Mengalah

Sejak tadi Rayyan tidak berhenti untuk memaki Fino di dalam hatinya. Bagaimana bisa temannya itu tidak mengatakan satu patah katapun kepadanya dan langsung menarik tangannya menuju ke arah parkiran?

Rayyan itu orangnya emosional, mudah sekali untuk marah ketika terdapat hal yang menyulut emosinya.

Karena kali ini sahabat dekatnya yang membuatnya naik pitam, maka dirinya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Namun tetap saja dirinya masih kesal dengan tindakan Fino sekarang.

Menurutnya perilaku Fino pada hari ini sangatlah aneh. Mulai dari ketika dirinya bertemu dengan Fino saat sahabatnya itu baru memasuki kelas mereka. Wajah Fino terlihat muram.

Memang biasanya Fino juga tidak pernah menunjukkan wajahnya yang ceria, namun entah mengapa Rayyan menilai bahwa hari ini aura Fino terlihat lebih suram.

Sepertinya sahabatnya ini sedang ditimpa suatu hal yang tidak mengenakkan, pikir Rayyan.

“Ini kita mau ke mana, anjing?!” tanya Rayyan dengan menggunakan nada tinggi yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.

“Temenin gua,” jawab Fino sekenanya sambil mulai melajukan kendaraan roda empat miliknya.

“Ya tau, TAPI MAU NEMENIN KE MANA SAT?!” tanya Rayyan kembali dengan penuh penekanan pada kata-kata yang terakhir.

“Ke rumahnya bunda Nana sayang,” jawab Fino tanpa menatap ke arah Rayyan. Dirinya fokus membelah jalanan raya yang tampak cukup padat di sore hari ini.

Sedangkan Rayyan? Dirinya hanya mengerjapkan kedua matanya berulang kali ketika mendengarkan jawaban yang dituturkan oleh Fino barusan.

Bunda Nana sayang?


Setelah bergelut dengan hiruk pikuk suasana kemacetan di ibu kota, akhirnya sekarang Fino dan Rayyan telah tiba di depan gerbang hitam yang berdiri kokoh menjulang ke atas.

Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam putih-hitam berjalan mendekat ke arah mobil Fino dan berkata, “Mau ada perlu apa ya mas? Bapak sama ibu lagi ga ada di rumah. Oh atau mas ini temannya non Brina juga ya?”

Juga ya? Fino sedikit bingung ketika mendengar hal tersebut. Pasalnya Fino tidak tahu jika di dalam sana sudah terdapat sahabat-sahabat Brina, tidak lain dan tidak bukan adalah Narion dan Hasta.

Karena tidak ingin membuat pria paruh baya yang berdiri di samping mobilnya itu menunggu jawabannya dengan lebih lama, maka Fino tidak terlalu memikirkan ucapan pria paruh tadi.

Fino yang tadi sempat sekilas melihat nama dari pria paruh baya itu di baju seragamnya pun menjawab, “Iya pak Aceng, saya Fino temennya Brina.”

Tanpa berbasa-basi lagi, pak Aceng langsung membukakan gerbang rumah dan mempersilahkan Fino untuk memarkirkan mobilnya di tempat parkir para tamu biasanya.

“Silahkan langsung masuk ke dalam aja mas, tadi dua temannya sudah duluan dari pagi malah.” ucap pak Aceng yang diakhiri dengan senyuman, dan gesture tubuh jempol tangan kanan mengarah ke pintu masuk rumah.

Fino membalasnya dengan anggukan ramah dan kemudian melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju ke depan pintu akses utama dari rumah itu yang memang sudah sedikit terbuka.


Di sisi lain, ketiga anak muda terlihat tengah membuat dapur rumah seseorang menjadi berantakan. Bahkan penampilan dapur itu sudah cocok mendapatkan sematan istilah kapal pecah.

Pelakunya adalah Brina, Narion dan Hasta.

Mereka sepertinya memiliki niat baik untuk membuat hidangan makan siang. Namun, sayangnya bukan suatu menu yang tersaji, melainkan justru kekacauan di mana-mana.

Ya, meskipun Brina adalah seorang perempuan, dirinya tidak dapat memasak. Mungkin ada satu yang dia bisa, memasak air.

Lagipula stigma masyarakat yang beranggapan bahwa semua perempuan di muka bumi ini harus bisa memasak sudah tidak relevan lagi di masa sekarang bukan?

“Brin, tadi kan gue udah bilang, kalo kiita mending pesen makanan aja!” teriak Hasta yang sedang membersihkan lantai yang terkena telur.

“Ya maap si, kan gue pengen nyoba resepnya si selebgram itu,” bela Brina yang tidak mau mengalah.

Brina sebenernya tahu bahwa kali ini dirinyalah yang salah. Hal itu sudah dapat dipastikan 100%.

Namun, kalian semua pernah dengar istilah ini bukan? Bahwa perempuan itu selalu benar. Dari situlah Brina merangkak dan membenarkan ulahnya pada hari ini.

“Udah-udah, jangan pada berantem,” sela Narion yang datang dari arah kamar mandi di lantai bawah dekat dengan tangga.

Ketika mereka bertiga masih sibuk untuk mengembalikan keadaan dapur seperti semula, derap langkah kaki yang dihasilkan dari suara sepasang sepatu yang beradu sukses menyita atensi mereka semua.

Brina menolehkan kepalanya dan dirinya terkejut bukan main ketika mendapati sosok yang tengah dihindarinya pada saat ini.

Fino.

Pemuda itu berdiri di depan sana sambil mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan maksud untuk menyapa dirinya. Tidak lupa juga menyunggingkan senyuman manis khasnya.

“Hai, Na?” ucapnya dengan nada yang sedikit canggung.


Di sinilah mereka semua berada. Duduk lesehan bersama pada ruang tengah rumah ini.

Brina sebagai tuan rumah yang baik memiliki inisiatif untuk membuatkan minuman bagi mereka semua, maka dirinya segera bergegas pergi ke dapur.

“Kalian temennya Brina ya? Kenalin gua Fino,” ujar Fino sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah tempat duduk Narion dan Hasta dengan maksud untuk menyalami mereka berdua.

Karena Narion tidak kunjung mengambil jabatan tangan Fino, maka Hasta langsung menarik tangan Fino dan menjabatnya, “Iya. Nama gue Hasta. Kalo dia Narion.”

Fino hanya ber-oh ria dan kembali duduk di tempatnya.

Rayyan sejak tadi hanya mengamati segala hal yang ada di sekitarnya. Entah mengapa perasaan pemuda itu menjadi sedikit gelisah sekarang.

Tak selang lama, Brina pun datang dengan memegang sebuah nampan yang berisi gelas-gelas minuman dingin di atasnya.

“Di kulkas cuma ada jus ini, gapapa kan? tanyanya sambil mengambil satu per satu gelas tadi dan meletakkannya di depan keempat pemuda itu.

Entah mengapa ketika akan memberikan gelas tersebut kepada Fino, Brina menjadi sedikit tidak fokus dan berakibat menumpahkan sedikit isinya pada pakaiannya sendiri.

“Kamu gapapa?” “Lo gapapa?”

Kalimat yang meluncur dari dua mulut orang yang berbeda membuat suasana justru menjadi hening seketika.

“Gapapa.” “Mau ganti baju dulu deh,” jawab Brina yang segera beranjak dari sana, meninggalkan dua orang tadi yang saling bersahutan, kini menjadi berpandangan dengan sengit

Setelah menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang satu sama lain, akhirnya rumah Brina menjadi senyap kembali. Hanya menyisakan Brina seorang diri di dalamnya.

Narion telah tiba di rumah Hasta untuk mengantarkan sahabatnya itu. Ketika ingin berpamitan pulang, tangan Hasta menahan lengannya.

“Gue rasa Fino orangnya. Temen rasa pacar atau pacar rasa temen Brina waktu masih SD.” “Lo jangan mau kalah sama dia. Karna selama ini gue udah ngalah demi lo,” ucap Hasta dengan nada seriusnya yang membuat Narion tertegun.

by scndbrr