scndbrr

Matahari memunculkan batang hidungnya secara gamblang dan tidak malu-malu. Setelah semalaman penuh langit mengguyur tanah dengan volume air yang besar, kini hawa hangat melingkupi suasana pada pagi hari ini.

Grena saat ini sedang menyantap sarapan paginya yang baru saja diantarkan oleh petugas. Sesungguhnya gadis itu malas untuk makan pagi. Namun dengan kehadiran sang suami yang ada di sampingnya sekarang, wanita itu tidak berani untuk membantah perkataan yang keluar dari mulut Jevano yang cenderung ke arah perintah bersifat otoriter.

“Dia kira, dia tuh reinkarnasinya Hitler apa ya?! Orang gue ga laper juga, eh tetep aja dipaksa!!” batin Grena di dalam hati sambil menatap tajam ke arah Jevano yang sedang sibuk menata makanan untuk istrinya itu di meja lipat yang ada di atas brankar.

“Udah siap, cepetan dimakan terus minum obat.”

“Hm.”

Sepertinya tadi ada yang bilang jika dirinya tidak lapar. Tetapi kenapa sekarang sosok yang mengatakan hal tersebut justru tampak khusyuk menikmati hidangan yang ada di hadapannya? Bahkan, wajah wanita itu hampir saja hilang karena ditelan mangkuk kaca berwarna bening yang berisi sup ayam.

Jevano menyunggingkan senyuman tipis pada bibirnya ketika melihat tingkah laku Grena. Pria itu tidak dapat memungkiri bahwa tindakan istrinya itu terkesan lucu. Dirinya seperti sedang melihat Keysha, keponakannya yang sedang makan di hadapannya sekarang.


Sekarang pukul 3 sore. Grena terpantau sedang scrolling timeline media sosial twitternya. Jika wanita itu bosan, maka dirinya akan membuka aplikasi media sosial yang lain seperti instagram, kemudian akan sibuk melakukan selca sambil mencoba beberapa filter yang baru.

Jevano baru saja datang ke rumah sakit setelah tadi pagi harus meninggalkan Grena sendirian selepas wanita itu menyantap sarapannya. Pasalnya selama kurang lebih hampir 4 hari ini Grena dirawat inap, selama itulah Jevano juga tidak masuk kerja. Alhasil banyak meeting penting dengan para client yang tertunda.

Srek

“Selamat sore ibu Grena dan bapak Jevano,” sapa Windra dengan ramah begitu memasuki ruangan ini.

“Selamat sore juga dok,” jawab Grena sambil menganggukkan kepalanya sekali dan tersenyum ke arah Windra.

“Gimana? Masih ada yang dirasain?”

“Emm... udah ga ada kok dok. Saya udah ngrasa segeran.”

“Semalam bisa tidur nyenyak atau sulit tidur?”

“Nyenyak banget dok, sampai mendengkur malah,” sahut Jevano yang membuat Grena melebarkan kedua matanya dan merutuki pria itu dengan mengumpat tanpa bersuara.

“Hahaha bagus itu malah.” “Kalau sarapan sama tadi siang habis tidak ya?”

“Habis dong. Makannya aja sampai kaya orang kelaparan yang belum dikasih makan sebulan.”

Rasanya Grena ingin lompat dari atas ranjang sekarang dan membekap mulut suaminya yang membuat darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Ya memang tidak salah sih, karena apa yang dikatakan Jevano dari tadi itu benar adanya. Namun maksud Grena, apakah suaminya itu tidak bisa sedikit menyaring kata-kata yang digunakannya?

“Baik kalau begitu hari ini ibu Grena sudah diperbolehkan untuk pulang,” ucap Windra setelah sibuk membolak-balikkan lembaran kertas yang dijepit oleh sebuah papan dada.

Pernyataan sang dokter barusan membuat Grena senang setengah mati. Tampaknya wanita itu sudah berada pada puncak kebosanannya yang tidak bisa melakukan apa-apa selain bermain ponsel dan menonton tv seharian di kamar ini. Jangan lupa dengan fakta bahwa dirinya juga harus selalu menghabiskan semua makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit.

“Oh ya, kenalin gue Windra. Temennya Jevano pas kuliah. Gue juga kenal lo kok, Gren. Lo masa ga kenal gue?” Windra langsung beralih dari mode formalnya menjadi santai.

“Eh?” Grena mengernyitkan dahinya karena kebingungan.

“Yah ternyata gue ga sepopuler si Jevano ya?” suara yang sengaja dibuat-buat seakan sedang kecewa itu terucap dengan lirih.

Grena menatap lurus kedua manik Jevano seolah-olah meminta Jevano untuk segera menariknya dari momen yang canggung ini. Namun sayangnya Jevano hanya mengendikkan bahunya acuh. Bisa-bisanya dirinya tidak mengetahui keberadaan kakak tingkatnya yang satu ini sama sekali, padahal Windra mengatakan bahwa dia mengenali Grena.

Entahlah. Yang pasti jangan salahkan Grena. Sebab wanita itu orangnya pelupa sekali. Bahkan di pagi hari dirinya masih sering ribut mencari scrunchie yang jelas-jelas sudah melingkari pergelangan tanganya dengan manis.

© scndbrr

Ramai, adalah kata yang cocok untuk menginpretasikan bagaimana situasi dan kondisi kamar rawat inap Grena. Setelah tadi kedatangan teman-temannya, kini harus ditambah lagi oleh kedatangan teman-teman dari Jevano.

Beruntung, ini adalah ruangan VVIP yang luas dan cukup untuk menampung delapan orang tamu yang di dalamnya belum termasuk Grena dan Jevano.

Jujur saja, dengan kedatangan teman-teman Jevano barusan, membuat suasana dingin pada tempat ini sudah tidak seperti pada puncak Gunung Everest lagi. Pasalnya, sejak Jevano kembali, teman-teman Grena menjadi sungkan untuk membuka mulut bahkan sekedar untuk bergeser dari posisi duduknya barang 1 cm saja.

Sekaku itu memang.

“Halo ibu negara, gimana nih udah enakan belom?” suara berat milik Taka menarik perhatian Grena yang sedang sibuk mengupas kulit jeruk.

Jevano yang melihat tubuh Grena sedikit berjengit kemudian mengambil alih jeruk tadi dan melanjutkannya hingga jeruk tersebut sudah terlepas dari kulitnya dan kini siap untuk disantap.

“Eh? E-eh iya kak, udah udah enakan kok hehe,” jawab Grena sedikit gelagapan. Wanita itu terperangah dengan tindakan kecil Jevano barusan.

Sebelumnya biar aku jelaskan bagaimana posisi duduk mereka semua pada ruangan itu.

Grena dalam keadaan setengah berbaring, karena dirinya tidak diperbolehkan oleh Jevano untuk duduk. Jadilah wanita itu tiduran, tetapi punggung sempitnya menyandar pada kepala brankar. Kemudian Jevano duduk pada kursi yang berada di sisi brankar Grena. Pria itu memusatkan seluruh pandangannya ke arah istrinya.

Di sisi lain, teman-teman Grena yang memang sudah hadir duluan ketimbang teman-teman Jevano, duduk di sofa yang cukup panjang setidaknya muat untuk diduduki oleh mereka berempat. Urutannya adalah yang paling ujung kanan ada Hilmy, Nasa, Juna, dan terakhir paling pojok kiri ada Raja.

Sedangkan teman-teman Jevano yang baru datang, membuat Jevano harus meminta tambahan sofa dari pihak rumah sakit untuk tempat mereka semua duduk. Sofa itu diletakkan tepat di sebelah sofa yang memang sudah ada di kamar ini.

Urutan duduk mereka dimulai dari ujung kanan yang artinya berada di samping Raja, ada Darrel, Taka, Yarsa, kemudian yang paling ujung dekat pintu masuk ada Johan.

Mari kita kembali lagi.

Meskipun sedang dalam kondisi yang tidak vit, hal itu tidak membuat seorang model cantik Agrena Khanzanaya terlihat kucel. Dengan hanya bermodalkan cuci muka saja, wajahnya kini terlihat paling bersinar di antara semua orang yang ada di sana.

“Gren, lo ga kenal si Darrel sama Yarsa ya?” tanya Johan sambil mengambil satu potong pizza yang tersaji pada meja yang ada di depannya.

“Iya kak, gue belum kenal,” jawab Grena jujur sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Hehh lo berdua kenalan dulu sono,” ujar Taka yang mulutnya penuh dengan cairan hitam berasa pahit hingga ada beberapa tetes yang muncrat ke mana-mana.

“Muncrat bego!” seru Darrel yang jengah melihat tingkah sahabatnya.

Melihat hal itu, Grena sedikit terkekeh dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya hingga pandangannya menangkap kedua netra lain yang tengah menatapnya dengan datar. Buru-buru Grena memutus kontak matanya dengan pria itu dan kembali memperhatikan para tamu yang masih melontarkan candaan.

“Panggil gue Yarsa aja. Dulu FKT jurusan Mesin.”

“Kalo gue Darrel. Dulu SMA Putra Bangsa.”

Semua orang mengrenyit bingung ketika mendengar penuturan perkenalan yang keluar dari mulut seorang Darrel.

Ya, memang tidak ada yang menentukan format perkenalan kali ini. Dan tidak dilarang juga untuk menyebutkan almamater sekolah menengahnya ketimbang almamater sekolah tingginya. Namun, tetap saja aneh.

Seseorang sedang berusaha mengendalikan suara debaran jantungnya yang menjadi semakin cepat begitu mendengarkan Darrel tadi berbicara.


“Bang lo pada tau ga sih? Dulu nih ya gue paling males kalo jalan sama Grena. Mau ke kantin kek, ke perpus kek, ke mana aja dah selama masih di lingkungan kampus.”

“Mang napa Hil?”

“Gue kayaknya tau nih hahaha.”

“Iya Nas, baru aja mau ngelangkah nih eh udah ada aja cowo yang ngadang. Ngasih coklat lah, kalo ga bunga, ampe boneka juga tuh. Terus kalo bukan itu, dia minta nomernya si Grena atau ga malah ngajakin buat jalan. Hadeh susah sahabatan ama demi kampus.”

“Hilmy lo apaan deh,” kedua pipi putih Grena bersemu dan berubah warna menjadi sedikit kemerahan

“Hilmy li ipiin dih,” nyinyir Hilmy dengan muka tengilnya.

“Eh anjing lo pada tau ga kalo dulu tuh si Grena incerannya Johan, ya kan Jo?” ledek Taka sambil mengerlingkan salah satu matanya ke arah Johan.

“Taka lo pulang sendiri ya nanti,” ancam Johan tidak serius.

“Lah nyett kan tadi yang jemput lo gue, gimana sih?

“Oh ya lupa, ga jadi ngambek deh.”

Ga ada yang bener emang.

Semua orang di kamar rawat inap itu tertawa terbahak-bahak menyisakan tiga orang yang hanya terdiam dengan raut wajah yang tidak santai sama sekali.

© scndbrr

Ya, sesuai dengan dugaan kalian.

Jevano hanya bersandiwara mendapatkan panggilan dari sekretaris perusahaannya dan beralasan sedang mempunyai urusan mendesak di kantor. Pria itu melakukan semuanya untuk mengelabuhi Grena. Pasalnya, Jevano kini justru sedang melajukan mobil sedannya ke arah yang berlawanan dengan lokasi perusahaannya.

Cafe Athena.

Di tempat itulah Jevano bertemu dengan seorang laki-laki yang memang sudah tidak asing lagi di mata Jevano. Meskipun mereka berdua baru saling tahu kehadiran satu sama lainnya di dunia ini dalam kurun waktu yang tidak lebih dari umur tanaman jagung, namun ikatan yang mereka miliki tidaklah main-main.

Entahlah, tidak ada yang tahu mengenai ikatan yang telah dibuat oleh Jevano dengan laki-laki itu, namun yang pasti mereka berdua tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Tidak, Jevano merupakan pria normal yang masih menyukai seorang wanita. Jadi jangan berfikiran yang aneh-aneh sampai menganggap jika laki-laki itu adalah kekasih rahasianya.

Baik, mari kita lewatkan bagian itu. Sekarang Jevano sudah mendorong pintu masuk cafe tersebut dan kedua netranya memindai seluruh ruangan dengan nuasansa monokrom ini dengan seksama. Setelah mendapatkan sosok yang ia cari sedang duduk dengan kepala sedikit tertunduk di salah satu meja pada sudut ruangan, dirinya lantas melangkahkan kedua kaki jenjangnya ke sana.

Laki-laki itu menyadari kehadiran Jevano yang sudah mendaratkan tubuhnya untuk duduk di kursi. Dirinya mulai mengangkat wajahnya untuk menatap Jevano. Seringaian tipis yang terlihat cukup mengerikan terpatri pada bibirnya dan menghiasi wajah rupawan yang tak kalah tampan dari Jevano.

“Besok lagi, jangan maksa buat ketemu gue. Nanti Grena bisa curiga,” ucap Jevano membuka percakapan diantara mereka berdua.

“Oke sorry. Gue cuma penasaran aja kenapa Grena bisa masuk rumah sakit. Itu... ulah lo?” laki-laki itu melontarkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat kepala Jevano mendidih.

“Bukan. Dia sakit, gue nemuin dia pingsan di kamarya pas pulang dari kantor.”

Laki-laki itu mengerutkan dahinya cukup dalam begitu mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut Jevano untuk menjawab pertanyaannya barusan.

“Kenapa ga lo biarin aja? Malah lebih gampang kan buat kita?”

Jevano memberikan laki-laki itu sebuah tatapan yang sangat tajam seperti sebuah pisau daging yang baru saja diasah dan siap untuk menguluti orang tersebut.

“Grena... minum obat depresi sama obat tidur dalam dosis yang tinggi,” ucap Jevano yang sengaja mengecilkan volume suaranya.

“Terus?” tanya laki-laki itu yang membuat Jevano melongo tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu bersikap seolah tidak peduli mendengar seseorang yang bisa saja terkena over dosis obat?

“Itu artinya bisa aja kan di selama ini ngrasa bersalah atas kejadian itu?” tambah Jevano dengan suaranya yang terdengar meyakinkan.

“Lo salah, Jev. Itu adalah cara pertahanannya dia buat ngelupain kejadian itu. Dia berusaha denial sama apa yang udah dia lakuin waktu itu.”

Jawaban laki-laki tadi membuat kedua telapak tangan Jevano terkepal kuat-kuat di atas meja. Rahang pria itu juga mengetat hingga membuat wajahnya memerah.

“Jangan sampe lo lupa sama kejadian waktu itu, Jev. Bahkan harusnya lo lebih kesel sama Grena ketimbang gue yang ga punya urusan sama dia atau orang itu. Tapi lo punya Jev, lo punya hubungan sama orang itu. Alasan lo buat ngejalanin rencana kita lebih kuat daripada gue.”

”...”

“Gue pamit duluan, ada urusan lain.”

Setiap kata yang baru saja keluar dari mulut laki-laki yang sudah meninggalkan Jevano sendirian saat ini, terus saja terngiang-ngiang di benaknya. Suaranya yang penuh dengan penekanan tadi membuat kalimat itu masih berdengung dengan jernih di gendang telinganya.

© scndbrr

Jevano langsung membuang kasar lembaran kertas yang kini sedang dipegang oleh kedua tangannya.

Entah mengapa, namun perasasan pria itu menjadi tak karuan hanya karena istrinya tidak tidak membalas panggilan maupun pesannya.

Hal itu diperkeruh lagi dengan ingatannya beberapa saat yang lalu.

Nasa, juniornya saat masih kuliah yang diketahui sebegai sahabat dekat Grena menanyakan kabar istrinya dengan panik.

Sungguh, pikiran Jevano sekarang menjadi bercabang kemana-mana, ada sedikit guratan khawatir yang menghiasi benaknya.

Akhirnya pria itu memutuskan untuk segera bangkit dari kursi kerjanya dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja.

Kedua kaki jenjangnya membawa tubuh besar nan tinggi itu dengan cepat.

Dia berlari.

Pria itu segera menuju ke bassemant lokasi di mana kendaraan roda empatnya terparkir.

Tanpa berlama-lama lagi, dirinya membuka pintu, masuk, dan lupa untuk langsung mengenakan sabuk pengaman.

Kakinya menginjak pedal gas dengan tidak santai sama sekali.

Kedua bola mata Jevano bergerak gelisah sembari terus memperhatikan jalanan.

Perasaan kalut melingkupi ruang sempit di dalam mobil itu ketika dirinya menyadari sesuatu.

Istrinya sempat mengiriminya pesan dengan “typo” yang tidak biasanya grena lakukan.

Jevano berpikir saat itu Grena mungkin tengah berusaha untuk memberitahu keadaannya, namun dirinya justru menanggapinya dengan ketus.

Di dalam hati, pria itu terus merutuki dirinya sendiri.

Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Grena maka yang patut disalahkan adalah dirinya.


Sesampainya di kediaman pribadi miliknya itu, Jevano langsung bergegas menuju ke kamar tamu di mana sekarang sudah menjadi kamar istrinya.

Betapa terkejutnya pria itu ketika melihat tubuh Grena yang sedang meringkuk di bawah lantai ruangan yang dingin.

Jevano segera mendekat dan membawa tubuh Grena ke pangkuan kedua pahanya.

Oh tidak.

Lihatlah betapa pucat wajah istrinya itu, belah bibir ranumnya terlihat sedikit membiru, dan tubuhnya juga basah kuyup dengan air keringat.

Jevano merasakan panas ketika menyentuhkan punggung tangan kanannya ke arah dahi Grena yang sedikit tertutup dengan anak rambut.

Namun anehnya, di saat yang bersamaan dirinya juga merasakan dingin ketika tangannya tergerak untuk menggenggam tangan istrinya itu.

“Gren.” “Grena.” “Agrena bangun.”

”...”

Sia-sia usaha Jevano yang terus mengguncangkan tubuh Grena dan menepuk pelan salah satu pipi miliknya, karena tidak ada jawaban atau reaksi sama sekali dari wanita itu.

Pria itu menjadi kalang kabut dan mulai berpikiran yang tidak-tidak.

Lantas dirinya langsung menggendong tubuh ramping milik Grena ala bridal style.

Tujuan Jevano kini adalah sebuah rumah sakit terdekat yang dapat dirinya jangkau dengan cepat.

Mungkin jika Grena masih memiliki sedikit kesadaran dan bukannya terkulai lemas tanpa sadarkan diri seperti sekarang ini, dirinya akan meneriaki orang yang sekarang berada di balik kemudi mobil ini.

Bagaimana tidak?

Pria itu mengendarai kendaraan roda empat keluaran negara Jepang seperti orang yang sedang kerasukan setan.

Tidak menghiraukan apakah tindakannya sekarang dapat menggangu bahkan merugikan kendaraan dan orang lain, dirinya terus melajukan mobil itu pada kecepatan di atas rata-rata.


Setelah berkelut dengan padatnya jalan raya tadi bahkan sampai kena semprot sopir bus, kini dirinya berlari dengan nafas yang terengah-engah menuju ke unit gawat darurat rumah sakit ini.

“Sus, hubungi dokter Windra sekarang.”

Wajah seorang wanita yang mengenakan setelah putih-putih lengkap itu terlihat bingung ketika Jevano berbicara seperti tadi kepadanya.

“Sus! jangan malah bengong dong, cepetan panggilin dokter Windra dan suruh dia ke UGD sekarang!!”

Bentakan Jevano yang menggelegar itu sukses menarik atensi baik dari para pasien maupun staff rumah sakit yang ada di sana.

Dari arah belakang terlihat seorang pria dewasa yang diperkirakan usianya sepantar dengan Jevano berlari mendekat ke arah meja resepsionis, tempat Jevano marah-marah sekarang.

“Jev, kenapa?” pria dengan jas putih yang tersampir pada lengan kirinya itu melirik wanita yang terkena bentakan Jevano tadi dan menganggukkan kepalanya sekali ke arahnya.

“Win, tolongin Grena.” “Gue ga tau dia kenapa.” “Pas pulang tadi, gue nemuin dia pingsan di kamar.”

“Lo tenang ya Jev, biar gue periksa dulu istri lo.”

Jevano menunggu dokter tadi untuk memeriksa keadaan Grena dalam kegelisahan yang terus menyelimutinya.

Dokter yang sedang menangani Grena sekarang merupakan teman dekat Jevano saat kuliah dulu.

Windra Mahasatya, merupakan nama lengkap yang disandangnya.

Maka tak heran saat sedang panik tadi, Jevano dengan seenaknya menyuruh suster yang berjaga pada meja resepsionis untuk memanggilkan seorang Direktur rumah sakit ini.


Jevano langsung berdiri begitu Windra menyingkap tirai yang menutupi brankar Grena.

“Kita omongin di ruangan gue aja ya, Jev.”

Jevano hanya mengangguk lemah dan mulai mengikuti arah Windra pergi.

Kepalanya tertoleh ke belakang dan kedua netranya menatap tirai tadi dengan sendu hingga dirinya memusatkan perhatiannya ke depan.

“Istri lo gapapa, dia cuma kecapean aja.” “Jadwal pemotretannya sepadet apa sih sampe dia bisa kaya gini?”

“Setau gue ga terlalu padet kok, dan ga setiap hari juga.”

“Ada yang lebih mengejutkan sih, Jev.”

“Apa?”

“Dia mengonsumsi obat tidur sama obat anti-depresi dalam dosis yang tinggi.”

Jevano menatap kedua manik Windra dengan tatapan tidak percaya, berharap bahwa kalimat yang dikeluarkan oleh mulut sahabatnya itu tidak benar.


Pria itu keluar dari ruangan Direktur rumah sakit ini dengan langkah yang gontai dan bahu yang merosot ke bawah.

Langkah kakinya membawanya ke sebuah ruangan VVIP di mana istrinya kini sedang terbaring lemah di atas brankar.

Jevano duduk di sisi brankar tersebut menatap raut wajah Grena dengan tatapan nanar.

Hatinya terasa sedikit berdenyut nyeri ketika melihat Grena yang kini sedang berada dalam kondisi tidak berdaya.

Tangan besarnya terulur untuk menggenggam tangan yang jauh lebih kecil dari miliknya.

Ibu jarinya mengelus punggung tangan Grena dengan lembut dan penuh rasa hati-hati.

“Kamu ga boleh sakit.” “Karena yang boleh bikin kamu sakit itu cuma saya Grena.”

© scndbrr

Dari tadi, Grena duduk pada kursi penumpang yang ada di belakang dengan perasaan gelisah.

Ketika pikiran wanita itu masih melalang buana tak tentu arah, dirinya disadarkan oleh suara sopir yang menginterupsi.

“Udah sampai, mbak.”

Grena segera mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan langsung menyerahkannya kepada sopir tersebut.

Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu bergegas untuk keluar dari dalam kenadaraan roda empat tadi dan berlarian masuk ke rumah.

Grena tanpa berpikir panjang langsung menaiki tangga dan segera menuju ke arah kamar Jevano.

Namun ternyata kamar itu kosong tak ada kehadiran suaminya di sana.

Lantas wanita itu langsung saja pergi ke ruang kerja Jevano yang berada di sebelah kamarnya sendiri.

Sebelum masuk ke dalam, Grena menetralkan nafasnya yang terengah-engah sehabis berlarian dan menaiki tangga.

Dirinya membungkuk dan kedua telapak tangannya ia tumpukan pada kedua lututnya dan dirinya mulai mengatur nafasnya agar stabil.

Kemudian, wanita itu juga tak lupa untuk menyeka bulir air sebesar biji jagung yang terdapat pada sekitar area dahinya.

Setelah menyekanya, Grena juga sedikit merapikan rambutnya yang hari ini memang sengaja ia biarkan dalam keadaaan terurai bebas.

Setelah dirinya sudah merasa siap, akhirnya wanita itu memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan tersebut.

Tok, tok, tok...

“Masuk,” terdengar balasan singkat dari seberang sana, suaranya terdengar sangat dingin dan menyeramkan.

Grena memutar knop pintu dan langsung menghampiri Jevano yang kini terlihat sedang duduk di kursi kerjanya.

“Maaf,” tutur Grena dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar.

“Buat apa?” tanya Jevano, rupanya pria itu menyimak Grena.

”...” hening, tidak ada balasan apapun dari mulut wanita itu.

Jevano akhirnya bangkit berdiri dari kursi dan berjalan memutari meja kerjanya untuk dapat berhadapan secara langsung dengan istrinya.

Grena yang melihat hal itu justru melangkah mundur hingga punggungnya menabrak tembok yang ada di belakangnya.

Suaminya itu semakin mendekat, bahkan jarak antara tubuh mereka hanya terpaut tipis sekali.

Dalam jarak yang sedekat ini, Grena dapat melihat secara jelas wajah merah menahan amarah milik Jevano.

Rahangnya mengeras dan menutup dengan sangat rapat.

Terdengar suara bergemelatuk yang Grena dapat yakini berasal dari gertakan gigi-gigi Jevano di dalam mulutnya.

Urat-urat yang berada di sekitar area leher Jevano menunjukkan diri mereka tanpa malu-malu.

Pria di depannya kini tengah marah.

“Mereka semua itu laki-laki normal Grena!” “Kalau kamu diapa-apain sama mereka gimana?!” bentak Jevano dengan suara yang keras.

Hal itu sukses membuat Grena terperanjat, karena suaminya itu berteriak tepat di depan wajahnya langsung.

Jevano mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat.

Dengan amarah yang memuncak, dirinya menghantamkan tinjuan pada tembok di sebelah kepala istrinya.

Bugh

Grena memejamkan kedua matanya erat-erat dan meremat ujung bajunya menggunakan kedua tangannya.

Wanita itu kini mengalirkan buliran air dari kedua matanya yang masih dalam kondisi terpejam.

Pundaknya bergetar dan dirinya menggigit bagian bawah bibirnya kuat-kuat.

Grena sangat ketakutan sekarang.

Jevano yang melihat hal itu langsung mengusap air mata Grena menggunakan ibu jarinya.

“Maaf, maafin saya.” “Saya cuma khawatir sama kamu.” “Jangan menangis, Agrena.”

Grena akhirnya membuka kelopak matanya dan menatap lurus ke arah manik milik suaminya itu.

Mereka berdua saling berpandangan dalam diam cukup lama dengan posisi yang intens seperti ini.

Jevano kemudian menarik rahang Grena dan membawanya untuk mendekat ke arah wajahnya.

Grena membelalakan kedua matanya ketika merasakan sentuhan hangat pada bibirnya.

Sebuah benda kenyal nan basah sedang menempel pada bibir ranumnya.

Secara perlahan, Jevano memberikan lumatan-lumatan lembut di sana dan mulai menghisap bibir bagian atas milik Grena.

Grena terkejut dan berusaha untuk mendorong dada bidang suaminya itu. Dirinya berusaha untuk melepaskan pagutan ini.

Namun sayang, usaha Grena gagal.

Kedua tangan Grena ditahan oleh satu tangan besar Jevano yang membuat wanita itu sudah tidak dapat berkutik lagi.

Jevano menekan tengkuk wanita itu guna memperdalam pagutan bibir mereka.

Ciuman Jevano lama-lama menjadi semakin terkesan menggebu-gebu dan menuntut.

Bahkan pria itu sudah menggigit bibir bagian bawah Grena supaya Grena mau memberikan akses masuk ke dalam mulutnya.

Tampaknya pria itu ingin mengajak Grena pada sebuah peperangan lidah yang panas bersamanya.

Ketika tersadar akan sesuatu, tiba-tiba Jevano melepaskan pagutannya dan memandang wajah Grena dengan tatapan yang sulit diartikan.

Dirinya melihat betapa kacaunya penampilan Grena sekarang.

Nafasnya tersengal-sengal, bibirnya membengkak dan terdapat luka di sana, terlihat sebuah jejak air liur yang tidak tahu itu milik siapa.

Jevano segera bergegas keluar dari ruang kerja, meninggalkan Grena sendirian dengan banyak pertanyaan yang kini bersarang di kepala wanita itu.

© scndbrr

Jevano sejak tadi terus-terusan menenggak minuman beralkohol tanpa henti.

Bahkan teman-temannya yang melihat itu menjadi ngeri sendiri jadinya.

Pasalnya yang mereka tahu, teman mereka yang satu ini bukanlah tipe orang yang suka mabuk-mabukan kecuali dirinya sedang ada masalah.

That's the point! Masalah.

Tapi masalah apa yang membuat pria itu menjadi bertindak sejauh ini?

“Woi udah woi!! Lo minum alkohol udah kayak minum es teh aja dah,” celetuk Yarsa yang sudah tidak tahan dengan Jevano.

“Lo lagi ada masalah apaan kali ini?” kini Darrel yang bertanya kepadanya.

“Abis nikah tuh harusnya bawaannya happy, lah ini malah jadi kaya orang yang lagi mikirin negara aja,” tambah Taka sambil mengambil gelas yang baru saja akan diteguk lagi oleh Jevano.

“Lo laki bro! harus gentle dong kalo lagi ada masalah,” ucap Johan yang membuat Jevano menatapnya dengan tatapan tajam.

“Lo semua ga tau apa-apa!” “Jadi, ga usah banyak bacot!!”

Sepertinya mood CEO kita sedang kurang baik. Bukan Jevano sekali berbicara seperti tadi.

Keempat temannya pun hanya dapat memaklumi perlakuan Jevano kepada mereka.

Mereka pikir, pada malam ini mereka akan bersenang-senang dan mengenang masa lalu ketika masih kuliah dulu.

Namun sayangnya yang mereka dapatkan justru hanya melihat pemandangan seorang pria yang teler.

Kalau kata Yarsa mah “Mau digratisin juga nih minuman, udah kaga napsu gue”.

Jevano kini mulai meracau dengan tidak jelas.

Mungkin itu adalah efek dari kadar alkohol yang tidak main-main dalam minuman tadi.

“Emm... gue khawatir.” “Ga! ga boleh nginep.” “Gue ga mau dia dalam bahaya!” “Mereka itu cowo normal, ga peduli udah kenal dari SMA!”

“Gue ga boleh kaya gini...” “Gue kenapa sih?!” “Gue harusnya seneng dong kalo dia kenapa-napa!” “Ck, Jevano sadar! lo lagi berurusan sama siapa sekarang!”

Racauan yang dilantunkan oleh Jevano sukses membuat kening keempat temannya itu berkerut cukup dalam.

Mereka semua bingung dengan maksud rentetan kata yang keluar dari mulut temannya ini.

“Gren.” “Grena.” “Agrena.” “Agrena Khanzanaya.”

Itu ada ucapan terakhir Jevano sebelum dirinya benar-benar tumbang secara total.

Kepalanya terkantuk dengan meja bar dan detik berikutnya terdengar dengkuran halus serta sebuah gumaman.

“Grena, grena, grena...”

© scndbrr

Jevano sejak tadi terus-terusan menenggak minuman beralkohol tanpa henti.

Bahkan teman-temannya yang melihat itu menjadi ngeri sendiri jadinya.

Pasalnya yang mereka tahu, teman mereka yang satu ini bukanlah tipe orang yang suka mabuk-mabukan kecuali dirinya sedang ada masalah.

That's the point! Masalah.

Tapi masalah apa yang membuat pria itu menjadi bertindak sejauh ini?

“Woi udah woi!! Lo minum alkohol udah kayak minum es teh aja dah,” celetuk Yarsa yang sudah tidak tahan dengan Jevano.

“Lo lagi ada masalah apaan kali ini?” kini Darrel yang bertanya kepadanya.

“Abis nikah tuh harusnya bawaannya happy, lah ini malah jadi kaya orang yang lagi mikirin negara aja,” tambah Taka sambil mengambil gelas yang baru saja akan diteguk lagi oleh Jevano.

“Lo laki bro! harus gentle dong kalo lagi ada masalah,” ucap Johan yang membuat Jevano menatapnya dengan tatapan tajam.

“Lo semua ga tau apa-apa!” “Jadi, ga usah banyak bacot!!”

Sepertinya mood CEO kita sedang kurang baik. Bukan Jevano sekali berbicara seperti tadi.

Keempat temannya pun hanya dapat memaklumi perlakuan Jevano kepada mereka.

Mereka pikir, pada malam ini mereka akan bersenang-senang dan mengenang masa lalu ketika masih kuliah dulu.

Namun sayangnya yang mereka dapatkan justru hanya melihat pemandangan seorang pria yang teler.

Kalau kata Yarsa mah “Mau digratisin juga nih minuman, udah kaga napsu gue”.

Jevano kini mulai meracau dengan tidak jelas.

Mungkin itu adalah efek dari kadar alkohol yang tidak main-main dalam minuman tadi.

“Emm... gue khawatir.” “Ga! ga boleh nginep.” “Gue ga mau dia dalam bahaya!” “Mereka itu cowo normal, ga peduli udah kenal dari SMA!”

“Gue ga boleh kaya gini...” “Gue kenapa sih?!” “Gue harusnya seneng dong kalo dia kenapa-napa!” “Ck, Jevano sadar! lo lagi berurusan sama siapa sekarang!”

Racauan yang dilantunkan oleh Jevano sukses membuat kening keempat temannya itu berkerut cukup dalam.

Mereka semua bingung dengan maksud rentetan kata yang keluar dari mulut temannya ini.

“Gren.” “Grena.” “Agrena.” “Agrena Khanzanaya.”

Itu ada ucapan terakhir Jevano sebelum dirinya benar-benar tumbang secara total.

Kepalanya terkantuk dengan meja bar dan detik berikutnya terdengar dengkuran halus dan sebuah gumaman.

“Grena, grena, grena...”

© scndbrr

Di sinilah mereka berlima sekarang berada, pada ruang tengah vila.

Karena memang sudah lama tidak berjumpa dalam formasi yang lengkap, mereka mengobrolkan sembarang hal hingga lupa waktu.

Terakhir kali mereka berjumpa itu sekitar pada 3 tahun yang lalu. Itu artinya saat mereka semua masih sibuk-sibuknya ngurusin per-skripsiannya masing-masing.

Tidak.

Sebenarnya mereka masih sering ngumpul kok. Tapi tanpa Grena.

Sebab wanita itu menghilang begitu saja setelah wisuda bak, ditelan bumi dan muncul-muncul sudah berganti status menjadi istri orang.

“Eh sumpah ya beneran. Itu kambingnya pak Memed yang namanya Jubaedah kalo tiap gue lewat pasti ngedipin matanya anying!!”

Kalian tahu kan siapa yang sedang bercerita tentang hal konyol itu?

Ya, benar. Siapa lagi pelakunya jika bukan si Hilmy Pratama anaknya pak Atok Pratama.

“Udah anjir Hil. Gue sampe ga kuat ketawa lagi ini!” seru Grena yang masih saja terkikik geli mendengarkan Hilmy tadi bercerita.

“Kalo gitu gantian sekarang lo yang cerita ke kita semua Gren. Apa yang buat lo tiba-tiba nikah, dan kenapa orang itu bang Jevano?”

Ucapan Raja barusan membuat suasana yang tampak ricuh tadi teredam menjadi sunyi.

Semua orang di sana tampak mulai menyamankan posisi duduknya yang sedang lesehan di atas karpet bulu tebal di bawah.

Mereka sudah sangat siap untuk mendengarkan penuturan Grena.

Hening.

Cukup lama Grena terdiam hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk membuka mulutnya.

“Gue terpaksa.” “Gue nikah sama Jevano bukan atas dasar cinta, tapi karena perjanjian,” ucap Grena lirih sambil meremat ujung bajunya.

Juna tidak terlalu terkejut mendengar penuturan Grena barusan. Pasalnya laki-laki itu sudah diberitahu oleh Grena lewat pesan tempo hari.

Namun berbeda dengan Hilmy, Nasa, dan juga Raja. Mereka membelalakkan matanya tidak percaya dan membuka mulutnya lebar-lebar karena terkejut.

“Lo semua mungkin udah kenal gue dari jaman SMA. Tapi lo ga tau kan kehidupan gue tuh kaya gimana? Dari dulu gue ga pernah dibolehin buat yang namanya milih sesuatu. Itu karena apapun itu udah dipilihin sama bokap-nyokap gue,” ucap Grena sambil menyingkirkan anak rambut yang terjuntai menutupi pandangan matanya.

“Semua,” tekan Grena lagi.

“Mulai dari baju yang gue pake sehari-hari, model rambut, buku-buku yang harus dibaca, kegiatan gue, bahkan sampai hobi gue. Jadi, sebenernya yang lo semua liat pas SMA sampe kuliah itu bukan selera gue, semuanya keinginan dari bonyok. Yang bikin gue sakit adalah ketika mereka yang udah sok-sokan pegang seluruh kendali atas hidup gue, malah ga bisa ngasih satu hal aja yang gue pengenin dari mereka,” Grena menghela nafas cukup dalam.

“Waktu,” tegas Grena.

“Simple kan padahal? Tapi mereka selalu aja ga punya waktu luang buat gue. Kalo ditanya, pasti alasan mereka selalu sama. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Gue selalu sendirian di rumah, ya paling ada bibi yang kerja doang. Jujur gue ngrasa kesepian. Yang paling gue benci adalah ketika gue harus makan sendirian di ruang makan yang luas dan meja makan yang lebar. Gue, ngrasa sendirian di sini,” ucap Grena yang kini matian-matian berusaha untuk menghalau air matanya untuk keluar.

“Makanya, dulu tuh kalo si Hilmy atau Nasa ngajakin makan di luar atau cuma sekedar nongkrong buat ngopi doang, rasanya gue seneng banget tau. Karena gue ga harus sendirian di rumah tanpa ada yang ngajak ngobrol,” wanita itu tersenyum manis memandang ke arah Hilmy dan juga Nasa.

“Gue pikir, gue cuma harus nerima semuanya aja. Setidaknya sampai gue lulus kuliah dan udah bisa kerja buat cari duit sendiri. Setelah itu baru gue bisa pergi dari rumah yang tiap hari bikin gue sesek napas. Tapi sayang, gue saat itu ga sengaja lewat ruang kerja bokap, dan nguping pembicaraan bokap-nyokap gue. Lo tau ga mereka berdua ngomongin apa?” tanya Grena kepada mereka berempat dengan diakhiri seringaian tipis pada bibirnya.

“Mah, katanya kalo Grena mau menikah dengan dia, dia bakalan nyerahin anak perusahaannya yang ada di Singapur sama yang ada di Korea Selatan buat papa.”

“G-gue, gue... GUE MAU DIJUAL SAMA MEREKA BRENGSEK!!”

Tangisan Grena akhirnya pecah seketika. Dirinya sudah tidak kuat lagi menahan beban yang dipikul di pundak ringkihnya.

Grena sering berfikir konyol, apakah sebenarnya dia adalah seorang anak pungut? Mengapa kedua orang tuanya itu memperlakukannya seperti demikian?

Isakan tangis yang keluar dari mulut kecil Grena mampu membuat para lelaki di sana merasakan sebuah sayatan pada hati mereka.

Mereka tidak menyangka bahwa dibalik perangai sahabat wanitanya yang selalu terlihat riang dan ceria itu, justru menyimpan banyak luka.

Hilmy menghampiri Grena yang masih saja mengalirkan cairan bening dari maniknya dengan deras. Ia lantas merengkuh tubuh ramping wanita itu, berusaha menyalurkan untuk menyalurkan kekuatan.

“Ga usah dilanjutin ceritanya, Gren. Kita bisa ngertiin,” ucap Raja.

Juna dan Nasa masih terdiam memandang Grena dengan tatapan yang sendu. Di dalam hati mereka, mereka merasa gagal menjadi seorang sahabat, karena mereka gagal melindungi Grena-nya.

Grena sendiri yang masih sesenggukan bersikeras untuk tetap melanjutkan agar mereka tahu alasan Grena yang terpaksa menerima pinangan dari Jevano.

“Waktu itu gue ga tau Jevano dapet nomor gue darimana. Tapi dia nelfon dan ngajakin gue buat ketemuan. Akhirnya kita ketemu di cafe dan dia langsung bilang kalo mau nawarin kontrak pernikahan sama gue. Jadi kita nikah berdasarkan perjanjian yang bisa saling menguntungkan bagi gue dan dia sendiri. Gue cuma perlu pura-pura kelihatan jadi seorang istri yang baik di depan keluarga besarnya sama kolega kantornya. Sedangkan gue jadi bisa lepas sama orang tua gue yang ga waras itu,” jelas Grena secara jujur.

“Gue mikir kalo ini adalah keputusan yang tepat. Karena bagi gue, mending nikah sama kating gue sendiri walaupun gue ga deket dan cuma kenal sebatas nama dia doang. Ketimbang gue harus nikah sama cowo ga jelas yang dipilihin sama bokap-nyokap. Gue juga ga bisa bawa sembarangan cowo buat dikenalin di depan bokap-nyokap gue. Dan untungnya Jevano ini kan CEO perusahaan gede ditambah lagi sama latar belakang keluarganya yang ga main-main. Jadi bokap-nyokap gue juga langsung setuju-setuju aja.”

“Sorry, sorry banget gue ga cerita ini ke kalian semua. Gue cuma bingung dan malu aja ke kalian. Gue juga ga mau buat kalian jadi terbebani sama masalah yang ga ada sangkut pautnya sama kalian sendiri,” kepala wanita itu tertunduk ke dalam.

“Jadi kayak gitu ceritanya. Gue harap kalian semua bisa ngertiin keputusan yang udah gue ambil. Gue ga mau kalo harus kehilangan kalian. Please, i beg you all.”

© scndbrr

Setelah semuanya menghabiskan hidangan makan malam yang dimasak oleh seorang koki dari hotel bintang lima, mereka kini sedang berkumpul di ruang keluarga.

Ya, semua hidangan yang mereka konsumsi setiap harinya disajikan secara langsung oleh seorang koki handal yang memiliki kemampuan memasak di atas rata-rata.

Memang sekaya itu keluarga Adelard.

Di dalam ruang keluarga yang cukup luas ini mereka tengah berbincang-bincang terhadap satu sama yang lain.

Keluarga besar itu terpecah menjadi ke dalam dua kubu sesuai dengan gendernya masing-masing.

Para pria tampak sedikit serius karena membicarakan soal seluk beluk perusahaan mereka.

Sedangkan para wanita tampak sedang membahas produk kecantikan yang dapat membantu kulit mereka terlihat semakin bersinar.

Grena teringat akan sesuatu.

“Kak Wil, si Keysha di mana?” “Nggak ikut ke sini kah dia?”

“Ikut kok, Gren.” “Tadi dia makan duluan, terus langsung tepar deh.”

Grena kemudian menganggukkan kepalanya pelan dan mulutnya berkata “oh” dengan lirih.

“Allooo onty Glenaa ntiqq!!”

Suara serak khas orang bangun tidur milik anak kecil yang baru berusia 4 tahun itu, mengalihkan atensi semua orang dewasa di sana.

Dia adalah Keysha Alastar.

Putri pertama dari pasangan suami-istri Panji dan Wilona.

“Eh princess udah bangun dari bobonya.” “Pasti karena kita berisik ya? maaf sayang,” ucap Grena sambil mengulurkan tangannya dan langsung menggendong keponakannya itu.

“Enggak kok onty.” “Aku tadi dengel cualanya onty Glen, jadi bulu-bulu bangun deh.” “Soalnya aku udah kangen banget sama onty tau huhuu...”

“Menggemaskan sekali anak ini”, batin Grena.

Wilona yang memperhatikan bagaimana Grena bertindak manis terhadap putrinya itu, hatinya jadi mulai menghangat.

Dirinya tidak menyangka bahwa Grena menyayangi putrinya seperti ini.

Pasalnya kesan pertama yang Wilona tangkap saat bertemu, Grena merupakan sosok yang dingin dan irit bicara.

Namun sekarang, wanita itu justru terlihat begitu akrab dengan semua anggota keluarganya.

Di sisi lain, Jevano yang tengah melihat interaksi yang terjadi antara Grena dengan keponakannya juga merasakan keanehan.

Istrinya itu meluruhkan raut wajah dinginnya, dan digantikan dengan raut wajah ramah serta senyuman hangat pada bibir ranumnya.

Tanpa sadar, dirinya juga ikut tersenyum memandang Grena yang sedang bersenda gurau dengan anak kakaknya itu.

Wilona yang teringat akan maksud dan tujuannya mengajak seluruh anggota keluarganya makan malam bersama segera bersuara.

“Minta perhatiannya sebentar dong.” “Aku mau nyampein kabar bahagia nih.”

“Kabar apa sih sayang, hm?”

“Iya nak, kamu bikin mama penasaran.”

“Kak buruan deh, aku masih punya banyak kerjaan kantor.”

Wilona yang mendengar perkataan Jevano barusan, mendengus dengan kasar serta mendelik ke arah adiknya itu.

Sedangkan Cakra dan Isabella hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka, melihat kedua anaknya itu yang masih saja seperti anak kecil.

Padahal mereka berdua sama-sama sudah mempunyai pasangan dan berkeluarga.

Entahlah.

“Papa sama mama bakalan punya cucu lagi,” lanjut Wilona berbicara karena tadi sempat terpotong.

Hening.

Tampaknya semua orang kini tengah mencerna dengan baik-baik rentetan kata demi kata yang keluar dari mulut Wilona.

Panji yang melihat hal itupun langsung ikut berbicara untuk memperjelasnya kepada mereka semua.

“Wilona hamil anak kedua pa, ma, jev, gren.”

Suasana haru kini tengah menyelimuti kediaman keluarga Adelard.

Semua anggota keluarga sedang berbahagia dengan satu alasan yang sama.

Isabella, Wilona, dan Grena sedang berpelukan layaknya teletubbies.

“Semoga Grena juga cepet nyusul ya sayang,” ucap Isabella yang sukses membuat baik Grena sendiri maupun Jevano terdiam kaku dan hanya menyuguhkan senyuman kikuk.

“Ga bakal mungkin sih, ma. Soalnya kan itu ga ada di perjanjian,” batin Grena di dalam hatinya.

© scndbrr

Kendaraan roda empat itu langsung masuk ke dalam pekarangan rumah mewah nan besar ini begitu pak satpam yang berjaga di depan pos membukakan gerbang pintu masuk.

Jevano tampak sedang serius memarkirkan mobilnya sendiri, dirinya tidak mau membuat penjaga tadi bekerja ekstra untuknya.

Pria itu memang dengan sengaja turun duluan dan bergegas membukakan pintu untuk Grena.

Namun sayangnya ketika baru akan melakukan hal itu, Grena sudah lebih dulu membukanya secara mandiri.

Wanita itu langsung turun dari kendaraan roda empat itu dan berlalu begitu saja, sengaja mengabaikan kehadiran Jevano di sana.

Jevano kemudian hanya mengendikkan bahunya acuh dan melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk menyusul Grena.

“Kok lama banget sih sayang baru dateng? Mama udah nungguin dari tadi tau, kangen nih.”

Suara lembut itu mengalun merdu untuk menyapa dan masuk ke dalam gendang telinga Grena dengan sopan.

Beliau adalah Isabella, mamanya Jevano.

Wanita itu tampak sangat anggun dan elegan di mata Grena.

Wajahnya masih saja memancarkan aura kecantikan walau usianya sudah menyentuh setengah abad.

Kulit putih yang ia miliki dan bibir tipisnya itu menjadi poin utama yang Isabella punya.

“Iya ma, maaf ya. Tadi aku ada pemotretan, jadi pulang sore. Terus mas Jevano juga lagi banyak kerjaan di kantor, nyampe rumahnya aja barengan sama aku. Di perjalanan ke sini lumayan macet, jadi ya telat deh heheh,” jelas Grena.

“Oh jadi gitu, ya udah gapapa sayang.”

Isabella melirik sekilas putranya yang sedang berdiri tepat di belakang Grena.

Jevano hanya menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Grena dan melampirkan sebuah senyuman kikuk.

Kedua wanita itu kini tengah melakukan salam khas yang sudah biasa dilakukan oleh kaumnya ketika berjumpa.

Ya, saling menempelkan pipi mereka masing-masing.

Di sisi lain, Jevano terlihat sedikit tertegun mendengar penjelasan Grena tadi.

“Mas katanya?”

Wah akting istrinya itu sangatlah baik, mengapa dia tidak menjadi seorang aktris saja ketimbang model?

Bahkan panggilan itu tidak terdapat di poin perjanjian yang telah disepakati oleh mereka.

Entahlah, suka-suka Grena saja.

Isabella segera mengajak anak dan menantunya itu untuk segera masuk ke dalam rumah.

Dirinya berjalan berdampingan bersama Grena dan merangkul menantunya itu dengan sayang.

Jevano merasa bahwa mamanya itu sangat menyukai Grena.

Pria itu akhirnya hanya mengikuti mereka berdua berjalan di belakangnya.

Suara bariton menarik atensi dari semua orang yang berkumpul di ruang makan begitu Isabella, Grena, dan Jevano sampai di sana.

“Mata buram, tidak dapat membidik.” “Selamat malam, Grena cantik.”

Suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang umurnya tidak terlalu jauh dari Isabella.

Pria itu sangatlah tampan dan masih saja memiliki tubuh yang bugar walaupun sudah cukup berumur.

Ahh, Grena tahu darimana wajah rupawan yang dimiliki oleh Jevano.

Itu tadi adalah Cakra, papanya Jevano. Kepala keluarga Adelard.

“Lagi naik tangga, sambil bawa nampan.” “Selamat malam juga, papa mertua tampan.”

Isabella hanya terkekeh melihat interaksi yang baru saja terjadi antara suaminya dengan menantunya itu.

Di sana juga ada Wilona, kakak Jevano dan juga Panji suaminya. Mereka juga terlihat tertawa melihat betapa lucunya adik iparnya itu ketika sedang membalas pantun sang papa.

Sedangkan Jevano hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis melihat kebiasaan papanya itu.

“Nah kalian contoh si Grena.” “Kalau saya kasih pantun itu, ya jawabnya juga pakai pantun.”

“Tenang aja pa, aku selalu siap kok balesin semua pantunnya papa.”

Grena tersenyum sangat manis ke arah Cakra dan semua anggota keluarga Jenan yang lain.

Jevano yang melihat itu merasakan sebuah perasaan aneh di hatinya.

Bukan karena apa, namun dirinya baru pertama kali melihat senyuman itu tadi.

Istrinya itu melenyapkan seluruh raut wajah dinginnya dan diganti dengan sebuah raut wajah ramah serta senyuman di sana.

Jevano iri begitu tahu bahwa senyuman manis tadi tidak ditujukan kepadanya, melainkan orang lain.

“Selalu cantik.”

© scndbrr