scndbrr

Di sinilah pasangan suami-istri itu kini tengah berada.

Mereka duduk berdampingan di dalam sebuah mobil sedan mewah dengan merk ternama kepunyaan Jevano.

Kendaraan roda empat itu tampak sedang membelah jalan raya yang terlihat cukup padat.

Jevano memandang lurus ke depan sana untuk memastikan bahwa dirinya menyetir dengan baik, ia tidak mau menyebabkan kecelakaan.

Sedangkan Grena hanya menatap kosong ke arah jendela yang ada di sebelah kirinya, memperhatikan kendaraan lain.

Baik Jevano maupun Grena diam, mereka sama-sama bungkam seolah malas membuka percakapan.

Hanya terdapat suara nafas yang bersahutan beradu dengan suara halus yang dihasilkan oleh mobil ini.

Entah mengapa, namun rasanya hawa di sekitar mereka berdua sudah dingin sejak Jevano pulang dari kantornya dan menemui Grena.

Sepertinya wanita itu sedang marah dengan suaminya.

Jevano merupakan sosok pribadi yang memang tidak suka banyak berbicara.

Namun berada di dalam situasi seperti ini bersama Grena membuatnya merasa tidak nyaman.

Akhirnya pria itu mengalah, mengesampingkan egonya sejenak untuk memulai obrolan dengan istrinya yang duduk di kursi penumpang.

“Grena, kamu marah dengan saya?”

”...”

Nihil, Jevano yang sudah berusaha untuk mencairkan suasana tidak mendapat gubrisan apapun dari wanitanya.

Bahkan kini Grena terlihat sedang membenarkan posisi tempat duduknya dan menyandarkan punggung sempitnya pada kursi.

Kedua matanya dengan sengaja wanita itu pejamkan. Dirinya bermaksud untuk membuat Jevano berhenti mengajaknya berbicara.

“Kalau soal Graciella asisten kamu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri yang memang berniat untuk mengundurkan diri.”

Setelah mengatakan hal itu, Jevano menoleh sejenak ke samping tepat ke arah wajah istrinya.

Melihat wanita itu hanya terdiam tanpa membalas ucapannya barusan membuat pria itu menghela nafas dengan cukup dalam.

“Grena benar-benar marah,” pikirnya.

Jika kalian pikir wanita itu sudah berkelana di dunia mimpinya, maka kalian salah.

Tidak.

Agrena tidak terlelap, bahkan wanita itu mendengarkan perkataan suaminya dengan seksama.

Dirinya menjadi berpikir bahwa benar juga adanya jika ini semua keinginan Grace sendiri.

Maka baik dirinya sendiri hingga Jevano pun tidak bisa memaksanya untuk tetap di sini.

Itu masuk akal.

Yang tidak masuk akal adalah mengapa saat asistennya itu mengundurkan diri, Jevano dapat dengan sigap langsung mendapatkan orang lain yang bisa menjadi asisten barunya?

Apalagi itu semua terjadi dalam rentang waktu yang sangat begitu singkat.

Aneh bukan? Setidaknya itu yang membuat pikiran Grena menjadi kacau.

Dirinya menjadi memiliki pikiran buruk terhadap suaminya. Ia berpikir bahwa Jevano berkaitan dengan alasan Grace berhenti bekerja.

Entahlah, tidak ada yang tahu secara pasti kecuali orang-orang yang berkaitan langsung dengan hal tersebut.

Jevano akhirnya segera menginjak pedal gas begitu warna lampu lalu lintas di depan sana telah berubah warna menjadi hijau.

Ia segera melajukan mobilnya menuju ke tempat yang mereka berdua akan tuju.

Kediaman keluarga Adelard, rumah orang tua Jevano.

© scndbrr

Pria itu nampak sedikit kesulitan mencari di mana letak kompresan berada.

Namun setelah cukup lama berkutat untuk menggeledah laci yang berisi obat-obatan pertolongan pertama, akhirnya pria itu mendapatkannya.

Jevano segera bergegas menghampiri Grena yang masih setia menunggunya dengan duduk di kursi dekat meja makan.

Hampir saja lupa jika pria itu harus menggendong istrinya kembali untuk mengantarkan wanita itu ke kemarnya.

Tanpa ragu-ragu lagi, kini Jevano tengah menggendong Grena ala bridal style.

Dirinya menaiki tanga dengan hati-hati berusaha supaya wanita yang berada di dalam gendongannya merasa nyaman.

Setelah sampai di depan pintu kamar ruang tamu yang ada di sebelah persis kamar utamanya, Jevano kemudian berhenti.

Kamar ruang tamu itu kini dan kedepannya akan menjadi kamar pribadi milik Grena.

Hal itu karena pasutri tidak mau menempati ruangan yang sama bahkan hingga satu ranjang.

Jevano sedikit kesulitan untuk membuka gagang daun pintu yang menjadi sekat ruangan di depannya ini, mengingat kedua tangannya tidak ada yang sedang terbebas begitu saja.

Ia mencoba berulang kali, namun sayang usahanya gagal.

“Ekhem.. Gren,” Jevano berdeham untuk menarik atensi Grena.

“Hm?” Grena hanya menjawabnya dengan gumaman singkat.

“Pegangan sama leher saya yang kenceng,” ucap Jevano dengan santai.

“Hah?” Grena mengerjapkan matanya berulang kali karena merasa kebingungan dengan maksud dari suaminya itu.

“Saya susah buka pintunya. Jadi kamu pegangan leher saya dulu sebentar biar saya bisa lepasin gendongannya,” jelas Jevano.

Karena wanita itu sudah paham dari suaminya, akhirnya Grena tanpa menjawab atau mengeluarkan satu patah kata lagi langsung mengalungkan kedua tangannya erat-erat di leher Jevano.

Dirinya menempelkan tubuhnya secara intens dengan tubuh milik Jevano.

Hidung mancung milik wanita itu jugaia tubrukkan pada bagian tulang selangka milik suaminya.

Dalam posisi ini, Grena dapat menghirup dengan jelas aroman maskulin dan mint yang menguar dengan kuat dari tubuh pria ini.

Jevano sedikit terkejut dengan tindakan Grena barusan.

Dirinya merasa sedikit kepanasan dan menahan sesak di bawah sana.

Namun dengan segera pria itu menepis semua pikiran aneh yang ada di benaknya.

Cepat-cepat Jevano membuka pintu itu dan setelah terbuka dirinya menghembuskan nafas kelegaan.

Segera ia membaringkan Grena dengan lembut pada kasus king size yang ada di sana.


Hening.

“Saya izin gulung celana kamu sampai lutut ya? atau mau dikompres di atasnya saja?” tanya Jevano memecah keheningan yang menyelimuti mereka berdua cukup lama.

“Oh iya digulung aja deh. Sini gue bisa sendiri,” jawab Grena.

“Ga usah, biar saya saja,” sela Jevano sambil mengambil alih kerja tangan Grena yang sudah mulai menggulung celana panjang piyamanya itu.

Posisi Jevano saat ini adalah sedang duduk menyamping pada sisi kasur dan kedua kaki Grena ia letakkan pada kedua pahanya.

Jevano kemudian menempatkan kompresan air dingin itu pada lutut Grena.

Ya, karena kecerobohan wanita itu di kamar mandi tadi. Kini lututnya terlihat berwarna biru dengan area yang cukup lebar.

Jangan lupakan rasa sakit dan nyeri yang menyertainya juga.

Grena mati-matian menahan rasa sakit itu supaya rintihannya tidak terdengar oleh Jevano.

Tidak tahu siapa yang duluan memulai diantara pasutri baru ini.

Namun sekarang mereka tengah sama-sama memandangi wajah satu sama lain dengan lekat.

Jevano yang sadar terlebih dulu langsung mengalihkan arah pandangan kedua manik hitam legam miliknya.

Dirinya juga segera bangkit berdiri dari posisi duduknya di sisi pinggir kasur Grena.

“Saya tinggal ya, masih banyak kerjaan kantor.”

“Iya, btw thanks Jev.”

“My pleasure.”

“And sorry...”

“For what?”

“I've wasted your time...”

“Nope, please don't said that.”

Jevano beranjak dari kamar Grena setelah mengatakan hal itu, menyisakan Grena yang terus memandangi punggung lebar milik suaminya hingga kini sudah tidak terlihat lagi.

© scndbrr

Seorang pria sedang berdiri tegap di depan sana dengan tuxedo hitam yang melekat pada tubuh atletisnya itu.

Ia menggunakan dasi kupu-kupu yang juga berwarna senada dengan setelannya.

Tatanan model rambut yang dengan sengaja memperlihatkan area dahinya itu, menambah kesan rupawan yang terpancar dari wajahnya.

Sepatu kulit yang terlihat mengkilat setelah disemir menandakan betapa siapnya pria itu untuk menempuh kehidupan barunya.

Eksistensi dari pria itu menarik banyak atensi dari para tamu undangan yang telah hadir di sini.

Satu-satunya putra dari keluarga Adelard itu akan melepas status lajangnya setelah sekian lama tidak pernah dikabarkan memiliki hubungan dengan wanita manapun.

Jevano Adelard.

Di sisi lain, seorang wanita kini tengah berjalan menuju ke tempat di mana pria itu sekarang menginjakkan kakinya.

Wanita itu berjalan dengan sangat pelan, karena dirinya begitu hati-hati dengan gaun yang melekat pada tubuhnya.

Di dalam hati, wanita itu sudah berkata kasar berulang kali.

Dirinya menjadi kesal apabila mengingat siapa yang telah memilihkan gaun berwarna putih tulang yang sangat panjang ini.

Tentu saja pria yang sebentar lagi akan secara resmi menjadi suaminya itu adalah orang yang terpaksa membuatnya menyetujui pilihan gaun pernikahannya.

“Kan jadi susah jalannya,” pikir sang wanita.

Wanita itu tidak berjalan sendirian, namun ia juga didampingi oleh seorang pria paruh baya yang usianya sudah menyentuh setengah abad lebih.

Pria paruh baya itu mengaitkan lengan sang wanita pada lengannya.

Dirinya menarik kedua ujung sudut bibirnya ke atas sehingga terpatri lengkungan besar pada bibirnya itu.

Berbeda dengan wanita yang merupakan putri tunggalnya itu.

Justru raut wajahnya terlihat sangat datar dan dingin, tidak ada unsur kebahagian di sana.

Mau ditekuk sampai seperti apapun wajahnya itu, tetap saja masih bisa mamancarkan aura kecantikan yang begitu luar biasa.

Hanya dengan dirias secara sederhana saja, wanita itu sudah sukses membuat para kaumnya merasa iri dengannya.

Agrena Khanzanaya.


Kini pria dan wanita itu sudah berdiri berdampingan di depan sebuah altar yang akan menjadi saksi bisu kebahagian mereka.

Tidak.

Mungkin bukan kebahagiaan, namun hanya status yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Entahlah, itu urusan yang hanya diketahui oleh mereka berdua saja.

“Agrena Khanzanaya. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.”

“Jevano Adelard. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.”

Janji suci pernikahan telah mereka deklarasikan masing-masing dengan lantang.

Sangat disayangkan diantara mereka berdua tidak ada yang menganggap serius janji tadi.

Seharusnya mereka tidak boleh bermain dengan suatu hal yang bersifat sakral seperti ini.

Namun baik Jevano maupun Grena memiliki alasan kuat yang mengharuskan mereka berdua bertindak sejauh ini.

Mereka menikah bukan karena atas dasar cinta, melainkan sebuah perjanjian.

Setelah sama-sama telah mengucap janji suci pernikahan, Jevano kini menarik pinggang Grena dan menariknya untuk mendekat kearahnya.

Pria itu secara perlahan mendekatkan wajahnya dengan wajah wanita yang sudah menjadi istrinya itu.

Grena sedikit tersentak begitu merasakan sebuah benda yang kenyal namun lembab itu mendarat dengan mulus di bibirnya.

Wanita itu terkejut.

Namun dirinya kemudian mengikuti permainan dari Jevano, perlahan wanita itu mulai memejamkan matanya.

Jevano memang tidak berniat untuk berbuat lebih dengan menggerakkan bibir miliknya.

Bagi pria itu, yang penting sudah terlihat bahwa dirinya dan Grena bersungguh-sungguh dengan pernikahan ini di depan banyak orang.

Hanya itu, dan tidak lebih.

Para tamu undangan yang melihat secara langsung adegan mesra di depan mereka bersorak kegirangan dan memberikan tepuk tangan yang meriah, tanpa mengetahui fakta aslinya.

Resmi sudah.

© scndbrr

Setelah mendapatkan waktu rehat sejenak, syuting pun segera dilanjutkan.

Para pemain telah stand by di posisinya masing-masing.

Karena dirasa semuanya telah siap, maka tanpa berlama-lama lagi suara milik pria paruh baya itu terdengar nyaring untuk memulainya.

“Oke, ready?” “1” “2” “3” “Action!”


Pikiran Atma sekarang sangatlah kalut.

Bagaimana bisa kekasihnya itu bermain di belakangnya, padahal Atma begitu mencintainya?

Hal itu tentu saja dapat terbukti dari usaha kecilnya yang menyiapkan surprise di hari jadi mereka yang ke-5.

Namun sangat disayangkan, di hari bahagianya itu Atma justru harus merasakan sakit yang teramat pada hatinya.

Sama dengan Atma, Jeya juga merasakannya.

Rasanya sesak sekali apabila ia mengingat pria yang sudah menyita perhatiannya selama kurang lebih 7 tahun ini justru sedang asik bercumbu dengan gadis lain di depan matanya sendiri.

Bayangkan saja betapa hancurnya Jeya sekarang, 7 tahun ia membina hubungan kasih itu dan runtuh begitu saja pada hari ini.

Kedua anak manusia itu sedang duduk terdiam di dalam kendaraan roda empat milik Atma.

Atma menawarkan tumpangan kepada Jeya, perempuan yang sedang duduk pada kursi penumpang di sebelahnya itu.

Saat pria itu masih saja terlarut dalam benang kusut yang ada di otaknya, terdengar isakan lirih dari mulut Jeya.

Hal itu sukses membuat Atma menolehkan kepalanya dan memandang perempuan itu dengan sendu.

Ia tersadar bahwa bukan hanya dirinya yang menjadi korban disini, melainkan juga ada Jeya.

Atma menarik tubuh Jeya yang kini duduk dengan pandangan ke depan, supaya menghadap ke arah dirinya.

Laki-laki itu menatap kedua manik cantik berwarna kecoklatan yang sudah berlinang air mata dengan lamat-lamat.

Meskipun awalnya ragu-ragu, Atma kemudia memberanikan diri untuk mengulurkan tangannya dan menarik Jeya ke dalam rengkuhannya.

Laki-laki itu merengkuh tubuh ramping Jeya dengan sangat hati-hati, ia memperlakukan Jeya bak gelas kaca yang sudah retak.

Retak, karena belahan jiwanya itu telah memilih untuk berkhianat.

Jeya tidak menolak ketika secara tiba-tiba Atma mendekapnya.

Dirinya pasrah dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang laki-laki itu.

Telapak tangan Atma tergerak untuk mengusap lembut surai panjang Jeya yang pada hari ini ia biarkan terurai.

Saat itulah isakan yang terdengar lirih tadi pecah, berubah menjadi tangisan pilu yang membuat siapapun yang mendengarkannya akan menjadi iba.

Atma mengeratkan rengkuhannya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jeya, laki-laki itu menghirup aroma tubuh Jeya kuat-kuat.

Jeya tampak mulai membalas peluka Atma dengan mengalungkan kedua tangannya pada leher laki-laki itu.

Mereka berdua sedang mencari kenyamanannya masing-masing.


“Yakk, CUT!!” seru pak Tian selaku sang Sutradara.

“WOWW!!” “Good job! Udah dapet banget feelnya,” puji pak Tian.

Jenan dan Aretha langsung melepaskan diri masing-masing setelah mendengar kata “cut” tadi.

Jujur saja mereka berdua merasa canggung pada situasi ini.

Namun tentu saja mereka sama-sama menyembunyika perasaan itu, mereka harus terlihat professional bukan?

Dan satu lagi,

Mereka merasakan deja vu.

Mengingat memang mereka pernah berada pada posisi seperti ini sebelumnya saat badai menerjang Aretha dengan skandal hoaxnya.

© scndbrr

“Oke cut!!” seru pak Tian selaku sang sutradara.

Setelahnya terdengar suara ricuh yang dihasilkan dari tepuk tangan para staff dan juga kru film di sana.

“Hebat kalian.” “Emosi kalian berdua tadi dapet banget,” ucap pak Tian bangga.

Aretha dan Jenan saling berpandangan sebentar, kemudian mereka sama-sama menarik kedua sudut bibirnya ke atas untuk menyunggingkan senyuman.

“Keren banget ya tadi Aretha acting nangisnya.”

“Iya, mata gue aja sampe ikutan berkaca-kaca nih.”

“Kalo kata gue mah kelihatan natural banget, ga kaya dibuat-buat gitu.”

“Eh iya bener banget, jadi ngefeel ya.”

Jantung Aretha rasanya ingin lompat ke perut saja setelah mendengar pujian-pujian yang dilontarkan oleh orang-orang di sana.

Tidak hanya untuk Aretha tentunya, Jenan pun tak kalah mendapat pujian mengingat ini adalah pertama kalinya ia terjun ke dunia acting.

“Jenan tadi pas marah, terus natap karakter Jegra udah kaya mau ngebunuh tu orang aja perasaan.”

“Iya, pas nahan emosinya itu keliatan kaya emang beneran emosi gitu.”

“Kayaknya sih kedepannya dia bakal banjir tawaran film sama series nih.”

“Pastinya.”

Setelah pak Tian tadi mengumumkan untuk beristirahat sejenak, Jenan dan Aretha segera bergegas untuk pergi ke ruang tunggu mereka masing-masing.

Aretha memasuki ruangan itu dengan wajahnya yang terlihat berseri-seri.

Bagaimana tidak?

Saat pengambilan beberapa scene tadi, tidak ada pengulangan sama sekali.

Itu artinya baik acting Aretha maupun Jenan, keduanya sama-sama bagus dan sudah memenuhi harapan dari pak Tian sang sutradara.

Namun jika kalian semua tahu, Jenan dan Aretha ketika melakukan sandiwara tadi juga merasakan hal yang sama.

Jantung mereka berdebar dengan keras.

© scndbrr

Setelah Atma mengambil pesanan kue tartnya di toko bakery milik Jeya, ia segera melajukan kendaraan roda empatnya menuju ke tempat yang ia rencanakan akan jadi saksi bisu kebahagiannya hari ini.

Sengaja memang laki-laki itu tidak memberitahukan kekasihnya terlebih dahulu.

Ia memiliki sebuah skenario sendiri, nanti setelah semuanya siap Atma akan menghubungi kekasihnya untuk datang ke tempat itu langsung dengan alasan ingin mengajak makan malam bersama.

Di sisi lain, Jeya kini tengah bersiap-siap untuk pergi ke apartemen milik kekasihnya.

Sudah terhitung hampir satu minggu lamanya ia dan kekasihnya itu tidak kunjung bertemu karena kesibukan yang dimiliki masing-masing.

Tidak.

Sebetulnya Jegra, kekasih Jeya bisa saja menyempatkan waktunya untuk menemui Jeya.

Namun ia tidak memiliki niat atau bahkan memang tidak mau betemu tatap dengan gadisnya.

Di perjalanan menuju ke tempat tujuannya, terlintas begitu saja ide cemerlang di benak Jeya.

Jeya memutuskan untuk mampir ke salah satu tempat makan ternama di kota itu.

Itu adalah restaurant favorite yang sudah sering menjadi tempat berlabuh Jeya dan kekasihnya untuk mengisi perut mereka.

Jeya berinisiatif membelikan pasta seafood kesukaan dari laki-lakinya itu.

Setelah turun dari taksi, gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke dalam restaurant dan segera memesan makanan di sana.

Saat menunggu pesanannya disiapkan, Jeya duduk di salah satu kursi di pojok ruangan.

Betapa terkejutnya dirinya ketika melihat sosok yang tidak asing di matanya sedang bercumbu mesra dengan seorang gadis lain.

“Jegra...” lirih Jeya mendekati pasangan yang terlihat sedang berbagi kesenangan itu.

Merasa namanya dipanggil, Jegra lantas menolehkan kepalanya dan ekspresi wajahnya berubah menjadi terkejut ketika mendapati Jeya di sana.

“Jadi alasan kamu akhir-akhir ini ga pernah ada waktu buat aku tuh ini?!” sentak Jeya dengan nada suaranya yang mulai meninggi.

“Maaf, Jey...” ucap Jegra dengan tampang tidak bersalahnya.

Jeya, gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat-kuat.

Ia mati-matian menahan bulir bening yang sejak tadi terus saja mendesak untuk keluar.

Namun usahanya gagal, kini pipi putih nan mulus milik berlinang air mata yang mengalir dengan deras.

Tidak tahan dengan situasi yang kini sedang dihadapinya, Jeya memutuskan untuk segera pergi dari tempat ini.

Ketika membalikkan tubuhnya dan berniat untuk segera berlari, gadis itu justru tidak sengaja menabrak dada bidang milik seorang pria yang berdiri menjulang tinggi didepannya.

Jeya mendongak untuk menatap wajah dari orang yang telah ia tabrak barusan.

Detik berikutnya, betapa terkejutnya Jeya melihat kehadiran Atma pelanggannya itu di sana.

Jeya tidak mempedulikan itu, namun ketika ingin melangkah pergi dari sana, tangan besar Atma terjulur untuk menahan tangannya.

Tatapan tajam Atma mengarah kepada dimana pacar Jeya duduk bersama dengan selingkuhannya tadi.

Kedua telapak tangannya mengepal dengan kuat di sisi tubuh pria itu.

Rahangnya mengeras dan giginya bergemelatuk menahan amarah yang sudaj memuncak di ubun-ubunnya.

Bahkan terlihat urat-urat yang ada di leher Atma itu telah tercetak dengan jelas.

Atma memejamkan kedua matanya dan mengerutkan dahinya dengan cukup dalam.

Dirinya sedang bersiap untuk mengatakan kalimat yang ia yakini pasti akan membuat hatinya berdenyut nyeri.

“Happy anniversay, Vi.” “Kita putus.”

Rentetan kata yang keluar dari mulut Atma membuat Jeya menatapnya dengan tidak percaya.

Jadi selingkuhan pacarnya itu adalah kekasihnya Atma? batin Jeya dalam hati.

Atma segera menarik tangan Jeya dengan pelan dan mengajaknya untuk keluar dari restaurant tadi.

© scndbrr

Tringgg

Suara gemerincing yang dihasilkan oleh lonceng itu, terdengar cukup nyaring.

Hal itu mampu menyita atensi dari seorang gadis yang kini kedua tangannya tengah sibuk menghias sebuah kue tart dihadapannya.

Lonceng tadi memang dengan sengaja Jeya taruh di depan pintu masuk toko kuenya itu untuk memberinya tanda apabila ada pelanggan yang datang.

Sosok laki-laki berwajah rupawan yang memiliki tubuh tegap nan tinggi itu segera menghampiri Jeya setelah tangannya membuka pintu masuk toko.

“Selamat datang di Jeya's Bakery kak.” “Ada yang bisa saya bantu?” “Kakak mau cari kue apa?” sapa Jeya dengan ramah tak lupa menyunggingkan senyuman lebarnya yang sangat manis.

Siapapun yang melihat lengkungan bibir tadi pasti akan secara reflek tersenyum begitu saja.

Tentu itu juga beralaku bagi pria yang kini tengah berdiri menatap manik miliknya.

Atma, namanya.

“Emm...” “Saya mau pesen kue tart mbak,” jawab Atma.

Jeya kemudian menganggukkan kepalanya ringan, paham akan keinginan dari pelanggan pertamanya hari ini.

“Baik kak, mari saya tunjukkan beberapa model yang bisa kakak pilih,” Jeya mengarahkan Atma untuk berjalan ke sisi barat toko menuju ke sebuah lemari pendingin besar yang terlihat transparan dari luar.

“Untuk bentuknya nanti bisa disesuaikan kak.” “Bisa persegi, persegi panjang, atau juga lingkaran,” jelas Jeya.

Setelah netranya menelisik dengan cukup lama ke dalam lemari pendingin tadi, akhirnya Atma menetapkan pilihannya.

“Yang kaya gitu aja mbak,” ucap Atma sambil menunjuk salah satu kue tart di sana dengan jari telunjuknya. “Bentuknya lingkaran aja ya,” tambah laki-laki itu.

“Baik kak, untuk topping mau disamakan saja atau mau diganti?” tanya Jeya lagi.

“Kalau diganti jadi matcha, terus hiasannya itu serba warna hijau bisa ga ya mbak?” tanya Atma.

“Tentu bisa kak.” “Ada lagi yang mau ditambahkan?” Jeya kembali bertanya.

“Udah itu aja mbak,” final Atma.

“Baik kak, lalu ini mau dikasih tulisan atau tidak ya kak di atas kue tartnya?” Jeya melontarkan pertanyaan lagi, takut apabila pelanggannya ini lupa karena biasanya tulisan di atas kue tart itu sudah merupakan hal yang diwajibkan oleh sebagian orang.

“Oh iya, hampir aja lupa.” “Tulisannya Happy Anniversary 5'th ya mbak,” jelas Atma.

“Wah buat kasih surprise ke pacarnya ya kak?”

“Hahahahahaha iya betul mbak.” “Acaranya sih besok malam, kira-kira udah jadi kan ya kuenya?”

“Sudah kak, kuenya bisa diambil sore ya.”

Jeya tersenyum kecut setelah pelanggannya itu keluar dari tokonya setelah menyelesaikan pembayaran dp dari kue tart yang ia pesan.

“So sweet banget ya kakaknya tadi.” “Kapan ya kak Jegra bisa kaya dia,” ucap Jeya dengan lirih sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar.

© scndbrr

Aretha kini tengah memaksa otaknya untuk berpikir dengan keras.

Mimpi apa dirinya semalam, hingga harus beradu tatap dengan Jenan dalam jarak yang terlampau dekat seperti ini.

Sesuai dengan arahan yang telah diberikan secara jelas oleh astrada tadi.

Dua anak manusia itu sedang berlakon layaknya seorang aktor dan aktris yang terlihat professional.

Jika kalian semua bertanya-tanya, “Memangnya jalan cerita dari film yang mereka berdua bintangi itu seperti apa sih?”

Jawaban singkatnya adalah sebuah film bergenre romance.

Menceritakan perjalanan kisah cinta seorang gadis yang memiliki toko bakery dan seorang pemuda fotografer.

Kedua sosok itu dipertemukan pada situasi yang tidak terduga dan juga secara tiba-tiba.

Bahkan tanpa mereka berdua sadari, mereka justru menjadi obat bagi luka yang mereka miliki masing-masing.

© scndbrr

Terkejut adalah kata yang pas untuk menggambarkan perasaan Jesslyn saat ini.

Dirinya berharap bahwa ia bisa meminjam pintu kemana saja milik karakter kartun yang sering tayang di televisi.

Gadis itu enggan berjumpa dengan sosok anak laki-laki yang usianya sepantar dengan dirinya sendiri.

Karena dipaksa oleh sang daddy, maka Jesslyn dengan berat hati harus memperkenalkan dirinya kepada Hasta dan juga mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan besar milik laki-laki itu.

Jika kalian berpikir hanya Jesslyn yang terkejut pada situasi ini, maka kalian salah besar.

Sebab baik teman-teman Jesslyn, Raya dan Kanatya, maupun teman-teman Hasta, Naren, Regan, dan Juno mereka semua sama terkejutnya bertemu dengan cara seperti ini.

Baiklah, gadis itu tidak mau mengambil pusing atas kejadian tak terduga yang ia alami malam ini.

Setelah sesi perkenalan tadi, ia memutuskan untuk menyiapkan beberapa makanan siap panggang yang ada di pinggir kolam renang.

Daddy Jeffion sudah menyetting tempat ini sedemikian rupa dengan dekorasi yang begitu indah demi melangsungkan mini party untuk putri semata wayangnya itu.

Ketika semua atensi Jesslyn tertuju pada daging, sosis, dan makanan lainnya yang sedang dipanggang, suara berat seorang laki-laki mangalun dengan merdu masuk ke dalam gendang telinganya.

“Congrats Jesslyn?” ucap Hasta dengan nada akhir seperti bertanya.

Bukannya langsung membalas kalimat yang dituturkan oleh Hasta, Jesslyn justru mengerutkan dahinya dalam dan mengarahkan tatapan tajam ke laki-laki itu.

Karena ucapannya tidak segera dijawab oleh gadis yang kini berdiri di hadapannya, Hasta melontarkan kalimat lagi yang cukup membuat Jesslyn geram.

“Sombong amat sih.” “Sok ngartis lo!” “Diucapin selamat tuh, ya bilang makasih kek.”

Lihatlah kedua anak manusia ini, pada pertemuan pertama secara resmi, mereka berdua justru membangun hawa mencekam di sekitarnya.

Karena tak ingin laki-laki itu mengoceh terus-terusan, akhirnya Jesslyn mengalah dan menurunkan egonya untuk segera membalas ucapan selamat tadi.

“Ya makasih,” ucap Jesslyn dengan nada datar dan raut wajahnya yang sedingin es di kutub utara.

Hal berikutnya yang dilakukan oleh Hasta sama sekali tidak Jesslyn prediksi.

Bagaimana bisa laki-laki itu memajukan wajahnya ke arahnya secara tiba-tiba?

Karena dirinya kaget bukan main, maka Jesslyn justru memejamkan kedua matanya secara reflek.

Setelah itu terdengar suara tertawa yang cukup renyah dari laki-laki itu, ia tawa yang mengejek Jesslyn.

“Lo kira gue bakal nyium lo apa?” tanya Hasta dengan wajah tengilnya.

Jesslyn melotot hingga kedua bola matanya itu hampir copot dari tempatnya.

Ia begitu kesal dengan laki-laki ini.

Dalam hatinya ia berharap siapapun itu agar dapat segera menyelamatkannya dari situasi canggung ini.

Hasta terkekeh kecil melihat perubahan raut wajah Jesslyn yang begitu kentara, dirinya merasa gemas.

Laki-laki itu meraih benda pipih yang ada di saku celananya dan menyodorkannya kepada Jesslyn.

“Kasih gue nomor lo,” ucap Hasta tanpa berbasa-basi.

“Dihh!” “Gue ga mau!!” ucap Jesslyn dengan suara sedikit berteriak.

Hasta menarik salah satu sudut bibirnya ke atas sehingga terciptalah senyuman miring yang membuat Jesslyn merasa mual.

Kemudian laki-laki itu memajukan tubuhnya lagi namun kali ini bukan persis di depan wajah Jesslyn.

Hasta mendekatkan mulutnya ke daun telingan Jesslyn yang sebelah kanan dan mulai membisikkan sesuatu yang membuat gadis itu kesal.

“Kalo lo ga mau kasih gapapa kok.” “Gue bisa minta bokap gue biar dia mintain ke bokap lo.” “Easy kan?”

Setelah itu Hasta segera berlalu dari hadapan Jesslyn, ia takut gadis itu akan menjambak rambut kecoklatan miliknya.

Hasta bergabung dengan teman-temannya dan juga teman-teman Jesslyn yang sedang duduk santai di seberang tempatnya dan Jesslyn tadi berbincang.

Sejak tadi, baik teman-temannya sendiri maupun teman-teman Jesslyn memperhatikan interaksi yang dilakukan oleh mereka berdua.

Hal itu tentu saja juga berlaku dengan sang daddy dan sang papa mereka.

©scndbrr

Hari ini Jenan bangun pagi-pagi buta. Bahkan sebelum dering alarm ponselnya itu berbunyi dengan nyaring, dirinya sudah membuka mata terlebih dahulu.

Setelah mengerjapkan matanya sejenak dan mengumpulkan seluruh jiwanya, Jenan kemudian menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya.

Jenan melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya.

Setelah membersihkan diri, Jenan berlalu memilih setelan yang akan dirinya gunakan.

Bukan Jenan sekali sebetulnya menggunakan kemeja berkerah dan juga jas yang rapi, dirinya lebih suka menggunakan kaos bertema monokrom yang polos dan celana ripped jeans.

Namun, entah mengapa, pada hari ini ia memutuskan untuk mengenakan pakaian yang sama sekali tidak sesuai dengan style-nya itu.

Sekali lagi,

Kini Jenan sedang memakaikan gel rambut dengan merk cukup ternama pada helai-demi helai rambut halusnya yang berwarna hitam legam itu.

Pada hari selasa ini mengapa laki-laki itu dari tadi terus saja melakukan hal-hal yang bukan menginpretasikan dirinya sendiri.

Yang tahu jawabannya adalah Jenan dan sang pencipta sendiri.


Setelah rapi dengan penampilannya, Jenan yang sudah duduk di kursi kemudi mobil pribadi miliknya mulai melajukan kendaraan roda empat itu dengan kecepatan yang sedang.

Mobil pajero sport warna putih yang dikendarai oleh Jenan mulai memasuki basement parkiran bawah tanah dari salah satu apartemen mewah yang ada di kota ini.

Tangannya terulur untuk menekan tombol lift dan setelah terbuka ia pun segara memasukinya, kemudian ia menekan tombol angka lantai yang dirinya akan tuju.

Ketika pintu lift terbuka dan itu artinya Jenan sudah berada di lantai yang tepat, maka dengan percaya diri Jenan berjalan menuju salah satu unit di sana.

Berdiri di depan pintu unit apartemen nomor 441 cukup lama, akhirnya Jenan memberanikan diri untuk menekan bel agar penghuni unit itu segera membukakan pintunya.

Ting tong

. . .

“Ya?” suara laki-laki paruh baya terdengar dan pintu berwarna abu-abu tua itupun segera terbuka hingga menampilkan sosok yang menjadi tujuan Jenan pada hari ini

Tian Anderson.

“Loh Jenan?” “Kamu ngapain ke sini?” “Kamu belum buat janji kan? atau saya yang lupa ya?” ucap Tian.

“Belum pak, saya belum buat janji dengan bapak.” “Tapi saya punya hal penting untuk dibicarakan dengan bapak.” jawab Jenan.

Tanpa berlama-lama lagi, Tian mempersilahkan Jenan untuk memasuki unit apartemen kepunyaannya itu.

“Ada apa ini Jen?” tanya Tian lagi.

“Saya dengar dari bang Theo manajer saya, katanya aktris utama film ini akan diganti ya pak?” balas Jenan to the point.

“Oh ternyata soal itu.” “Iya betul,” jawab Tian dengan santai dan hal itu membuat Jenan mengerutkan dahinya cukup dalam.

“Kenapa pak?” “Apa karena soal skandalnya Aretha dengan anak konglomerat itu?” tanya Jenan lagi.

“Ya iya karena itu.” “Apalagi?” jawab Tian dengan remeh.

“Tapi itu semua kan belum tentu benar adanya pak?” “Apakah bapak sudah memeriksa faktanya lebih lanjut?” Jenan tidak menyerah untuk bertanya kepada Tian.

“Gini ya Jen, dari awal memang ketika dilakukan pemilihan cast untuk film ini, saya sudah berencana untuk memilih kamu sebagai aktor utamanya.” “Karena saya rasa karakter ini sangat cocok dengan kamu. Saya mendengar bahwa sifat kamu memang hampir mirip, 11 12 lah dengan karakter Atma.” “Untuk aktris utama saya tidak terlalu mempedulikannya. Yang penting memang ya actingnya dia mumpuni, udah gitu aja.” “Jadi ketika saya tahu bahwa ada skandal besar seperti itu, ya saya pikir bukan masalah besar untuk mengganti dia gitu,” jelas Tian dengan panjang lebar.

“Tapi saya tidak mau kalau aktris utamanya diganti pak.” “Kalau tetap diganti, saya akan mundur saja dari film ini,” ancam Jenan.

“Kamu kenapa sih?” “Ini kesempatan buat kamu bisa debut di dunia acting Jen!” Tian mulai geram atas ancaman Jenan barusan.

“Asal pak Tian tahu, Aretha itu sudah lama menginginkan untuk dapat bekerja sama dengan bapak dalam sebuah project.” “Itu adalah mimpinya selama bertahu-tahun,” ucap Jenan menjelaskan.

Jujur saja ucapan Jenan barusan membuat Tian kaget, sebetulnya banyak aktris dan aktor yang menginginkan untuk dapat bekerja sama dengannya.

Namun, Tian melihat sebuah ketulusan yang besar terpancar dengan jelas dari kedua manik coklat milik pria muda yang kini ada di hadapannya itu.

Tindakan yang Jenan lakukan setelahnya membuat kedua mata Tian membola sempurna.

Laki-laki muda itu bangkit dari tempat duduknya, kemudian menabrakkan kedua lututnya dengan lantai yang keras nan dingin sambil menundukkan kepalanya ke dalam.

Kedua telapak tangannya yang besar dan berurat itu terkepal kuat di atas pahanya.

“Saya mohon pak Tian.” “Jangan ganti Aretha dengan orang lain.”

© scndbrr