Grena dan Keluarga Jevano
Kendaraan roda empat itu langsung masuk ke dalam pekarangan rumah mewah nan besar ini begitu pak satpam yang berjaga di depan pos membukakan gerbang pintu masuk.
Jevano tampak sedang serius memarkirkan mobilnya sendiri, dirinya tidak mau membuat penjaga tadi bekerja ekstra untuknya.
Pria itu memang dengan sengaja turun duluan dan bergegas membukakan pintu untuk Grena.
Namun sayangnya ketika baru akan melakukan hal itu, Grena sudah lebih dulu membukanya secara mandiri.
Wanita itu langsung turun dari kendaraan roda empat itu dan berlalu begitu saja, sengaja mengabaikan kehadiran Jevano di sana.
Jevano kemudian hanya mengendikkan bahunya acuh dan melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk menyusul Grena.
“Kok lama banget sih sayang baru dateng? Mama udah nungguin dari tadi tau, kangen nih.”
Suara lembut itu mengalun merdu untuk menyapa dan masuk ke dalam gendang telinga Grena dengan sopan.
Beliau adalah Isabella, mamanya Jevano.
Wanita itu tampak sangat anggun dan elegan di mata Grena.
Wajahnya masih saja memancarkan aura kecantikan walau usianya sudah menyentuh setengah abad.
Kulit putih yang ia miliki dan bibir tipisnya itu menjadi poin utama yang Isabella punya.
“Iya ma, maaf ya. Tadi aku ada pemotretan, jadi pulang sore. Terus mas Jevano juga lagi banyak kerjaan di kantor, nyampe rumahnya aja barengan sama aku. Di perjalanan ke sini lumayan macet, jadi ya telat deh heheh,” jelas Grena.
“Oh jadi gitu, ya udah gapapa sayang.”
Isabella melirik sekilas putranya yang sedang berdiri tepat di belakang Grena.
Jevano hanya menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Grena dan melampirkan sebuah senyuman kikuk.
Kedua wanita itu kini tengah melakukan salam khas yang sudah biasa dilakukan oleh kaumnya ketika berjumpa.
Ya, saling menempelkan pipi mereka masing-masing.
Di sisi lain, Jevano terlihat sedikit tertegun mendengar penjelasan Grena tadi.
“Mas katanya?”
Wah akting istrinya itu sangatlah baik, mengapa dia tidak menjadi seorang aktris saja ketimbang model?
Bahkan panggilan itu tidak terdapat di poin perjanjian yang telah disepakati oleh mereka.
Entahlah, suka-suka Grena saja.
Isabella segera mengajak anak dan menantunya itu untuk segera masuk ke dalam rumah.
Dirinya berjalan berdampingan bersama Grena dan merangkul menantunya itu dengan sayang.
Jevano merasa bahwa mamanya itu sangat menyukai Grena.
Pria itu akhirnya hanya mengikuti mereka berdua berjalan di belakangnya.
Suara bariton menarik atensi dari semua orang yang berkumpul di ruang makan begitu Isabella, Grena, dan Jevano sampai di sana.
“Mata buram, tidak dapat membidik.” “Selamat malam, Grena cantik.”
Suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang umurnya tidak terlalu jauh dari Isabella.
Pria itu sangatlah tampan dan masih saja memiliki tubuh yang bugar walaupun sudah cukup berumur.
Ahh, Grena tahu darimana wajah rupawan yang dimiliki oleh Jevano.
Itu tadi adalah Cakra, papanya Jevano. Kepala keluarga Adelard.
“Lagi naik tangga, sambil bawa nampan.” “Selamat malam juga, papa mertua tampan.”
Isabella hanya terkekeh melihat interaksi yang baru saja terjadi antara suaminya dengan menantunya itu.
Di sana juga ada Wilona, kakak Jevano dan juga Panji suaminya. Mereka juga terlihat tertawa melihat betapa lucunya adik iparnya itu ketika sedang membalas pantun sang papa.
Sedangkan Jevano hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis melihat kebiasaan papanya itu.
“Nah kalian contoh si Grena.” “Kalau saya kasih pantun itu, ya jawabnya juga pakai pantun.”
“Tenang aja pa, aku selalu siap kok balesin semua pantunnya papa.”
Grena tersenyum sangat manis ke arah Cakra dan semua anggota keluarga Jenan yang lain.
Jevano yang melihat itu merasakan sebuah perasaan aneh di hatinya.
Bukan karena apa, namun dirinya baru pertama kali melihat senyuman itu tadi.
Istrinya itu melenyapkan seluruh raut wajah dinginnya dan diganti dengan sebuah raut wajah ramah serta senyuman di sana.
Jevano iri begitu tahu bahwa senyuman manis tadi tidak ditujukan kepadanya, melainkan orang lain.
“Selalu cantik.”
© scndbrr