scndbrr

Keluarga Permana, merupakan keluarga yang selalu diidam-idamkan bahkan hingga dijadikan sebagai panutan oleh banyak orang yang ada di luar sana lantaran keharmonisannya yang kerap kali membuat keluarga lain memiliki rasa iri dengki kepada mereka.

Namun, jika seluruh dunia telah mengetahui apa yang selama ini terjadi di balik layar itu ternyata justru berbanding terbalik 180°, apakah pandangan semua orang akan tetap sama kepada keluarga itu? Mustahil, itu tidak mungkin.

“Udah berani ngelawan saya kamu ya!!”

Plak

“Ahhkkk! A-aku tanya kenapa mas sama sekretaris mas bisa ada di hotel itu, hiks...”

“SUDAH SAYA BILANG, ITU BUKAN URUSAN KAMU!!”

Tangan besar nan kekar milik seorang pria yang baru saja membentak dengan suara menggelegarnya kini terulur untuk meraih surai wanita yang ada di depannya. Bukan, bukan utuk diusap dengan lembut, melainkan untuk ditarik sekuat tenaga hingga beberapa helai tercabut dari akarnya.

“Ahhkkkk!! S-sakitt MAS!!!” jerit wanita itu yang merasakan rasa sakit bercampur perih mulai menjalar ke seluruh bagian kulit kepalanya.

“Kamu harus saya kasih pelajaran!!” final sang pria tersebut yang membuat tubuh wanita itu menegang seketika. Wanita itu paham betul dengan kata 'pelajaran' yang keluar dari mulut pasangannya barusan.


“Aku udah pulang! Mah, mamah ada di mana?” seru seorang bocah kecil laki-laki yang dapat diperkirakan berusia tujuh tahun. Bocah itu sudah berteriak kegirangan begitu baru saja menginjakkan kakinya di ambang pintu depan rumah besar nan mewah ini. Dirinya terlihat sangat antusias untuk dapat segera menunjukkan nilai ulangan harian matematikanya yang sempurna ketika di sekolah tadi kepada mamanya.

Ketika rungunya menangkap suara jeritan yang disertai dengan rintihan kesakitan mengudara dari arah pintu kamar mandi dalam kamar tidur orang tuanya, bocah laki-laki tadi langsung bergegas untuk menaiki anak tangga. Dirinya melangkahkan kedua kakinya dengan sangat terburu-buru hingga jalannya pun sampai terseok-seok.

Tubuh bocah laki-laki tadi mematung begitu tangannya membuka pintu yang mejadi sekat antara dua ruang itu. Kedua bola matanya bergerak dengan gelisah melihat keadaan mamanya yang sekarang tampak mengenaskan.

Surainya yang dibiarkan tergerai begitu saja terlihat kusut dan berantakan. Wajahnya penuh dengan luka memar yang membuat warna kulitnya yang seputih susu kini berubah menjadi hitam kebiruan. Pada sudut bibir kecilnya terdapat luka sobekan yang dapat dipastikan itu ulah dari pria tidak tahu malu yang berdiri gagah di depannya. Jangan lupakan juga genangan air mata yang sudah meluap hingga membuat seluruh area wajahnya kini basah.

Tidak hanya sampai di situ saja. Pria keparat yang sudah tidak waras itu mengguyur tubuh lemah nan ringkih wanita yang terbaring pasrah di dekat kakinya dengan menggunakan shower. Sesekali kaki jenjangnya juga melayangkan tendangan-tendangan keras yang mampu menimbulkan suara pada perut istrinya sendiri.

Ekor mata Kinan yang tidak sengaja menangkap bayangan dari putra bungsunya ketika kedua matanya terbuka setelah mendapatkan tendangan kembali pada bagian perutnya berusaha untuk mengatakan sesuatu dengan susah payah, “K-ke... k-keluar dari sini, Ja... M-mama gapapaa...” ucapnya sambil menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan, sarat akan kesakitan yang sedang dirasa olehnya ketika tubuhnya masih saja terus-terusan didera.

Bocah laki-laki tadi baru saja hendak melangkah untuk mendekat ke arah mamanya. Dirinya berniat menghiraukan ucapan yang keluar dari belah bibir orang yang begitu sangat ia hormati dan juga ia sayangi. Namun, ketika kedua netranya mendapatkan sinyal berupa gelengan lemah yang diberikan oleh mamanya. Bocah laki-laki tadi lantas mengurungkan niatnya itu.

Dirinya berjalan mundur dengan tubuh yang bergetar hebat berusaha mati-matian menahan isakan dan juga lelehan air mata yang tengah bersarang di kedua pelupuk matanya. Bocah laki-laki tadi memilih untuk menjadi anak penurut yang tidak membangkak kepada mamanya. Dirinya meninggalkan rungan kecil tadi yang diliputi oleh hawa mencekam.

Bukan sekali dua kali bocah laki-laki itu melihat orang yang telah berjuang dengan sekuat tenaga bahkan hingga harus mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk melahirkan dirinya ke dunia ini, menjadi samsak yang empuk bagi papa kandungnya sendiri. Bahkan dalam satu hari, tak terhitung sudah berapa kali bogeman mentah yang telah dilayangkan oleh pria psycho itu.

Gila, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok kepala keluarga Permana ini. Jika kalian pikir hanya jambakan, tamparan, pukulan, dan tendangan saja yang pria itu berikan kepada istrinya, maka kalian salah besar. Bahkan semua perbuatannya yang baru saja disebutkan tadi pun tidak tergolong biasa saja. Namun, rupanya iblis berwujud manusia ini mempunyai berbagai macam metode penyiksaan yang tidak beradab.

Mematikan puntung rokok di lengan Kinan, menumpahkan kopi panas pada punggung telapak tangan Kinan, menginjak tangan Kinan yang sedang menyemir sepatunya, menyuruh Kinan untuk tidur di lantai yang dingin hanya dengan beralaskan sebuah karpet yang tipis. Semuanya dilakukan oleh iblis itu dengan sadar dan secara disengaja. Tolong dicatat, sekali lagi, dengan 'disengaja'.

Entah ada di mana akal sehat yang dimiliki oleh pria itu, atau justru dirinya memang tidak memiliki akal sehat sejak awal. Tentu tidak mungkin begitu. Karena Kinan bukanlah seorang wanita bodoh yang mau memilihnya sebagai pendamping hidup yang akan menemani hingga akhir hayat wanita itu, jika dirinya telah mengetahui sifat asli dari seorang Gatan Permana.

Kinan, seorang wanita yang berasal dari salah satu keluarga terpandang di kota ini. Dirinya yang merupakan wanita elegan dan berkelas itu jatuh ke dalam jeratan jaring-jaring cinta yang ditebarkan oleh Gatan secara tidak cuma-cuma. Gatan yang dulu bukanlah yang sekarang. Pria itu tahu betul bagaimana caranya untuk dapat menghargai seorang perempuan.

Sayangnya semua sikap perhatian dan lembut yang dimilikinya tiba-tiba sirna begitu saja bak dibawa oleh angin yang tertiup dengan keras. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gatan yang awalnya berhati seperti malaikat, kini berubah drastis menjadi iblis yang taraf kejahatannya di atas rata-rata.

Pintu kamar mandi telah tertutup dengan rapat kembali, menyisakan dua orang manusia di dalam sana, ralat, hanya ada satu manusia saja karena yang satunya jelmaan siluman. Setan berwujud manusia tadi, Gatan kembali mengayunkan kakinya untuk menendang perut Kinan yang sudah dapat dipastikan telah mempunyai luka memar yang besar di sana akibat perbuatan suaminya sendiri.

Ceklek

Brak

Prang

Tanpa diduga-duga seorang bocah kecil laki-laki tadi membuka pintu kamar mandi dengan membawa sebuah porselen milik mamanya yang berukuran sedang, kemudian dengan sengaja ia lemparkan ke arah papa kandungnya sendiri. Mungkin bocah laki-laki itu sudah tidak tahan mendengarkan suara rintihan kesakitan dari mamanya. Ditambah dengan dirinya yang tidak sudi lagi untuk menganggap seorang Gatan Permana sebagai orang tua yang perlu dihormati olehnya.

Namun naas, karena lemparan tadi tidak mengenai iblis itu, melainkan membentur tembok yang ada di sebelah kirinya. Jika dipikir-pikir kembali, seharusnya dirinya bersyukur karena tidak harus menjadi seorang kriminal yang membunuh anggota keluarganya sendiri saat dirinya masih jauh dibawah umur. Tapi sayangnya, hal itu sukses membuat api amarah Gatan tersulut hingga tega mendorong darah dagingnya sendiri. Dorongan yang keras tadi membuat kepala bocah kecil itu tebentur dudukan closet.

“MAS UDAH GILA KAMU YA?!!!” teriak Kinan dengan suara yang nyaring dan mampu memekakan telinga orang yang mendengarnya. Ibu dua anak itu sama sekali tidak akan bisa mentolerir jika sudah menyangkut putra-putranya. Kinan sangat terkejut melihat pelipis bagian kanan putra bungsunya tergores dan mengeluarkan darah segar dari sana. “Hiks... hiks... hiks... s-sakit ma! kepala Aja sakit!!!”

Tubuh Gatan tiba-tiba menjadi sulit untuk dapat digerakkan. Bahkan hanya untuk mengulurkan tangannya ke arah putranya pun dirinya tidak mampu. Ada rasa yang membuncah pada rongga dadanya begitu melihat bocah laki-laki tadi menangis karena perilaku kasarnya barusan. Gatan memang selalu menyiksa istrinya tanpa ampun, namun dirinya tidak pernah menyentuh barang sehelai saja rambut dari kedua putranya. Justru dirinya tidak memiliki barang sejumput saja niat itu. Sesayang itu Gatan dengan Raja dan Darrel.

Kinan dengan segera meraih tubuh Raja, putranya dan membawa keluar ruangan yang sudah membuat air matanya menjadi kering. Ya, bocah laki-laki itu adalah Raja. Kinan menyambar tasnya dan memasukkan dompet serta beberapa barang yang menurutnya penting dengan asal-asalan. Dirinya lantas melangkahkan kakinya keluar dari rumah yang selama sepuluh tahun ini ia anggap sebagai neraka dunia. Wanita itu mengabaikan teriakan panggilan dari suaminya yang terdengar sangat putus asa.

Mulai saat itu, Raja Permana sudah mati. Dia tidak ada lagi di muka bumi ini. Yang hidup hingga detik ini adalah Raja Dewara. Laki-laki itu memilih untuk memakai nama keluarga besar milik mamanya. Dirinya bahkan sampai memohon supaya mamanya mengurus pergantian namanya. Raja terlalu benci kepada Gatan, papanya sendiri. Dirinya tidak mau jika harus memakai nama belakangnya. Laki-laki itu terlampau takut jika suatu saat dirinya menjadi seperti papanya.

© scndbrr

“Ja, ini kita mau ke mana? Bukannya kalo mau ke panti tuh harusnya ambil kanan ya tadi?” tanya Grena dengan suaranya yang sedikit bergetar menandakan bahwa wanita itu sedang gugup.

Raja hanya menolehkan kepalanya ke samping untuk melihat raut wajah Grena sekilas kemudian membentuk seringaian tipis pada bibirnya, “Lo mau tau siapa pelakunya kan Gren? Ini gue bakal ngasih tau lo.”

Laki-laki itu kemudian memusatkan seluruh atensinya untuk dapat segera mencapai tempat tujuannya. Dirinya memandang lurus ke depan dan melajukan kendaraan roda empat miliknya untuk membelah jalanan yang tidak terlalu padat pada petang hari ini.

Lain halnya dengan Grena. Wanita itu tampak bergerak tidak nyaman karena dirinya merasa gelisah. Grena takut apabila sahabat laki-lakinya ini akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak kepadanya. Parahnya lagi, ponsel miliknya kini sudah mati karena kehilangan daya baterainya.


Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya mereka berdua kini telah sampai di kediaman lama milik keluarga Permana. Karena sudah hampir dua dekade tempat tersebut tidak dirawat, maka kenampakan dari rumah itu sekarang jauh dari kata layak.

Deru nafas Raja terdengar sedikit memburu dan pelipisnya mulai bermunculan buliran air sebesar biji jagung. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya sambil meremat stir dengan kedua tangannya kuat-kuat. Kini Raja terlihat sedang sibuk berulang kali mengambil dan menghembuskan nafasnya sendiri. Ketika dirasa dirinya sudah lebih tenang, laki-laki itu melepaskan seatbeltnya dan membuka pintu mobil.

Grena yang melihat gelagat dari sahabatnya barusan sedikit mengerutkan dahinya. Di dalam benak wanita itu timbul tanda tanya mengenai apa yang dilakukan oleh Raja. Mengapa laki-laki itu terlihat sedang tidak baik-baik saja sekarang? Dirinya terlihat seperti orang yang sedang ketakutan.

“Ayo Gren, turun.” Suara berat milik Raja menyadarkan Grena yang sedang terlarut di dalam lamunannya sendiri. “I-iya, Ja.” Karena tidak mau membuat Raja menunggu, Grena bergegas untuk menghampiri Raja yang tengah berdiri di depan pintu masuk rumah. Wanita meningatkan kewaspadaannya begitu pintu rumah teah terbuka karena memang sebelumnya tidak terkunci.

Grena mengekori Raja yang melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk berjalan duluan di depannya. Baik Grena maupun Raja memiliki sedikit rasa was-was begitu memasuki rumah ini. Namun milik keduanya tidaklah sama, melainkan sangat berbeda jauh.

“Agrena Khanzanaya.” Atmosfer ruangan yang awalnya sudah tidak bersahabat kini semakin menjadi lebih menyeramkan begitu Raja memecahkan keheningan dengan mulai bersuara kembali. “Tujuh tahun yang lalu, di dapur panti asuhan Kasih Ibu lo ngapain di sana? Lontaran kalimat pertanyaan dari Raja barusan membuat tubuh Grena seketika menegang.

“Yang bakar panti itu, lo kan Gren?”

Memori tentang hari itu terputar kembali bagai kaset rusak di kepala Grena. Hal itu sukses membuat kepalanya menjadi pening dan berdenyut nyeri. Kedua tangannya terulur untuk memegangi kepalanya yang dirasa akan pecah saat ini juga. Wajah Mima yang sedang menangis dan meneriakkan namanya terlihat sangat jelas. Tidak hanya itu, kini Grena juga dapat mengenali wajah laki-laki yang juga ada di sana. Benar, itu adalah Raja.

“Ahhkkk!!”

Grena berteriak karena merasa tidak kuat melihat kilas balik dari kejadian yang membuat seseorang yang sudah dirinya anggap sebagai adik kandung sendiri berpulang. Wanita itu melihat bagaimana tersiksanya Mima yang tubuhnya dilahap oleh si jago merah. Gadis lugu itu masih sempat-sempatnya tersenyum ke arahnya dengan kedua bola mata yang telah berlinangan air mata.

Ingatan Grena tentang kejadian itu bertambah. Tidak seperti apa yang biasanya singgah pada bunga tidurnya, kepingan-kepingan yang awalnya terlihat buram, kini sudah dapat terlihat dengan sangat jelas. Satu momen yang membuat cairan bening yang sudah menumpuk pada pelupuk mata Grena lolos begitu saja. Ternyata harusnya dirinya sudah tidak ada di dunia ini lagi. Mima, gadis itu mendorong tubuh Grena dan menggantikan dirinya tertimpa oleh balok kayu penyangga bangunan yang juga sudah terbakar.

“MIMAA!!!”

Senyum kemenangan milik Raja tiba-tiba luntur begitu melihat keadaan Grena yang tampak sangat kacau. Bukan ini maksud laki-laki itu. Dirinya hanya ingin menyadarkan Grena atas apa yang wanita itu telah perbuat. Namun, ketika melihat Grena yang menangis sambil berteriak dengan histeris membuat dirinya menyadari sesuatu. Bukan Grena pelaku dari kejadian kebakaran panti waktu itu.

Ya, Raja yang memang tidak berada di lokasi dari awal mengira pelaku dari peristiwa pembakaran panti asuhan itu adalah Grena. Hal ini dikarenakan laki-laki itu melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri bahwa Grena sedang memegang jeriken putih. Dirinya mengira isi dari jeriken itu adalah bensin. Tentu saja itu tidak benar. Karena isi dari jeriken putih hanyalah air biasa yang Grena gunakan untuk dapat mematikan api yang telah merambat ke seluruh bagian dapur.

Jevano dan Darrel yang sudah sampai di lokasi tempat Raja dan Grena sekarang berada langsung dapat menemukan mereka berdua. Jevano dalam keterkejutannya bergegas untuk menghampiri istrinya. Dirinya mendekap Grena dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Di sisi lain, Darrel juga tampak menenangkan Raja adiknya yang raut wajahnya mendadak terlihat cemas.

“M-masih ada satu lagi orang lain...” “D-dia pelakunya,” ucap Grena secara tiba-tiba dengan suara lirihnya yang membuat ketiga laki-laki di sana seketika langsung menoleh ke arahnya.

© scndbrr

Jevano mengenal sosok Margo ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu Jevano pernah mengalami perundungan. dentitas dirinya sudah terkenal sebagai putra dari anak konglomerat, membuat Jevano harus merasakan dirisak oleh preman sekolah. Para anak remaja yang bersikap sok jagoan itu selalu mengemis uang kepada Jevano tanpa punya rasa malu.

Margo yang merupakan pemimpin dari para preman sekolah itu merasa tidak terima atas perlakuan anak buahnya. Dirinya pernah menekankan yang dimaksud preman sekolah disini adalah orang-orang yang akan berada pada barisan terdepan ketika sedang melakukan aksi tawuran dengan sekolah tetangga, bukanlah melakukan tindakan bullying dan pemalakan terhadap teman satu sekolahnya.

Karena Margo telah menegur anak buahnya yang berlaku seenaknya dengan Jevano, maka mulai saat itu mereka berdua justru menjadi akrab. Meskipun Margo tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi, namun dirinya masih sering bertukar kabar dengan Jevano melalui telfon. Jevano juga telah mengetahui pekerjaan yang digeluti oleh Margo karena pria itu menceritakannya kepadanya.

Awalnya Jevano terkejut dan sangat menyayangkan keputusan Margo untuk menekuni bidang pekerjaannya itu. Namun ketika mengingat bahwa dirinya sendiri tidak memiliki hak maupun kewenangan untuk melarangnya, maka dia hanya mewajarkan profesi Margo. Pekerjaan Margo adalah sebagai pembunuh bayaran atau penyiksa seseorang atas permintaan client-nya.


Disinilah Grena berada sekarang. Pada sebuah gudang lama yang telah terbengkelai. Wanita itu terduduk pada sebuah kursi dengan ikatan tali yang melilit di bagian kaki dan tangannya. Karena masih berada dalam obat bius, hingga kini Grena belum membuka kedua kelopak matanya.

Jevano baru saja sampai di lokasi ini setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dirinya mendapati Margo yang sedang menyiapkan cambuk di sudut ruangan. Margo yang menyadari kedatangan Jevano segera berjalan mendekat ke arahnya.

“Sekali lagi gue nanya, lo yakin?”

“Iya.”

“Oke, kalau gitu gue bakal ngelakuin sesuai sama apa yang lo minta.”

Margo mengambil satu botol air mineral di tangannya dan mendekat ke arah Grena yang masih saja belum sadarkan diri. Kepalanya tertunduk yang menyebabkan surai panjangnya menutupi wajah cantik wanita itu.

Margo tanpa segan-segan langsung menarik surai panjang Grena ke belakang kemudian menyiramkan air mineral tadi ke wajah Grena. Karena wanita itu ak kunjung sadarkan diri, maka tangan Margo mengayun dengan mulus dan memberikan tamparan yang kuat pada sisi kanan pipi Grena.

Plak

Grena sedikit tersentak kemudian membelalakkan kedua matanya begitu melihat keadaannya sekarang. Awalnya wanita itu hendak berteriak dengan nyaring begitu melihat seorang pria asing yang berdiri di depannya, namun ia urungkan begitu ekor matanya melihat sosok Jevano yang berdiri tak jauh di depan sana.

“Mulai, Mar.”

Grena mengerutkan dahinya dalam begitu mendengar penuturan dari Jevano. Wanita itu bingung, dengan ucapan suaminya barusan. Bukankah seharusnya pria itu menghajar laki-laki yang ada di depannya kini dan menyelamatkan dirinya? Mengapa justru Jevano menyuruh laki-laki tadi untuk memulai, bahkan memulai apa?

Margo menganggukkan kepalanya sekali ke arah Jevano kemudian berlalu untuk mengambil cambuk. Setelah kembali, dirinya menarik kasar tubuh Grena hingga wanita itu terjatuh dari atas kursi tempatnya tadi duduk. Sekarang Grena tersungkur pada lantai gudang yang tak berkeramik. Wanita itu meringis begitu lututnya terkantuk dengan sangat keras.

Jevano hanya melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat hal itu dengan wajah datarnya.

Belum sempat memberi waktu Grena untuk berpikir dirinya sedang berada di dalam situasi seperti apa, Margo menendang keras kursi tadi hingga terpental membentur tembok. Suara yang dihasilkan tadi sukses membuat Grena terperanjat sambil memejamkan kedua matanya kuat-kuat.

Margo melakukan hal itu untuk mempermudah ketika nanti dirinya akan melakukan cambukan pada punggu sempit milik Grena. Benar saja, tak begitu lama Margo sudah melayangkan cambukan yang pertama bagi Grena. Cambukan itu tepat mengenai pada bagian tengah punggung wanita itu.

Ctas

“Ahkk!!”

Ctas

“Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!”

Ctas

“Saya bilang berhenti!”

Ctas

“Ahkk s-sakit.”

Ctas

“Jev, tolong...”

Ctas

“Ini s-sakit banget.”

Grena menangis dengan tersedu-sedu dan wajahnya kini sudah berubah warna menjadi kemerahan. Wanita itu dari tadi tidak berhenti untuk berteriak meminta tolong hingga suaranya menjadi serak. Ketika cambuk mengenai kulitnya, Grena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakitnya. Hingga tak sadar, bibirnya kini ikut terluka dan mengeluarkan darah segar.

Margo memberikan cambukan berulang-ulang pada bagian punggung, kedua lengan hingga bahkan bagian depan tubuh Grena. Seakan seperti sedang kerasukan setan, pria itu terlihat membabi-buta untuk memberikan cambukan pada Grena. Dirinya menulikan pendengarannya dari suara jeritan pilu Grena yang memintanya untuk berhenti menyiksa dirinya.

Penampilan Grena sudah tidak karuan. Kedua matanya sembab karena sudah menangis sejak satu jam yang lalu, wajahnya basah berlinangan air mata, pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak tidak beraturan. Jangan lupakan juga luka cambuk yang kini telah menghiasi tubuh Grena seakan-akan mereka semua menjadi tatto yang memang dengan sengaja diukir di sana.

Di sisi lain, Jevano hanya terdiam memperhatikan bagaimana temannya itu sedang melakukan pekerjaannya. Pria itu juga melihat istrinya yang sudah berteriak kesakitan dan terus-terusan meminta pertolongan kepadanya. Namun, karena masih diliputi oleh dendam yang begitu dalam, maka Jevano justru bersikap acuh dengan Grena yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang nanar.

Brak

Tubuh Grena akhirnya tumbang, lantaran sudah tidak dapat menahan segala rasa sakit yang bercampur dengan perih dan nyeri.

“Lanjut, jangan nih?”

“Stop.”

Jevano menghampiri Grena yang sudah tidak sadarkan diri namun tubuh wanita itu bergetar dengan hebat. Tanpa berlama-lama lagi, Jevano langsung menggendong Grena ala bridal style dan berjalan menuju ke mobilnya meninggalkan Margo sendirian di sana. Pria itu bisa merasakan tubuh Grena yang lemas dan racauan-racauan tak jelas dari mulut kecil kecil wanita itu.

“Sakit, s-sakit, sakit, s-sakit, sakit...”


Sesampainya di rumah, Jevano membawa Grena ke kamarnya kemudian membaringkan wanita itu pada kasurnya. Pria itu beranjak untuk mengambil sesuatu dari tas kerjanya. Salep. Ternyata saat mampir ke apotek di tengah jalan tadi, dirinya membeli obat oles tersebut untuk Grena.

Dengan hati-hati Jevano membuka satu per satu kancing kemeja yang masih melekat pada tubuh Grena. Bukan, pria itu bukan mencari kesempatan pada kondisi yang seperti ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia mendengar perintah mutlak kepadanya untuk mengobati istrinya itu.

Kedua netra Jevano memanas begitu melihat tubuh Grena yang penuh dengan luka cambuk. Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian memberikan kecupan lembut pada setiap luka cambuk tadi. Setelah itu, dirinya mengambil salep dan langsung mengoleskannya pada luka tersebut. Jevano ikut meringis ketika dirinya melihat Grena yang menggeliat karena kesakitan.

“Maaf, maafin saya.”

© scndbrr

Jevano mengenal sosok Margo ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu Jevano pernah mengalami perundungan. dentitas dirinya sudah terkenal sebagai putra dari anak konglomerat, membuat Jevano harus merasakan dirisak oleh preman sekolah. Para anak remaja yang bersikap sok jagoan itu selalu mengemis uang kepada Jevano tanpa punya rasa malu.

Margo yang merupakan pemimpin dari para preman sekolah itu merasa tidak terima atas perlakuan anak buahnya. Dirinya pernah menekankan yang dimaksud preman sekolah disini adalah orang-orang yang akan berada pada barisan terdepan ketika sedang melakukan aksi tawuran dengan sekolah tetangga, bukanlah melakukan tindakan bullying dan pemalakan terhadap teman satu sekolahnya.

Karena Margo telah menegur anak buahnya yang berlaku seenaknya dengan Jevano, maka mulai saat itu mereka berdua justru menjadi akrab. Meskipun Margo tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi, namun dirinya masih sering bertukar kabar dengan Jevano melalui telfon. Jevano juga telah mengetahui pekerjaan yang digeluti oleh Margo karena pria itu menceritakannya kepadanya.

Awalnya Jevano terkejut dan sangat menyayangkan keputusan Margo untuk menekuni bidang pekerjaannya itu. Namun ketika mengingat bahwa dirinya sendiri tidak memiliki hak maupun kewenangan untuk melarangnya, maka dia hanya mewajarkan profesi Margo. Pekerjaan Margo adalah sebagai pembunuh bayaran atau penyiksa seseorang atas permintaan client-nya.


Disinilah Grena berada sekarang. Pada sebuah gudang lama yang telah terbengkelai. Wanita itu terduduk pada sebuah kursi dengan ikatan tali yang melilit di bagian kaki dan tangannya. Karena masih berada dalam obat bius, hingga kini Grena belum membuka kedua kelopak matanya.

Jevano baru saja sampai di lokasi ini setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dirinya mendapati Margo yang sedang menyiapkan cambuk di sudut ruangan. Margo yang menyadari kedatangan Jevano segera berjalan mendekat ke arahnya.

“Sekali lagi gue nanya, lo yakin?”

“Iya.”

“Oke, kalau gitu gue bakal ngelakuin sesuai sama apa yang lo minta.”

Margo mengambil satu botol air mineral di tangannya dan mendekat ke arah Grena yang masih saja belum sadarkan diri. Kepalanya tertunduk yang menyebabkan surai panjangnya menutupi wajah cantik wanita itu.

Margo tanpa segan-segan langsung menarik surai panjang Grena ke belakang kemudian menyiramkan air mineral tadi ke wajah Grena. Karena wanita itu ak kunjung sadarkan diri, maka tangan Margo mengayun dengan mulus dan memberikan tamparan yang kuat pada sisi kanan pipi Grena.

Plak

Grena sedikit tersentak kemudian membelalakkan kedua matanya begitu melihat keadaannya sekarang. Awalnya wanita itu hendak berteriak dengan nyaring begitu melihat seorang pria asing yang berdiri di depannya, namun ia urungkan begitu ekor matanya melihat sosok Jevano yang berdiri tak jauh di depan sana.

“Mulai, Mar.”

Grena mengerutkan dahinya dalam begitu mendengar penuturan dari Jevano. Wanita itu bingung, dengan ucapan suaminya barusan. Bukankah seharusnya pria itu menghajar laki-laki yang ada di depannya kini dan menyelamatkan dirinya? Mengapa justru Jevano menyuruh laki-laki tadi untuk memulai, bahkan memulai apa?

Margo menganggukkan kepalanya sekali ke arah Jevano kemudian berlalu untuk mengambil cambuk. Setelah kembali, dirinya menarik kasar tubuh Grena hingga wanita itu terjatuh dari atas kursi tempatnya tadi duduk. Sekarang Grena tersungkur pada lantai gudang yang tak berkeramik. Wanita itu meringis begitu lututnya terkantuk dengan sangat keras.

Jevano hanya melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat hal itu dengan wajah datarnya.

Belum sempat memberi waktu Grena untuk berpikir dirinya sedang berada di dalam situasi seperti apa, Margo menendang keras kursi tadi hingga terpental membentur tembok. Suara yang dihasilkan tadi sukses membuat Grena terperanjat sambil memejamkan kedua matanya kuat-kuat.

Margo melakukan hal itu untuk mempermudah ketika nanti dirinya akan melakukan cambukan pada punggu sempit milik Grena. Benar saja, tak begitu lama Margo sudah melayangkan cambukan yang pertama bagi Grena. Cambukan itu tepat mengenai pada bagian tengah punggung wanita itu.

Ctas

“Ahkk!!”

Ctas

“Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!”

Ctas

“Saya bilang berhenti!”

Ctas

“Ahkk s-sakit.”

Ctas

“Jev, tolong...”

Ctas

“Ini s-sakit banget.”

Grena menangis dengan tersedu-sedu dan wajahnya kini sudah berubah warna menjadi kemerahan. Wanita itu dari tadi tidak berhenti untuk berteriak meminta tolong hingga suaranya menjadi serak. Ketika cambuk mengenai kulitnya, Grena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakitnya. Hingga tak sadar, bibirnya kini ikut terluka dan mengeluarkan darah segar.

Margo memberikan cambukan berulang-ulang pada bagian punggung, kedua lengan hingga bahkan bagian depan tubuh Grena. Seakan seperti sedang kerasukan setan, pria itu terlihat membabi-buta untuk memberikan cambukan pada Grena. Dirinya menulikan pendengarannya dari suara jeritan pilu Grena yang memintanya untuk berhenti menyiksa dirinya.

Penampilan Grena sudah tidak karuan. Kedua matanya sembab karena sudah menangis sejak satu jam yang lalu, wajahnya basah berlinangan air mata, pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak tidak beraturan. Jangan lupakan juga luka cambuk yang kini telah menghiasi tubuh Grena seakan-akan mereka semua menjadi tatto yang memang dengan sengaja diukir di sana.

Di sisi lain, Jevano hanya terdiam memperhatikan bagaimana temannya itu sedang melakukan pekerjaannya. Pria itu juga melihat istrinya yang sudah berteriak kesakitan dan terus-terusan meminta pertolongan kepadanya. Namun, karena masih diliputi oleh dendam yang begitu dalam, maka Jevano justru bersikap acuh dengan Grena yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang nanar.

Brak

Tubuh Grena akhirnya tumbang, lantaran sudah tidak dapat menahan segala rasa sakit yang bercampur dengan perih dan nyeri.

“Lanjut, jangan nih?”

“Stop.”

Jevano menghampiri Grena yang sudah tidak sadarkan diri namun tubuh wanita itu bergetar dengan hebat. Tanpa berlama-lama lagi, Jevano langsung menggendong Grena ala bridal style dan berjalan menuju ke mobilnya meninggalkan Margo sendirian di sana. Pria itu bisa merasakan tubuh Grena yang lemas dan racauan-racauan tak jelas dari mulut kecil kecil wanita itu.

“Sakit, s-sakit, sakit, s-sakit, sakit...”


Sesampainya di rumah, Jevano membawa Grena ke kamarnya kemudian membaringkan wanita itu pada kasurnya. Pria itu beranjak untuk mengambil sesuatu dari tas kerjanya. Salep. Ternyata saat mampir ke apotek di tengah jalan tadi, dirinya membeli obat oles tersebut untuk Grena.

Dengan hati-hati Jevano membuka satu per satu kancing kemeja yang masih melekat pada tubuh Grena. Bukan, pria itu bukan mencari kesempatan pada kondisi yang seperti ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia mendengar perintah mutlak kepadanya untuk mengobati istrinya itu.

Kedua netra Jevano memanas begitu melihat tubuh Grena yang penuh dengan luka cambuk. Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian memberikan kecupan lembut pada setiap luka cambuk tadi. Setelah itu, dirinya mengambil salep dan langsung mengoleskannya pada luka tersebut. Jevano ikut meringis ketika dirinya melihat Grena yang menggeliat karena kesakitan.

“Maaf, maafin saya.”

© scndbrr

Flashback

Tahun ini adalah tahun kelabu yang menjadi pilu bagi keluarga besar Adelard. Bagaimana tidak? Jika mereka semua harus merasakan pahitnya kehilangan dari seseorang yang amat mereka sayangi dan cintai dengan sepenuh hati. Kepulangan dari sosok seorang Desetya Adelard, pendiri perusahaan keluarga Adelard sangatlah memberikan pukulan besar bagi para keluarga dan kerabat.

Keluarga besar Adelard dikenal oleh masyrakat luas dan di kalangan keluarga elit lainnya karena mereka selalu tentram tanpa ada memiliki konflik internal yang berpotensi untuk memecah belah hubungan antar anggota keluarga. Namun, siapa sangka sematan itu juga ikut sirna setelah kepada dari keluarga besar Adelard juga pergi untuk selamanya?

Hal itu terbukti pada apa yang terjadi di rumah utama pada hari ini. Pengacara keluarga yang juga merupakan seorang sahabat dari Desetya datang untuk melaksanakan tugasnya. Yuan namanya. Yuan datang pada waktu pagi menjelang siang hari dengan satu hari sebelumnya telah mengabari agar semua anggota keluarga besar Adelard berkumpul di sini.

Di sinilah mereka semua berada, mulai dari istri dari Desetya, anak-anaknya, serta cucu-cucunya duduk pada ruang keluarga yang mampu menampung kehadiran mereka semua. Setelah membenarkan posisi duduknya dan menaikkan kacamatanya yang sempat turun hingga ke ujung batang hidungnya, Yuan mengambil tas kerjanya kemudian mengambil satu map hitam dari sana.

Seperti yang sudah kalian duga sebelumnya, pembacaan surat wasiat.

Desetya meninggal dunia karena berbagai penyakit komplikasi yang telah dideritanya selama hampir 5 tahun belakangan. Menyiapkan sebuah surat wasiat untuk membagikan hartanya kepada sanak saudara dan beberapa orang yang membutuhkan adalah rencana Desetya yang selalu ia bicarakan dengan Yuan.

Dan pada hari inilah semuanya akan mendengar keputusan yang diambil dari seorang Desetya untuk keberlangsungan hidup keluarga besar Adelard. Bukanlah munafik jika semua anggota berharap dapat dipilih untuk menjadi ahli waris dari perusahaan besar yang telah dibangun dari nol oleh Desetya. Namun tidak semuanya. Buktinya Cakra, dirinya sungguh tidak menyukai agenda ini.

Cakra adalah anak bungsu dari total empat anak yang dimiliki oleh Desetya. Keempat anak itu tidaklah berasal dari rahim yang sama. Sebab mereka memiliki satu ayah biologis yang sama namun dengan dua ibu biologis yang berbeda. Ya, Desetya memiliki dua orang istri.

Namun, istri yang dikenal dan selalu diajak untuk menghadiri pertemuan dengan kolega kantornya hanya satu, yaitu Anetta. Anetta merupakan putri tunggal dari keluarga konglomerat yang tak kalah kekayaannya jika dibandingkan dengan keluarga Adelard. Dirinya juga merupakan seorang wanita karir yang bekerja di perusahaan orang tuanya. Anetta bukan ibu kandung dari Cakra.

Maudy, adalah ibu kandung dari Cakra. Sebenarnya keluarga Maudy juga masih termasuk ke dalam keluarga konglomerat yang elit. Jadi alasan dirinya tidak dikenalkan di depan publik oleh Desetya bukanlah karena alasan klasik seperti Maudy hanya bekerja sebagai pembantu di kediamannya. Mungkin kalian semua tidak akan menyangka hal ini, tapi percayalah yang tidak mau Maudy untuk tampil di depan banyak orang adalah Maudy sendiri.

Aneh bukan? Saat ditanya alasannya oleh Cakra, wanita lemah lembut itu menjawab dengan sangat berhati-hati, katanya, “Saya tidak mau membuat hati Anetta sakit. Saya tahu persis bahwa memang dialah yang menjadi orang ketiga di hubungan kita berdua, dan saya amat benci akan hal itu. Namun, saya sebagai perempuan juga dapat memahami perasaan lugunya yang hanya menuruti kemauan dari kedua orang tuanya. Satu-satunya kesalahan Anetta adalah menjadi jatuh kepada pria yang tidak memiliki perasaan apa-apa untuknya.”

Terlalu baik, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Maudy. Dirinya rela dimadu dan menjadi seperti selingkuhan Desetya ketika dialah yang seharusnya berhak atas semua perhatian dan kasih sayang pria itu. Maudy selalu mengalah apabila dihadapkan oleh pilihan antara dirinya dan Anetta. Karena dalam situasi dan kondisi seperti apapun, Maudy selalu mengutamakan Anetta terlebih dahulu, baru kemudian dirinya sendiri.

Sampai di sini apakah kalian semua paham betapa rumitnya silsilah di keluarga besar Adelard? Aku harap kalian semua dapat menarik garis besarnya.

Mari kita kembali.

Pembacaan surat wasiat berlangsung dengan khidmat karena semua atensi orang-orang yang berkumpul di ruang keluarga itu tertuju pada satu titik, yaitu Yuan. Dirinya membacakan isi surat itu dengan keras dan jelas, agar semua anggota keluarga dapat mendengarkan mendengar dan memahmi keputusan dari Desetya dengan baik.

Betapa terkejutnya semua anggota keluarga ketika mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut kuasa hukum keluarga mereka itu. Yuan menyebutkan, bahwa yang akan menjadi penerus dari pemimpin perusahaan keluarga besar Adelard itu adalah Cakra. Tidak, Cakra pun juga sama terkejutnya. Pasalnya pria itu tidak pernah memiliki pikiran untuk dapat menjadi ahli waris yang sering diributkan oleh para saudara tirinya.

Baik Anetta dan Maudy, mereka berdua setuju serta tidak mempermasalahkan keputusan yang telah diambil Desetya. Anetta tidak merasa iri dengki dengan Maudy, sebab dirinya menyadari akan kehadirannya di sini. Belum lagi ditambah jika dirinya mengingat berapa banyak kebaikan dan hal-hal yang dikorbankan oleh seorang Maudy kepadanya. Tak terhitung jumlahnya.

Namun sayang, ternyata para keturunan dari Anetta tidak setuju dengan jalan pikir ibunya itu. Mereka sangat kecewa dengan Desetya, ayah mereka yang memiliki Cakra sebagai penerusnya. Akhirnya kedua saudara itu merencanakan sesuatu yang amat jahat kepada keluarga kecil yang telah dimiliki Cakra. Isabella yang belum lama melahirkan seorang bayi perempuan, harus merasakan kehilangan yang membuat hatinya teriris-iris. Dan itu semua adalah perbuatan licik dari saudara tiri Cakra yang menculik lalu membuang bayinya ke sebuah panti asuhan.

Setiap hari Cakra mengupayakan berbagai cara untuk dapat menemukan kembali putri bungsunya. Namun sayang langit belum berpihak pada dirinya. Baik Cakra dan Isabella tidak ada yang menyerah. Mereka berusaha untuk dapat menemukan Mima, sosok malaikat kecil yang amat dijaga oleh kakak laki-lakinya itu.

Ketika mendapatkan informasi mengenai keberadaan Mima setelah hampir 16 tahun terpisah dengannya, Jevano segera mengunjungi rumah sakit tempat dirinya dikabari tadi. Bagai tersambar petir di siang bolong, Pria iru melihat jasad adiknya terbujur kaku dengan luka bakar yang menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kedua mata kepalanya sendiri.

Mulai saat itu, dirinya bersumpah akan memberikan balasan yang setimpal kepada siapapun yang berbuat demikian terhadap adik kecil kesayangannya.

© scndbrr

Jevano mengurungkan niatnya untuk membawa Grena pulang ke rumah setelah panggilan masuk dari Windra menginterupsi kegiatan menyetirnya.

Ketika Grena dirawat di rumah sakit, Jevano sempat memanfaatkan koneksi yang dirinya miliki untuk mengetahui keadaan Grena lebih lanjut. Pria itu merasa aneh ketika Grena tidak dapat mengenali orang itu ketika frekuensi wantu pertemuan mereka sangat sering.

Dengan berbekal mempunyai hubungan persahabatan eratnya dengan Windra, direktur rumah sakit itu, maka Jevano meminta tolong kepadanya untuk melakukan beberapa tes guna mejawab semua teka-teki yang sudah bersarang di kepalanya dalam waktu yang cukup lama.

Dan sekarang, Windra menghubunginya dengan alasan yang membuat Jevano semakin penasaran hingga langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di atas rata-rata menuju ke rumah sakit itu.

“Hasil tesnya Grena udah keluar.”

Satu kalimat yang dibawakan oleh suara berat milik seorang pria di seberang sana tadi masuk ke dalam rungu Jevano dengan sangat gamblang. Hal itu sukses membuat debaran jantungnya meningkat dua kali lipat. Dirinya meremat kuat-kuat stir hingga urat-urat yang ada di tangannya mulai bermunculan.

“Akhirnya, batin pria itu.”


Setelah memastikan bahwa istrinya kini sudah mendapatkan penanganan yang intensif, pria itu mulai melangkahkan kedua kaki jenjangnya dengan cepat menuju ke ruangan direktur rumah sakit. Jevano memasuki ruangan yang cukup luas itu dengan perasaan yang berkecamuk.

Setelah mempersilahkan Jevano untuk duduk, Windra bangkit dari kursi kerjanya dan mengambil satu map coklat kemudian berjalan ke arah dimana sahabatnya itu tengah menunggunya. Windra mendudukkan dirinya di sofa single dan menatap kedua manik Jevano lurus, seolah memberitahunya bahwa permasalahan ini cukup serius.

“Jadi gimana?” tanya Jevano langsung karena tidak sabar mendengar apa yang akan diungkap oleh Windra.

“Sesuai dugaan sementara awal gue waktu itu,” jawab Windra yang kini mengalihkan perhatiannya untuk membuka map coklat yang ada di tangannya.

Jevano mengernyitkan dahinya begitu mendengar penuturan dari Windra barusan. Pasalnya pria itu tidak memberitahukan dugaan apa-apa baik itu yang sifatnya masih sementara kepada dirinya. Windra yang mengetahui kebingungan yang terpancar dengan jelas dari raut wajah Jevano langsung melanjutkan kalimatnya yang sempat ia penggal.

“Istri lo itu amnesia.”

”...”

Jevano membelalakkan kedua bola matanya hingga hampir keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka menganga karena tidak dapat mempercayai perkataan Windra. Tidak, pria itu tidak pernah memikirkan kemungkinan yang menjadi penyebab Grena lupa adalah alasan ini.

“Setelah gue ngelakuin berbagai tes ke Grena sesuai sama prosedur yang ada, gue bisa ngasih diagnosis kalo Grena itu ngalamin cedera otak pada bagian limbiknya. Penyebab cedera itu berasal dari benturan yang keras sama benda tumpul.”

“Gak mungkin. Tesnya salah kali.”

“Emang gini hasilnya Jev, ga mungkin salah.”

“Jangan bercanda dong, Win. Ini gue lagi serius.”

“Ya gue juga serius, Jev. Dan satu lagi, gue rasa Grena cuma ga bisa inget sama beberapa kejadian aja, mungkin satu dua doang yang terlupakan. Jadi, dia masih bisa kalo buat inget sama kejadian lainnya dengan intensitas yang lebih banyak.”

Jevano mulai mau mendengarkan pemaparan perihal keadaan Grena dengan seksama, meskipun di dalam otak dan hatinya terus saja menyangkal pernyatan mutlak yang diultimatumkan oleh Windra.

“Tapi sayangnya, kejadian yang mungkin dia lupain itu adalah peristiwa yang paling penting di dalam hidupnya. Yang pasti bukan peristiwa yang menyenangkan disini. Selain karena kerusakan yang ada di otaknya, dia ngelupain hal itu sebagai bentuk dari mekanisme perlindungan dirinya sendiri atas trauma berat yang pernah dia alami.

Tubuh Jevano mematung begitu mendengar kalimat terakhir yang meluncur dengan mulus dari mulut Windra. Kalimat itu berhasil membuat Jevano menegang dengan aliran darah yang mendidih pada sekujur tubuhnya.

“Trauma berat.”

Deg

© scndbrr

Seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah menengah atas itu dengan berat hati harus mengikuti kedua orang tuanya. Di sinilah mereka semua berada, sebuah panti asuhan yang bernama “Kasih Ibu”. Jika niat awal kedua orang tuanya itu memang berasal dari ketulusan hati mereka, maka sang gadis pun akan pergi ke sini dengan hati yang gembira.

Namun, sayangnya mereka bertamu ke tempat ini hanya untuk menarik perhatian orang-orang sekitar. Bagaimana tidak demikian jika terdapat hampir sepuluh kemare yang mengikuti ke mana pun mereka melangkah? Jujur saja gadis itu malu dengan tujuan kedua orang tuanya sendiri. Memanfaatkan anak-anak lugu untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Kejam sekali, pikirnya.

Tidak ada yang spesial pada kegiatan yang dilakukan oleh kedua orang tua gadis itu. Dari tadi mereka sibuk untuk diambil gambarnya ketika sedang berinteraksi dengan anak-anak di sana. Jadi, mereka itu mau mengobrol dengan anak-anak atau mau foto sih sebenarnya? Tidak konsisten. Dasar aneh, gerutu gadis itu di dalam hatinya.

Gadis muda tadi adalah Grena yang kini tampak sudah terlampau jengah melihat tingkah dari kedua orang tuanya. Karena merasa sangat bosan, akhirnya dirinya memilih untuk undur diri pergi ke taman yang ada di belakang panti ini. Di sana Grena melihat seorang gadis muda lainnya yang dapat ia yakini usianya pun lebih muda darinya.

Gadis itu menyadari kehadiran Grena di sana. Dirinya lalu melambaikan tangannya serta memberikan senyuman terbaiknya untuk menyapa Grena. Karena merasa canggung, Grena hanya menganggukkan kepalanya sekali dan tersenyum kikuk untuk membalasnya. Ternyata tidak sampai di situ saja, gadis muda tadi mendekat ke arah Grena kini tengah berpijak dan mengulurkan tangan kanannya.

“Halo kak. Kenalin aku Mima, Yemima.”

Grena bingung dengan tindakan gadis itu yang menurut dirinya dilakukan secara tiba-tiba ini. Melihat Grena yang tidak segera menyambut uluran tangan kanannya, gadis itu langsung menyalami Grena begitu saja. Akhirnya mau tidak mau Grena juga memperkenalkan dirinya kepada gadis itu.

“Halo juga. Kalo aku Grena, Agrena.”

Jika kalian semua berpikir apabila selepas dari sesi perkenalan diantara keduanya tadi usai, maka interaksi mereka pun usai, kalian salah. Pasalnya setelah berkenalan tadi, justru membuat mereka berdua memulai topik perbincangan random.

Hari itu Grena merasa senang sekali, karena akhirnya dia mempunyai seorang teman yang satu kaum dengannya. Bukannya di sekolahnya Grena tidak memiliki teman perempuan. Satu dua tetap ada, namun mereka tidak ada yang benar-benar tulus bertemanan dengan Grena.

Mereka hanya mau berteman dengan Grena karena dirinya merupakan seorang gadis cantik yang menjadi incaran kakak kelasnya. Mereka pikir dengan menjalin hubungan pertemanan dengan Grena akan membuat mereka dilirik oleh para kakak seniornya.

Alhasil dari mulai tahun pertama hingga sekarang sudah memasuki tahun ketiganya, Grena hanya memiliki Hilmy dan Nasa di sampingnya. Namun tidak menagapa, sebab dengan kehadiran mereka berdua saja Grena sudah merasakan berlipat-lipat perasaan bahagia.

Semenjak hari ini, Grena menjadi lebih sering mengunjungi panti asuhan dengan tujuan untuk menemui Mima. Tentu saja hal itu Grena lakukan secara diam-diam dan di belakang kedua orang tuanya. Soal mengapa Grena tidak bercerita kepada Hilmy dan Nasa adalah karena memang dirinya ingin mencari waktu yang tepat saja untuk saling mengenalkan mereka semua.

Karena Mima dua tahun lebih muda dari Grena, maka Grena sudah menganggap Mima yang awalnya hanya sebagai teman ataupun sahabat, kini telah menjadi adik kandungnya sendiri. Kita semua tahu bahwa Grena merupakan seorang putri tunggal yang selalu merasa kesepian ketika sedang di rumah. Hal itu disebabkan kedua orang tuanya yang gila kerja hingga melupakan anak semata wayangnya yang masih membutuhkan curahan kasih sayang dari mereka.

Dengan adanya Mima di hidup Grena, kini membuat dunianya menjadi lebih berwarna daripada yang sebelumnya. Grena dan Mima memang sama-sama tengah mengenyam pendidikan sekolah menengah atas. Namun, mereka tidak menempuhnya di tempat yang sama.

Grena selalu datang ke panti sepulang sekolahnya dengan membawa berbagai cerita yang akan selalu siap didengarkan oleh Mima. Hal itu menjadi sangat berarti bagi Grena jika kita mengingat perempuan itu tidak memiliki siapa-siapa selain Hilmy dan Nasa untuk bertukar cerita. Namun tidak semua cerita dapat perempuan bagikan dengan laki-laki, bukan? Berbagi pengalaman yang dialami ketika sedang mendapat tamu bulanan misalnya?

© scndbrr

Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas ini, kini dipenuhi oleh tawa riang dari makhluk kecil yang masih polos dan tak berdosa.

Bagaimana tidak demikian? Pasalnya di depan mereka semua ada dua orang laki-laki dewasa yang sedang membagikan hadiah yang beraneka ragam macamnya.

Yang paling dinanti-nantikan oleh anak-anak adalah peralatan sekolah baru yang terdiri dari tas, sepatu, buku-buku, lengkap hingga alat tulisnya. Namun, selain itu juga terdapat berbagai snack seperti coklat, biskuit, permen.

Anak-anak yang ada di sana terlihat sangat excited pada waktu pagi menjelang siang pada hari ini.

Grena, wanita itu hanya menyaksikan semua hal yang tengah dilakukan dilakukan oleh suami dan juga temannya. Tanpa sadar, Grena mengukir sebuah senyuman yang sangat terlihat tulus pada bibir ranumnya ketika melihat seorang anak perempuan yang diperkiraka usianya baru menginjak 4 tahun itu.

“Long, tolong, tolongin aku,” racau dari anak perempuan tadi.

“Ah anak itu sedang kesulitan membuka plastik yang membungkus biskuit di tangannya itu,” pikir Grena.

Tanpa berlama-lama lagi, Grena langsung mengambil biskuit itu dan membukakan bungkus plastiknya kemudian mengembalikannya kepada anak perempuan itu.

“Terima kasih,” ucap anak perempuan tadi.

“Sama-sama sayang,” balas Grena sambil mengusap surai anak itu dengan lembut.

Di sisi lain, Jevano yang melihat interaksi yang terjadi diantara Grena dan anak perempuan yang meminta bantuan kepadanya barusan merasakan sesuatu yang hangat mengalir di darahnya hingga membuat kedua matanya memanas.

“Topeng kamu tebal sekali, Agrena.”


Setelah selesai membagikan aneka bingkisan natal kepada anak-anak dan juga sempat bermain bersama mereka, kini semua orang berada di ruang makan untuk menyantap hidangan makan siang bersama-sama.

Posisi duduk Grena ada di samping kanan persis dari Jevano. Mereka berdua terlihat seperti pasangan suami-istri yang sangat serasi.

“Semoga ibu Grena dapat segera dikaruniai seorang malaikat kecil ya,” celetuk ibu panti yang entah sejak kapan sudah berdiri di sisi Grena.

Grena yang sedang menghancurkan makanan yang ada di dalam mulutnya pun tersedak hingga terbatuk-batuk karena sangat terkejut akan ungkapan mendadak yang dituturkan oleh Ibu Gabriella barusan.

Di hadapan wanita itu kini terdapat dua uluran tangan yang menyodorkan gelas berisi air putih. Kedua gelas tadi berasal dari dua orang pria yang berbeda, Jevano dan Darrel.

Karena tidak ingin menahan sesak lebih lama di bagian dadanya, akhirnya Grena segera mengambil uluran gelas dari Jevano dan meneguk airnya hingga tersisa sebagian.

Acara makan siang pun berlanjut dengan suasana kikuk yang meliputi meja lingkaran itu. Karena tidak tahan, Grena berlalu ke belakang dengan alasan ingin pergi ke toilet sebentar.

Tindakan Grena barusan membuat Jevano mengernyitkan dahinya dengan cukup dalam. Bukannya tadi wanita itu berkata dia tidak pernah ke panti asuhan ini? Lalu mengapa dirinya dapat berlalu begitu saja tanpa menanyakan letak dari tempat tujuannya?

Ceroboh, adalah kata yang cocok untuk menggambarkan perilaku Grena. Wanita itu menyadarinya. Karena setelah dirinya menghilang dari pandangan Jevano, Grena langsung merutuki kebodohannya sendiri. Sia-sia sudah kebohongan dan acting yang telah dilakukannya.

Niat hati ingin ke toilet, namun kedua kakinya justru membawa langkah Grena ke arah tempat yang digunakan untuk membuat dan mengolah makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak di sini pada setiap harinya.

“Hm... semuanya masih sama persis,” gumam Grena sambil memperhatikan sekeliling.

Tiba-tiba bayangan akan bunga tidurnya memenuhi isi kepalanya. Grena memegangi kepalanya yang terasa berdenyut dengan kedua tangannya. Kedua kakinya mendadak jadi lemas dan tidak sanggup untuk menopang tubuh rampingnya. Wanita itu kini terduduk di bawah lantai dapur dengan getaran hebat yang menguasainya.

Tidak, Grena tidak berteriak atau bahkan bersuara sama sekali. Suaranya tidak dapat ia keluarkan lantaran tercekat di kerongkongan keringnya.

Nafas Grena tersengal-sengal, raut wajahnya berubah menjadi kemerahan, buliran bening sudah keluar meninggalkan jejak pada pipinya, dan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Kedua tangannya yang masih memegangi kepalanya itu beralih untuk mengepal kuat-kuat hingga kuku-kuku panjangnya melukai telapak tangannya sendiri.

Semua bayangan mimpi itu membawakan rasa sakit yang luar biasa bagi Grena sekarang ini. Wanita itu berusaha untuk memejamkan kedua matanya dan mencoba melihat wajah dari seorang laki-laki yang ada di sana.

Ketika hampir mendapatkan sebuah gambaran yang jelas sebuah rengkuhan hangat membuatnya tersentak dan membuka kedua kelopak matanya dengan perlahan.

Dia Jevano, suaminya.

Jevano mendekap punggung sempit Grena hingga tenggelam oleh perawakan tubuh besarnya. Pelukan itu sangat erat, namun anehnya justru membuat Grena merasakan rasa nyaman dan aman dari sana.

Grena tidak tahu bahwa kedua mata pria itu sedang berkaca-kaca ketika menemukannya dalam kondisi yang menyedihkan seperti ini.

© scndbrr

Flashback.

“Kamu kenapa bisa telat, dek? Jangan cengengesan, serius dikit!”

“Maaf kak saya telat bangun hehe.”

“Haha hehe bagus kaya gitu?!”

“Maaf kak.”

“Kalo kamu kenapa? Apa senyam-senyum? Dipikir ganteng begitu?”

“Anu kak...”

“Anu apaan?!”

“Saya harus nganter bunda dulu soalnya ayah lagi dinas di luar kota.”

“Harusnya diperhitungkan waktunya besok lagi, ngerti kamu?!”

“Iya kak, maaf.”

“Kamu itu cewe loh, kenapa bisa telat? Baru hari pertama aja udah bertingkah?!”

“Tadi di jalan ada kecelakaan lalu lintas kak, terus macet deh. Jadi ya gitu...”

“Hadeh kalian itu! Ya sudah, sekarang kalian bertiga harus membersihkan lapangan basket outdoor. Harus bersih dari daun-daun kering yang gugur dari pohon-pohon di sekitar sana. Nanti saya dan teman-teman akan mengeceknya 1 jam lagi. Cepat laksanakan hukuman!!”

Ketika anak yang baru saja lulus dari sekolah menengah pertama itu serempak menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga langsung bergegas sampai berlarian menuju ke lapangan basket yang dimaksud oleh sang kakak senior tadi.


Setelah selesai membersihkan daun-daun yang tidak hentinya terjun bebas, mereka bertiga duduk di gazebo yang ada pada sisi lapangan. Tidak ada suara diantara mereka semua, sebab ketiga anak muda itu seolah-olah kompak untuk bungkam. Hingga akhirnya salah satu anak laki-laki yang sedikit tengil itu mulai membuka mulutnya untuk berbicara.

“Woi lu pada diem-diem aja. Ngomong apaan kek biar kaga sepi nyenyet begini.”

“Apa?”

“Ya apa?”

“Kenalan aja lah kita, temen senasib seperjuangan nih. Gue Hilmy cakep anaknya babe Pratama.”

”...”

”...”

“Dilanjut anjir jangan pada cosplay jadi patung semua elah.” “Lu cowo, ayo duluan. Ntar langsung aja yang nyai, kalo dia udah.”

“Gue Nasa.”

“Ganteng-ganteng kaku amat ni bocah. Okeh lanjut nyai.”

“Hai? Kenalin, nama gue Grena. Btw kok lo manggil gue nyai sih?”

“Ya gapapa suka-suka Hilmy lah?” “Oke oke, mulai sekarang kita sahabatan ya? Nasa, nyai Grena?”

Tidak ada yang mengiyakan pernyataan Hilmy baik diantara Grena maupun Nasa. Namun pria tengil yang memiliki senyum manis dan surai kecoklatan itu heboh sendiri dan mulai merangkul bahu Grena dan Nasa. Suka-suka dia saja deh.

Siapa sangka justru setelah hari itu berlalu, mereka bertiga benar-benar menjadi sahabat sejati bagi satu sama yang lain? Bahkan keberuntungan berpihak pada mereka dengan menempatkan mereka di satu kelas yang sama dari kelas 10 hingga mereka kelas 12 dan lulus.

Setiap pagi mereka bersenda gurau sambil menunggu bel masuk berbunyi dan guru pengajar mata pelajaran jam pertama masuk ke kelas. Siangnya, mereka akan ke kantin untuk memberi makan cacing-cacing yang berteriak kelaparan di perut. Lalu sorenya ketika pulang sekolah mereka biasanya akan bermain di rumah Nasa. Hal itu karena bundanya Nasa, Maya baik banget. Udah gitu jago masak lagi, jadi Grena dan Hilmy selalu betah berlama-lama main di sana.


Agrena Khanzanaya, Hilmy Pratama, dan Nasa Benedict menjalin hubungan persahabatan sejak mereka mengenyam pendidikannya pada sekolah menengah akhir. Mereka dipertemukan ketika waktu masa orientasi siswa kala itu. Sesungguhnya momen pertemuan mereka bertiga tidak masuk ke dalam kategori yang baik, karena mereka dihukum lantaran sudah terlambat ketika baru hari pertama MOS.

Ternyata sebuah hukuman itu tidaklah selalu mengarah ke hal yang negatif. Pasalnya dengan sama-sama mendapat hukuman membersihkan dedaunan kering yang berjatuhan di lapangan basket saat itu, justru membuat mereka menjadi saling mengenal antar satu sama lain hingga dapat mengakrabkan diri.

Konyol bukan? Entahlah, tidak ada yang tahu bagaimana takdir akan bekerja.

© scndbrr

Wanita itu terus saja bergerak dengan gusar di bawah selimut tebal berwarna putih susu. Buliran air bening mengalir dengan deras pada sekujur tubuhnya. Penyebabnya adalah bukan karena suhu yang ada pada kamar ini tinggi. Pasalnya pendingin ruangan ini pun juga masih berfungsi dengan sangat baik.

Kepala wanita itu tergeleng ke arah kanan dan kiri dengan gerakan random yang tidak beraturan. Kerutan dalam yang ada pada dahinya juga tidak dapat terelakkan. Kedua matanya masih terpejam dengan kuat-kuat. Perlahan runtuhlah pertahanannya, air mata wanita itu turun tanpa permisi dan membuat jejak pada kedua sisi pipinya.

“Ahhkkk!!” “Hahh... hah... hah...”

Akhirnya Grena terbangun dari dunia mimpinya diiringi dengan suara teriakan yang sangat melengking tadi. Namun sayang, kali ini dirinya tidak bermimpi hal manis dan menyenangkan, melainkan sebuah kejadian kabur yang menurutnya sangat mengerikan. Akhir-akhir ini hal itu terus saja berlalu-lalang ketika dirinya mencoba untuk terlelap.

Deru nafas Grena terdengar putus-putus. Dirinya merasa seperti sedang tercekik oleh sesuatu yang ada pada bunga tidurnya. Sekarang dia tengah berusaha untuk meraup oksigen sebanyak yang dirinya bisa. Kedua bola matanya bergerak dengan gelisah mencari penerangan cahaya yang mungkin saja dapat membuatnya menjadi lebih tenang.

Dengan kedua tangan yang masih bergetar hebat, Grena mengambil sebuah benda pipih kemudian mencari nomor telfon sesorang di sana. Dirinya melihat sekilas jam dinding kamar apartemennya yang tergantung di sisi kanan tembok.

Wanita itu sempat termenung sebentar untuk memikirkan apakah panggilannya akan mengganggu orang yang ada di seberang sana atau tidak. Pasalnya sekarang sudah pukul 3 pagi yang artinya ini masih masuk ke dalam jam tidur orang-orang pada umumnya. Setelah dirasa cukup untuk meyakinkan dirinya sendiri. Grena akhirnya mulai menekan tombol panggilan.

© scndbrr