Terbawa Emosi
Dari tadi, Grena duduk pada kursi penumpang yang ada di belakang dengan perasaan gelisah.
Ketika pikiran wanita itu masih melalang buana tak tentu arah, dirinya disadarkan oleh suara sopir yang menginterupsi.
“Udah sampai, mbak.”
Grena segera mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan langsung menyerahkannya kepada sopir tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, wanita itu bergegas untuk keluar dari dalam kenadaraan roda empat tadi dan berlarian masuk ke rumah.
Grena tanpa berpikir panjang langsung menaiki tangga dan segera menuju ke arah kamar Jevano.
Namun ternyata kamar itu kosong tak ada kehadiran suaminya di sana.
Lantas wanita itu langsung saja pergi ke ruang kerja Jevano yang berada di sebelah kamarnya sendiri.
Sebelum masuk ke dalam, Grena menetralkan nafasnya yang terengah-engah sehabis berlarian dan menaiki tangga.
Dirinya membungkuk dan kedua telapak tangannya ia tumpukan pada kedua lututnya dan dirinya mulai mengatur nafasnya agar stabil.
Kemudian, wanita itu juga tak lupa untuk menyeka bulir air sebesar biji jagung yang terdapat pada sekitar area dahinya.
Setelah menyekanya, Grena juga sedikit merapikan rambutnya yang hari ini memang sengaja ia biarkan dalam keadaaan terurai bebas.
Setelah dirinya sudah merasa siap, akhirnya wanita itu memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan tersebut.
Tok, tok, tok...
“Masuk,” terdengar balasan singkat dari seberang sana, suaranya terdengar sangat dingin dan menyeramkan.
Grena memutar knop pintu dan langsung menghampiri Jevano yang kini terlihat sedang duduk di kursi kerjanya.
“Maaf,” tutur Grena dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar.
“Buat apa?” tanya Jevano, rupanya pria itu menyimak Grena.
”...” hening, tidak ada balasan apapun dari mulut wanita itu.
Jevano akhirnya bangkit berdiri dari kursi dan berjalan memutari meja kerjanya untuk dapat berhadapan secara langsung dengan istrinya.
Grena yang melihat hal itu justru melangkah mundur hingga punggungnya menabrak tembok yang ada di belakangnya.
Suaminya itu semakin mendekat, bahkan jarak antara tubuh mereka hanya terpaut tipis sekali.
Dalam jarak yang sedekat ini, Grena dapat melihat secara jelas wajah merah menahan amarah milik Jevano.
Rahangnya mengeras dan menutup dengan sangat rapat.
Terdengar suara bergemelatuk yang Grena dapat yakini berasal dari gertakan gigi-gigi Jevano di dalam mulutnya.
Urat-urat yang berada di sekitar area leher Jevano menunjukkan diri mereka tanpa malu-malu.
Pria di depannya kini tengah marah.
“Mereka semua itu laki-laki normal Grena!” “Kalau kamu diapa-apain sama mereka gimana?!” bentak Jevano dengan suara yang keras.
Hal itu sukses membuat Grena terperanjat, karena suaminya itu berteriak tepat di depan wajahnya langsung.
Jevano mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat.
Dengan amarah yang memuncak, dirinya menghantamkan tinjuan pada tembok di sebelah kepala istrinya.
Bugh
Grena memejamkan kedua matanya erat-erat dan meremat ujung bajunya menggunakan kedua tangannya.
Wanita itu kini mengalirkan buliran air dari kedua matanya yang masih dalam kondisi terpejam.
Pundaknya bergetar dan dirinya menggigit bagian bawah bibirnya kuat-kuat.
Grena sangat ketakutan sekarang.
Jevano yang melihat hal itu langsung mengusap air mata Grena menggunakan ibu jarinya.
“Maaf, maafin saya.” “Saya cuma khawatir sama kamu.” “Jangan menangis, Agrena.”
Grena akhirnya membuka kelopak matanya dan menatap lurus ke arah manik milik suaminya itu.
Mereka berdua saling berpandangan dalam diam cukup lama dengan posisi yang intens seperti ini.
Jevano kemudian menarik rahang Grena dan membawanya untuk mendekat ke arah wajahnya.
Grena membelalakan kedua matanya ketika merasakan sentuhan hangat pada bibirnya.
Sebuah benda kenyal nan basah sedang menempel pada bibir ranumnya.
Secara perlahan, Jevano memberikan lumatan-lumatan lembut di sana dan mulai menghisap bibir bagian atas milik Grena.
Grena terkejut dan berusaha untuk mendorong dada bidang suaminya itu. Dirinya berusaha untuk melepaskan pagutan ini.
Namun sayang, usaha Grena gagal.
Kedua tangan Grena ditahan oleh satu tangan besar Jevano yang membuat wanita itu sudah tidak dapat berkutik lagi.
Jevano menekan tengkuk wanita itu guna memperdalam pagutan bibir mereka.
Ciuman Jevano lama-lama menjadi semakin terkesan menggebu-gebu dan menuntut.
Bahkan pria itu sudah menggigit bibir bagian bawah Grena supaya Grena mau memberikan akses masuk ke dalam mulutnya.
Tampaknya pria itu ingin mengajak Grena pada sebuah peperangan lidah yang panas bersamanya.
Ketika tersadar akan sesuatu, tiba-tiba Jevano melepaskan pagutannya dan memandang wajah Grena dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dirinya melihat betapa kacaunya penampilan Grena sekarang.
Nafasnya tersengal-sengal, bibirnya membengkak dan terdapat luka di sana, terlihat sebuah jejak air liur yang tidak tahu itu milik siapa.
Jevano segera bergegas keluar dari ruang kerja, meninggalkan Grena sendirian dengan banyak pertanyaan yang kini bersarang di kepala wanita itu.
© scndbrr