemu kembali dengan wajah cantik milik wanita itu berujung pada kekecewaan yang besar. Pasalnya, Jevano tidak dapat menemukan Grena di mana pun meski sudah mengerahkan seluruh kemampuannya.

Kalian semua ingin tahu bagaimana keadaan Jevano setelah Grena pergi dari kehidupannya? Hancur, kacau, dan berantakan mungkin dapat mendeskripsikannya dengan baik. Dirinya menjadi seperi orang yang kehilangan semangat hidup. Menjadi orang yang kehilangan akal untuk dapat berpikir dengan jernih lagi.

Sungguh memprihatinkan. Pria itu bahkan selalu bolos bekerja hanya untuk bermalas-malasan dengan merebahkan tubuhnya pada kasur Grena. Ya, selama Grena pergi dirinya tidur di kamar tamu yang menjadi kamar Grena selama ini. Jevano seperti orang yang baru saja ditinggal pulang untuk selamanya oleh belahan jiwanya.

Pada malam hari, dirinya selalu mengajak sahabat-sahabatnya untuk mabuk-mabukan di salah satu bar yang sudah menjadi tempat langganan mereka. Di sana, Jevano akan menenggak banyak gelas minuman, hingga jika diperhitungkan dapat menghabiskan beberapa botol.

Siklusnya adalah biasanya pria itu akan bercerita bagaimana Grenanya pada saat kuliah dulu. Dirinya dengan bangga mengatakan bahwa istrinya itu adalah dewi kampus yang menjadi incaran banyak mahasiswa. Selain cantiik, dirinya juga menceritakan kecantikan attitude Grena yang selalu membantu orang lain.

Kemudian Jevano akan melanjutkan ceritanya mengapa dirinya harus membuat kontrak pernikahan dengan Grena. Bagaimana ia memperlakukan Grena selama ini. Hingga hari di mana tragedi menegerikan itu terjadi. Pada saat Jevano dengan teganya menyuruh Margo untuk menyiksa Grena di depan matanya sendiri.

Jika diingat-ingat kembali, segala rintihan kesakitan dan suara Grena yang terdengar sudah sangat putus asa ketika berteriak meminta tolong kepadanya itu membuat hatinya berdenyut nyeri. Tidak munafik, Jevano tahu bahwa kesalahannya yang satu itu memang tidak pantas untuk mendapatkan maaf dari Grena.

Namun, bukankan bukan Jevano sendiri yang menyentuh Grena pada saat itu? Meskipun bukan berarti Jevano dapat lepas dari tanggung jawab, hanya saja bukankah berlebihan jika dirinya disalahkan atas hla tersebut? Kemudian, saat itu Jevano juga masih diselimuti oleh kabut balas dendam yang membara. Jadi, bagaimana bisa dirinya berpikir dengan menggunakan kepala yang dingin?

Sekali lagi, itu semua bukanlah pembenaran yang dapat Jevano gunakan sebagai tameng untuk melindungi dirinya sendiri. Hanya saja, bisakah kalian juga melihat beban penderitaan yang selama ini dpikul pada kedua bahu tegapnya? Mungkin bahu itu selalu dapat terlihat kokoh dan kuat. Namun, apakah kalian semua pernah memikirkan apa yang sebenarnya dirasakan oleh pria itu ketika harus menanggung ini semua?

Bukan hanya Grena yang hidupnya dipenuhi oleh lika-liku, batu terjal, bahkan rintangan yang selalu siap untuk menghadangnya. Jevano juga. Meskipun berbeda, namun Jevano juga memiliki kisah pahit dan pilu di dalam kehidupannya. Mungkin jika ada alat yang dapat untuk me-reset kehidupannya, maka dirinyalah yang akan mengajukan diri pertama kali untuk melakukannya.

Apakah kematian Mima, adik perempuannya itu kemudian menjadi akhir dari segalanya? Jawabannya tentu tidak. Karena bahkan dirinya tidak dapat mengatakan siswi SMA yang terbunuh oleh Yarsa, yang dimaksud oleh penyiar berita di televisi itu adalah adik kandungnya sendiri.

Jangan lupakan juga soal om, tante, dan sepupu-sepupunya yang menjadi dalang dari kasus itu. Ya, Jevano dan keluarganya sudah tahu. Namun mereka tidak dapat berbuat lebih, sebab percuma juga karena tidak ada bukti kuat yang dapat mendukung pernyataan mereka.

Yarsa? Memang benar Jevano tahu semuanya dari mulut Yarsa. Meskipun tidak langsung, melainkan melalui perantaraan orang ain yaitu Jayden. Namun, dirinya tetap sudah mengetahui fakta asli dibalik hilangnya hingga berujung kematian yang menimpa adiknya. Yarsa dan oraganisai “Vero Uomo” tidak dapat membeberkan detail klien atau bahkan memberikan bukti transaksinya kepada Jevano.

Taraka yang hafal sekali dengan cerita yang sudah diutarakan oleh Jevano barangkali ada sampai jumlahnya puluhan kali itu dapat memastikan bahwa sebentar lagi sahabatnya akan tumbang. Dan benar saja, tidak sampai dirinya menghitung hingga angka lima, tubuh Jevano sudah limbung ke arah dirinya.

Sudah terhitung hampir tiga bulan lamanya Grena menghilang begitu saja. Dan selama itu juga penampilan Jevano juga telah berubah menjadi seperti gelandangan yang tidak terawat. Rambutnya yang sudah memanjang hingga menyentuh pundaknya sendiri. Kumis dan janggut tipis pun juga tidak dapat dihndari untuk tumbuh pada areanya karena Jevano terlalu malas untuk sekedar menggunakan pisau cukur.

Pada suatu hari Taraka, Johan, Darrel dan Jevano memiliki rencana untuk berlibur ke luar kota. Ini semua adalah ide brilian dari Johan yang memiliki niat untuk membuat Jevano dapat mengikhlaskan kepergian Grena. Bukankah Jevano juga harus tetap melanjutkan hidupnya sendiri? Lihat, padahal dirinya tidak sedang ditinggal mati seseorang, namun mengapa bahasanya menjadi seperti demikian?

Entahlah. Yang pasti ketiga temannya sudah siap sejak tiga puluh menit yang lalu. Mereka bertiga hanya tinggal menunggu kehadiran Jevano saja kemudian langsung dapat berangkat menuju ke bandara. Namun, hingga hampir waktunya untuk segera berangkat supaya tidak tertinggal pesawat mereka, Jevano belum juga menunjukkan batang hidungnya.

Tarakan yang panik dan memiliki firasat buruk kepada salah satu sahabatnya itu langsung memberikan komando kepada yang lain untuk mengunjungi rumah Jevano pada saat itu juga. Benar saja apa yang tadi dipikirkan oleh Taraka tadi. Jevano mereka temukan dalam keadaan sekarat setelah menenggelamkan dirinya pada bathup. Sudah gila nampaknya pria itu.

Johan yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi mengenaskan sahabatnya itu langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi Grena. Beruntung Johan memang sudah mengenal Grena, jadi dirinya juga memiliki nomor ponsel wanita itu. Johan langsung menjelaskan keadaan Jevano selama dirinya absen di rumah begitu panggilannya diterima oleh Grena.

Terdengar helaan nafas berat dan juga suara gemetar karena khawatir Grena di ujung sana. Hal itu sukses membuat Johan tersenyum kecil karena sudah tidak dapat lagi menahan kedua ujung bibirnya yang terus saja mendesak untuk merentangkan diri mereka ke arah kanan dan kiri. Ternyata istri sahabatnya itu masih peduli, pikirnya.

Grena yang pada saat itu menginap di salah satu vila miliki Nasa langsung bergegas untuk pulang menuju ke rumah Jevano. Dirinya yang sangat begitu panik sampai tidak sadar menggunakan alas kaki yang berbeda pasangannya. Surainya juga terlihat berantakan dan sedikit kusut akibat dari dirinya yang lebih memilih untuk menggunakan ojek online. Menurutnya kendaraan roda dua itu akan dapat membawanya lebih cepat sampai ke tujuan.

Sesampainya Grena di sana, membuat sahabat-sahabat Jevano pamit undur diri untuk dapat memberikan ruang kepada pasutri itu. Jevano yang belum kunjung membuka kedua kelopak matanya menimbulkan rasa risau di hati Grena. Wanita itu terlihat takut akan kehilangan dunianya.

Dunianya. Jevano sudah mampu menyabet gelar itu. Dirinya telah mendapatkan sematan yang diidam-idamkan oleh pria-pria lain di luar sana. Karena pada akhirnya, Grena telah menjatuhkan hatinya sejatuh-jatuhnya untuk pria yang di mata orang brengsek, yang pernah membuatkan menangis hingga menjerit kesakitan.

© scndbrr

Flashback.

Semua anak pastilah memiliki setidaknya satu buah mimpi di dalam hidup mereka. Hal tersebut tentu saja sangat beraneka ragam macamnya.

Ada anak yang mendambakan suatu keluarga yang dapat menyayanginya dan memperhatikannya setiap saat. Ada anak yang menginginkan hidup bahagia bersama saudara-saudarinya. Ada juga anak yang berharap dapat menyendokkan satu suap nasi ke dalam mulutnya pada esok hari dan hari-hari berikutnya.

Mimpi mereka semua berbeda dan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya tidaklah sama. Mulai dari keinginan yang sederhana hingga keinginan yang memiliki ambisi kuat di dalamnya tumbuh di dalam diri masing-masing anak tersebut.

Tidak munafik, dari dulu sampai detik ini pun memang uanglah yang dapat berkuasa berdiri dengan tegak di atas kejayaannya. Aturan mainnya adalah, “Jika kalian tidak punya uang, persiapkan dirimu untuk menjadi orang buangan”.

Terdengar kasar dan tidak bermoral ketika kita tinggal di sebuah negara hukum. Namun begitulah dunia ini bekerja. Yang kaya akan menjadi semakin banyak hartanya, sedangkan yang miskin akan semakin tertindas.

Seorang anak laki-laki yang memiliki otak cemerlang terpaksa harus merelakan segala impian yang telah terancang dengan apik di benaknya karena hambatan perihal barang tadi.

Uang.

Jika kalian semua bertanya, “mengapa dirinya tidak mencoba dulu untuk mencari beasiswa saja?” jawabannya adalah “sudah, tapi percuma”.

Orang yang berlagak sebagai karakter utama di dalam sebuah drama itu memiliki 1001 cara untuk dapat membuat orang kecil tadi tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Mereka tamak, seakan tidak mau membiarkan kaum bawah untuk juga dapat berkembang.

Jahat, adalah satu kata yang tepat untuk dapat menggambarkan perilaku mereka. Memang betul bahwa tidak semua orang bergelimangan harta akan berbuat demikian, namun sialnya anak laki-laki itu terus saja bertemu dengan mereka yang memiliki watak serakah.

Anak laki-laki itu harus merelakan masa mudanya yang biasanya dipenuhi oleh kenangan manis bersama dengan teman-teman sebayanya demi dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Kehilangan sosok ayah yang berperan sebagai kepala dan tulang punggung keluarga ketika dirinya masih mejadi seorang remaja yang labil bukanlah perkara yang mudah.

Dirinya harus dapat menebus obat-obatan milik ibunya yang terkena penyakit serius dan juga harus membiayai adiknya untuk dapat duduk di bangku sekolah mengikuti kegiatan pembelajaran.

Bagi dirinya, semua ini terjadi secara tiba-tiba. Dalam satu malam, kehidupannya yang bersinar dengan terang seakan-akan berubah diselimuti oleh kekelaman yang sangat menakutkan.

Dia, tidak pernah mengeluh mau bagaimana pun situasi yang telah dihadapinya sekarang ini. Ralat, bukannya tidak pernah. Namun lebi tepatnya, berusaha keras untuk terlihat tidak pernah mengeluh di depan dua orang yang kini bergantung kepadanya.

Bagaimana pun juga anak laki-laki itu masih seorang anak-anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perlindungan penuh dari para orang dewasa.

Lagi-lagi sayangnya takdir Tuhan tidak mau berpihak kepadanya. Alhasil dirinya harus tetap menyunggingkan senyuman manis pada belah bibirnya padahal hatinya hancur, remuk, redam di dalam sana.

Terbesit kata “menyerah” pada pikirannya adalah hal yang dialami olehnya pada setiap saat. Namun, ketika anak laki-laki itu teringat akan wajah berseri milik ibunya ketika sedang bahagia dan bagaimana adik laki-lakinya tertawa dengan lelucon konyol yang sering dirinya lontarkan begitu saja, maka kata itu dapat musnah seketika.


Hari ini cuaca tampak tidak mau bersahabat dengan orang-orang yang memiliki aktivitas di luar ruangan. Bagaimana tidak jika matahari terlihat menyoroti bumi ini dengan sinarnya yang dapat membuat kulit siapapun akan terasa seolah-olah sedang terbakar. Hal itu sukses membuat suhu udara pada lingkungan sekitar menjadi naik.

Peluh terus saja mengalir pada pelipis orang-orang yang sedang menunggu kendaraan darat mereka ini agar segera melaju. Tidak jarang terdapat orang-orang yang mengibaskan tangannya untuk mendapatkan sedikit sensasi dingin yang sebetulnya tidak akan mereka peroleh dengan melakukan hal itu.

“Air mineralnya, bu? Mau yang biasa atau yang dingin? Saya ada semua” tawar seorang anak laki-laki yang menggunakan kaos hitam polos dan celana abu-abu seragam anak SMA.

“Yang biasa satu ya dek,” ucap wanita paruh baya itu dengan lembut kepada anak tadi yang menawarkan air kepadanya. Sesungguhnya wanita itu iba melihat anak laki-laki yang seumuran dengan putranya harus berjualan minuman seperti ini pada sebuah terminal bus.

“Baik bu,” jawab anak laki-laki tadi sambil meraih satu botol air mineral di dalam keranjang plastik besar yang ia bawa.

“WOI! BURUAN TURUN!! INI BUSNYA UDAH MAU JALAN!!!” bentak seorang laki-laki prauh baya yang diyakini merupakan kondektur bus ini.

“Terima kasih banyak bu. Iya pak tunggu sebentar,” jawab anak laki-laki tadi yang tengah terburu-buru untuk melangkahkan kedua kakinya menuju ke pintu bus untuk segera keluar dari sana.

Tidak berhenti di sana, anak laki-laki tadi terus saja berpindah dari bus yag satu ke bus yang lain untuk menawarkan air mineral dan berbagai minuman penyegar lainnya kepada para penumpang yang ada di sana.

Dirinya merasa bahwa hari ini terasa dua kali lipat lebih melelahkan daripada hari-hari yang dia tempuh biasanya. Bukan hanya karena cuaca yang cukup panas. Melainkan juga karena dari pagi hingga sore menjelang malam ini, dirinya belum juga mengisi perutnya yang sejak tadi sudah berteriak untuk meminta asupan. Anak laki-laki itu tidak sarapan dan juga melewatkan makan siangnya, padahal semalam dirinya juga tidak makan apapun.

Kini kepalanya menjadi pening dan penglihatannya mulai kabur. Dirinya berhenti berjalan dan meletakkan keranjang minumannya di tanah, kemudian tangan kanannya terulur untuk memegangi sebuah tiang besi untuk baliho yang tidak jauh dari tempatnya kini berdiri.

“P-pusing banget...” lirih anak laki-laki tadi sambil mencengkeram rambutnya sendiri kuat-kuat dengan menggunakan satu tangannya yang menganggur. Secara perlahan pertahanan anak laki-laki tadi runtuh. Tubuhnya ambruk begitu saja karena sudah kehilangan keseimbangannya.


Kedua kelopak mata anak laki-laki itu mulai terbuka setelah terpejam terhitung hampir dua jam lamanya dia tidak sadarkan diri. Kedua netranya bergerak untuk menyusuri ada di mana dirinya sekarang ini.

Dahinya berkerut dalam begitu anak laki-laki itu menangkap satu sosok pria dewasa yang wajahnya terlihat dingin sedang menatap ke arahnya.

“Akhirnya bangun juga,” gumam pria dewasa tadi yang masih bisa didengar oleh anak laki-laki itu.

“Anda siapa om? Ini saya lagi ada di mana? Kok saya bisa di sini?” tanya anak laki-laki itu berturut-turut mengekspresikan kebingungan yang tengah melandanya sekarang.

“Betul nama kamu Yarsa Audriant?” bukannya menjawab, pria tadi justru balik bertanya kepada anak laki-laki itu. Yarsa hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pria tadi kepadanya barusan.

“Sepertinya saya punya penawaran menari yang tidak akan kamu tolak,” ucap pria tadi yang tengah memandang lurus ke arah kedua manik Yarsa. Pria itu terlihat serius dengan ucapannya barusan. Kedua alis Yarsa bertaut seolah-olah menjelaskan bahwa anak laki-laki yang polos itu tidak mengetahui maksud dari perkataan pria tadi.

“Saya tahu kamu butuh uang buat bisa tetap hidup kan? Oh bukan kamu aja, tapi ada ibu dan adik laki-laki kamu. Benar?” jawab pria tadi yang sukses membuat kedua matanya membola begitu mendengar penuturan darinya.

Bagaimana bisa pria itu tahu kalau aku tinggal bersama dengan ibu dan adik laki-lakiku? batin Yarsa dalam hati. Menurut Yarsa, pria itu dapat mengetahui nama lengkapnya dari kartu pelajar yang ada di dompet miliknya. Namun bukankah dirinya tidak pernah membawa kartu keluarganya di dalam dompet? Lantas bagaimana pria itu dapat mengetahui informasi tentang keluarganya?

“Jangan bingung gitu. Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak cuma tahu informasi pribadi tentang kamu saja. Banyak orang di luar sana yang saya pegang juga informasi pribadinya,” jelas pria tadi yang paham akan kebingungan yang tergambar dengan gamblang di wajah Yarsa.

“Kalau kamu mau bekerja dengan saya, bergabung sama organisasi yang saya buat, saya bakal jamin kehidupan kamu akan menjadi lebih baik, bahkan sangat baik,” iming-iming pria tadi berusaha untuk meyakinkan Yarsa supaya mengiyakan ajakannya.

Yarsa yang hanya anak ABG tentu saja langsung tergiur begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria tadi. Kedua netranya terlihat memberikan sorot pengharapan yang besar kepada pria itu.

“Kerja apa, om?” tanya Yarsa yang terlihat antusias sekaligus penasaran pada satu periode yang sama.

“Black market.”

© scndbrr

Semburat oranye memberikan kesan cantik pada langit sore hari ini mampu membuat siapapun yang melihatnya secara langsung menjadi takjub seketika. Seorang gadis muda tengah menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya hingga membuat surainya yang tergerai bertebangan tak tentu arah.

Di sini, pada jembatan besar di pinggir jalan raya inilah gadis muda itu terbiasa untuk menjadikannya sebagai tempat peraduannya. Berkeluh kesah dan mencurahkan segala problematika tentang kehidupan yang tidak pernah membuatnya hidup itu.

Terkadang ia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, kemudian termenung melamun berdiam diri dengan tatapan yang kosong, hingga menangis meraung-raung seperti orang yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat berharga bagi dirinya.

Pada hari ini, tampaknya keadaan gadis muda itu sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya terdengar isakan lirih yang tertahan dari mulutnya, kemudian terlihat kedua pundaknya yang sedang naik turun, serta wajahnya telah basah dengan cairan bening yang terus saja mengalir dengan deras, tidak mau berhenti dari kedua bola matanya.

Ketika masih terlarut di dalam kesedihannya sendiri, ekor mata gadis muda itu tanpa disengaja menangkap sekilas bayangan orang yang sedang berusaha untuk memanjat pagar pembatas jembatan ini. Orang itu tampak seumuran dengannya karena masih menggunakan seragam putih abu-abu, sama seperti dengan gadis muda itu.

Awalnya gadis muda itu tidak mau ambil pusing dengan ikut campur urusan orang lain, namun ketika mengingat bahwa hanya dirinyalah dan pemuda itu yang ada di sini, maka hati nuraninya tergerak untuk menghentikan aksi konyol sang pemuda yang dapat membuat dirinya harus datang ke kantor polisi nanti sebagai seorang saksi.

Karena hanya akan ada satu kemungkinan yang paling logis untuk dapat dicerna oleh otak kita ketika terdapat seseorang yang berusaha untuk berdiri di atas pagar pembatas sebuah jembatan bukan? Ya, apalagi jika dirinya bukan berniat untuk mengakhiri hidupnya sendiri? Hei, ayolah jangan buat masalah gadis muda itu bertambah lagi.

“Heh! Lo mau ngapain?!” teriak gadis muda itu yang tak mau terlambat barang satu detik saja untuk menghentikan aksi sang pemuda. Padahal gadis muda itu memiliki niat yang baik untuk menyelamatkan hidupnya, namun sayangnya ternyata tidak mendapat gubrisan apapun dari sang pemuda.

“Woi! Lo bisa denger gue kan? Lo ngerti bahasa Indonesia kan?” gadis muda itu sudah tampak geram karena ucapannya yang tadi dihiraukan begitu saja oleh pemuda itu. “Oke, sekarang gue tanya lagi, lo mau ngapain hah?! Jangan bunuh diri di sini elah, katanya ga enak tau kalo meninggal karena tenggelam!” tambah gadis muda itu dengan suaranya yang ia buat terdengar meyakinkan.

Masih saja pemuda itu acuh dengan rentetan kata yang telah keluar dari belah bibir sang gadis. Dirinya kini justru memilih untuk memejamkan kedua matanya. Raut wajahnya terlihat sangat damai dan tenang. Kedua telapak tangannya mengepal kuat-kuat hingga urat-urat nadi yang ada di sana keluar memunculkan kehadirannya.

Karena gadis muda itu sudah terlampau gemas dengan pemuda itu, maka dirinya tanpa berpikir dua kali lagi langsung menarik salah satu lengan sang pemuda hingga membuat mereka jatuh dengan posisi yang saling menindih tubuh satu sama lain.

Hening, tidak lagi terdengar kalimat-kalimat interupsi yang sangat menggangu bagi dirinya. Pemuda itu tampak memperhatikan wajah sang gadis dengan seksama. Kedua netranya menatap kedua iris kecoklatan miliknya dengan lamat-lamat. “Cantik,” batinnya.

“B-bangun, berat tau!” gadis muda itu akhirnya kembali bersuara untuk menyadarkan sang pemuda yang masih saja terdiam dengan posisinya yang masih seperti tadi. Bukannya apa-apa tapi ini masih di pinggir jalan raya, jadi dapat dipastikan mereka berdua tengah menjadi pertunjukkan yang menarik bagi para pengendara yang melewati jembatan ini.


Kedua muda-mudi itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke salah satu minimarket terdekat yang ada di sana. Sebenarnya bukan mereka berdua, lebih tepatnya karena ajakan gadis muda itu saja terhadap pemuda tadi. Dan bukannya tidak mau menolaknya, namun sang gadis langsung menyeret ujung seragamnya, jadi dirinya tidak mempunyai pilihan lain selain mengekorinya dari belakang.

Gadis muda itu menyuruh pemuda tadi untuk menunggunya duduk di depan minimarket, sedangkan dirinya masuk ke dalam minimarket tersebut untuk membeli minuman. Setelah mendapatkan minumannya dan tak lupa juga membelikan untuk pemuda tadi, gadis muda itu bergegas keluar dan duduk di hadapan pemuda itu.

“Nih, diminum.” gadis muda itu menyodorkan satu cup susu coklat yang masih terasa panas ketika kulitnya tidak sengaja bersentuhan dengan cup tersebut. Awalnya pemuda itu tampak menolak dan ingin mengembalikannya, namun ia urungkan sebab sang gadis melepaskan begitu saja cup susu tadi. Jadilah ia harus menerimanya, karena jika tidak pasti akan tumpah dan mengenai sepatu sekolahnya sendiri.

“Kenalin gue Grena, Agrena Khanzanaya. Kalo nama lo siapa?” ucap gadis muda itu sambil megulurkan tangan kanannya berniat untuk menjabat tangan sang pemuda tadi. “Raja. Raja Dewara,” balas pemuda tadi sambil meraih tangan Grena untuk memberikan salaman perkenalan.

“Oke, Raja. Lo mau ngapain deh tadi manjat jembatan kaya gitu? Mau bunuh diri lo?!” tanya Grena to the point kepada Raja. Grena memang terkenal sebagai seseorang yang tidak suka berbasa-basi dengan orang lain, dirinya akan berbicara secara berterus terang kepada lawan bicaranya.

“Hm,” Raja hanya mejawabnya dengan dehaman malas. Tentu saja hal itu sukses membuat Grena geleng-geleng kepala tidak percaya dengan jawaban orang yang sedang duduk di hadapannya ini. ” 'Hm', artinya iya, bukan? Wah sudah gila rupanya orang ini”, pikir Grena.

“Kenapa? Apa alasan lo sampe berbuat nekat kaya gitu?” Ada apa dengan gadis ini? Tidak biasanya ia mau mencampuri urusan orang lain bahkan menanyakan alasan seseorang atas tindakan yang dilakukannya. Dan satu lagi, bukannya tadi dirinya merutuki kebodohan pemuda itu di dalam hati? Lantas kenapa justru sekarang Grena terdengar bersimpati kepadanya?

“Gue sakit.”

“Sakit apa? Parah?

“Sakit yang bikin orang di sekitar gue juga ikutan sakit. Termasuk keluarga gue yang paling gue sayang.”

“Udah coba diobatin belum? Kalo lo berobat, pasti nanti sembuh”

“Ga akan bisa sembuh, selamanya.”

“Terus kalo ga bisa sembuh, lo mutusin buat ngakhirin hidup lo sendiri?”

“Iya. Buat apa hidup, kalo kehidupan yang gue jalanin menyedihkan?”

“Ga cuma hidup lo doang yang menyedihkan.”

“Tapi nyatanya emang kehidupan gue semenyedihkan itu.”

“Ayo semangat buat jalanin hidup lo. Gue bakal selalu ada di sisi lo kalo lo lagi susah. Mulai sekarang kita temenan.”

Raja merasakan hatinya menghangat begitu mendengar penuturan Grena barusan.

© scndbrr

Sejak tadi Kinan berusaha untuk berpikiran jernih dan melarang otaknya untuk melalang buana ke mana-mana. Rasa khawatir yang timbul begitu saja ketika dirinya mendapatkan panggilan dari salah satu pengajar Raja di sekolahan. Rentetan kata yang ia dengarkan seksama melalui gagang telfon rumahnya membuat kedua bola matanya bergerak gelisah ke arah kanan dan kiri. Tanpa disadari buliran air sebesar biji jagung muncul pada sekitar area dahinya.

“Selamat siang Ibu Kinan. Perkenalkan saya Luna, guru BK Raja. Saya mewakili dari pihak SMP Satu Nusa memohon dengan sangat supaya Ibu datang ke sekolahan sekarang juga. Raja, baru saja membuat masalah yang cukup serius, Bu.”

Deg

“Masalah yang cukup serius?

Tidak, tidak mungkin. Kinan sangat mengenali putra bungsunya itu dengan baik. Lantas masalah serius apa yang dimaksud oleh gurunya?

Karena rasa gelisah yang meliputi dirinya, wanita itu segera bersiap-siap untuk pergi ke tempat putranya menimba ilmu. Dirinya menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja kecil yang ada di depan kamarnya. Dengan terburu-buru Kinan mengeluarkan kendaraan roda empat miliknya yang baru saja ia masukkan ke dalam garasi.

Benar kata orang. Bagi seorang ibu, anak adalah segala-galanya bagi dirinya. Dia adalah dunia, dia adalah bahagia, dan dia juga adalah obat pelibur lara. Apalagi bagi Kinan. Setelah mengukir kisah buruk bersama Gatan, mantan suaminya yang cukup membekas di hati wanita itu, kini dirinya bersumpah tidak akan mempedulikan apapun lagi selain kedua putra yang amat ia sayangi.

Benar. Kinan akhirnya memutuskan untuk memutskan ikatan pernikahan yang pernah dijalin oleh dirinya dengan Gatan. Wanita itu juga membawa kasus kekerasan fisik yang telah dirinya terima selama ini ke meja hijau. Jadi kini Kinan hanya tinggal bertiga dengan Raja dan Darrel yang selalu ada di sisinya. Mereka bertiga hidup dalam kedamaian setidaknya hingga saat ini.

Degan pikiran yang kalut, Kinan berusaha untuk mencapai sekolahan putra bungsunya itu dengan segera. Alhasil membuat dirinya mau tidak mau melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Berulang kali dirinya diperingati oleh para pengeudi lain yang merasa terganggu dengan cara mengemudi Kinan yang terkesan ugal-ugalan. Namun dengan acuh, itu semua dihiraukan oleh Kinan begitu saja.

Berjalan di lorong yang akan membawanya menuju ke sebuah ruangan yang sering dijuluki tempat-tempat anak yang bermasalah sukses membuat jantung Kinan berdegup secara tidak beraturan. Tidak, wanita itu tidak memiliki penyakit jantung. Mungkin jantungnya itu telah mewakilkan seluruh perasaan yang sedang dirasakan oleh dirinya.

Ada keraguan ketika Kinan telah berdiri tepat di depan ruangan yang di depan pintunya terdapat sebuah papan yang bertuliskan “Ruangan BK”. Berulang kali wanita itu berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada putra bungsunya. Semuanya baik-baik saja. Namun sayangnya berulang kali Kinan mengucapkan kalimat “Semuanya akan baik-baik saja” di dalam hatinya, sebanyak itulah juga otaknya terus mengatakan “Semuanya tidak akan baik-baik saja”.

Ceklek

Bukan. Bukan Kinan yang membuka pintu ruangan itu. Dirinya masih terus saja menghilangkan kegugupan yang menyelimuti hatinya. Yang baru saja membuat sekat antara lorong dengan sebuah ruangan yang ukurannya tidak terlalu besar itu adalah, Raja. Ya, Raja putranya sendiri. Kinan menatap lurus tepat ke arah iris kecoklatan yang dimiliki oleh putranya. Dirinya menatapnya dengan lamat-lamat hingga tanpa sadar justru tenggelam pada dunianya sendiri.

Mata kamu indah sekali nak, sangat persis dengan milik papamu.”

“Mah? Mamah? Mah jangan ngelamun!” suara milik seseorang yang amat dirinya jaga dengan sepenuh hati itu mengalun dan memasuki gendang telinganya. Kinan tersadar dari ketertergunannya sejenak. “Eh iya-iya, maafin mamah hehe,” jawab Kinan kepada Raja dengan suara canggung yang terdengar sedikit gelagapan. “Ibu Kinan ya? Silahkan masuk bu,” suara lembut milik seorang wanita lain mengalihkan atensi Kinan yang sedang berusat kepada putranya.


Kinan mendudukkan dirinya di salah satu sofa single yang ada di ruangan berwarna putih gading itu begitu dipersilahkan oleh Luna. Setelah di awal melakukan perkenalan singkat mengenai identitas diri mereka masing-masing, kini ruangan ini dipenuhi oleh aura yang dingin. Sebenarnya tidak. Hanya saja Kinan yang merasa seolah-seolah seperti begitu.

“Saya langsung saja bu,” ucap Luna yang membuat Kinan menganggukkan kepalanya dengan gerakan patah-patah. “Saat jam istirahat tadi, Raja hampir saja mencelakai salah satu teman kelasnya. Anak ibu berusaha untuk mendorong temannya dari di atas rooftop.”

Kedua pupil mata Kinan melebar begitu mendengarkan penuturan yang baru saja dikatakan oleh Luna. Mulutnya menganga, terbuka dengan cukup lebar, hingga dirinya refleks menutupnya dengan menggunakan telapak tangannya. Semua gerakan yang dilakukan tubuhnya itu menandakan dengan jelas bahwa dirinya kini tengah shock dan tidak percaya atas apa yang rungunya tangkap.

Tidak. Tidak mungkin benar kan? Apa yang baru saja ia dengar itu pasti salah kan? Otak Kinan kini ia paksa bekerja lebih ekstra untuk dapat mencerna kata-kata itu, “mencelakai”, “mendorong”. Jika memang benar faktanya begitu, apakah anaknya ini hampir membunuh seseorang? Oh tidak, tolong jangan sampai membuat Kinan pingsan di tempat ini sekarang juga.


Setelah kejadian itu, Kinan menjadi lebih sering dipanggil ke sekolahan Raja. Dan tentu saja yang menghubunginya adalah Luna, guru BK Raja. Sudah dapat dipastikan semua panggilan yang Kinan terima dikarenakan putra bungsunya yang berulah di sekolahnya.

Berbagai cara pendekatan telah Kinan upayakan untuk dapat memahami sebenarnya ada apa dengan putra bungsunya itu? Namun sayangnya, Raja kini berubah menjadi pribadi yang lebih tertutup dari sebelumnya. Hal itu tentu saja menyulitkan Kinan untuk dapat mengetahui alasan di balik perilaku aneh yang ia lihat dari Raja belakangan ini.

Karena Kinan merupakan seorang wanita yang cerdas, dirinya berusaha untuk memikirkan segala kemungkinan yang dapat menjadi jawaban atas teka-tekinya terhadap putranya itu. Hingga terdapat satu dugaan yang terus saja bersarang di otak Kinan, yang membuat wanita itu dengan berat hati harus membawa Raja ke tempat itu.

Mari yakinkan Kinan bahwa apa yang ia pikirkan itu salah. Jangan sampai benar. Karena jika memang itu alasannya, mungkin Kinan akan merasa bahwa dirinya telah gagal menjadi orang tua bagi Raja. Memikirkan hal itu saja sudah membuat Kinan merasakan hatinya berdenyut nyeri, apalagi hingga hal itu sungguhan terjadi.


Kepala wanita itu terus saja tertunduk ke bawah sejak dirinya memasuki ruangan yang memiliki aroma yang khas ini. Dirinya duduk dengan perasaan yang berkecamuk di dalam otaknya. Kedua telapak tangannya ia biarkan tertaut di atas meja yang ada di hadapannya. Karena jika tidak begitu, ujung baju yang dikenakan olehnya akan menjadi kusut lantaran terus saja ia remat untuk menahan kegusarannya.

“Ibu Kinan, setelah kami melakukan berbagai tes yang diperlukan untuk mengetahui kondisi dari putra ibu, maka dengan sangat berat hati saya harus menyampaikan hal ini. Raja, putra ibu memiliki penyakit mental yang ia derita akibat dari trauma yang ia punya ketika masa kanak-kanaknya. Dissociative Identity Disorder (DID) atau yang lebih dikenal dengan sebutan kepribadian ganda, saya menemukan itu pada Raja.

Jujur saja Kinan merasa sangat tidak setuju ketika melihat serial kesayangannya di televisi menampilkan gambar kilatan petir beserta suaranya yang menggelegar begitu sang tokoh yang ada di dalam sana mendapatkan suatu kabar buruk. Menurutnya hal itu terlalu dramatisir dan dibuat-buat, “bagaimana mungkin bisa ada kilatan petir di siangan bolong?” pikirnya. Namun pada detik ini juga, Kinan merasakan hal itu sendiri betulan nyata adanya.

Ibu dari dua orang putra itu tampak memperhatikan dengan seksama ketika seorang pria tua yang mengenakan jas putih dan menggunakan kacamata yang telah turun hingga ke ujung batang hidungnya mulai memaparkan diagnosisnya mengenai keadaan Raja, putra bungsunya.

“Pada kasus ini, biasanya para pasien membuat beberapa kepribadian atau karakter baru di dalam dirinya. Untuk jumlahnya sendiri itu bervariasi, ada yang hanya satu, dua, ada juga yang sampai lebih dari sepuluh. Karakter yang muncul biasanya dibentuk oleh mereka untuk membuat versi lebih baik dari karakter aslinya. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan akan muncul karakter yang justru bersifat jahat dan ingin melenyapkan karakter asli dari sang pemilik tubuh.

“Raja, membentuk dua karakter baru di dalam dirinya. Saya tahu bahwa sifat asli Raja adalah anak yang cuek dan tidak terlalu peka terhadap lingkungan sekitar. Namun dirinya akan berjuang mati-matian untuk dapat melindungi orang maupun barang yang menurutnya sangat berharga bagi dirinya. Bersyukur, karena sifat asli Raja masih dapat bertahan hingga sekarang.”

“Karakter pertama yang dibentuk oleh Raja adalah karakter yang selalu pasrah akan apa yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya, termasuk perundungan. Hal ini mungkin disebabkan karena dirinya pernah melihat seseorang yang terlihat tidak pernah melawan ketika disakiti oleh orang lain. Karakter itu sebenarnya terbentuk karena ingatan akan hal itu terlalu kuat hingga membekas dan tidak dapat dirinya hilangkan padahal sudah berusaha dengan sekuat tenaga. Saya dapat pastikan bahwa Raja juga membenci karakter barunya yang ini.”

“Untuk karakter kedua, Raja membentuk karakter yang merupakan sosok tangguh, kuat, dan tak terkalahkan oleh siapapun. Dirinya membentuk karakter ini untuk dapat melindungi karakter dirinya yang begitu lemah. Sebenarnya karakter ini cukup membantu Raja untuk dapat survive ketika dirinya mendapat perundungan atau semacamnya. Namun sayangnya, karakter ini juga dapat menjadi boomerang yang sangat berbahaya bagi karakter asli Raja. Bahkan, karakter ini sedang berusaha untuk memenangkan tubuh Raja dengan menghilangkan karakter asli yang dimiliki olehnya.

Kinan tidak menyangka jika dirinya dapat menjadi penyebab tas penyakit mental yang diderita oleh putranya. Dirinya tidak pernah berpikiran bahwa apa yang selama ini terjadi kepada dirinya akan memberikan dampak yang buruk juga bagi putranya itu. Kinan kira, hanya dirinyalah yang akan merasakan trauma akibat perbuatan gila yang dilakukan oleh suaminya, Gatan. Namun pada kenyataannya, Raja juga harus menjadi korban di sini.

© scndbrr