Kisah Nathan

Suasana ruang tamu di kediaman keluarga Adiwangga itu sangat menegangkan. Tercetak dengan jelas urat leher pada kedua pria yang sedang saling beradu argumen, menandakan bahwa keduanya sama-sama dalam keadaan emosi.

“GAK! NATHAN GAK MAU!! POKOKNYA NATHAN GAK MAU DIJODOHIN!!!”

“HEH SUDAH BERANI KAMU YA MELAWAN PAPA?! APA YANG PAPA BILANG BARUSAN ITU BUKAN MENANYAKAN PENDAPAT KAMU!! TAPI PAPA CUMA SEKEDAR MEMBERITAHU KAMU SAJA, JADI KAMU HARUS TERIMA PERJODOHAN INI, NGERTI?!!”

“Nathan, nak dengerin apa kata papa ya? Papa mau jodohin kamu sama perempuan baik-baik kok. Jadi kamu terima aja ya nak?”

“Ma, mau sampai kapan kalian jadiin Nathan sebagai boneka kalian? SAMPAI KAPAN MA, NATHAN TANYA?!!”

“Than, stop! Kamu ga boleh ngebentak mama kayak gitu!”

“Gue capek kak, capek banget rasanya. Kenapa sih ga ada satu orang pun di rumah ini yang bisa ngertiin gue? KENAPA HAH?!!”

Setelah mengeluarkan semua unek-unek yang selalu terpendam jauh di dalam lubuk hatinya itu, Nathan mengambil kunci mobilnya lantas melenggang entah pergi ke mana. Yang pasti, dirinya enggan berlama-lama di dalam rumah yang sudah ia anggap sebagai neraka itu dari sejak ia kecil.


Nathaniel Adiwangga, putra bungsu di keluarga Adiwangga yang merupakan anak dari pasangan suami istri Sebastian Adiwangga dan Yura Serevisya.

Mungkin banyak sekali orang-orang yang ada di luar sana, yang ingin menjadi seperti dirinya. Terlahir dari keluarga konglomerat yang terpandang dan eksistensinya sangat berpengaruh pada dunia perbisnisan.

Namun, siapa sangka? Jika ternyata dirinya selama ini sangat muak akan semua previllege yang ia miliki.

Bukan, bukannya tidak bersyukur. Nathan sungguh merupakan cerminan dari orang yang sedang tinggal di neraka, lengkap dengan siksaan pada fisik dan mentalnya.

Bahkan sejak ia lahir ke dunia ini, ia tidak pernah mencicipi ASI dari ibu kandungnya sendiri. Tidak pernah digendong ketika menangis. Tidak pernah juga mendengar cerita anak-anak dari mulut papanya sebelum ia pergi ke dunia mimpinya.

Mama dan Papanya semua saja, mereka selalu berdalih dan mengatakan “saya sibuk” ketika Nathan kecil mengajak mereka untuk bermain bersamanya.

Dapat dihitung dengan jari berapa kali Nathan makan bersama dengan keluarganya pada waktu dan di satu meja yang sama. Hal itu bahkan berlaku ketika dirinya sedang berulang tahun.

Mungkin terdapat banyak kado dan hadiah yang diberikan kepadanya lengkap dengan surat yang bertuliskan ucapan “Selamat ulang tahun”. Namun, tidak ada satupun anggota keluarganya yang mengucapkan hal itu secara langsung kepada Nathan.

Ah, kalian pasti bertanya dimana Kak Jeffin, kakak laki-lakinya Nathan itu ketika Nathan sedang kesepian?

Dari dulu dirinya juga selalu ditekan oleh kedua orang tuanya. Ia harus terus-menerus belajar dan wajib mendapatkan peringkat satu di kelasnya.

Awalnya, Jeffin melakukan itu semua demi melindungi adik kecilnya, Nathan. Ia berharap supaya biar dirinya sajalah yang selalu dijadikan objek untuk pemuas kedua orang tuanya. Jangan sampai adiknya juga ikut terseret.

Namun, hal itu justru membuat Nathan semakin terpojok di sudut ruangan. Niat baik yang dimiliki olehnya menjadi sebuah pukulan keras bagi adik tersayangnya itu. Mama dan papanya menjadi sering membanding-bandingkan dirinya dengan Nathan.

Ketika Nathan mulai menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, ia tidak memiliki banyak teman. Ralat, bahkan tidak ada satu anak pun yang mau berteman dengan dirinya. Entah apa alasan anak-anak seusia Nathan pada saat itu sehingga mereka bersikap demikian.

Parahnya lagi, di saat Nathan mendapatkan tindakan perundungan dari teman-teman sekolahnya, Sebastian, papanya itu bukannya membela putra bungsunya, melainkan justru menyalahkan semuanya kepada Nathan.

Setiap Nathan pulang dari sekolah dan memiliki luka di beberapa bagian tubuhnya, Sebastian langsung menyeret Nathan ke dalam gudang yang ada di belakang rumah.

Betul sekali apa yang sedang kalian pikirkan sekarang. Gudang itu, gudang tempat Nathan menyiksa Starla.

Sangatlah tidak mungkin, apabila Sebastian ingin mengobati luka Nathan di tempat gelap nan kotor itu. Jadi sudah dapat dipastikan di dalam ruangan sumpek itu, Nathan akan mendapatkan luka baru yang membuat lukanya yang tadi sudah mengering, kini kembali mengeluarkan darah segar.

Sebastian menyiksa, mencaci-maki, bahkan juga mengancam Nathan dengan sangat kejam. Ia berkata kepada putranya itu, bahwa jika Nathan masih saja dirundung oleh teman-teman yang ada di sekolahnya. Maka bukan anak-anak itulah yang akan angkat kaki dari sana, melainkan Nathan yang akan ia tarik keluar dari sekolah itu dan membiarkannya tidak perlu sekolah saja sekalian.

Diliputi oleh rasa takut yang luar biasa, mulai dari hari itu Nathan yang merupakan anak laki-laki manis dan baik hati kini berubah menjadi seseorang yang sangat kejam dan suka merundung orang lain.

Tidak hanya itu, bahkan Nathan sudah mulai mengenal gelapnya dunia malam ketika usianya belum genap mencapai angka 17 tahun. Hal itu ia lakukan untuk mengalihkan rasa sakit hatinya pada keluarga yang sangat ia sayangi.

Kata orang, mabuk-mabukan itu nggak baik buat kesehatan. Di lingkungan sosial pun, oknum tersebut akan dikucilkan oleh masyarakat.

Tapi tidak untuk Nathan. Karena bagi dirinya, satu tegukan dari minuman beralkohol itu akan melupakan rasa sedih, kecewa, dan terluka yang ia miliki.

Tenang, Nathan juga tidak sebodoh itu untuk terjun ke dalam dunia obat-obatan dan seks bebas. Dirinya tetap mengetahui batasan-batasan yang dapat ia langgar serta yang tidak dapat ia langgar.

Setelah sering melakukannya, semua hal buruk itu menjadi sebuah kebiasaan baru. Dirinya merasa lebih tenang untuk bermalam di club atau bar tempat ia bermabuk-mabukan ketimbang tidur di kediaman keluarga Adiwangga.

Sebastian dan Yura sebetulnya mengetahui bahwa putra bungsu mereka telah terjerumus ke dalam lubang hitam. Namun sayangnya tidak ada satupun dari mereka berdua yang memiliki niat untuk mengulurkan tangannya dan menarik Nathan keluar dari sana.

Sebastian sering melakukan perjalanan bisnis ke luar kota hingga ke luar negeri. Jika dirinya pulang ke rumah, Nathan harus merelakan tubuh atletisnya menjadi samsak bagi layangan tinju sang papa.

Terkadang Nathan sangat bingung, bahkan hingga pernah terbesit satu pertanyaan konyol ini di dalam otaknya, “Sebenernya gue itu anak kandung mereka apa bukan sih?”

Bagaimana?

Bisa kalian semua bayangkan bukan, betapa tersiksanya menjadi seorang Nathaniel Adiwangga.

Harus bisa menjadi putra yang sempurna sama seperti kakaknya di hadapan mamanya. Padahal sejak dulu, Yura tidak pernah peduli dan memberikan kasih sayang seorang ibu kepada Nathan.

Kemudian juga harus bisa menjadi laki-laki kuat yang tidak di-bully oleh teman-teman sekolahnya di hadapan papanya. Padahal Sebastian tidak pernah mengobati luka pada tubuh Nathan, melainkan memberi luka baru padanya.

Sampai disini, apakah kalian sudah bisa memahami suara apa yang terus berteriak dari dalam hati kecil Nathan?

Kurang lebih seperti ini,

“Stop, berhenti. Gue capek hidup kayak gini. Rasanya gue pengen nyerah aja.”

©scndbrr