Di Caffe
Starla, gadis itu masih berkutat dengan soal matematika yang kini sedang ia kerjakan. Beruntung dirinya merupakan anak pinar yang dapat dengan mudah memahami penjabaran tentang materi yang telah dipaparkan oleh Renja tadi sebelum ia pergi ke kampus mengurus urusannya dengan anak Hima.
“Starla!”
Ketika masih sibuk menghitung deretan angka yang tertulis pada selembar kertas putih, dirinya sontak mengalihkan seluruh atensinya ke arah sumber suara yang baru saja memanggil namanya itu.
Bela dan Nathan.
Dari arah pukul jam 10 datanglah kedua orang yang sebetulnya sangat ingin Starla hindari. Namun sangat disayangkan, karena dirinya harus berjumpa dengan mereka berdua di sini.
“Loh Renja ke mana, La?” tanya Bela sambil meletakkan tas selempangnya pada kursi kosong yang ada di sebelahnya.
“Kak Renja lagi ada urusan sebentar di kampus katanya tadi.” jawab Starla dengan jujur.
Setelah Starla mengetahui bahwa Bela dijodohkan oleh Nathan, hubungannya dengan Bela kini menjadi agak renggang. Mereka jarang pergi keluar bersama atau sekedar untuk bertukar pesan melalui ponsel.
Sebetulnya Starla yang menghindar dari Bela, karena Bela masih tetap menjadi pribadi yang sangat amat cerewet di mata Starla.
Ketika Bela dan Starla terhanyut dalam obrolan mereka sendiri, terdapat seorang laki-laki yang duduk di seberang mereka, menatap mereka berdua dengan tatapan yang sangat sulit untuk dapat diartikan.
Dia adalah Nathan.
Nathan sebetulnya sangat rindu dengan gadis yang kini sedang berada di hadapannya. Setelah terakhir kali menemani Starla ketika pemakaman ibunya, Nathan tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan Starla lagi.
Nathan paham betul bahwa Starla sudah mengetahui perihal perjodohannya dengan Bela. Dan Nathan juga tahu jika Starla secara terang-terangan menjaga jarak darinya.
Ancaman dari papanya, Sebastian membuat laki-laki itu tidak dapat berkutik. Dirinya terlampau takut apabila gadis yang sangat ia sayangi akan terluka karenanya sendiri.
Maka dari itulah, Nathan juga tidak lantas selalu berada di dekat Starla akhir-akhir ini. Ia tahu bahwa mata-mata papanya itu sangatlah banyak jumlahnya dan mereka semua akan selalu mengawasi dia setiap saat.
Saat ini Bela sedang bercerita dengan antusias kepada Starla mengenai soal pertunangannya yang akan berlangsung satu minggu lagi.
Starla hanya menanggapinya dengan senyuman yang terlihat sedang dipaksakan pada bibirnya. Ia mati-matian menahan bulir bening yang dari tadi terus-menerus memaksa untuk keluar dari sudut netranya.
Nathan menyadari hal itu.
Hatinya juga sangat sakit, sama seperti Starla. Dirinya juga merasakan perih yang amat terlalu dalam. Ia tak kuasa melihat gadis yang sudah membuat dirinya jatuh hati, kini harus merasakan luka yang telah diberikan oleh dirinya sendiri kepadanya.
Kedua telapak tangan laki-laki itu kini sedang mengepal kuat-kuat di bawah meja. Bahkan buku-buku jarinya sudah memutih. Kedua kepalan tangan itu bergetar, menandakan betapa emosinya dia saat ini.
“Lohh kalian udah sampe?” suara bariton milik seorang laki-laki menginterupsi mereka semua
Renjana.
Mungkin setelah ini Starla sangat berterima kasih kepada Renja, karena ia telah datang di waktu yang tepat. Renja menyelamatkan Starla di tengah situasi yang sangat tidak mengenakkan ini.
Karena Renja telah membaca semua pesan yang tadi dikirimkan oleh Starla kepada dirinya, lantas tanpa berbasa-basi lebih lama lagi Renja mengajak Starla untuk pergi dari sana.
“Eh sorry banget nih, tapi gue sama Starla duluan ya. Soalnya tadi nyokap bilang ke gue, katanya mau ketemu sama Starla nih hehe.” ucap Renja menjelaskan yang sukses membuat Nathan membulatkan matanya secara sepurna.
Renja menyeringai melihat reaksi Nathan barusan.
©scndbrr