Prolog
Brina pov.
Kata orang, anak itu adalah suatu anugerah. Anugerah terbesar yang dititipkan oleh Sang Pencipta. Maka dari itu, banyak pasangan suami-istri yang menantikannya.
Benar seperti itu kan? Atau aku salah?
Bukankah seharusnya orang tua memberikan pelukan hangat bagi para anaknya ketika mereka telah lahir?
Entahlah.
Selama aku hidup, yang aku tahu seperti itu. Aku melihat para orang tua lain berlaku demikian dengan anaknya.
Menurutku, jika mereka saja sangat menunggu kehadiran dari anak-anak itu, bukankah sudah sepantasnya akan demikian?
Bukankah seharusnya mereka menyelimuti buah hatinya dengan limpahan kasih sayang yang tidak akan pernah habis persediannya?
Bukankah mereka akan selalu menjadi garda terdepan yang selalu siap kapanpun untuk melindungi darah dagingnya sendiri?
Bukankah mereka berdua sudah seharusnya menjadi sandaran bagi para anaknya?
Membantunya untuk dapat berdiri kembali ketika dirinya terjatuh.
Menyeka bulir bening yang keluar dari kedua maniknya ketika dirinya menangis.
Mengucapkan rangkaian kata penenang ketika dirinya sedang dilanda rasa cemas.
Menemaninya ketika dirinya berada di titik terendah dalam hidup mereka.
Bukankah semua itu adalah hal dasar yang sudah selayaknya menjadi kewajiban dari mereka berdua, penyebab pribadi itu datang ke dunia ini?
Namun, mengapa tidak dengan diriku? Mengapa aku tidak demikian? Mengapa aku diperlakukan berbeda?
Hadirnya diriku ke dunia ini seolah-olah tidak diharapkan oleh mereka.
Bukan.
Aku bukanlah hasil dari hubungan gelap, perselingkuhan, atau bahkan kecelakaan.
Kedua orang itu tidak pernah menganggap adanya diriku. Kehadiranku tidak dapat mengalihkan perhatian mereka. Mereka berdua terlalu sibuk dengan egonya masing-masing.
Sampai mereka lupa, ada aku di sini.
Namun tidak mengapa, karena aku dapat menemukan sosok dia.
Karena dia, aku dapat merasakan setidaknya sekali, bagaimana hangatnya ketika berada di dalam sebuah keluarga yang dapat menjadi rumah yang nyaman bagi diri kita.
Brina pov end.
Author pov.
“Eh sorry, sorry. Kok gue jadi mellow gini sih hahaha,” ucap seorang gadis belia sambil mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap cairan bening pada pipinya.
“Udah ya? Nggak usah dilanjutin lagi wawancaranya. Liat kan? Gue juga udah bilang kalo cerita tentang keluarga gue itu nggak menarik,” tambah gadis tadi yang kini sudah beranjak berdiri dari kursi tempatnya duduk. Gadis itu kemudian sedikit merapikan roknya abu-abunya dan melangkahkan kakinya keluar ruangan bernuansa biru dongker yang tidak terlalu luas itu.
“Jadi gimana nih?” tanya seorang pemuda yang usianya dapat diperkirakan sepantar dengan gadis tadi.
“Lo sih, Has! Kan gue udah bilang jangan bahas keluarga sama Brina,” ujar pemuda lainnya yang terlihat cukup marah karena mukanya yang memerah. Lalu pemuda itu juga keluar dari ruangan untuk menyusul gadis tadi yang merupakan sahabat dekatnya.
“Ya gimana mau nggak bahas soal keluarga, orang tema tugasnya aja begitu,” gumam Hasta setelah kedua sahabatnya meninggalkannya sendirian di kamar tidurnya.
Author pov end.
Fino pov.
Kalau saja di dunia ini diadakan perlombaan keluarga harmonis, saya penuh percaya diri akan mengatakan dengan lantang bahwa keluarga sayalah yang pasti akan menjuarainya.
Serius, saya sedang tidak bercanda.
Saking harmonisnya keluarga saya, saya saja tidak pernah melihat kedua orang tua saya menggunakan nada bicara yang tinggi. Apalagi melihat ayah saya menggunakan kekerasan untuk mendidik kedua jagoannya.
Kalau ditanya senang atau tidak, sudah tentu jawabannya adalah iya.
Namun, apakah ada yang tahu isi hati saya yang sesungguhnya?
Mungkin bagi kebanyakan orang, keluarga kami akan menjadi rumah yang dipenuhi oleh sukacita.
Keluarga kecil yang mampu memberikan dekapan hangat ketika saya merasa kesepian.
Keluarga kecil yang siap menjadi perisai untuk saya ketika saya mendapat ujaran kebencian dari orang lain.
Keluarga kecil yang mampu memahami diri saya dengan sangat baik.
Keluarga kecil yang mendukung semua hal apapun yang saya geluti.
Keluarga kecil yang selalu diidam-idamkan oleh semua orang.
Lantas apakah benar begitu?
Saya ini adalah seorang anak laki-laki.
Laki-laki sekali lagi saya tekankan.
Mengapa semua hal selalu dibebaskan untuk saya? Mengapa saya tidak dilarang melakukan hal ini atau itu? Mengapa sekarang saya merasa bahwa mereka tidak peduli dengan diri saya?
Mengapa? Saya tanya, mengapa?
Apakah benar, mereka membebaskan saya hanya karena tidak ingin direpotkan oleh diri saya? Apakah benar demikian?
Bukannya saya menjadi seorang anak yang tamak dan tidak mau bersyukur.
Namun, bukankah teguran dari orang tua kita juga merupakan bahasa cinta dari mereka untuk kita para anaknya?
Mereka berdua tidak pernah membenarkan saya ketika saya sedang berjalan pada jalan yang salah. Tidak pernah mengingatkan saya. Tidak pernah juga mengkritik saya.
Jujur saja, saya menjadi bingung sendiri.
Saya juga ingin dimarahi. Saya ingin diteriaki. Bahkan saya juga ingin dipukul, jika perlu.
Karena hanya dengan begitulah, saya menjadi merasa diperhatikan oleh mereka. Bukannya hanya ditemani oleh mbok di rumah saja.
Entahlah.
Seolah-olah Tuhan tahu apa yang saya inginkan ini, sehingga Tuhan mengirimkan dia kepada saya.
Dia hadir dan merubah segalanya.
Membuat tiga bulan saya pada saat itu menjadi lebih berwarna.
Fino pov end.
Author pov.
Dua anak manusia yang memiliki latar belakang keluarga yang jauh berbeda. Bahkan perbedaannya hingga 180 derajat.
Mereka berdua dipertemukan oleh sebuah kebetulan yang dapat dikatakan cukup konyol.
Namun, siapa sangka jika ketidaksengajaan itu merupakan skenario terbaik yang telah disusun oleh yang ada di atas sana?
Cerita yang dirancang dengan sedemikian rupa bagi mereka berdua.
Ketika dua insan yang saling memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, menjadi penawar bagi rasa sakit dan sepi yang hinggap di relung hati mereka.
Ketika dua pribadi dengan dua jalan pemikiran yang berbeda disatukan menjadi satu anggota tubuh.
Ketika dua perasaan yang berbeda kini telah melebur menjadi satu.
Ketika semua hal itu terjadi, maka kisah mereka berdua pun dimulai.
Apakah kalian pernah mendengar mengenai first love? Apakah kalian mempercayai adanya first love? Apakah kalian setuju dengan pernyataan orang lain yang mengatakan bahwa first love itu tidak akan pernah berhasil?
Bagi Fino, Brina adalah cinta pertamanya. Dan bagi Brina, Fino pun juga merupakan cinta pertamanya.
Saat itu mereka berdua masih terlalu muda. Terlalu muda untuk mengenal tentang cinta. Terlalu dini untuk dapat menganggap serius sebuah hubungan.
Namun, tidak ada yang tahu. Baik Fino, Brina, hingga kita sendiri.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Ada hal apa yang telah menunggu mereka berdua di depan sana. Hal yang baik kah? Atau bisa jadi, hal yang buruk kah?
Selamat mengikuti kisah mereka berdua.
by scndbrr