scndbrr

Keluarga Permana, merupakan keluarga yang selalu diidam-idamkan bahkan hingga dijadikan sebagai panutan oleh banyak orang yang ada di luar sana lantaran keharmonisannya yang kerap kali membuat keluarga lain memiliki rasa iri dengki kepada mereka.

Namun, jika seluruh dunia telah mengetahui apa yang selama ini terjadi di balik layar itu ternyata justru berbanding terbalik 180°, apakah pandangan semua orang akan tetap sama kepada keluarga itu? Mustahil, itu tidak mungkin.

“Udah berani ngelawan saya kamu ya!!”

Plak

“Ahhkkk! A-aku tanya kenapa mas sama sekretaris mas bisa ada di hotel itu, hiks...”

“SUDAH SAYA BILANG, ITU BUKAN URUSAN KAMU!!”

Tangan besar nan kekar milik seorang pria yang baru saja membentak dengan suara menggelegarnya kini terulur untuk meraih surai wanita yang ada di depannya. Bukan, bukan utuk diusap dengan lembut, melainkan untuk ditarik sekuat tenaga hingga beberapa helai tercabut dari akarnya.

“Ahhkkkk!! S-sakitt MAS!!!” jerit wanita itu yang merasakan rasa sakit bercampur perih mulai menjalar ke seluruh bagian kulit kepalanya.

“Kamu harus saya kasih pelajaran!!” final sang pria tersebut yang membuat tubuh wanita itu menegang seketika. Wanita itu paham betul dengan kata 'pelajaran' yang keluar dari mulut pasangannya barusan.


“Aku udah pulang! Mah, mamah ada di mana?” seru seorang bocah kecil laki-laki yang dapat diperkirakan berusia tujuh tahun. Bocah itu sudah berteriak kegirangan begitu baru saja menginjakkan kakinya di ambang pintu depan rumah besar nan mewah ini. Dirinya terlihat sangat antusias untuk dapat segera menunjukkan nilai ulangan harian matematikanya yang sempurna ketika di sekolah tadi kepada mamanya.

Ketika rungunya menangkap suara jeritan yang disertai dengan rintihan kesakitan mengudara dari arah pintu kamar mandi dalam kamar tidur orang tuanya, bocah laki-laki tadi langsung bergegas untuk menaiki anak tangga. Dirinya melangkahkan kedua kakinya dengan sangat terburu-buru hingga jalannya pun sampai terseok-seok.

Tubuh bocah laki-laki tadi mematung begitu tangannya membuka pintu yang mejadi sekat antara dua ruang itu. Kedua bola matanya bergerak dengan gelisah melihat keadaan mamanya yang sekarang tampak mengenaskan.

Surainya yang dibiarkan tergerai begitu saja terlihat kusut dan berantakan. Wajahnya penuh dengan luka memar yang membuat warna kulitnya yang seputih susu kini berubah menjadi hitam kebiruan. Pada sudut bibir kecilnya terdapat luka sobekan yang dapat dipastikan itu ulah dari pria tidak tahu malu yang berdiri gagah di depannya. Jangan lupakan juga genangan air mata yang sudah meluap hingga membuat seluruh area wajahnya kini basah.

Tidak hanya sampai di situ saja. Pria keparat yang sudah tidak waras itu mengguyur tubuh lemah nan ringkih wanita yang terbaring pasrah di dekat kakinya dengan menggunakan shower. Sesekali kaki jenjangnya juga melayangkan tendangan-tendangan keras yang mampu menimbulkan suara pada perut istrinya sendiri.

Ekor mata Kinan yang tidak sengaja menangkap bayangan dari putra bungsunya ketika kedua matanya terbuka setelah mendapatkan tendangan kembali pada bagian perutnya berusaha untuk mengatakan sesuatu dengan susah payah, “K-ke... k-keluar dari sini, Ja... M-mama gapapaa...” ucapnya sambil menyunggingkan senyum yang terlihat dipaksakan, sarat akan kesakitan yang sedang dirasa olehnya ketika tubuhnya masih saja terus-terusan didera.

Bocah laki-laki tadi baru saja hendak melangkah untuk mendekat ke arah mamanya. Dirinya berniat menghiraukan ucapan yang keluar dari belah bibir orang yang begitu sangat ia hormati dan juga ia sayangi. Namun, ketika kedua netranya mendapatkan sinyal berupa gelengan lemah yang diberikan oleh mamanya. Bocah laki-laki tadi lantas mengurungkan niatnya itu.

Dirinya berjalan mundur dengan tubuh yang bergetar hebat berusaha mati-matian menahan isakan dan juga lelehan air mata yang tengah bersarang di kedua pelupuk matanya. Bocah laki-laki tadi memilih untuk menjadi anak penurut yang tidak membangkak kepada mamanya. Dirinya meninggalkan rungan kecil tadi yang diliputi oleh hawa mencekam.

Bukan sekali dua kali bocah laki-laki itu melihat orang yang telah berjuang dengan sekuat tenaga bahkan hingga harus mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk melahirkan dirinya ke dunia ini, menjadi samsak yang empuk bagi papa kandungnya sendiri. Bahkan dalam satu hari, tak terhitung sudah berapa kali bogeman mentah yang telah dilayangkan oleh pria psycho itu.

Gila, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok kepala keluarga Permana ini. Jika kalian pikir hanya jambakan, tamparan, pukulan, dan tendangan saja yang pria itu berikan kepada istrinya, maka kalian salah besar. Bahkan semua perbuatannya yang baru saja disebutkan tadi pun tidak tergolong biasa saja. Namun, rupanya iblis berwujud manusia ini mempunyai berbagai macam metode penyiksaan yang tidak beradab.

Mematikan puntung rokok di lengan Kinan, menumpahkan kopi panas pada punggung telapak tangan Kinan, menginjak tangan Kinan yang sedang menyemir sepatunya, menyuruh Kinan untuk tidur di lantai yang dingin hanya dengan beralaskan sebuah karpet yang tipis. Semuanya dilakukan oleh iblis itu dengan sadar dan secara disengaja. Tolong dicatat, sekali lagi, dengan 'disengaja'.

Entah ada di mana akal sehat yang dimiliki oleh pria itu, atau justru dirinya memang tidak memiliki akal sehat sejak awal. Tentu tidak mungkin begitu. Karena Kinan bukanlah seorang wanita bodoh yang mau memilihnya sebagai pendamping hidup yang akan menemani hingga akhir hayat wanita itu, jika dirinya telah mengetahui sifat asli dari seorang Gatan Permana.

Kinan, seorang wanita yang berasal dari salah satu keluarga terpandang di kota ini. Dirinya yang merupakan wanita elegan dan berkelas itu jatuh ke dalam jeratan jaring-jaring cinta yang ditebarkan oleh Gatan secara tidak cuma-cuma. Gatan yang dulu bukanlah yang sekarang. Pria itu tahu betul bagaimana caranya untuk dapat menghargai seorang perempuan.

Sayangnya semua sikap perhatian dan lembut yang dimilikinya tiba-tiba sirna begitu saja bak dibawa oleh angin yang tertiup dengan keras. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Gatan yang awalnya berhati seperti malaikat, kini berubah drastis menjadi iblis yang taraf kejahatannya di atas rata-rata.

Pintu kamar mandi telah tertutup dengan rapat kembali, menyisakan dua orang manusia di dalam sana, ralat, hanya ada satu manusia saja karena yang satunya jelmaan siluman. Setan berwujud manusia tadi, Gatan kembali mengayunkan kakinya untuk menendang perut Kinan yang sudah dapat dipastikan telah mempunyai luka memar yang besar di sana akibat perbuatan suaminya sendiri.

Ceklek

Brak

Prang

Tanpa diduga-duga seorang bocah kecil laki-laki tadi membuka pintu kamar mandi dengan membawa sebuah porselen milik mamanya yang berukuran sedang, kemudian dengan sengaja ia lemparkan ke arah papa kandungnya sendiri. Mungkin bocah laki-laki itu sudah tidak tahan mendengarkan suara rintihan kesakitan dari mamanya. Ditambah dengan dirinya yang tidak sudi lagi untuk menganggap seorang Gatan Permana sebagai orang tua yang perlu dihormati olehnya.

Namun naas, karena lemparan tadi tidak mengenai iblis itu, melainkan membentur tembok yang ada di sebelah kirinya. Jika dipikir-pikir kembali, seharusnya dirinya bersyukur karena tidak harus menjadi seorang kriminal yang membunuh anggota keluarganya sendiri saat dirinya masih jauh dibawah umur. Tapi sayangnya, hal itu sukses membuat api amarah Gatan tersulut hingga tega mendorong darah dagingnya sendiri. Dorongan yang keras tadi membuat kepala bocah kecil itu tebentur dudukan closet.

“MAS UDAH GILA KAMU YA?!!!” teriak Kinan dengan suara yang nyaring dan mampu memekakan telinga orang yang mendengarnya. Ibu dua anak itu sama sekali tidak akan bisa mentolerir jika sudah menyangkut putra-putranya. Kinan sangat terkejut melihat pelipis bagian kanan putra bungsunya tergores dan mengeluarkan darah segar dari sana. “Hiks... hiks... hiks... s-sakit ma! kepala Aja sakit!!!”

Tubuh Gatan tiba-tiba menjadi sulit untuk dapat digerakkan. Bahkan hanya untuk mengulurkan tangannya ke arah putranya pun dirinya tidak mampu. Ada rasa yang membuncah pada rongga dadanya begitu melihat bocah laki-laki tadi menangis karena perilaku kasarnya barusan. Gatan memang selalu menyiksa istrinya tanpa ampun, namun dirinya tidak pernah menyentuh barang sehelai saja rambut dari kedua putranya. Justru dirinya tidak memiliki barang sejumput saja niat itu. Sesayang itu Gatan dengan Raja dan Darrel.

Kinan dengan segera meraih tubuh Raja, putranya dan membawa keluar ruangan yang sudah membuat air matanya menjadi kering. Ya, bocah laki-laki itu adalah Raja. Kinan menyambar tasnya dan memasukkan dompet serta beberapa barang yang menurutnya penting dengan asal-asalan. Dirinya lantas melangkahkan kakinya keluar dari rumah yang selama sepuluh tahun ini ia anggap sebagai neraka dunia. Wanita itu mengabaikan teriakan panggilan dari suaminya yang terdengar sangat putus asa.

Mulai saat itu, Raja Permana sudah mati. Dia tidak ada lagi di muka bumi ini. Yang hidup hingga detik ini adalah Raja Dewara. Laki-laki itu memilih untuk memakai nama keluarga besar milik mamanya. Dirinya bahkan sampai memohon supaya mamanya mengurus pergantian namanya. Raja terlalu benci kepada Gatan, papanya sendiri. Dirinya tidak mau jika harus memakai nama belakangnya. Laki-laki itu terlampau takut jika suatu saat dirinya menjadi seperti papanya.

© scndbrr

“Ja, ini kita mau ke mana? Bukannya kalo mau ke panti tuh harusnya ambil kanan ya tadi?” tanya Grena dengan suaranya yang sedikit bergetar menandakan bahwa wanita itu sedang gugup.

Raja hanya menolehkan kepalanya ke samping untuk melihat raut wajah Grena sekilas kemudian membentuk seringaian tipis pada bibirnya, “Lo mau tau siapa pelakunya kan Gren? Ini gue bakal ngasih tau lo.”

Laki-laki itu kemudian memusatkan seluruh atensinya untuk dapat segera mencapai tempat tujuannya. Dirinya memandang lurus ke depan dan melajukan kendaraan roda empat miliknya untuk membelah jalanan yang tidak terlalu padat pada petang hari ini.

Lain halnya dengan Grena. Wanita itu tampak bergerak tidak nyaman karena dirinya merasa gelisah. Grena takut apabila sahabat laki-lakinya ini akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak kepadanya. Parahnya lagi, ponsel miliknya kini sudah mati karena kehilangan daya baterainya.


Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya mereka berdua kini telah sampai di kediaman lama milik keluarga Permana. Karena sudah hampir dua dekade tempat tersebut tidak dirawat, maka kenampakan dari rumah itu sekarang jauh dari kata layak.

Deru nafas Raja terdengar sedikit memburu dan pelipisnya mulai bermunculan buliran air sebesar biji jagung. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya sambil meremat stir dengan kedua tangannya kuat-kuat. Kini Raja terlihat sedang sibuk berulang kali mengambil dan menghembuskan nafasnya sendiri. Ketika dirasa dirinya sudah lebih tenang, laki-laki itu melepaskan seatbeltnya dan membuka pintu mobil.

Grena yang melihat gelagat dari sahabatnya barusan sedikit mengerutkan dahinya. Di dalam benak wanita itu timbul tanda tanya mengenai apa yang dilakukan oleh Raja. Mengapa laki-laki itu terlihat sedang tidak baik-baik saja sekarang? Dirinya terlihat seperti orang yang sedang ketakutan.

“Ayo Gren, turun.” Suara berat milik Raja menyadarkan Grena yang sedang terlarut di dalam lamunannya sendiri. “I-iya, Ja.” Karena tidak mau membuat Raja menunggu, Grena bergegas untuk menghampiri Raja yang tengah berdiri di depan pintu masuk rumah. Wanita meningatkan kewaspadaannya begitu pintu rumah teah terbuka karena memang sebelumnya tidak terkunci.

Grena mengekori Raja yang melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk berjalan duluan di depannya. Baik Grena maupun Raja memiliki sedikit rasa was-was begitu memasuki rumah ini. Namun milik keduanya tidaklah sama, melainkan sangat berbeda jauh.

“Agrena Khanzanaya.” Atmosfer ruangan yang awalnya sudah tidak bersahabat kini semakin menjadi lebih menyeramkan begitu Raja memecahkan keheningan dengan mulai bersuara kembali. “Tujuh tahun yang lalu, di dapur panti asuhan Kasih Ibu lo ngapain di sana? Lontaran kalimat pertanyaan dari Raja barusan membuat tubuh Grena seketika menegang.

“Yang bakar panti itu, lo kan Gren?”

Memori tentang hari itu terputar kembali bagai kaset rusak di kepala Grena. Hal itu sukses membuat kepalanya menjadi pening dan berdenyut nyeri. Kedua tangannya terulur untuk memegangi kepalanya yang dirasa akan pecah saat ini juga. Wajah Mima yang sedang menangis dan meneriakkan namanya terlihat sangat jelas. Tidak hanya itu, kini Grena juga dapat mengenali wajah laki-laki yang juga ada di sana. Benar, itu adalah Raja.

“Ahhkkk!!”

Grena berteriak karena merasa tidak kuat melihat kilas balik dari kejadian yang membuat seseorang yang sudah dirinya anggap sebagai adik kandung sendiri berpulang. Wanita itu melihat bagaimana tersiksanya Mima yang tubuhnya dilahap oleh si jago merah. Gadis lugu itu masih sempat-sempatnya tersenyum ke arahnya dengan kedua bola mata yang telah berlinangan air mata.

Ingatan Grena tentang kejadian itu bertambah. Tidak seperti apa yang biasanya singgah pada bunga tidurnya, kepingan-kepingan yang awalnya terlihat buram, kini sudah dapat terlihat dengan sangat jelas. Satu momen yang membuat cairan bening yang sudah menumpuk pada pelupuk mata Grena lolos begitu saja. Ternyata harusnya dirinya sudah tidak ada di dunia ini lagi. Mima, gadis itu mendorong tubuh Grena dan menggantikan dirinya tertimpa oleh balok kayu penyangga bangunan yang juga sudah terbakar.

“MIMAA!!!”

Senyum kemenangan milik Raja tiba-tiba luntur begitu melihat keadaan Grena yang tampak sangat kacau. Bukan ini maksud laki-laki itu. Dirinya hanya ingin menyadarkan Grena atas apa yang wanita itu telah perbuat. Namun, ketika melihat Grena yang menangis sambil berteriak dengan histeris membuat dirinya menyadari sesuatu. Bukan Grena pelaku dari kejadian kebakaran panti waktu itu.

Ya, Raja yang memang tidak berada di lokasi dari awal mengira pelaku dari peristiwa pembakaran panti asuhan itu adalah Grena. Hal ini dikarenakan laki-laki itu melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri bahwa Grena sedang memegang jeriken putih. Dirinya mengira isi dari jeriken itu adalah bensin. Tentu saja itu tidak benar. Karena isi dari jeriken putih hanyalah air biasa yang Grena gunakan untuk dapat mematikan api yang telah merambat ke seluruh bagian dapur.

Jevano dan Darrel yang sudah sampai di lokasi tempat Raja dan Grena sekarang berada langsung dapat menemukan mereka berdua. Jevano dalam keterkejutannya bergegas untuk menghampiri istrinya. Dirinya mendekap Grena dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Di sisi lain, Darrel juga tampak menenangkan Raja adiknya yang raut wajahnya mendadak terlihat cemas.

“M-masih ada satu lagi orang lain...” “D-dia pelakunya,” ucap Grena secara tiba-tiba dengan suara lirihnya yang membuat ketiga laki-laki di sana seketika langsung menoleh ke arahnya.

© scndbrr

Jevano mengenal sosok Margo ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu Jevano pernah mengalami perundungan. dentitas dirinya sudah terkenal sebagai putra dari anak konglomerat, membuat Jevano harus merasakan dirisak oleh preman sekolah. Para anak remaja yang bersikap sok jagoan itu selalu mengemis uang kepada Jevano tanpa punya rasa malu.

Margo yang merupakan pemimpin dari para preman sekolah itu merasa tidak terima atas perlakuan anak buahnya. Dirinya pernah menekankan yang dimaksud preman sekolah disini adalah orang-orang yang akan berada pada barisan terdepan ketika sedang melakukan aksi tawuran dengan sekolah tetangga, bukanlah melakukan tindakan bullying dan pemalakan terhadap teman satu sekolahnya.

Karena Margo telah menegur anak buahnya yang berlaku seenaknya dengan Jevano, maka mulai saat itu mereka berdua justru menjadi akrab. Meskipun Margo tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi, namun dirinya masih sering bertukar kabar dengan Jevano melalui telfon. Jevano juga telah mengetahui pekerjaan yang digeluti oleh Margo karena pria itu menceritakannya kepadanya.

Awalnya Jevano terkejut dan sangat menyayangkan keputusan Margo untuk menekuni bidang pekerjaannya itu. Namun ketika mengingat bahwa dirinya sendiri tidak memiliki hak maupun kewenangan untuk melarangnya, maka dia hanya mewajarkan profesi Margo. Pekerjaan Margo adalah sebagai pembunuh bayaran atau penyiksa seseorang atas permintaan client-nya.


Disinilah Grena berada sekarang. Pada sebuah gudang lama yang telah terbengkelai. Wanita itu terduduk pada sebuah kursi dengan ikatan tali yang melilit di bagian kaki dan tangannya. Karena masih berada dalam obat bius, hingga kini Grena belum membuka kedua kelopak matanya.

Jevano baru saja sampai di lokasi ini setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dirinya mendapati Margo yang sedang menyiapkan cambuk di sudut ruangan. Margo yang menyadari kedatangan Jevano segera berjalan mendekat ke arahnya.

“Sekali lagi gue nanya, lo yakin?”

“Iya.”

“Oke, kalau gitu gue bakal ngelakuin sesuai sama apa yang lo minta.”

Margo mengambil satu botol air mineral di tangannya dan mendekat ke arah Grena yang masih saja belum sadarkan diri. Kepalanya tertunduk yang menyebabkan surai panjangnya menutupi wajah cantik wanita itu.

Margo tanpa segan-segan langsung menarik surai panjang Grena ke belakang kemudian menyiramkan air mineral tadi ke wajah Grena. Karena wanita itu ak kunjung sadarkan diri, maka tangan Margo mengayun dengan mulus dan memberikan tamparan yang kuat pada sisi kanan pipi Grena.

Plak

Grena sedikit tersentak kemudian membelalakkan kedua matanya begitu melihat keadaannya sekarang. Awalnya wanita itu hendak berteriak dengan nyaring begitu melihat seorang pria asing yang berdiri di depannya, namun ia urungkan begitu ekor matanya melihat sosok Jevano yang berdiri tak jauh di depan sana.

“Mulai, Mar.”

Grena mengerutkan dahinya dalam begitu mendengar penuturan dari Jevano. Wanita itu bingung, dengan ucapan suaminya barusan. Bukankah seharusnya pria itu menghajar laki-laki yang ada di depannya kini dan menyelamatkan dirinya? Mengapa justru Jevano menyuruh laki-laki tadi untuk memulai, bahkan memulai apa?

Margo menganggukkan kepalanya sekali ke arah Jevano kemudian berlalu untuk mengambil cambuk. Setelah kembali, dirinya menarik kasar tubuh Grena hingga wanita itu terjatuh dari atas kursi tempatnya tadi duduk. Sekarang Grena tersungkur pada lantai gudang yang tak berkeramik. Wanita itu meringis begitu lututnya terkantuk dengan sangat keras.

Jevano hanya melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat hal itu dengan wajah datarnya.

Belum sempat memberi waktu Grena untuk berpikir dirinya sedang berada di dalam situasi seperti apa, Margo menendang keras kursi tadi hingga terpental membentur tembok. Suara yang dihasilkan tadi sukses membuat Grena terperanjat sambil memejamkan kedua matanya kuat-kuat.

Margo melakukan hal itu untuk mempermudah ketika nanti dirinya akan melakukan cambukan pada punggu sempit milik Grena. Benar saja, tak begitu lama Margo sudah melayangkan cambukan yang pertama bagi Grena. Cambukan itu tepat mengenai pada bagian tengah punggung wanita itu.

Ctas

“Ahkk!!”

Ctas

“Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!”

Ctas

“Saya bilang berhenti!”

Ctas

“Ahkk s-sakit.”

Ctas

“Jev, tolong...”

Ctas

“Ini s-sakit banget.”

Grena menangis dengan tersedu-sedu dan wajahnya kini sudah berubah warna menjadi kemerahan. Wanita itu dari tadi tidak berhenti untuk berteriak meminta tolong hingga suaranya menjadi serak. Ketika cambuk mengenai kulitnya, Grena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakitnya. Hingga tak sadar, bibirnya kini ikut terluka dan mengeluarkan darah segar.

Margo memberikan cambukan berulang-ulang pada bagian punggung, kedua lengan hingga bahkan bagian depan tubuh Grena. Seakan seperti sedang kerasukan setan, pria itu terlihat membabi-buta untuk memberikan cambukan pada Grena. Dirinya menulikan pendengarannya dari suara jeritan pilu Grena yang memintanya untuk berhenti menyiksa dirinya.

Penampilan Grena sudah tidak karuan. Kedua matanya sembab karena sudah menangis sejak satu jam yang lalu, wajahnya basah berlinangan air mata, pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak tidak beraturan. Jangan lupakan juga luka cambuk yang kini telah menghiasi tubuh Grena seakan-akan mereka semua menjadi tatto yang memang dengan sengaja diukir di sana.

Di sisi lain, Jevano hanya terdiam memperhatikan bagaimana temannya itu sedang melakukan pekerjaannya. Pria itu juga melihat istrinya yang sudah berteriak kesakitan dan terus-terusan meminta pertolongan kepadanya. Namun, karena masih diliputi oleh dendam yang begitu dalam, maka Jevano justru bersikap acuh dengan Grena yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang nanar.

Brak

Tubuh Grena akhirnya tumbang, lantaran sudah tidak dapat menahan segala rasa sakit yang bercampur dengan perih dan nyeri.

“Lanjut, jangan nih?”

“Stop.”

Jevano menghampiri Grena yang sudah tidak sadarkan diri namun tubuh wanita itu bergetar dengan hebat. Tanpa berlama-lama lagi, Jevano langsung menggendong Grena ala bridal style dan berjalan menuju ke mobilnya meninggalkan Margo sendirian di sana. Pria itu bisa merasakan tubuh Grena yang lemas dan racauan-racauan tak jelas dari mulut kecil kecil wanita itu.

“Sakit, s-sakit, sakit, s-sakit, sakit...”


Sesampainya di rumah, Jevano membawa Grena ke kamarnya kemudian membaringkan wanita itu pada kasurnya. Pria itu beranjak untuk mengambil sesuatu dari tas kerjanya. Salep. Ternyata saat mampir ke apotek di tengah jalan tadi, dirinya membeli obat oles tersebut untuk Grena.

Dengan hati-hati Jevano membuka satu per satu kancing kemeja yang masih melekat pada tubuh Grena. Bukan, pria itu bukan mencari kesempatan pada kondisi yang seperti ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia mendengar perintah mutlak kepadanya untuk mengobati istrinya itu.

Kedua netra Jevano memanas begitu melihat tubuh Grena yang penuh dengan luka cambuk. Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian memberikan kecupan lembut pada setiap luka cambuk tadi. Setelah itu, dirinya mengambil salep dan langsung mengoleskannya pada luka tersebut. Jevano ikut meringis ketika dirinya melihat Grena yang menggeliat karena kesakitan.

“Maaf, maafin saya.”

© scndbrr

Jevano mengenal sosok Margo ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu Jevano pernah mengalami perundungan. dentitas dirinya sudah terkenal sebagai putra dari anak konglomerat, membuat Jevano harus merasakan dirisak oleh preman sekolah. Para anak remaja yang bersikap sok jagoan itu selalu mengemis uang kepada Jevano tanpa punya rasa malu.

Margo yang merupakan pemimpin dari para preman sekolah itu merasa tidak terima atas perlakuan anak buahnya. Dirinya pernah menekankan yang dimaksud preman sekolah disini adalah orang-orang yang akan berada pada barisan terdepan ketika sedang melakukan aksi tawuran dengan sekolah tetangga, bukanlah melakukan tindakan bullying dan pemalakan terhadap teman satu sekolahnya.

Karena Margo telah menegur anak buahnya yang berlaku seenaknya dengan Jevano, maka mulai saat itu mereka berdua justru menjadi akrab. Meskipun Margo tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi, namun dirinya masih sering bertukar kabar dengan Jevano melalui telfon. Jevano juga telah mengetahui pekerjaan yang digeluti oleh Margo karena pria itu menceritakannya kepadanya.

Awalnya Jevano terkejut dan sangat menyayangkan keputusan Margo untuk menekuni bidang pekerjaannya itu. Namun ketika mengingat bahwa dirinya sendiri tidak memiliki hak maupun kewenangan untuk melarangnya, maka dia hanya mewajarkan profesi Margo. Pekerjaan Margo adalah sebagai pembunuh bayaran atau penyiksa seseorang atas permintaan client-nya.


Disinilah Grena berada sekarang. Pada sebuah gudang lama yang telah terbengkelai. Wanita itu terduduk pada sebuah kursi dengan ikatan tali yang melilit di bagian kaki dan tangannya. Karena masih berada dalam obat bius, hingga kini Grena belum membuka kedua kelopak matanya.

Jevano baru saja sampai di lokasi ini setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dirinya mendapati Margo yang sedang menyiapkan cambuk di sudut ruangan. Margo yang menyadari kedatangan Jevano segera berjalan mendekat ke arahnya.

“Sekali lagi gue nanya, lo yakin?”

“Iya.”

“Oke, kalau gitu gue bakal ngelakuin sesuai sama apa yang lo minta.”

Margo mengambil satu botol air mineral di tangannya dan mendekat ke arah Grena yang masih saja belum sadarkan diri. Kepalanya tertunduk yang menyebabkan surai panjangnya menutupi wajah cantik wanita itu.

Margo tanpa segan-segan langsung menarik surai panjang Grena ke belakang kemudian menyiramkan air mineral tadi ke wajah Grena. Karena wanita itu ak kunjung sadarkan diri, maka tangan Margo mengayun dengan mulus dan memberikan tamparan yang kuat pada sisi kanan pipi Grena.

Plak

Grena sedikit tersentak kemudian membelalakkan kedua matanya begitu melihat keadaannya sekarang. Awalnya wanita itu hendak berteriak dengan nyaring begitu melihat seorang pria asing yang berdiri di depannya, namun ia urungkan begitu ekor matanya melihat sosok Jevano yang berdiri tak jauh di depan sana.

“Mulai, Mar.”

Grena mengerutkan dahinya dalam begitu mendengar penuturan dari Jevano. Wanita itu bingung, dengan ucapan suaminya barusan. Bukankah seharusnya pria itu menghajar laki-laki yang ada di depannya kini dan menyelamatkan dirinya? Mengapa justru Jevano menyuruh laki-laki tadi untuk memulai, bahkan memulai apa?

Margo menganggukkan kepalanya sekali ke arah Jevano kemudian berlalu untuk mengambil cambuk. Setelah kembali, dirinya menarik kasar tubuh Grena hingga wanita itu terjatuh dari atas kursi tempatnya tadi duduk. Sekarang Grena tersungkur pada lantai gudang yang tak berkeramik. Wanita itu meringis begitu lututnya terkantuk dengan sangat keras.

Jevano hanya melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat hal itu dengan wajah datarnya.

Belum sempat memberi waktu Grena untuk berpikir dirinya sedang berada di dalam situasi seperti apa, Margo menendang keras kursi tadi hingga terpental membentur tembok. Suara yang dihasilkan tadi sukses membuat Grena terperanjat sambil memejamkan kedua matanya kuat-kuat.

Margo melakukan hal itu untuk mempermudah ketika nanti dirinya akan melakukan cambukan pada punggu sempit milik Grena. Benar saja, tak begitu lama Margo sudah melayangkan cambukan yang pertama bagi Grena. Cambukan itu tepat mengenai pada bagian tengah punggung wanita itu.

Ctas

“Ahkk!!”

Ctas

“Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!”

Ctas

“Saya bilang berhenti!”

Ctas

“Ahkk s-sakit.”

Ctas

“Jev, tolong...”

Ctas

“Ini s-sakit banget.”

Grena menangis dengan tersedu-sedu dan wajahnya kini sudah berubah warna menjadi kemerahan. Wanita itu dari tadi tidak berhenti untuk berteriak meminta tolong hingga suaranya menjadi serak. Ketika cambuk mengenai kulitnya, Grena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakitnya. Hingga tak sadar, bibirnya kini ikut terluka dan mengeluarkan darah segar.

Margo memberikan cambukan berulang-ulang pada bagian punggung, kedua lengan hingga bahkan bagian depan tubuh Grena. Seakan seperti sedang kerasukan setan, pria itu terlihat membabi-buta untuk memberikan cambukan pada Grena. Dirinya menulikan pendengarannya dari suara jeritan pilu Grena yang memintanya untuk berhenti menyiksa dirinya.

Penampilan Grena sudah tidak karuan. Kedua matanya sembab karena sudah menangis sejak satu jam yang lalu, wajahnya basah berlinangan air mata, pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak tidak beraturan. Jangan lupakan juga luka cambuk yang kini telah menghiasi tubuh Grena seakan-akan mereka semua menjadi tatto yang memang dengan sengaja diukir di sana.

Di sisi lain, Jevano hanya te