About Her

Di sinilah mereka berlima sekarang berada, pada ruang tengah vila.

Karena memang sudah lama tidak berjumpa dalam formasi yang lengkap, mereka mengobrolkan sembarang hal hingga lupa waktu.

Terakhir kali mereka berjumpa itu sekitar pada 3 tahun yang lalu. Itu artinya saat mereka semua masih sibuk-sibuknya ngurusin per-skripsiannya masing-masing.

Tidak.

Sebenarnya mereka masih sering ngumpul kok. Tapi tanpa Grena.

Sebab wanita itu menghilang begitu saja setelah wisuda bak, ditelan bumi dan muncul-muncul sudah berganti status menjadi istri orang.

“Eh sumpah ya beneran. Itu kambingnya pak Memed yang namanya Jubaedah kalo tiap gue lewat pasti ngedipin matanya anying!!”

Kalian tahu kan siapa yang sedang bercerita tentang hal konyol itu?

Ya, benar. Siapa lagi pelakunya jika bukan si Hilmy Pratama anaknya pak Atok Pratama.

“Udah anjir Hil. Gue sampe ga kuat ketawa lagi ini!” seru Grena yang masih saja terkikik geli mendengarkan Hilmy tadi bercerita.

“Kalo gitu gantian sekarang lo yang cerita ke kita semua Gren. Apa yang buat lo tiba-tiba nikah, dan kenapa orang itu bang Jevano?”

Ucapan Raja barusan membuat suasana yang tampak ricuh tadi teredam menjadi sunyi.

Semua orang di sana tampak mulai menyamankan posisi duduknya yang sedang lesehan di atas karpet bulu tebal di bawah.

Mereka sudah sangat siap untuk mendengarkan penuturan Grena.

Hening.

Cukup lama Grena terdiam hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk membuka mulutnya.

“Gue terpaksa.” “Gue nikah sama Jevano bukan atas dasar cinta, tapi karena perjanjian,” ucap Grena lirih sambil meremat ujung bajunya.

Juna tidak terlalu terkejut mendengar penuturan Grena barusan. Pasalnya laki-laki itu sudah diberitahu oleh Grena lewat pesan tempo hari.

Namun berbeda dengan Hilmy, Nasa, dan juga Raja. Mereka membelalakkan matanya tidak percaya dan membuka mulutnya lebar-lebar karena terkejut.

“Lo semua mungkin udah kenal gue dari jaman SMA. Tapi lo ga tau kan kehidupan gue tuh kaya gimana? Dari dulu gue ga pernah dibolehin buat yang namanya milih sesuatu. Itu karena apapun itu udah dipilihin sama bokap-nyokap gue,” ucap Grena sambil menyingkirkan anak rambut yang terjuntai menutupi pandangan matanya.

“Semua,” tekan Grena lagi.

“Mulai dari baju yang gue pake sehari-hari, model rambut, buku-buku yang harus dibaca, kegiatan gue, bahkan sampai hobi gue. Jadi, sebenernya yang lo semua liat pas SMA sampe kuliah itu bukan selera gue, semuanya keinginan dari bonyok. Yang bikin gue sakit adalah ketika mereka yang udah sok-sokan pegang seluruh kendali atas hidup gue, malah ga bisa ngasih satu hal aja yang gue pengenin dari mereka,” Grena menghela nafas cukup dalam.

“Waktu,” tegas Grena.

“Simple kan padahal? Tapi mereka selalu aja ga punya waktu luang buat gue. Kalo ditanya, pasti alasan mereka selalu sama. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Gue selalu sendirian di rumah, ya paling ada bibi yang kerja doang. Jujur gue ngrasa kesepian. Yang paling gue benci adalah ketika gue harus makan sendirian di ruang makan yang luas dan meja makan yang lebar. Gue, ngrasa sendirian di sini,” ucap Grena yang kini matian-matian berusaha untuk menghalau air matanya untuk keluar.

“Makanya, dulu tuh kalo si Hilmy atau Nasa ngajakin makan di luar atau cuma sekedar nongkrong buat ngopi doang, rasanya gue seneng banget tau. Karena gue ga harus sendirian di rumah tanpa ada yang ngajak ngobrol,” wanita itu tersenyum manis memandang ke arah Hilmy dan juga Nasa.

“Gue pikir, gue cuma harus nerima semuanya aja. Setidaknya sampai gue lulus kuliah dan udah bisa kerja buat cari duit sendiri. Setelah itu baru gue bisa pergi dari rumah yang tiap hari bikin gue sesek napas. Tapi sayang, gue saat itu ga sengaja lewat ruang kerja bokap, dan nguping pembicaraan bokap-nyokap gue. Lo tau ga mereka berdua ngomongin apa?” tanya Grena kepada mereka berempat dengan diakhiri seringaian tipis pada bibirnya.

“Mah, katanya kalo Grena mau menikah dengan dia, dia bakalan nyerahin anak perusahaannya yang ada di Singapur sama yang ada di Korea Selatan buat papa.”

“G-gue, gue... GUE MAU DIJUAL SAMA MEREKA BRENGSEK!!”

Tangisan Grena akhirnya pecah seketika. Dirinya sudah tidak kuat lagi menahan beban yang dipikul di pundak ringkihnya.

Grena sering berfikir konyol, apakah sebenarnya dia adalah seorang anak pungut? Mengapa kedua orang tuanya itu memperlakukannya seperti demikian?

Isakan tangis yang keluar dari mulut kecil Grena mampu membuat para lelaki di sana merasakan sebuah sayatan pada hati mereka.

Mereka tidak menyangka bahwa dibalik perangai sahabat wanitanya yang selalu terlihat riang dan ceria itu, justru menyimpan banyak luka.

Hilmy menghampiri Grena yang masih saja mengalirkan cairan bening dari maniknya dengan deras. Ia lantas merengkuh tubuh ramping wanita itu, berusaha menyalurkan untuk menyalurkan kekuatan.

“Ga usah dilanjutin ceritanya, Gren. Kita bisa ngertiin,” ucap Raja.

Juna dan Nasa masih terdiam memandang Grena dengan tatapan yang sendu. Di dalam hati mereka, mereka merasa gagal menjadi seorang sahabat, karena mereka gagal melindungi Grena-nya.

Grena sendiri yang masih sesenggukan bersikeras untuk tetap melanjutkan agar mereka tahu alasan Grena yang terpaksa menerima pinangan dari Jevano.

“Waktu itu gue ga tau Jevano dapet nomor gue darimana. Tapi dia nelfon dan ngajakin gue buat ketemuan. Akhirnya kita ketemu di cafe dan dia langsung bilang kalo mau nawarin kontrak pernikahan sama gue. Jadi kita nikah berdasarkan perjanjian yang bisa saling menguntungkan bagi gue dan dia sendiri. Gue cuma perlu pura-pura kelihatan jadi seorang istri yang baik di depan keluarga besarnya sama kolega kantornya. Sedangkan gue jadi bisa lepas sama orang tua gue yang ga waras itu,” jelas Grena secara jujur.

“Gue mikir kalo ini adalah keputusan yang tepat. Karena bagi gue, mending nikah sama kating gue sendiri walaupun gue ga deket dan cuma kenal sebatas nama dia doang. Ketimbang gue harus nikah sama cowo ga jelas yang dipilihin sama bokap-nyokap. Gue juga ga bisa bawa sembarangan cowo buat dikenalin di depan bokap-nyokap gue. Dan untungnya Jevano ini kan CEO perusahaan gede ditambah lagi sama latar belakang keluarganya yang ga main-main. Jadi bokap-nyokap gue juga langsung setuju-setuju aja.”

“Sorry, sorry banget gue ga cerita ini ke kalian semua. Gue cuma bingung dan malu aja ke kalian. Gue juga ga mau buat kalian jadi terbebani sama masalah yang ga ada sangkut pautnya sama kalian sendiri,” kepala wanita itu tertunduk ke dalam.

“Jadi kayak gitu ceritanya. Gue harap kalian semua bisa ngertiin keputusan yang udah gue ambil. Gue ga mau kalo harus kehilangan kalian. Please, i beg you all.”

© scndbrr