scndbrr

Anak laki-laki yang masih kecil itu mulai menginjakkan kakinya di rumah yang mewah nan besar. Rumah itu adalah kediaman milik Mahendra Adiwangga.

“Juna, Arjuna sini nak.” panggil lembut sang ibu kepada putra semata wayangnya itu.

“Kenalin, ini namanya Sebastian. Mulai sekarang dia akan menjadi kakak laki-laki kamu.” jelas sang ayah kepada jagoan kecilnya itu.

“Halo kak Sebastian, nama aku Juna, Arjuna Adiwangga lebih lengkapnya.” ucap Juna dengan riang dan langsung menyambar telapak tangan Sebastian.

“H-halo juga, aku Sebastian, Sebastian Karlapati.” balas Sebastian dengan kikuk karena dirinya masih canggung dengan orang baru.

Pasangan suami-istri Mahendra Adiwangga dan Anastasia Audy mengadopsi anak laki-laki dari sahabat karib mereka berdua yang baru saja meningal dunia dikarenakan kecelakaan pesawat ketika sedang perjalanan bisnis.

Mereka pikir putra tunggal mereka, Arjuna akan senang karena sudah lama ia menginginkan sosok seorang kakak laki-laki.


Hari demi hari berlalu.

Keluarga itu hidup bersama dengan bahagia. Setiap hari selalu saja ada canda tawa yang menghiasi sudut-sudut rumah ini.

Arjuna dan Sebastian memiliki hubungan persaudaraan yang baik. Bahkan Sebastian selalu melindungi dan membantu adiknya itu ketika sedang menghadapi sebuah masalah.

Ketika mereka berdua beranjak semakin dewasa dan mulai melanjutkan studinya di perguruan tinggi, Arjuna bertemu dengan seorang gadis sederhana yang bekerja di sebuah restaurant sebagai pelayan.

Awalnya ia hanya mengagumi senyuman manis yang selalu terpatri dengan apik di wajah cantik gadis itu, namun semakin ke sini tidak dapat ia pungkiri bahwa ia menyukainya.

Arjuna yang sedang dilanda dengan asmara cinta itu menceritakan semuanya kepada kakaknya, Sebastian.

Sebastian mendengarkan cerita sang adik dengan seksama dan sesekali tertawa melihat tingkah sang adik yang bercerita dengan menggebu-gebu.

Gadis yang disukai oleh Arjuna kala itu adalah Marina, ibu Starla.


Arjuna dan Marina telah menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun lamanya. Tentu saja hubungan itu Arjuna rahasiakan dari kedua orang tuanya. Hanya Sebastian saja yang mengetahuinya.

Bukan tanpa sebab Arjuna bertindak demikian, karena ia sangat tahu betul bahwa kedua orang tuanya ini hanya menginginkan Arjuna bersanding dengan perempuan dari keluarga konglomerat juga.

Ketika Arjuna sudah merasa muak dengan semuanya, akhirnya ia mulai memberanikan diri untuk berbicara terus terang kepada kedua orang tuanya.

“Mah, pah, Juna mau menikah.”

Penuturan Arjuna yang sangat mendadak ini tentu saja membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.

“Juna udah punya calonnya, nama dia Marina.” lanjut Arjuna.

“Dari keluarga mana wanita itu berasal?”

“Orang tuanya kerja apa?”

“Punya perusahaan apa keluarga mereka?”

“Pendidikan terakhirnya S3 atau S2?”

Berbagai pertanyaan dilontarkan secara bertubi-tubi kepada Arjuna. Dirinya tahu pasti akan seperti ini pada akhirnya.

“Dia dari panti asuhan, jadi tidak mempunyai ayah ataupun ibu.”

“Dia bekerja sebagai pelayan di restaurant dan putus sekolah semenjak dirinya SMP.” jawab Arjuna dengan jujur.

“HAH?! UDAH GILAK KAMU YA ARJUNA?!!”

“KAMU ITU PEWARIS UTAMA KELUARGA ADIWANGGA, NAK!!”

“MASAK PASANGAN KAMU AJA BIBIT, BEBET, BOBOTNYA TIDAK JELAS BEGITU SIH!!”

“MAU TARUH DIMANA MUKA MAMAH SAMA PAPAH NANTI?!!”

“Juna nggak pernah minta ke mamah ataupun papah buat dijadiin sebagai pewaris kan?”

“Juna mau hidup dengan wanita pilihan Juna, mah, mah!”

“Terserah kamu saja!!”

“Kalau memang itu maumu, pergi sana keluar dari rumah ini!!”

“Tinggalkan semua fasilitas yang papah berikan sama kamu!!”

“Mamah mau lihat, sejauh mana kamu bisa hidup tanpa bergelimangan harta!!”

“Memang itu mau Juna mah, pah. Dari awal Juna lebih memilih hidup sederhana bersama Marina, ketimbang harus menjadi boneka mamah dan papah yang maksa Juna buat jadi pemimpin perusahaan!”

Setelah pertengkaran hebat yang terjadi di antara orang tua dan anak itu, Juna akhirnya benar-benar memutuskan untuk angkat kaki dari rumah.

Di sisi lain, Sebastian yang menyaksikan semua kejadian itu dari balik pintu menyunggingkan salah satu sudut bibirnya ke atas, menyeringai.

Bagus deh kalo lo mau pergi. Emang seharusnya yang jadi pimpinan perusahaan itu gue, kan gue anak pertama walaupun nggak sah.

©scndbrr

Sesuai dengan isi pesan Nathan tadi, tepat pukul tujuh malam dirinya dan Starla pergi meninggalkan rumah dan menuju ke salah satu restaurant ternama.

Di tengah perjalanan menuju ke tempat itu, dua anak manusia ini sama-sama terdiam dan terlarut dalam lamunannya masing-masing.

Hanya terdengar suara halus mesin mobil dan suara radio yang dengan sengaja dinyalakan oleh Nathan supaya suasana di dalam mobil yang kini tengah membelah jalan raya itu tidak sunyi senyap.

Sesampainya di restaurant yang sebelumnya sudah dibooking full oleh Nathan, mereka berdua lantas diantarkan oleh pelayan ke meja yang telah disiapkan.

Karena sudah disewa untuk semalaman ini, maka kini hanya ada mereka berdua dan beberapa pelayan saja di tempat itu. Hal itu membuat Starla sedikit kikuk dan kurang nyaman, pasalnya Nathan tak berhenti menatap dirinya dari tadi.

“Kak?” “Kak Nathan” “Kak Nathan ihh, jangan diiatin mulu.” “Aku malu tau.”

Nathan hanya menyunggingkan senyum kecil di bibirnya ketika melihat wanitanya itu sedang salah tingkah dan melampiaskan amarahnya yang justru terkesan lucu di matanya.

Setelah makanan yang sudah dipesan datang, Starla lantas mulai menyantap makanan itu tanpa menghiraukan Nathan yang masih belum menyentuh makanannya sama sekali.

Starla yang sudah selesai dengan hidangan di depannya kini mulai mengerahkan seluruh atensinya terhadap laki-laki yang sedang duduk di hadapannya persis.

Ia mengerutkan dahinya dan menyipitkan matanya ketika melihat bahwa makanan Nathan masih utuh dan belum ada yang tersantap satupun.

“Kak Nathan kok nggak makan?”

Hening.

Tidak ada jawaban dari yang diajaknya bicara.

“Enak loh kak makanannya.”

Masih hening.

Tampaknya sang adam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh mulut mungil sang hawa.

“Gue muak, La.”

”...”

“Gue muak pura-pura baik di depan lo!”

“M-maksud kak Nathan apa?”

“Lo itu nggak selevel sama gue! Lo cuma anak pembantu!”

“K-kak?”

“Jangan harap lo bisa jadi cewek gue!”

Setelah menuturkan kata-kata yang sudah terangkai dengan apik di kepalanya itu, Nathan lantas bangkit berdiri dan berniat untuk pergi meninggalkan Starla sendirian di sana.

Namun secepat mungkin, kakinya berlari melangkah menyusul langkah lebar kaki jenjang Nathan. Tangan kanannya terulur untuk meraih tangan laki-laki yang sudah ia cintai akhir-akhir ini.

“Kak berhenti!”

“Kakak ngomong apa sih? Starla nggak ngerti.”

“Gue cuma mainin lo doang selama beberapa hari ini, ga lebih dari itu.”

“Kak Nathan bohong kan? Kakak pasti cuma bercanda doang kan kak?”

“Lo itu tolol apa gimana sih?! Gue udah bilang kalo gue cuma pura-pura aja di depan lo kemaren-kemaren!!”

Dengan kasar tangan Nathan menghempaskan tubuh Starla ke lantai dan mengakibatkan gadis itu terjatuh karena kehilangan keseimbangannya.

“Tapi aku jatuh cinta sama kakak!” teriak Starla yang berhasil menghentikan langkah Nathan.

“Itu bukan urusan gue.” jawab Nathan dengan dingin lantas bergegas pergi dari tempat itu.

Starla menatap kepergian Nathan dengan tatapan nanar. Ia menatap punggung laki-laki yang ia kasihi hingga hilang dari pandangan netranya.

“Kenapa selalu kayak gini?” “Pada akhirnya semua kebahagian aku dirampas lagi.” lirih Starla.

Tanpa Starla sadari, laki-laki itu masih berada di balik tembok itu. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat dan mengalirlah bulir bening dari kedua sudut netranya.

Maaf, maafin aku La.

©scndbrr

Setelah membaca pesan dari Hesa, Bela kaget bukan main. Bagaimana tidak? Jika hari esok adalah hari yang sangat ia tunggu-tunggu, yaitu hari pertunangannya dengan Nathan, namun justru dirinya mengetahui sebuah fakta yang tersembunyi sekarang.

Ia bingung harus mengambil langkah apa.

Apakah dirinya tetap acuh saja dan melanjutkan rencana kedua orang tuanya yang menjodohkan dirinya dengan Nathan?

Ataukah justru dirinya lebih memilih untuk mempertahankan persahabatannya dengan Starla dan tidak melanjutkan perjodohan ini lagi seperti apa kata Hesa?

Waktu ia putus dengan Nathan karena kesalahan yang ia perbuat sendiri, Bela merasa sangat amat bersalah. Ia sadar bahwa apa yang telah ia perbuat dulu itu salah dan tidaklah mudah untuk mendapatkan permintaan maaf dari mantan pacarnya itu.

Maka dengan perjodohan ini, Bela bertekad untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah ia perbuat kepada Nathan.

“Nathan sama Starla saling suka.”

Pesan dari Hesa terus berputar di kepala Bela. Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa dirinya tidak mengetahui hal sepenting ini?

Starla adalah sahabat yang sangat berarti bagi Bela. Jadi bagaimana bisa ia menyakitinya?

Kebimbangan kini melanda di dalam hati Bela. Di satu sisi, ia tidak bisa berbohong bahwa dirinya masih memiliki rasa untuk Nathan, namun di sisi lain ia juga tidak ingin menjadi penghalang dari kisah cinta orang. Apalagi jika itu adalah kisah cinta sahabatnya sendiri.

Jarum jam yang bertengger di dinding kamarnya kini telah menunjukkan pukul 12 malam tepat. Sampai saat ini Bela masih belum mengambil keputusan.

Setelah termenung cukup lama, terlarut dalam memori yang berputar di kepalanya bak kaset rusak mengenai berbagai hal yang telah dirinya dan Starla lalui akhir-akhir ini, Bela telah memantapkan hatinya.

Mungkin sekarang masih sulit, tapi ia sangat yakin bahwa keputusannya kali ini akan menghadirkan kebahagiaan bagi orang banyak.

Bela ikut mengalah.

Sama seperti apa yang telah dilakukan Hesa, akhirnya Bela mengambil keputusan untuk melepaskan orang yang ia sayangi supaya ia dapat bahagia dengan orang pilihannya sendiri.

Malam itu juga, Bela memberitahukan keinginannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Nathan kepada kedua orang tuanya.

Tentu saja kedua orang tua Bela sangat terkejut atas permintaan Bela yang mendadak ini. Namun, karena Bela merupakan anak tunggal dan kedua orang tuanya itu amat menyayangi dirinya, maka bukanlah perkara besar jika hanya membatalkan sebuah perjodohan saja bagi mereka.

Bela berharap bahwa langkah yang telah ia ambil ini adalah suatu langkah yang tepat.

Ia tahu betapa sulitnya kehidupan Starla selama ini, oh tidak, bahkan ia paham betul akan itu.

Setelah mengenal Starla selama kurang lebih 3 bulan terakhir ini, Bela telah memahami seluk beluk diri Starla.

Namun ia masih menyayangkan karena dirinya tidak menyadari bahwa laki-laki yang pernah Starla ceritakan kepadanya itu adalah Nathan.

Starla pernah bercerita kepada Bela bahwa ia sedang menyukai seorang laki-laki. Namun Starla mengatakan bahwa dirinya takut apabila laki-laki itu tidak menyukai dirinya balik.

Berkat Hesa, Bela berhasil untuk tidak jadi menghancurkan satu-satunya kebahagian Starla yang tersisa.

Karena,

Nathan...

Adalah dunia dan bahagia Starla yang tersisa sekarang.

Kepunyaan Starla yang belum direnggut secara paksa oleh semesta dan pencipta-Nya seperti biasa.

Ya, masih belum.

Karena kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

©scndbrr

Starla, gadis itu masih berkutat dengan soal matematika yang kini sedang ia kerjakan. Beruntung dirinya merupakan anak pinar yang dapat dengan mudah memahami penjabaran tentang materi yang telah dipaparkan oleh Renja tadi sebelum ia pergi ke kampus mengurus urusannya dengan anak Hima.

“Starla!”

Ketika masih sibuk menghitung deretan angka yang tertulis pada selembar kertas putih, dirinya sontak mengalihkan seluruh atensinya ke arah sumber suara yang baru saja memanggil namanya itu.

Bela dan Nathan.

Dari arah pukul jam 10 datanglah kedua orang yang sebetulnya sangat ingin Starla hindari. Namun sangat disayangkan, karena dirinya harus berjumpa dengan mereka berdua di sini.

“Loh Renja ke mana, La?” tanya Bela sambil meletakkan tas selempangnya pada kursi kosong yang ada di sebelahnya.

“Kak Renja lagi ada urusan sebentar di kampus katanya tadi.” jawab Starla dengan jujur.

Setelah Starla mengetahui bahwa Bela dijodohkan oleh Nathan, hubungannya dengan Bela kini menjadi agak renggang. Mereka jarang pergi keluar bersama atau sekedar untuk bertukar pesan melalui ponsel.

Sebetulnya Starla yang menghindar dari Bela, karena Bela masih tetap menjadi pribadi yang sangat amat cerewet di mata Starla.

Ketika Bela dan Starla terhanyut dalam obrolan mereka sendiri, terdapat seorang laki-laki yang duduk di seberang mereka, menatap mereka berdua dengan tatapan yang sangat sulit untuk dapat diartikan.

Dia adalah Nathan.

Nathan sebetulnya sangat rindu dengan gadis yang kini sedang berada di hadapannya. Setelah terakhir kali menemani Starla ketika pemakaman ibunya, Nathan tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan Starla lagi.

Nathan paham betul bahwa Starla sudah mengetahui perihal perjodohannya dengan Bela. Dan Nathan juga tahu jika Starla secara terang-terangan menjaga jarak darinya.

Ancaman dari papanya, Sebastian membuat laki-laki itu tidak dapat berkutik. Dirinya terlampau takut apabila gadis yang sangat ia sayangi akan terluka karenanya sendiri.

Maka dari itulah, Nathan juga tidak lantas selalu berada di dekat Starla akhir-akhir ini. Ia tahu bahwa mata-mata papanya itu sangatlah banyak jumlahnya dan mereka semua akan selalu mengawasi dia setiap saat.


Saat ini Bela sedang bercerita dengan antusias kepada Starla mengenai soal pertunangannya yang akan berlangsung satu minggu lagi.

Starla hanya menanggapinya dengan senyuman yang terlihat sedang dipaksakan pada bibirnya. Ia mati-matian menahan bulir bening yang dari tadi terus-menerus memaksa untuk keluar dari sudut netranya.

Nathan menyadari hal itu.

Hatinya juga sangat sakit, sama seperti Starla. Dirinya juga merasakan perih yang amat terlalu dalam. Ia tak kuasa melihat gadis yang sudah membuat dirinya jatuh hati, kini harus merasakan luka yang telah diberikan oleh dirinya sendiri kepadanya.

Kedua telapak tangan laki-laki itu kini sedang mengepal kuat-kuat di bawah meja. Bahkan buku-buku jarinya sudah memutih. Kedua kepalan tangan itu bergetar, menandakan betapa emosinya dia saat ini.

“Lohh kalian udah sampe?” suara bariton milik seorang laki-laki menginterupsi mereka semua

Renjana.

Mungkin setelah ini Starla sangat berterima kasih kepada Renja, karena ia telah datang di waktu yang tepat. Renja menyelamatkan Starla di tengah situasi yang sangat tidak mengenakkan ini.

Karena Renja telah membaca semua pesan yang tadi dikirimkan oleh Starla kepada dirinya, lantas tanpa berbasa-basi lebih lama lagi Renja mengajak Starla untuk pergi dari sana.

“Eh sorry banget nih, tapi gue sama Starla duluan ya. Soalnya tadi nyokap bilang ke gue, katanya mau ketemu sama Starla nih hehe.” ucap Renja menjelaskan yang sukses membuat Nathan membulatkan matanya secara sepurna.

Renja menyeringai melihat reaksi Nathan barusan.

©scndbrr

Setelah mendapatkan panggilan dari suster yang bertugas untuk menjaga ibunya malam itu, Starla bergegas untuk pergi masuk ke dalam.

Jari lentiknya terulur untuk meraih gagang pintu kamar rawat inap sang ibu, dan mulai menggesernya ke arah samping untuk membuka pintu tadi.

Setelah pintu terbuka, kini tampaklah seorang wanita yang sudah berumur, namun tetap terlihat cantik. Ia mulai mengembangkan senyum manisnya kala netranya menangkap bayangan putri kecilnya itu.

“Ibu? Ibu ada yang dirasain nggak bu? Ibu pengen apa?” suara lembut milik putri kecilnya itu terdengar mengalun merdu di telinga sang ibu.

“Starla sayang, putri kecilnya ibu...” jawab lirih sang ibu yang tidak menghiraukan pertanyaan dari putrinya barusan.

Marina mulai melakukan pergerakan kecil utuk mencari posisi ternyamannya. Dengan lemah, tangan sang ibu mulai terulur untuk membelai pipi putih nan mulus milik putrinya.

“Starla mau tahu tentang ayah Starla?” tanya sang ibu kepada putrinya.

“Eh bu?” Starla terkejut bukan main, dirinya mengerjapkan matanya berulang kali dan sedikit terlonjak kaget ketika mendengar pertanyaan tiba-tiba yang dituturkan oleh ibunya.

“Maafin ibu ya nak. Ibu nggak pernah menyinggung soal ayah kamu. Karena sebetulnya ibu juga nggak tahu di mana ayah kamu sekarang.” ucap sang ibu menjelaskan.

“Iya bu, nggak apa-apa kok. Starla juga tidak mempermasalahkannya.” jawab Starla dengan jujur.

“Nanti setelah ibu sudah baikan, kita cari bersama-sama ayah kamu ya sayang?”

“Tapi sebelumnya ibu ingin kamu menyimpan foto ini. Dia adalah sosok ayah kamu nak.” tangan kanan Marina memberikan satu lembar kertas foto yang sudah usang dan terdapat banyak lipatan serta sobekan kecil kepada Starla, kemudian menggenggam tangan mungil milik putrinya dengan erat.

Starla bisa merasakan sebuah kehangatan yang sangat membuatnya nyaman dari genggaman tangan ibunya itu.

Setelah memberikan foto laki-laki yang sangat ia cintai, tangan Marina kemudian jatuh ke sisi ranjang, matanya mulai menutup secara tiba-tiba, dan terdengar suara aneh dari mesin yang berada di sebelah nakas tempat ibunya terbaring dengan lemah.

Para dokter dan perawat mulai berdatangan dan mengambil tindakan lanjutan. Starla mematung di tempat dengan keadaan mulutnya yang terbuka dan bulir bening yang mulai memaksa untuk keluar dari sudut netranya.

Ibu Starla telah berpulang untuk selamanya


Malam itu adalah malam terburuk bagi Starla. Dirinya terjatuh dan terduduk lemah di lantai yang sangat dingin ketika mendengarkan dokter mulai mengumumkan waktu kematian sang ibu.

Tercetak dengan jelas bekas aliran air mata pada kedua pipinya matanya terlihat merah dan ikut membengkak, kini sudah tidak terdengar lagi isakan pilu seperti saat di awal tadi.

Tatapannya kosong dan otaknya masih sulit untuk dapat diajak bekerja sama untuk menerima semua kenyataan pahit ini.

Bagaimana bisa semesta begitu kejam kepada dirinya?

Baru saja gadis itu merasa senang karena mendapati ibunya yang sudah siuman setelah hampir 1 bulan penuh ini tidak sadarkan diri.

Baru saja dirinya mengetahui tentang sosok sang ayah yang sangat amat Starla rindukan kehadirannya di dalam hidupnya.

Baru saja mereka berdua berjanji akan mencari keberadaan sang ayah bersama-sama.

Baru saja.

Semuanya itu baru saja terjadi.

Namun mengapa dengan cepat Tuhan merampas sedikit kebahagian Starla yang bahkan datangnya itu 'baru saja'.

Kenapa?

Gadis itu kini telah kehilangan dunianya.

Semua harapan yang dimiliki oleh dirinya runtuh seketika.

Bahkan jika ditanya, mungkin ia akan menjawab bahwa dirinya sudah tidak memiliki semangat untuk dapat terus melanjutkan hidupnya.

Dirinya merasa seperti sedang berada di atas puncak komedi. Dan dia amat membenci siapapun yang tengah mengendalikan keadaannya kini.

Ia ingin marah kepada semesta dan pencipta-Nya.

Ia juga ingin bertanya mengapa dirinya harus memiliki takdir kehidupan yang penuh dengan lika-liku seperti ini?

Dosa apa yang telah ia perbuat hingga Sang Pencipta menghukumnya dengan sangat berat.

Dirinya mempunyai salah apa?

Bukankah sejak kecil ia dan ibunya itu selalu hidup dalam kesederhanaan, tidak pernah melukai orang lain, dan tidak pernah berlaku buruk kepada orang lain?

Namun sekali lagi mengapa semesta berlaku secara tidak adil kepada mereka berdua?

©scndbrr

Suasana ruang tamu di kediaman keluarga Adiwangga itu sangat menegangkan. Tercetak dengan jelas urat leher pada kedua pria yang sedang saling beradu argumen, menandakan bahwa keduanya sama-sama dalam keadaan emosi.

“GAK! NATHAN GAK MAU!! POKOKNYA NATHAN GAK MAU DIJODOHIN!!!”

“HEH SUDAH BERANI KAMU YA MELAWAN PAPA?! APA YANG PAPA BILANG BARUSAN ITU BUKAN MENANYAKAN PENDAPAT KAMU!! TAPI PAPA CUMA SEKEDAR MEMBERITAHU KAMU SAJA, JADI KAMU HARUS TERIMA PERJODOHAN INI, NGERTI?!!”

“Nathan, nak dengerin apa kata papa ya? Papa mau jodohin kamu sama perempuan baik-baik kok. Jadi kamu terima aja ya nak?”

“Ma, mau sampai kapan kalian jadiin Nathan sebagai boneka kalian? SAMPAI KAPAN MA, NATHAN TANYA?!!”

“Than, stop! Kamu ga boleh ngebentak mama kayak gitu!”

“Gue capek kak, capek banget rasanya. Kenapa sih ga ada satu orang pun di rumah ini yang bisa ngertiin gue? KENAPA HAH?!!”

Setelah mengeluarkan semua unek-unek yang selalu terpendam jauh di dalam lubuk hatinya itu, Nathan mengambil kunci mobilnya lantas melenggang entah pergi ke mana. Yang pasti, dirinya enggan berlama-lama di dalam rumah yang sudah ia anggap sebagai neraka itu dari sejak ia kecil.


Nathaniel Adiwangga, putra bungsu di keluarga Adiwangga yang merupakan anak dari pasangan suami istri Sebastian Adiwangga dan Yura Serevisya.

Mungkin banyak sekali orang-orang yang ada di luar sana, yang ingin menjadi seperti dirinya. Terlahir dari keluarga konglomerat yang terpandang dan eksistensinya sangat berpengaruh pada dunia perbisnisan.

Namun, siapa sangka? Jika ternyata dirinya selama ini sangat muak akan semua previllege yang ia miliki.

Bukan, bukannya tidak bersyukur. Nathan sungguh merupakan cerminan dari orang yang sedang tinggal di neraka, lengkap dengan siksaan pada fisik dan mentalnya.

Bahkan sejak ia lahir ke dunia ini, ia tidak pernah mencicipi ASI dari ibu kandungnya sendiri. Tidak pernah digendong ketika menangis. Tidak pernah juga mendengar cerita anak-anak dari mulut papanya sebelum ia pergi ke dunia mimpinya.

Mama dan Papanya semua saja, mereka selalu berdalih dan mengatakan “saya sibuk” ketika Nathan kecil mengajak mereka untuk bermain bersamanya.

Dapat dihitung dengan jari berapa kali Nathan makan bersama dengan keluarganya pada waktu dan di satu meja yang sama. Hal itu bahkan berlaku ketika dirinya sedang berulang tahun.

Mungkin terdapat banyak kado dan hadiah yang diberikan kepadanya lengkap dengan surat yang bertuliskan ucapan “Selamat ulang tahun”. Namun, tidak ada satupun anggota keluarganya yang mengucapkan hal itu secara langsung kepada Nathan.

Ah, kalian pasti bertanya dimana Kak Jeffin, kakak laki-lakinya Nathan itu ketika Nathan sedang kesepian?

Dari dulu dirinya juga selalu ditekan oleh kedua orang tuanya. Ia harus terus-menerus belajar dan wajib mendapatkan peringkat satu di kelasnya.

Awalnya, Jeffin melakukan itu semua demi melindungi adik kecilnya, Nathan. Ia berharap supaya biar dirinya sajalah yang selalu dijadikan objek untuk pemuas kedua orang tuanya. Jangan sampai adiknya juga ikut terseret.

Namun, hal itu justru membuat Nathan semakin terpojok di sudut ruangan. Niat baik yang dimiliki olehnya menjadi sebuah pukulan keras bagi adik tersayangnya itu. Mama dan papanya menjadi sering membanding-bandingkan dirinya dengan Nathan.

Ketika Nathan mulai menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, ia tidak memiliki banyak teman. Ralat, bahkan tidak ada satu anak pun yang mau berteman dengan dirinya. Entah apa alasan anak-anak seusia Nathan pada saat itu sehingga mereka bersikap demikian.

Parahnya lagi, di saat Nathan mendapatkan tindakan perundungan dari teman-teman sekolahnya, Sebastian, papanya itu bukannya membela putra bungsunya, melainkan justru menyalahkan semuanya kepada Nathan.

Setiap Nathan pulang dari sekolah dan memiliki luka di beberapa bagian tubuhnya, Sebastian langsung menyeret Nathan ke dalam gudang yang ada di belakang rumah.

Betul sekali apa yang sedang kalian pikirkan sekarang. Gudang itu, gudang tempat Nathan menyiksa Starla.

Sangatlah tidak mungkin, apabila Sebastian ingin mengobati luka Nathan di tempat gelap nan kotor itu. Jadi sudah dapat dipastikan di dalam ruangan sumpek itu, Nathan akan mendapatkan luka baru yang membuat lukanya yang tadi sudah mengering, kini kembali mengeluarkan darah segar.

Sebastian menyiksa, mencaci-maki, bahkan juga mengancam Nathan dengan sangat kejam. Ia berkata kepada putranya itu, bahwa jika Nathan masih saja dirundung oleh teman-teman yang ada di sekolahnya. Maka bukan anak-anak itulah yang akan angkat kaki dari sana, melainkan Nathan yang akan ia tarik keluar dari sekolah itu dan membiarkannya tidak perlu sekolah saja sekalian.

Diliputi oleh rasa takut yang luar biasa, mulai dari hari itu Nathan yang merupakan anak laki-laki manis dan baik hati kini berubah menjadi seseorang yang sangat kejam dan suka merundung orang lain.

Tidak hanya itu, bahkan Nathan sudah mulai mengenal gelapnya dunia malam ketika usianya belum genap mencapai angka 17 tahun. Hal itu ia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit hatinya pada keluarga yang sangat ia sayangi.

Kata orang, mabuk-mabukan itu nggak baik buat kesehatan. Di lingkungan sosial pun, oknum tersebut akan dikucilkan oleh masyarakat.

Tapi tidak untuk Nathan. Karena bagi dirinya, satu tegukan dari minuman beralkohol itu akan melupakan rasa sedih, kecewa, dan terluka yang ia miliki.

Tenang, Nathan juga tidak sebodoh itu untuk terjun ke dalam dunia obat-obatan dan seks bebas. Dirinya tetap mengetahui batasan-batasan yang dapat ia langgar serta yang tidak dapat ia langgar.

Setelah sering melakukannya, semua hal buruk itu menjadi sebuah kebiasaan baru. Dirinya merasa lebih tenang untuk bermalam di club atau bar tempat ia bermabuk-mabukan ketimbang tidur di kediaman keluarga Adiwangga.

Sebastian dan Yura sebetulnya mengetahui bahwa putra bungsu mereka telah terjerumus ke dalam lubang hitam. Namun sayangnya tidak ada satupun dari mereka berdua yang memiliki niat untuk mengulurkan tangannya dan menarik Nathan keluar dari sana.

Sebastian sering melakukan perjalanan bisnis ke luar kota hingga ke luar negeri. Jika dirinya pulang ke rumah, Nathan harus merelakan tubuh atletisnya menjadi samsak bagi layangan tinju sang papa.

Terkadang Nathan sangat bingung, bahkan hingga pernah terbesit satu pertanyaan konyol ini di dalam otaknya, “Sebenernya gue itu anak kandung mereka apa bukan sih?”

Bagaimana?

Bisa kalian semua bayangkan bukan, betapa tersiksanya menjadi seorang Nathaniel Adiwangga.

Harus bisa menjadi putra yang sempurna sama seperti kakaknya di hadapan mamanya. Padahal sejak dulu, Yura tidak pernah peduli dan memberikan kasih sayang seorang ibu kepada Nathan.

Kemudian juga harus bisa menjadi laki-laki kuat yang tidak di-bully oleh teman-teman sekolahnya di hadapan papanya. Padahal Sebastian tidak pernah mengobati luka pada tubuh Nathan, melainkan memberi luka baru padanya.

Sampai disini, apakah kalian sudah bisa memahami suara apa yang terus berteriak dari dalam hati kecil Nathan?

Kurang lebih seperti ini,

“Stop, berhenti. Gue capek hidup kayak gini. Rasanya gue pengen nyerah aja.”

©scndbrr

“Bell”

“Hm?”

“Aku seneng banget tau akhir-akhir ini!!”

“Kenapa, La?”

“Ya karena kamu.”

“Hah?”

“Kamu itu temen dan sahabat pertama buat aku.”

“Hahahah ohh itu, santai aja kali.”

“Jangan pergi cepet ya Bell? temenin aku misal ibu nanti pergi duluan...”

“Iya La, pasti. Gue ga akan ke mana-mana kok.”

“Pokoknya kita harus sahabatan sampai tua ya?”

“Iya dong”

“Janji?”

“Janji.”

©scndbrr

Seorang gadis sedang duduk pada bangku yang terletak di sudut taman sebuah rumah sakit. Pandangan yang dipancarkan oleh netranya yang bewarna kecoklatan itu terlihat kosong. Setelah mendengar penjelasan yang diberikan oleh dokter yang bertugas sebagai penanggung jawab ibunya tadi, dirinya menjadi seperti orang linglung yang tak tahu arah.

“Sel kanker masih terus-menerus menggerogoti tubuh pasien.” “Semua metode pengobatan yang dapat dilakukan sudah kami coba tempuh. Namun, sangat disayangkan semua hal itu tidak berbuah baik kepada beliau.” “Dimohon saudara untuk selalu berdoa kepada Yang Maha Kuasa dan berserah diri kepada-Nya.” “Persiapkan juga untuk kemungkinan-kemungkinan terburuknya...”

Rangkaian kata yang keluar dari mulut sang dokter mampu membuat hati Starla mencelos saat itu juga. Tidak, gadis muda itu belum siap apabila ia harus ditinggalkan oleh sosok yang selama 21 tahun ia hidup ini telah menjadi dunianya. Dirinya terlampau takut karena hanya ibunya seorang lah yang ia miliki saat ini.

Ketika sedang larut dalam pikirannya yang tengah berkecamuk dan mulai mengalir bulir bening dari kedua sudut matanya, Starla tersentak kaget saat tiba-tiba ada seorang gadis muda lain yang duduk di sebelahnya dan mulai bersuara menginterupsi.

“Hi!” “Ih lo cantik banget tau, tapi kok lagi nangis?” “Kenapa? lo lagi ada masalah ya? “Yah walaupun ada jangan sedih dong.” “Itu muka lo jadi jelek tau gara-gara basah kena air mata.” “Oh iya nama lo siapa deh? gue pengen kenalan.” “Kalo nama gue Bella.”

Wajah Starla terlihat sangat kebingungan melihat gadis muda itu yang terus saja nyerocos mengutarakan apa yang ada di isi kepalanya. Namun karena dirinya merasa tidak enak hati apabila tidak menjawab pertanyaan gadis tadi, lantas dirinya mulai menjawabnya satu per satu.

“Ha-halo juga? nama saya Starla, Starla Zeanetta lengkapnya. Saya takut kehilangan ibu saya, ibu saya sedang sakit parah dan kini beliau dirawat di rumah sakit ini.”

“Wah cantik banget nama lo, sama kayak lo sih hahaha” “Jangan takut La... Gue juga lagi sakit, bahkan para dokter di sini aja juga udah pada angkat tangan sama keadaan gue. Tapi coba deh lo liat, gue tetep optimis kan? Tau nggak kenapa?”

Starla yang sedang menyimak penuturan Bela dengan seksama itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Karena gue yakin, yakin banget kalo Tuhan itu bakal ngasih kita jalan yang terbaik. Semuanya itu udah digariskan sama Tuhan. Jadi, ya kita tinggal nerima dan jalanin semuanya dengan lapang dada.” setelah mengakhiri perkataannya sendiri, Bela lantas menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Starla.

“Terima kasih banyak ya, Bel? Kamu udah buat saya merasa sedikit lega dan terhibur.”

“Sama-sama, La.” “Eits ada bayarannya loh... Nggak bisa gratis gitu aja dong abis dengerin sesinya Bela Teguh.”

“Hahaha ada-ada saja kamu ini. Memangnya bayarannya apa?”

“Jadi temen gue ya, La? Please... please... lo mau kan?”

“Tapi saya belum pernah punya teman sebelumnya. Kamu tidak masalah, Bel?”

Bukannya menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Starla kepadanya, Bela justru memajukan tubuhnya dan langsung memeluk erat tubuh Starla.

“Mulai sekarang kita temenan yeay!!” “Lo harus banyak cerita tentang diri lo ke gue. Jangan dipendem sendirian kalo lagi ada masalah tuh, ntar jadi penyakit aja baru tau rasa lo!”

“Iya, iya. Kamu juga ya? Kalo lagi kesakitan, kamu boleh panggil aku.”

Kedua gadis itu melengkungkan bibir, tersenyum bahagia dibawah indahnya langit sore di taman rooftop rumah sakit. Mereka akhirnya mendapatkan seorang teman yang nantinya akan selalu ada untuk mereka masing-masing. Semoga saja demikian untuk selamanya.

©scndbrr

Setelah mendengar rentetan kata yang dituturkan dari mulut Hesa dan juga melihat secara langsung room chat Hesa dengan Starla, Nathan dengan segera bangkit berdiri dari posisi duduknya sekarang. Netranya memancarkan secara gamblang adanya kepanikan yang tiada tara. Ia amat cemas dengan perempuan itu, Starla.

Secepat mungkin yang dirinya bisa, Nathan berlari melangkahkan kakinya keluar dari sebuah club yang tadinya ia pikir tempat itu akan menemani kegalauannya hari ini. Laki-laki itu sedang berada dalam mood yang buruk karena sahabat karibnya berencana untuk menyatakan perasaannya kepada Starla. Kalian benar, Nathan sudah jatuh hati kepada Starla.

Setelah sampai di parkiran, ia langsung masuk ke dalam mobil, duduk pada kursi kemudi kemudian mulai melajukan kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dirinya tidak menghiraukan teriakan dari ketiga sahabatnya yang sejak tadi telah menyebutkan namanya berulang-ulang kali sampai tak terhitung banyaknya.

Karena hanya ada satu hal saja yang terpikirkan di dalam benak seorang Nathaniel Adiwangga saat ini. Ia harus segara dapat sampai di tempat Starla sekarang berada. Jangan sampai dirinya terlambat barang satu detik pun untuk perempuan itu, karena Nathan tahu sebrengsek apa seorang Hugo Danuarta.

Beruntung hari sudah menjelang larut malam, itu tandanya kini jalan raya sedang senggang tidak sepadat saat orang-orang berangkat maupun pulang bekerja. Laki-laki itu dapat dengan leluasa mengemudikan kendaraannya dengan brutal dan melajukannya dengan kecepatan yang di atas rata-rata. Ia dengan rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Semua itu ia lakukan demi seorang Starla Zeanetta.


Sungguh malang nasib Starla. Gadis muda itu kini tengah dikepung oleh segerombol laki-laki yang terlihat bernafsu akan dirinya. Sejak tadi, ia sudah merapalkan berbagai macam doa dan tak lupa menyebutkan nama Nathan berulang kali, berharap laki-laki itu akan muncul saat ini juga. Ia sangat mengharapkan laki-laki itu untuk dapat menyelamatkannya dari kondisi ini.

“Hey, jangan takut gitu dong cantik.” “Urusan kita yang tempo hari kan belum selesai sayang.” “Ayok sini, kita mau main seneng-seneng bareng lohh.”

“BERHENTI DI SANA! JANGAN ADA YANG MAJU SELANGKAH PUN LAGI!! ATAU SAYA AKAN TERIAK SEKARANG JUGA!!!”

“Ya udah coba aja kalo mau teriak.” “Di sini itu daerahnya sepi, jadi ga bakal ada orang yang denger kamu.” “Udah ayok lah buruan, gue udah ga tahan njing!” “Bangsat ngebet amat lu liat cewek cantik!”

Dengan kurang ajar Hugo dan teman-temannya mulai melancarkan aksi mereka. Hugo mendorong dengan keras dan kasar tubuh Starla ke tanah kemudian ia mengukung gadis yang sedang berteriak dan menangis ketakutan akibat perlakuannya itu. Ketiga teman Hugo yang lain membagi tugas untuk masing-masing dari mereka memegangi kedua tangan dan kaki Starla. Hal itu akan memudahkan akses Hugo terhadap Starla.

“AAAAAAAAAA TOLONG!! SIAPAPUN YANG ADA DI LUAR SANA TOLONGIN SAYA DI DALAM SINI!!”

“Sssttttt diem dulu bisa ga sih, ntar ga nikmat loh”

Setelah mengatakan kata yang menjijikan itu Hugo mulai merobek paksa kemeja yang membalut tubuh ramping Starla. Dirinya tidak menghiraukan jeritan pilu dari perempuan yang kini sedang berada di bawahnya. Karena dengan tenaganya yang terlampau kuat, Hugo mampu membuat kancing-kancing kemeja milik Starla berjatuhan.

Kini sudah terbukalah bagian dada Starla. Hugo yang sekilas melihat pemandangan di depan netranya mulai berkabut oleh nafsu gairah. Dirinya kemudian memajukan wajahnya dengan niatan untuk mencicipi bibir merah muda milik Starla. Namun sangat disayangkan, karena yang harus Hugo rasakan kini adalah sebuah bogeman mentah yang sangat keras mendarat dengan apik di pipi mulusnya.

“MINGGIR GA LO ANJINGG!!” BUGH “BRENGSEKK COWOK GA GUNA BANGSATT!!!” BUGH “BAJINGANN MENDINGAN MATI AJA LO SANA!!!” BUGH

Orang yang datang tiba-tiba itu adalah Nathan, sekarang dirinya sedang memukili wajah rupawan milik Hugo dengan membabi buta. Dapat dipastikan apabila tidak dihentikan sekarang juga, laki-laki itu akan tinggal nama saja.

“K-kak...” “Kak udah!” “Kak udah kak!!” “KAK NATHAN STOP, AKU BILANG UDAH!!!” ucap Starla dengan mengalungkan kedua lengannya memeluk erat tubuh kekar milik Nathan dari belakang. Suara gadis itu bergetar hebat karena dirinya kini sedang menangis.

Nathan yang mendengar suara perempuan itu dan merasakan pelukan hangat pada tubuhnya lantas membalikkan badannya. Ia menatap lamat-lamat wajah Starla yang penuh dengan air mata dan keringat. Ditambah lagi penampilannya yang sangat berantakan dengan kemejanya yang sudah terbuka. Tanpa berlama-lama lagi, Nathan merengkuh tubuh mungil Starla ke dalam dekapan hangatnya. Ia menyebunyikan wajah cantik Starla pada dada bidangnya.

“Maaf...” “Maafin aku, La...” “Maaf karena aku datang terlambat buat kamu.” ucap Nathan dengan lirih sambil mengeratkan rengkuhannya. Bersamaan dengan itu, tanpa ia sadari mengalir juga bulir bening dari sudut netranya.

©scndbrr

Gadis itu terlihat sangat rupawan pada malam hari ini. Riasan sederhana yang melekat pada wajah cantiknya, dan juga balutan gaun berwarna hitam pekat yang panjangnya hanya selutut pada tubuh rampingnya itu, mampu menambahkan kesan menawan pada dirinya.

Hesa adalah oknum yang membelikan gaun, tas, bahkan sepatu yang kini digunakan oleh Starla. Padahal dari awal Starla sudah menolak, namun Hesa bersikukuh untuk memberikan semua itu kepadanya. Karena tidak tega dengan wajah melas Hesa, maka Starla akhirnya menerima semua pemberian darinya.

Starla kini sedang duduk manis di bangku taman depan rumah keluarga Adiwangga menunggu kedatangan Hesa yang akan menjemputnya.

Kedua sudut bibirnya yang mungil itu tiada lelahnya untuk tertarik ke atas menandakan bahwa gadis ini sedang tersenyum. Wajahnya terlihat amat berseri-seri, ia sangat bahagia karena bisa mendatangi sebuah pesta perayaan ulang tahun yang diadakan oleh fakultas kampusnya Nathan.

Lain halnya dengan Starla yang sudah tidak sabar untuk menghadiri acara tersebut. Di sisi lain, terdapat seorang laki-laki yang menggunakan kemeja berwarna hitam dibalut dengan sebuah jas hitam pula pada balkon rumahnya dengan muka yang tertekuk masam.

Dia adalah Nathan.


Tidak lama kemudian, datanglah sebuah mobil pajero sport berwarna putih milik Hesa yang akan membawa Starla pergi. Gentle, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan seorang Hesatya Kautsar.

Ia dengan senang hati merepotknya dirinya sendiri untuk turun dari kursi pemudi, lalu membukakan pintu masuk kursi penumpang yang ada di sebelah sisinya untuk Starla. Tidak hanya itu, ia juga mengulurkan tangannya untuk menjaga supaya dahi milik perempuan itu tidak terkantuk bagian mobil.

Nathan menyaksikan semua kejadian itu dari atas balkon rumahnya.

“Makanya kalau suka sama cewek itu disayang, bukannya malah disiksa, Than.” suara bass yang berat itu menggaung di indera pendengaran milik Nathan, membangungkan dirinya yang sedang terlarut dalam sebuah lamunannya sendiri.

“Paan sih kak! Siapa juga yang suka sama dia?!” jawab Nathan dengan sewot dan ketus.

“Hahaha... tatapan mata kamu itu nggak bisa bohong, Than. Kakak bisa lihat semuanya dengan jelas.” balas sang kakak sambil menyeringai kecil ke arah adiknya.


Tidak mau ambil pusing soal kejadian tadi, kini Nathan dan teman-temannya yang lain sedang berada di sebuah ruangan VVIP. Kenapa dikatakan sebuah ruangan VVIP? Jawabannya adalah karena disini juga disediakan minuman yang seharusnya tidak disajikan. Keluarga Adiwangga adalah keluarga yang cukup berpengaruh di kampus Nathan, maka tidak heran jika hal seperti ini dapat terjadi.

Di sini juga ada Starla, gadis itu sejak tadi tidak pernah menjauh barang 1 cm pun dari Hesa. Hesa juga menyeleksi minuman-minuman yang akan diteguk oleh perempuan yang berada di sampingnya ini. Jangan sampai Starla justru menyesap sebuah rasa pahit dari minuman beralkohol.

Karena suana hatinya sedang tidak baik, Nathan menjadi lepas kendali. Ia tidak dapat mengontrol dirinya lagi untuk tidak meneguk beberapa botol alkohol di sana.

Merasa bahwa kantung kemihnya sudah terlampau penuh, Starla izin ke kamar mandi terlebih dahulu. Awalnya Hesa menawarkan diri untuk menemaninya, namun niat baik dari laki-laki itu ditolak dengan dalih tidak mau merepotkan oleh Starla.

Ketika sudah selesai dengan urusannya, Starla dikejutkan oleh sebuah tarikan kasar yang mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat ketika ia baru saja membuka pintu kamar mandi. Perempuan itu amat terkejut dan sempat ingin berteriak, namun ia urungkan sebab ia mengenali orang yang menariknya.

“Kak” “Kak Nathan mabuk ya?” “Kita pulang sekarang aja ya kak?”

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Starla diabaikan oleh Nathan. Secara tiba-tiba dirinya justru meraih kembali tangan Starla dan menariknya dengan cepat hingga Starla yang belum siap pun langsung masuk ke dalam dekapannya.

Hening

Selama lima menit lamanya mereka berdua berdiri dalam posisi seperti ini. Tidak ada yang mau untuk memulai percakapan di antara mereka berdua. Ketika Starla mulai bergerak tidak nyaman ingin segera menyudahi pelukan dari tuan mudanya, Nathan justru mengeratkan dekapannya lagi.

“Kak?” “...” “Kak lepasin Starla, nggak enak kalau ada yang lihat kita begini” “...” “Kak Nathan” “Jangan deket Hesa.” “...” “Gue bilang, lo jangan deket-deket sama Hesa, La.”

©scndbrr