Tertuju Padanya
Nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimanapun juga kini Sabrina telah menginjakkan kakinya di kawasan sekolah orang yang sedang dirinya hindari. Fino.
Sejak tadi gadis itu terlihat gusar dengan terus menelisik ke setiap sudut tempat ini. Dirinya berharap supaya tidak bertemu dengan orang itu.
Berulang kali Sabrina meyakinkan dirinya sendiri dengan tujuan utamanya datang ke sini. Studi Banding. Benar, hanya itu dan tidak ada niatan lain.
Para pengurus OSIS SMANDA (SMA Negeri 2) menyambut hangat kehadiran dari beberapa perwakilan pengurus OSIS SMANSA (SMA Negeri 1).
Narion selaku ketua osis yang sudah mengenal ketua osis SMANDA pun tidak merasa canggung. Terlihat dengan dirinya yang sekarang ini justru sedang saling melemparkan gurauan ringan satu sama lain.
Berbanding terbalik dengan Brina yang merasa asing di tempat ini pasalnya gadis itu tidak memiliki satupun kenalan di sekolah ini. Oh, ralat. Ada satu, tapi orang itu mungkin sudah masuk ke dalam daftar blacklist Brina.
Hasta yang menyadarinya dari keterdiaman sahabatnya itu langsung mendekatinya. Dirinya dengan santai menyampirkan tangan kanannya pada pundak Brina.
“Kalem napa Brin, tegang amat muka lu udah kaya mau pengumuman remidi Fisika aja.” ledek Hasta yang diakhiri dengan kekehan tengilnya.
Brina yang mendengar penuturan Hasta barusan hanya memutarkan kedua bola matanya jengah. Dirinya tidak mau menanggapi ejekan sahabatnya itu dan memilih untuk meloloskan diri dari rangkulan Hasta.
Ketika mereka semua sedang berjalan menuju ke aula karena telah dipersilahkan ke sana, tiba-tiba saja terengar teriakan yang cukup keras dari salah satu arah yang sepertinya ditujukan kepada Brina.
“AWAS, MINGGIR!!!”
Bugh.
Sebuah bola basket yang keras mendarat tepat pada dahi sempit milik Brina. Gadis itu sempat limbung dan hampir saja kehilangan pijakannya hingga tubuhnya lebih dulu ditangkap oleh tangan besar milik seseorang.
“Na, kamu gapapa?” tanya orang itu dengan wajahnya yang menyiratkan kekhawatiran besar pada Brina.
Semua siswa dan siswi yang berlalu-lalang pun menghentikan aktivitas mereka sejenak dan seluruh atensi mereka kini tertuju kepada dua muda-mudi dengan posisi yang cukup membuat salah paham di tengah lapangan.
Bagaimana tidak? Jika posisi mereka berdua kini terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah saling merengkuh. Lebih tepatnya hanya orang yang menolong Brina tadi yang mendekapnya, tidak dengan Brina.
“Na?” tanya orang itu lagi yang membuyarkan lamunan Brina.
Ternyata pada hari ini Brina tidak diberkahi keberuntungan seperti yang diharapkan olehnya. Hal itu terbukti dengan dirinya yang harus bertemu dengan orang ini. Fino.
Atau justru inilah skenario yang telah dibuat oleh Tuhan untuk mempertemukan mereka pada hari ini? Entahlah, tidak ada yang tahu. Karena sesungguhnya Fino juga terkejut menjumpai Brina di lapangan sekolahnya.
“Iya, aku gapapa.” Brina menjawab pertanyaan Fino tadi yang sudah berlalu kemudian dirinya melepaskan tangan Fino yang kini tengah menyangga tubuhnya.
“Gapapa apanya? Itu jidat kamu bengkak!” sahut Fino yang membuat Brina sontak menyentuh bagian keningnya.
“SIAPA YANG UDAH MAIN BASKET TAPI GA DI LAPANGANNYA, ANJING?!” seru Fino dengan nada bicaranya yang meninggi membuat Brina tersentak kaget.
“GUA UDAH PERNAH BILANG KALO INI BISA JADI BAHAYA KAN? KENAPA MASIH AJA DILAKUIN? SIAPA? NGAKU LO, MAJU SINI!” tambahnya lagi yang sudah tersulut dengan api amarah.
“G-gue Fin, sorry.” lirih seorang laki-laki yang datang dari arah belakang. Laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya dan tidak berani untuk menatap kedua netra Fino.
Fino mencengkeram erat kerah baju laki-laki tadi dan tangannya bergerak ke atas hampir saja melayangkan sebuah bogeman mentah kepadanya.
Namun karena merasakan rematan kecil pada bagian ujung bajunya dan menangkap sebuah gelengan lemah dari wajah polos milik Brina, Fino akhirnya mengurungkan niatnya untuk memukul siswa itu.
Fino menatap Brina dengan lamat-lamat. Mengamati iris kecoklatan milik perempuan itu hingga tanpa sadar dirinya tenggelam di dalam tatapan teduh yang dipancarkan oleh Nananya.
Kemudian tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, Brina menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan sesuatu yang membuat Fino menghela napasnya dengan pelan.
“Aku beneran gapapa, Fino. Jangan berantem, aku ga suka.”
Tanpa berlama-lama lagi, Fino akhirnya memutuskan untuk menarik tangan Brina dan membawa perempuan itu untuk menjauh dari sana. Narion dan Hasta saling bertukar pandangan dengan tatapan yang sulit untuk dapat diartikan.
by scndbrr