Canggung
Pria itu nampak sedikit kesulitan mencari di mana letak kompresan berada.
Namun setelah cukup lama berkutat untuk menggeledah laci yang berisi obat-obatan pertolongan pertama, akhirnya pria itu mendapatkannya.
Jevano segera bergegas menghampiri Grena yang masih setia menunggunya dengan duduk di kursi dekat meja makan.
Hampir saja lupa jika pria itu harus menggendong istrinya kembali untuk mengantarkan wanita itu ke kemarnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, kini Jevano tengah menggendong Grena ala bridal style.
Dirinya menaiki tanga dengan hati-hati berusaha supaya wanita yang berada di dalam gendongannya merasa nyaman.
Setelah sampai di depan pintu kamar ruang tamu yang ada di sebelah persis kamar utamanya, Jevano kemudian berhenti.
Kamar ruang tamu itu kini dan kedepannya akan menjadi kamar pribadi milik Grena.
Hal itu karena pasutri tidak mau menempati ruangan yang sama bahkan hingga satu ranjang.
Jevano sedikit kesulitan untuk membuka gagang daun pintu yang menjadi sekat ruangan di depannya ini, mengingat kedua tangannya tidak ada yang sedang terbebas begitu saja.
Ia mencoba berulang kali, namun sayang usahanya gagal.
“Ekhem.. Gren,” Jevano berdeham untuk menarik atensi Grena.
“Hm?” Grena hanya menjawabnya dengan gumaman singkat.
“Pegangan sama leher saya yang kenceng,” ucap Jevano dengan santai.
“Hah?” Grena mengerjapkan matanya berulang kali karena merasa kebingungan dengan maksud dari suaminya itu.
“Saya susah buka pintunya. Jadi kamu pegangan leher saya dulu sebentar biar saya bisa lepasin gendongannya,” jelas Jevano.
Karena wanita itu sudah paham dari suaminya, akhirnya Grena tanpa menjawab atau mengeluarkan satu patah kata lagi langsung mengalungkan kedua tangannya erat-erat di leher Jevano.
Dirinya menempelkan tubuhnya secara intens dengan tubuh milik Jevano.
Hidung mancung milik wanita itu jugaia tubrukkan pada bagian tulang selangka milik suaminya.
Dalam posisi ini, Grena dapat menghirup dengan jelas aroman maskulin dan mint yang menguar dengan kuat dari tubuh pria ini.
Jevano sedikit terkejut dengan tindakan Grena barusan.
Dirinya merasa sedikit kepanasan dan menahan sesak di bawah sana.
Namun dengan segera pria itu menepis semua pikiran aneh yang ada di benaknya.
Cepat-cepat Jevano membuka pintu itu dan setelah terbuka dirinya menghembuskan nafas kelegaan.
Segera ia membaringkan Grena dengan lembut pada kasus king size yang ada di sana.
Hening.
“Saya izin gulung celana kamu sampai lutut ya? atau mau dikompres di atasnya saja?” tanya Jevano memecah keheningan yang menyelimuti mereka berdua cukup lama.
“Oh iya digulung aja deh. Sini gue bisa sendiri,” jawab Grena.
“Ga usah, biar saya saja,” sela Jevano sambil mengambil alih kerja tangan Grena yang sudah mulai menggulung celana panjang piyamanya itu.
Posisi Jevano saat ini adalah sedang duduk menyamping pada sisi kasur dan kedua kaki Grena ia letakkan pada kedua pahanya.
Jevano kemudian menempatkan kompresan air dingin itu pada lutut Grena.
Ya, karena kecerobohan wanita itu di kamar mandi tadi. Kini lututnya terlihat berwarna biru dengan area yang cukup lebar.
Jangan lupakan rasa sakit dan nyeri yang menyertainya juga.
Grena mati-matian menahan rasa sakit itu supaya rintihannya tidak terdengar oleh Jevano.
Tidak tahu siapa yang duluan memulai diantara pasutri baru ini.
Namun sekarang mereka tengah sama-sama memandangi wajah satu sama lain dengan lekat.
Jevano yang sadar terlebih dulu langsung mengalihkan arah pandangan kedua manik hitam legam miliknya.
Dirinya juga segera bangkit berdiri dari posisi duduknya di sisi pinggir kasur Grena.
“Saya tinggal ya, masih banyak kerjaan kantor.”
“Iya, btw thanks Jev.”
“My pleasure.”
“And sorry...”
“For what?”
“I've wasted your time...”
“Nope, please don't said that.”
Jevano beranjak dari kamar Grena setelah mengatakan hal itu, menyisakan Grena yang terus memandangi punggung lebar milik suaminya hingga kini sudah tidak terlihat lagi.
© scndbrr