scndbrr

Jenan menepati janjinya, kini dua anak manusia itu sedang berjalan berdampingan melangkahkan kedua kakinya untuk menaiki anak tangga menuju lantai dua bangunan apartemen ini.

Jenan mulai memutar kenop pintu dan membuka pembatas ruangan yang ada di hadapannya.

Aretha yang berdiri tepat di sampingnya itu kagum melihat studio pribadi milik Jenan hingga mulutnya menganga terbuka lebar.

“Awas, nanti ada laler masuk,” suara bass milik Jenan itu mengalun di gendang telinga Aretha, menyadarkannya dari lamunannya.

Bukannya membalas ucapan Jenan, Aretha justru memukul bahu Jenan dengan cukup keras.

Hal itu sukses membuat kedua sudut bibir Jenan terangkat ke atas dan matanya yang menyipit.

Jenan langsung masuk ke dalam sana dan mengambil gitar kesayangan miliknya.

“Nih,” Jenan menyodorkan gitar tersebut ke arah Aretha.

“Hehehe makasih, Jen,” balas Aretha dengan wajahnya yang berseri-seri dan senyuman yang menampilkan barisan rapi gigi putihnya.

Tak dapat dipungkiri Aretha merasa sangat senang sekarang, pasalnya sudah lama ia ingin dapat bermain alat musik ini tapi tidak ada orang yang bisa mengajarinya. Bang Dion terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Pada awalnya Jenan membiarkan Aretha memetik senar gitar miliknya itu secara tidak beraturan.

Namun lama-lama dirinya pun juga menjadi kesal sendiri karena suara yang dihasilkan membuat telinganya sakit.

Tanpa berpikir lama lagi, Jenan yang duduk di sebelah Aretha menggeser tubuhnya hingga kini ia berada tepat di belakang tubuh Aretha.

Kedua tangan besar Jenan yang berotot itu terulur untuk memegangi tangan Aretha yang masih setia pada gitarnya.

Aretha yang merasakan pergerakan tiba-tiba dari Jenan itu merasa cukup terkejut dan ingin segera melepaskan kedua tangan mungilnya dari sana.

Namun Jenan menahannya dan membuat Aretha tidak bisa berkutik lagi.

Posisi mereka berdua saat ini adalah Jenan yang terlihat seperti memeluk tubuh Aretha dari belakang, dagu tajam Jenan ia letakkan di bahu sebelah kiri milik Aretha.

Dengan posisi mereka berdua yang berdekatan seperti ini, membuat Aretha dapat merasakan sapuan hangat dari napas Jenan pada tengkuknya.

Sambil mengarahkan jari-jari lentik milik Aretha untuk dapat menghasilkan nada-nada indah dari gitar tersebut, Jenan mulai membuka mulutnya untuk memulai percakapan.

“Ar,” panggil Jenan dengan lembut.

“Hm?” Aretha hanya menjawab panggilan Jenan dengan dehaman singkat karena ia sedang fokus dengan permainan gitarnya, atau justru dirinya merasa gugup karena terlampau dekat dengan Jenan.

“Kalo misalkan lo harus mundur dari project film itu gimana?” akhirnya Jenan memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.

“Hah?” “Maksud lo apa?!” Aretha mengerutkan dahinya cukup dalam dan menjawab pertanyaan Jenan dengan nada suara yang mulai meninggi.

“Ya gue cuma mau nanya aja sih.” “Lo bakal gimana kalo misalny didepak karena skandal lo sama bang Jeremmy?” ucap Jenan sambil menahan kedua tangan Aretha.

Netra Aretha menatap lurus ke depan dengan pandangan yang kosong, kemudian dirinya menghela nafas dengan kasar.

“Gue kayaknya bakal berhenti dari dunia acting.

Deg.

©scndbrr

Jenan menepati janjinya, kini dua anak manusia itu sedang berjalan berdampingan melangkahkan kedua kakinya untuk menaiki anak tangga menuju lantai dua bangunan apartemen ini.

Jenan mulai memutar kenop pintu dan membuka pembatas ruangan yang ada di hadapannya.

Aretha yang berdiri tepat di sampingnya itu kagum melihat studio pribadi milik Jenan hingga mulutnya menganga terbuka lebar.

“Awas, nanti ada laler masuk,” suara bass milik Jenan itu mengalun di gendang telinga Aretha, menyadarkannya dari lamunannya.

Bukannya membalas ucapan Jenan, Aretha justru memukul bahu Jenan dengan cukup keras.

Hal itu sukses membuat kedua sudut bibir Jenan terangkat ke atas dan matanya yang menyipit.

Jenan langsung masuk ke dalam sana dan mengambil gitar kesayangan miliknya.

“Nih,” Jenan menyodorkan gitar tersebut ke arah Aretha.

“Hehehe makasih, Jen,” balas Aretha dengan wajahnya yang berseri-seri dan senyuman yang menampilkan barisan rapi gigi putihnya.

Tak dapat dipungkiri Aretha merasa sangat senang sekarang, pasalnya sudah lama ia ingin dapat bermain alat musik ini tapi tidak ada orang yang bisa mengajarinya. Bang Dion terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Pada awalnya Jenan membiarkan Aretha memetik senar gitar miliknya itu secara tidak beraturan.

Namun lama-lama dirinya pun juga menjadi kesal sendiri karena suara yang dihasilkan membuat telinganya sakit.

Tanpa berpikir lama lagi, Jenan yang duduk di sebelah Aretha menggeser tubuhnya hingga kini ia berada tepat di belakang tubuh Aretha.

Kedua tangan besar Jenan yang berotot itu terulur untuk memegangi tangan Aretha yang masih setia pada gitarnya.

Aretha yang merasakan pergerakan tiba-tiba dari Jenan itu merasa cukup terkejut dan ingin segera melepaskan kedua tangan mungilnya dari sana.

Namun Jenan menahannya dan membuat Aretha tidak bisa berkutik lagi.

Posisi mereka berdua saat ini adalah Jenan yang terlihat seperti memeluk tubuh Aretha dari belakang, dagu tajam Jenan ia letakkan di bahu sebelah kiri milik Aretha.

Dengan posisi mereka berdua yang berdekatan seperti ini, membuat Aretha dapat merasakan sapuan hangat dari napas Jenan pada tengkuknya.

Sambil mengarahkan jari-jari lentik milik Aretha untuk dapat menghasilkan nada-nada indah dari gitar tersebut, Jenan mulai membuka mulutnya untuk memulai percakapan.

“Ar,” panggil Jenan dengan lembut.

“Hm?” Aretha hanya menjawab panggilan Jenan dengan dehaman singkat karena ia sedang fokus dengan permainan gitarnya, atau justru dirinya merasa gugup karena terlampau dekat dengan Jenan.

“Kalo misalkan lo harus mundur dari project film itu gimana?” akhirnya Jenan memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.

“Hah?” “Maksud lo apa?!” Aretha mengerutkan dahinya cukup dalam dan menjawab pertanyaan Jenan dengan nada suara yang mulai meninggi.

“Ya gue cuma mau nanya aja sih.” “Lo bakal gimana kalo misalny didepak karena skandal lo sama bang Jeremmy?” ucap Jenan sambil menahan kedua tangan Aretha.

Netra Aretha menatap lurus ke depan dengan pandangan yang kosong, kemudian dirinya menghela nafas dengan kasar.

“Gue kayaknya bakal berhenti dari dunia acting.

Deg.

©scndbrr

Hening adalah suasana yang kini sedang menyelimuti kedua anak manusia ini.

Baik Jenan maupun Aretha sama-sama terdiam dan bungkam tidak mau bicara.

Sudah terhitung 30 menit lamanya waktu telah berlalu, namun Jenan masih saja setia mendekap Aretha.

Ketika Aretha mulai merasa canggung dan tidak nyaman, akhirnya dirinya yang lebih dulu melepaskan diri dari rengkuhan Jenan.

“Makasih ya Jen, sorry ngrepotin.” ucap Aretha kepada Jenan. Aretha terlihat menghindari tatapan mata Jenan, bahkan ia mengucapkan kalimat tadi sambil menunduk ke bawah.

Jenan yang melihat itu hanya menghela nafas kecil. Tangan kekarnya itu meraih dagu Aretha, bermaksud agar gadis itu menatap netranya.

“Gue tau suatu tempat yang bisa bikin lo lebih tenang.” “Biasanya gue ke sana kalo lagi ada masalah.” “Lo mau ikut gue ke sana?” tanya Jenan kepada Aretha.

“Di mana?” “Emang ga ngrepotin lo?” bukannya menjawab, Aretha justru bertanya balik.

Tanpa mengucapkan barang sepatah kata lagi, Jenan menggenggam tangan kecil Aretha dan mulai berjalan meninggalkan lokasi syuting itu.

Beruntung Jenan tadi sudah menyuruh Theo pulang duluan dan memintanya untuk meminjamkan mobilnya kepadanya. Jadi dirinya bisa pergi bersama Aretha dengan mengendarai mobil milik Theo.

Kerumunan para fans Aretha maupun Jenan yang melakukan unjuk rasa sudah bubar. Hal itu tentu saja membuat mereka berdua lebih mudah untuk pergi dari sana.

Selama kendaraan beroda empat ini membelah padatnya jalan raya untuk dapat sampai ke tempat tujuan yang tadi telah disebutkan oleh Jenan, hanya ada suara halus dari mesin mobil dan suara radio yang terdengar.

Aretha merasa sedikit kikuk untuk memulai percakapan dengan Jenan karena ia merasa malu telah menangis bahkan hingga dipeluk oleh Jenan.

Padahal ini sama sekali bukanlah Aretha banget. Gadis biasanya sangat bawel dan selalu saja memiliki topik pembicaraan yang membuat lawan biacaranya menjadi nyaman berada di dekatnya.

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan yang dimaksud oleh Jenan.

Ternyata Jenan membawa Aretha ke sebuah danau yang sangat indah. Tapi Aretha bingung sebab dirinya belum pernah ke sini atau mendengar tentang tempat ini.

“Wahh bagus banget tempatnya, Jen.” “Kok gue ga tau ada tempat sebagus ini ya?” ucap Aretha dengan netranya yang terlihat berbinar.

“Iya, karena ini tempat privat gue.” “Khusus gue doang yang bisa ke sini.” jawab Jenan dengan jujur.

Namun di sisi lain, Aretha justru tertawa terbahak-bahak dan terkesan mengejek Jenan.

“Heh lo kalo mau boong mah sama bocil aja, Jen.” “Ya kali lo boongin gue.” ucap Aretha kepada Jenan.

“Ya udah kalo lo ga percaya.” balas Jenan sambil mengendikkan bahunya tanpa berniat untuk mendebat Aretha.

Di sinilah mereka berdua sekarang berada. Duduk berdampingan sambil memandang ke arah danau yang terlihat tenang.

“Kalo gue biasanya duduk di sini sambil liatin air danau kalo lagi marah, sedih, atau ada masalah.” “Rasanya bisa bikin gue jadi tenang.” ucap Jenan memandang lurus ke depan tanpa menolehkan kepalanya.

“Lo bener.” “Gue ngrasa lebih tenang sekarang.” balas Aretha yang juga melakukan hal yang sama dengan Jenan.

Tanpa diketahui oleh Aretha, mendengar ucapannya barusan membuat kedua sudut bibir Jenan mulai tertarik ke atas dan menyunggingkan senyuman kecil yang terpatri di sana.

“Mulai sekarang lo boleh ke sini kalo lo lagi pengen buat nenangin diri.” “Kalo perlu, ajak gue juga gapapa.” ucap Jenan dengan nada bicara serius dan raut wajah yang terlihat tulus.

“Eh gue lupa ngabarin kak Mario kalo pergi sama lo.” ucap Aretha panik yang tak menggubris perkataan Jenan barusan.

Akhirnya mereka berdua meinggalkan tempat itu dan Jenan memutuskan untuk segera mengantar Aretha pulang ke rumahnya.

© scndbrr

Gadis itu berdiri dengan kepalanya yang tertunduk ke dalam. Dari awal dirinya berusaha untuk dapat menahan emosinya yang sudah memuncak.

Laki-laki yang pernah singgah di hatinya itu, kini justru tengah menyebarkan berita hoax yang tidak-tidak mengenai dirinya.

Dia adalah Jeremmy.

Pertahanan yang sudah ia bangun dengan sebaik mungkin mulai runtuh ketika terus membaca komentar buruk netizen yang sengaja diberikan kepadanya.

Bahunya mulai bergetar dan dirinya pun terisak lirih. Bulir bening tanpa permisi mulai mengalir dari kedua sudut netranya. Mati-matian Aretha menahan suara tangisnya agar tidak keluar.

Ketika masih terlarut dalam perasaannya yang sedang kalut itu, sebuah tepukan lembut pada bahu kanannya membuat dirinya menoleh.

Ternyata dia adalah Jenan.

Dengan nafasnya yang terengah-engah dan buliran air sebesar biji jagung pada pelipisnya, menjelaskan bahwa pemuda itu habis berlari untuk segera dapat sampai di sini.

“Lo gapapa?” tanya Jenan yang menatap Aretha dengan tatapan yang sulit di artikan.

Aretha mulai menghapus jejak air matanya yang tercetak jelas pada kedua pipinya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Ga usah boong, Ar.” “Bilang aja lo lagi ga baik-baik aja.” ucap Jenan menatap lamat-lamat netra Aretha.

Setelah mendengar ucapan yang keluar dari mulut Jenan, Aretha akhirnya mulai terisak lagi.

Namun kali ini berbeda dengan yang tadi. Dirinya menangis tanpa menahan suaranya. Suara tangisan Aretha terdengar sangat memilukan.

“Enggak, g-gue nggak kaya gitu, itu b-bukan gue.” “Gue g-ga pernah g-godain kak Je, apalagi s-sampai nyerahin t-tubuh gue.” racau Aretha dengan tidak jelas, dirinya kesulitan bernapas akibat sedang menangis.

Entah mengapa hati Jenan ikut terasa berdenyut ketika melihat Aretha yang sedang menangis di hadapannya.

Tanpa berpikir lama lagi, Jenan berinisiatif untuk mengulurkan tangannya dan menarik Aretha hingga membuat tubuh gadis itu masuk ke dalam dekapannya.

Jenan merengkuh tubuh mungil Aretha dan mulai mengusap lembut surai Aretha. Ia berharap tindakannya dapat membuat Aretha menjadi lebih tenang.

Jujur saja Aretha merasa nyaman ketika berada di pelukan tubuh besar Jenan. Bahkan ia meletakkan salah satu pipinya di dada bidang Jenan dan mulai berhenti menangis.

© scndbrr

Suara ketukan yang dihasilkan dari gesekan ujung buku-buku tangan Jeremmy dengan pintu terdengar nyaring.

Laki-laki tengah berada di depan pintu depan rumah Aretha dalam keadaan emosi.

Aretha yang masih berada di dalam rumah menjadi sangat ketakutan.

Belum lagi ketika laki-laki menyerukan namanya untuk segera membukakan pintu untuknya.

Dengan langkah gontai, Aretha berjalan menuju ke sana dan berniat untuk membuka pintu.

Gadis itu berulang kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak akan terjadi hal buruk.

Ceklek

Pintu depan rumahnya pun akhirnya terbuka dan menampilkan seorang laki-laki yang kini tengah menatapnya dengan tajam.

Jeremmy dengan tidak sopannya langsung masuk ke dalam begitu saja.

Netranya menangkap piring-piring yang telah tertata rapi lengkap dengan hidangannya di atas meja makan.

Jeremmy merasa geram kemudian secara tiba-tiba membalikkan tubuh besarnya itu.

Hal itu sukses membuat dahi Aretha tidak sengaja menabrak dada bidangnya.

“Katanya mau latihan!” “Tapi apa itu?” “Kalian mau breakfast bareng?” seru Jeremmy dengan napas yang memburu.

“Ki-kita beneran emang cuma latihan, kak.” “Soal makanan itu, karena kita sama-sama ngkewatin breakfast.” “Jadi ya kita mau brunch bareng.” “Udah itu aja.” jelas Aretha dengan suara gemetar.

“Halah banyak alasan!!” “Bilang aja kalo kamu suka sama dia kan, Ar?!!” cerca Jeremmy.

“Apa-apaan sih kak?” “Kak Je, kok kaya gitu ngomongnya?” tanya Aretha balik yang sudah muak dengan sikap Jeremmy.

Jeremmy tak mengindahkan perkataan yang keluar dari mulut kekasihnya itu.

Dirinya justru melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke meja makan.

Entah kerasukan setan mana laki-laki itu sekarang.

Prang Prang Prang

Dengan bringas tangannya terjulur untuk mengambil piring-piring itu dan membantingnya kuat-kuat ke lantai.

Aretha yang melihat itupun menjadi sangat ketakutan.

Tubuhnya beringsut ke lantai yang dingin.

Badannya bergetar dengan hebat.

Muka gadis itu terlihat memutih dan semakin pucat.

Bulir bening pun mulai berkeluaran dari ujung-ujung mata cantiknya.

Setelah merusah semua peralatan makan yang ada di sana, Jeremmy menghampiri Aretha.

Laki-laki itu dengan kasar mencengkeram kuat pipi Aretha.

Terlihat jelas pada netranya bahwa ia sangat marah sekarang.

Aretha yang melihat itu pun mulai meracau dengan tidak jelas.

“J-jangan!!” “Jangan sakiti bundah dan ayah!!” “P-pergi! Pergi kalian!!”

Gadis itu mulai berontak berusaha melepaskan dirinya dari Jeremmy.

“Aaaaaaaaaaa!!!” “B-bunda, ayah jangan pergi!!”

Jeremmy yang melihat keadaan Aretha pun tidak memiliki niat mengendurkan cengkeraman tangannya.

Brak

“WOI ANJING!! LEPASIN DIA BANGSAT!!!” suara pemuda yang tak asing terdengar dari arah pintu depan.

Dia, Jenan.

Entah apa yang membuat dirinya kembali lagi ke rumah ini, tapi yang pasti Aretha bisa aman sekarang.

“Lah bang Jeremmy?!” Jenan terkejut bukan main, pasalnya dirinya bertemu dengan seniornya ketika masih SMA.

“Lo ga usah ikut campur!” “Ini urusan gue sama cewe gue!!” Jeremmy menekankan kalimat terakhirnya.

“Tapi lo bisa kan bang, ga usah kasar gini sama cewe?!” “Apalagi katanya dia cewe lo!!” jawab Jenan yang berusaha menutupi keterkejutannya setelah mendengar penuturan Jeremmy.

“Lo brisik!!”

Jeremmy hendak meraih lengan Aretha, namun dirinya gagal sebab Jenan melayangkan bogeman mentah ke pipinya.

“Gue bilang jangan kasar bang!!”

Jeremmy yang tersungkur ke lantai akibat dari tinjuan kuat Jenan bangkit dengan niat untuk membalasnya.

“Ada apa ini?!” “Kalian ngapain disini?!” “Kenapa rumah gue jadi berantakan?!”

Dion memasuki rumahnya itu bersama seorang pemuda lain di sampingnya.

Netra Dion menangkap sosok adiknya yang masih terduduk di lantai.

Aretha melipat kedua kakinya dan kedua tangannya terus memukul-mukul kepalanya serta meracau tidak jelas.

Dion segera menghampiri Aretha dan menenangkannga dengan sebuah pelukan hangat.

“Aretha, tenang ya Ar.” “Ada abang di sini.” “Semuanya udah aman.” ucap Dion dengan lembut sambil tangannya mengusap-usap surai adiknya.

“B-bang, mereka jahat sama bunda ayah” “Bunda ayah, berdarah bang!” racau Aretha sambil meremat ujung pakaian Dion.

“Sssttttt enggak enggak.” “Bundah sama ayah udah bahagia di surga.” “Itu semua cuma masa lalu, Ar.” Dion masih sabar untuk menenangkan Aretha.

Jenan yang melihat itu mematung. Dirinya sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Dirinya terlampau terkejut dengan hal-hal yang baru saja ia alami pada hari ini.

Terlebih ketika dirianya melihat secara langsung lawan mainnya dalam keadaan seperti itu.

“Kalian semua pulang sekarang!” ucap tegas Dion yang terkesan tidak ingin dibantah.

Jeremmy akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana terlebih dahulu.

Kemudian Jenan dan pemuda yang tadi datang bersam Dion pun juga berlaku demikian.

© scndbrr

Pagi ini, sesuai dengan apa yang sudah Jeremmy katakan di room chatnya dengan Aretha semalam.

Dirinya sudah berdiri dengan gagah di depan pintu rumah gadisnya itu, sambil membawa satu buket bunga tulip kesukaan Aretha.

Hal ini tentu saja ia lakukan semata-mata untuk mendapatkan kembali hati seorang gadis cantik yang semalam telah ia sakiti fisiknya.

“Selamat pagi tuan putri.” sapa Jeremmy dengan senyum yang merekah pada bibirnya hingga menampakkan lubang pada kedua pipinya yang menambah kesan manis pria itu.

“Ya, pagi.” balas Aretha singkat dengan muka datarnya. Terlihat jelas bahwa gadis itu malas melihat wajah laki-laki yang kini ada di hadapannya.

“Sayang, kamu masih marah ya?” tanya Jeremmy dengan suara lembutnya.

“Nggak tau.” jawab Aretha dengan acuh tak acuh. Aretha yang tak mau berlama-lama di dekat Jeremmy akhirnya memutuskan untuk segera masuk kembali ke dalam rumahnya.

“Hey, bagian mana yang sakit, hm?” Jeremmy berlari kecil demi menyusul wanitanya itu dan menahan tangan kanan Aretha.

“Kak Je, jujur aku nggak tau alasan kakak kenapa kasar lagi ke aku, tapi yang semalem udah bener-bener keterlaluan kak!” Aretha akhirnya mengeluarkan unek-unek yang sejak semalam telah bersarang di hatinya.

Jeremmy sedikit tersentak ketika melihat gadis yang ada di hadapannya itu mulai berbicara dengan nada tinggi kepadanya.

Laki-laki itu kemudian langsung menarik Aretha ke dalam rengkuhannya dan mulai mendekap gadis tersebut dengan sangat erat seolah-olah takut kehilangannya.

“Sorry, i'm so sorry Retha.” lirih Jeremmy.

Di dalam pelukan hangat yang diberikan Jeremmy kepada dirinya, Aretha mulai menitikkan air matanya.

Awalnya hening, gadis itu menangis tanpa suara. Namun semakin ke sini, mulai terdengar isak tangis yang cukup pilu.

Jeremmy yang mendengarkannya pun merasakan bahwa hatinya ikut tersayat.

“Sayang, maafin aku ya. Aku minta maaf karena kemarin udah kasar lagi sama kamu.” “Aku janji ga akan kaya gitu lagi.” “Jangan nangis please, berhenti nangis ya?”

Selalu seperti ini siklus hubungan yang dijalin oleh mereka berdua.

Jeremmy yang berlaku kasar kepada Aretha, kemudian Aretha akan merajuk, selanjutnya Jeremmy datang dan meminta maaf serta berjanji untuk tidak mengulanginya, terakhir Aretha akan memaafkan laki-laki itu lagi.

Begitu terus berputar-putar di sana saja hingga detik ini, dan tidak tahu kapan akan selesainya.

© scndbrr

TW // Physical Abuse TW // Blood

Seorang gadis tengah berjalan sendirian menuju sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari komplek apartemen mewah di Kota tersebut.

Gadis muda itu mengenakan jaket lengkap dengan penutup kepalanya, masker, dan juga kacamata hitam demi menyembunyikan identitas aslinya.

Karena jika tidak begitu, mungkin sekarang ia sudah dikerumuni oleh masssa untuk dimintai tanda tangan dan diajak berfoto bersama.

Aretha.

Seorang aktris muda yang sedang berdiri pada puncak kejayaan karirnya.

Ia hendak menemui seseorang yang selama dua tahun belakangan ini telah menjadi sandaran dan tempatnya berkeluh kesah.

Niat dan tujuan awal Aretha hanya satu, yakni ia ingin meluruskan sekaligus menanyakan alasan orang tersebut yang sudah beberapa hari ini bersikap kasar kepadanya.

Ketika ia melihat seorang pria yang tak asing lagi baginya tengah duduk sendirian di taman yang sepi, lantas gadis itu mulai mempercepat langkahnya untuk segera mendekat.

“Kak Je, aku udah dateng.” ucap Aretha sebagai salam pembukanya.

“Kamu ga bisa liat jam?” “Berapa lama cuma buat kamu dateng ke sini doang hah?!” “Aku udah nungguin kamu dari satu jam yang lalu tau ga?!!” cerca laki-laki itu kepada Aretha.

“Ma-maaf kak, tadi di jalan ada kecelakaan lalu lintas jadi macet deh.” jelas Aretha dengan jujur.

“Halah banyak alasan kamu!!” sanggah laki-laki tadi dengan ketus.

“Beneran kak, Retha ga bohong” bela Aretha yang masih bersikukuh.

“Ya udah, sekarang aku tanya kenapa kamu jalan sama Stevia tadi ga ngasih tau aku dulu?” tanya laki-laki itu.

“Loh kak, aku cuma jalan berdua sama sahabat aku sendiri. Masa harus pake izin dari kakak segala sih?” jelas Aretha kepadanya.

“Wah beneran udah berani nglawan kamu ya!!” balas laki-laki itu dengan suaranya yang mulai meninggi.

Plakk

Tamparan keras dilayangkan oleh laki-laki tadi dan mendarat dengan mulus pada pipi putih nan bersih milik Aretha.

Tindakan itu mampu menghasilkan bekas merah yang berbentuk menyerupai tangan di sana.

Bahkan bibir Aretha ikut terkoyak hingga sobek dan membuat darah segar mulai mengalir dari sudut bibirnya yang mungil itu.

Karena dihantam oleh rasa sakit dan ketakutan yang luar biasa, bulir bening dari kedua sudut netra gadis muda itu mulai mengalir.

Dirinya teringat oleh kenangan akan masa lalu.

“K-kak...” lirih Aretha dengan suaranya yang bergetar.

“Kamu itu milik aku Retha!! Jadi kamu mau ke mana sama siapapun ya harus izin ke aku dulu, ngerti?!!” bentak laki-laki tadi kepadanya.

“Kak Je kok sekarang kasar sama aku sih?” tanya Aretha dengan takut.

Bukannya menjawab pertanyaan Aretha, laki-laki itu justru mulai mengangkat tangannya lagi ke atas, bersiap-siap untuk melayangkannya kembali.

Namun sungguh beruntung nasib Aretha pada malam ini. Karena tiba-tiba saja tangan seorang pemuda yang lain menangkap dan menahan sebuah pukulan yang hendak dilayangkan.

“Gue bisa panggil satpam, kalo lo masih buat keributan di sini.” ucap dingin pemuda tadi.

Laki-laki tadi takut apabila masalah ini diperpanjang, pasalnya ia tidak mau identitasnya juga terbongkar disini. Apalagi ditambah dengan dirinya yang telah melakukan kekerasan fisik terhadap seorang aktris.

Karena itu, laki-laki tadi lantas pergi meninggalkan Aretha dan pemuda tadi di taman ini begitu saja.

Saat pemuda tadi berbalik badan hendak menanyakan keadaan Aretha, ternyata sosok gadis tersebut sudah hilang tak ada wujudnya lagi.

Makasih, makasih banget karena udah nolongin gue. Tapi sorry, gue ga bisa biarin lo tau soal identitas gue.

© scndbrr

Hari matahari menampakkan wujudnya lebih awal. Membuat hawa sekitar menjadi menghangat.

Suara indah yang dihasilkan dari kicauan para burung pun turut menemani siapa saja yang sedang merasa kesepian.

Lalu lintas jalan raya tampak seperti biasanya, bahkan lebih padat karena sekarang rupanya jarum jam hampir menunjukkan pukul 9, yang merupakan jam-jam orang sibuk berlalu-lalang.

Sepuluh tahun sudah berlalu, itu bukanlah waktu yang singkat.

Kini Starla telah menyelesaikan studinya dan memutuskan untuk menjadi relawan pada kegiatan-kegiatan sosial.

Dari awal ia sangat tertarik mengenai tentang hal-hal tersebut. Dirinya merasa dengan melakukan kontak sosial dengan orang-orang yang membutuhkan atau kekurangan akan membuat hatinya bahagia.

Tidak hanya melakukan kegiatan sosial di sekitar tempat tinggalnya saja, melainkan ia bahkan juga sudah sering mengikuti kegiatan sosial yang dilakukan di desa yang terpencil sekalipun.

Seperti sekarang, ia sedang berada di Panti Jompo Harapan Kita untuk melakukan pendampingan kepada para orang tua yang ada di sana.

Kini Starla sedang mengajak berbicara salah satu nenek tua yang umurnya hampir menyentuh angka satu abad.

Tenyata nenek tua justru bercerita tentang laki-laki yang dulu amat dicintainya.

Tiba-tiba saja, di otak Starla terbesit satu nama. Seseorang yang kehadirannya sudah lama ia sangat rindukan.

Senyuman manisnya, tawa bahagianya, dan hangat pelukan dari orang itu.

Nathan.

Setelah Starla melihat berita mengenai papa dan mama Nathan yang menyerahkan diri secara sukarela ke pihak yang berwajib, dirinya menjadi bingung. Ada apa sebenarnya?

Jika kalian berpikir saat itu Starla tidak menghubungi Nathan kembali kalian salah. Karen gadis itu tetap menghubungi Nathna untuk menanyakan perihal kedua orang tuanya.

Namun sayang, Nathan yang dulu adalah Nathan yang pengecut yang tidak mau menceritakan apa yang pernah terjadi secara langsung kepada Starla.

Jadi Starla mengetahui soal kejahatan yang telah dilakukan oleh kedua orang tua Nathan lewat Jeffin, kakak Nathan.

Jeffin menjelaskannya dengan hati-hati kepada Starla, ia tak mau hati perempuan yang amat dicintai oleh adiknya itu terluka.

Jujur saja, Starla sangat shock setelah pemaparan dari Jeffin menggema di gendang telinganya.

Jadi selama ini, dirinya mencintai anak dari orang yang telah membunuh ayahnya sendiri?

Gila.

Starla kecewa, terlebih kepada Mama Yura yang ternyata selalu terlihat baik di depan dirinya dan ibunya sebagai kedok supaya tindakan busuknya tidak tercium.

Tidak, Starla sudah tidak bisa marah. Semuanya sudah berlalu, jika ia melampiaskan semua amarah dan emosinya pun juga tidak akan membuat kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia lantas bangkit kembali.

Ketika sadar ia justru terlarut dalam lamunannya yang mengenang akan masa lalu itu, Starla langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Ia menyadarkan dirinya supaya tidak terjebak dalam labirin ingatan masa lalu akan seseorang yang masih saja bertahta di dalam hatinya.


“Ehh pak dokter sudah datang.” sapa Bu Kayna pemilik Panti Jompo Harapan Kita.

Hari ini akan berlangsung pengecekan kesehatan secara gratis untuk para lansia di panti, yang dilakukan oleh seorang dokter muda lulusan dari universitas bergengsi dari luar negeri.

Starla yang hendak menaruh piring kotor bekas sisa makan nenek yang tadi bercerita pun turut menolehkan kepalanya karena mendengar panggilan dari Bu Kayna.

Entah apa yang membuat dirinya berbuat demikian, tapi yang pasti dirinya sekarang menjadi sangat penasaran oleh sosok sang dokter.

Kedua netra gadis itu pun menelisik mencari keberadaan orang tadi. Betapa terkejutnya Starla, ketika dirinya mendapati sosok yang sudah lama ia cari-cari keberadaannya.

Di seberang sana juga sama, laki-laki yang mengenakan seragam jas putih itu terkejut bukan main, melihat kehadiran dari wanita yang hingga detik ini masih sangat ia cintai.

“Kak Nathan?”

“Starla?”

Setelah mengeluarkan satu patah kata yang lebih ke arah sapaan tadi, merek berdua hanya berdiam diri dan masih saling menatap satu sama yang lainnya.

Tidak ada percakapan lagi yang keluar dari kedua mulut anak manusia itu, bahkan salah satu dari mereka sama-sama tidak memiliki niat untuk melakukannya.

Bukan, bukan karena apa.

Mereka hanya masih terkejut akan apa yang baru saja terjadi. Ternyata takdir dan semesta masih mempertemukan mereka kembali di sebuah pertemuan yang tidak terduga.

©scndbrr

Hari matahari menampakkan wujudnya lebih awal. Membuat hawa sekitar menjadi menghangat.

Suara indah yang dihasilkan dari kicauan para burung pun turut menemani siapa saja yang sedang merasa kesepian.

Lalu lintas jalan raya tampak seperti biasanya, bahkan lebih padat karena sekarang rupanya jarum jam hampir menunjukkan pukul 9, yang merupakan jam-jam orang sibuk berlalu-lalang.

Sepuluh tahun sudah berlalu, itu bukanlah waktu yang singkat.

Kini Starla telah menyelesaikan studinya dan memutuskan untuk menjadi relawan pada kegiatan-kegiatan sosial.

Dari awal ia sangat tertarik mengenai tentang hal-hal tersebut. Dirinya merasa dengan melakukan kontak sosial dengan orang-orang yang membutuhkan atau kekurangan akan membuat hatinya bahagia.

Tidak hanya melakukan kegiatan sosial di sekitar tempat tinggalnya saja, melainkan ia bahkan juga sudah sering mengikuti kegiatan sosial yang dilakukan di desa yang terpencil sekalipun.

Seperti sekarang, ia sedang berada di Panti Jompo Harapan Kita untuk melakukan pendampingan kepada para orang tua yang ada di sana.

Kini Starla sedang mengajak berbicara salah satu nenek tua yang umurnya hampir menyentuh angka satu abad.

Tenyata nenek tua justru bercerita tentang laki-laki yang dulu amat dicintainya.

Tiba-tiba saja, di otak Starla terbesit satu nama. Seseorang yang kehadirannya sudah lama ia sangat rindukan.

Senyuman manisnya, tawa bahagianya, dan hangat pelukan dari orang itu.

Nathan.

Setelah Starla melihat berita mengenai papa dan mama Nathan yang menyerahkan diri secara sukarela ke pihak yang berwajib, dirinya menjadi bingung. Ada apa sebenarnya?

Jika kalian berpikir saat itu Starla tidak menghubungi Nathan kembali kalian salah. Karen gadis itu tetap menghubungi Nathna untuk menanyakan perihal kedua orang tuanya.

Namun sayang, Nathan yang dulu adalah Nathan yang pengecut yang tidak mau menceritakan apa yang pernah terjadi secara langsung kepada Starla.

Jadi Starla mengetahui soal kejahatan yang telah dilakukan oleh kedua orang tua Nathan lewat Jeffin, kakak Nathan.

Jeffin menjelaskannya dengan hati-hati kepada Starla, ia tak mau hati perempuan yang amat dicintai oleh adiknya itu terluka.

Jujur saja, Starla sangat shock setelah pemaparan dari Jeffin menggema di gendang telinganya.

Jadi selama ini, dirinya mencintai anak dari orang yang telah membunuh ayahnya sendiri?

Gila.

Starla kecewa, terlebih kepada Mama Yura yang ternyata selalu terlihat baik di depan dirinya dan ibunya sebagai kedok supaya tindakan busuknya tidak tercium.

Tidak, Starla sudah tidak bisa marah. Semuanya sudah berlalu, jika ia melampiaskan semua amarah dan emosinya pun juga tidak akan membuat kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia lantas bangkit kembali.

Ketika sadar ia justru terlarut dalam lamunannya yang mengenang akan masa lalu itu, Starla langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Ia menyadarkan dirinya supaya tidak terjebak dalam labirin ingatan masa lalu akan seseorang yang masih saja bertahta di dalam hatinya.


“Ehh pak dokter sudah datang.” sapa Bu Kayna pemilik Panti Jompo Harapan Kita.

Hari ini akan berlangsung pengecekan kesehatan secara gratis untuk para lansia di panti, yang dilakukan oleh seorang dokter muda lulusan dari universitas bergengsi dari luar negeri.

Starla yang hendak menaruh piring kotor bekas sisa makan nenek yang tadi bercerita pun turut menolehkan kepalanya karena mendengar panggilan dari Bu Kayna.

Entah apa yang membuat dirinya berbuat demikian, tapi yang pasti dirinya sekarang menjadi sangat penasaran oleh sosok sang dokter.

Kedua netra gadis itu pun menelisik mencari keberadaan orang tadi. Betapa terkejutnya Starla, ketika dirinya mendapati sosok yang sudah lama ia cari-cari keberadaannya.

Di seberang sana juga sama, laki-laki yang mengenakan seragam jas putih itu terkejut bukan main, melihat kehadiran dari wanita yang hingga detik ini masih sangat ia cintai.

“Kak Nathan?”

“Starla?”

Setelah mengeluarkan satu patah kata yang lebih ke arah sapaan tadi, merek berdua hanya berdiam diri dan masih saling menatap satu sama yang lainnya.

Tidak ada percakapan lagi yang keluar dari kedua mulut anak manusia itu, bahkan salah satu dari mereka sama-sama tidak memiliki niat untuk melakukannya.

Bukan, bukan karena apa.

Mereka hanya masih terkejut akan apa yang baru saja terjadi. Ternyata takdir dan semesta masih mempertemukan mereka kembali di sebuah pertemuan yang tidak terduga.

©scndbrr

Arjuna bersungguh-sungguh dengan ucapannya pada waktu itu. Ia meninggalkan rumah dan memutuskan kontak dengan kedua orang tuanya.

Bahkan dengan Sebastian pun ia juga sudah tidak pernah berkomunikasi lagi.

Kini dirinya hidup dalam rumah kecil nan sempit yang sederhana bersama Marina.

Meskipun demikian ia merasakan kebahagiaan yang tiada tara sebab dapat bersatu dengan wanita yang sangat ia cintai.

Arjuna merupakan lulusan sarjana dari universitas yang bergengsi, namun hal itu tidak membuatnya gentar dan malu ketika harus mencari nafkah dengan bekerja sebagai kuli bangunan.


Rumah kediaman keluarga Adiwangga itu tampak suram. Setelah kepergian Arjuna, anak semata wayangnya itu, Mahendra dan Anastasia menjadi sangat terpukul.

Mereka tidak menyangka bahwa Arjuna akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya tempo hari.

Setiap hari mereka menunggu putranya itu kembali dan menampakkan batang hidungnya atau mungkin hanya sekedar sebuah panggilan masuk saja.

Namun hasilnya nihil. Putranya itu tidak pernah memberi kabar hingga detik ini.

Sebastian sudah menikah dengan Yura belum lama ini. Ia masih menunggu Mahendra untuk segera lengser dari jabatannya sebagai pemimpin perusahaan dan berharap dirinya ditunjuk untuk menjadi penerusnya.

Sangat disayangkan karena Mahendra sebetulnya tidak memiliki niat sedikit pun untuk memberikan perusahaannya itu kepada Sebastian, sebab dirinya tetap akan memberikannya kepada Arjuna, anak kandungnya.

“Mas, bujuk Arjuna supaya pulang mas, aku kangen banget sama dia.” “Aku nggak masalah kalau nanti Arjuna bawa istrinya ke sini, aku akan perlakukan istrinya dengan baik.”

“Iya Nas sama, aku juga kangen sama putraku. Tapi aku nggak tau dia ada di mana sekarang. Kalau nanti sudah tau, aku sendiri yang akan menjemput dia untuk pulang ke sini.”

Kurang ajar. Gak, gak bisa. Enak aja, lah saya disini buat apa?


tw // car accident tw // blood

Sebastian melajukan mobilnya itu dengan kecepatan penuh. Ia membelah jalan raya dengan meginjak pedal gas seperti orang yang kesetanan.

Setelah mendapatkan alamat rumah Arjuna dan Marina, dirinya bergegas untuk menuju ke sana sebelum Arjuna dijemput oleh Mahendra.

Ketika sampai di depan sebuah rumah kecil berpagarkan besi yang sudah berkarat itu, Sebastian mematikan mesin mobilnya.

Ia masih duduk pada kursi kemudi dengan kedua telapak tangannya mencengkeram kuat stir. Dalam keheningan, suara napas yang berderu dan debaran jantung yang sangat cepat terdengar dengan jelas.

Di depan sana, sosok laki-laki yang kini sangat Sebastian benci sedang berjalan dengan tangan kanannya yang membawa kantung plastik berwarna putih. Dapat ia tebak, itu adalah makanan untuk istrinya.

Suasana pada gang yang tidak terlalu lebar namun juga tidak sempit itu sangatlah sunyi. Karena sudah larut malam, tidak ada lagi orang-orang yang berlalu-lalang di sana.

Entah dapat bisikan setan dari mana, Sebastian dengan tiba-tiba menyalakan mesin mobilnya kembali, dan menginjak pedal gas kuat-kuat hingga menghantam tubuh Arjuna.

Arjuna yang belum siap pun tidak dapat menghindar ketika ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

Dirinya terpelanting jauh setelah dihantam dengan keras oleh bagian depan mobil.

Suara napas terengah-engah Sebastian dan seseorang menggema di dalam mobil.

Dirinya tidak sendirian di dalam sana, melainkan ada Yura juga, istrinya.

Yura memejamkan matanya ketika suaminya itu mengambil tindakan nekat kepada adik iparnya.

Setelah cukup tenang, ia memberanikan diri untuk turun dari dan melihat keadaan Arjuna.

Kini Arjuna terbaring lemah di aspal yang kasar dengan bersimbah darah di bagian kepalanya.

Sebastian langsung mengecek nadi dan napas Arjuna, memastikan sekali lagi bahwa adiknya itu sudah meninggal.

Selamat jalan, adik kecilku.

©scndbrr