Mengucap Janji
Seorang pria sedang berdiri tegap di depan sana dengan tuxedo hitam yang melekat pada tubuh atletisnya itu.
Ia menggunakan dasi kupu-kupu yang juga berwarna senada dengan setelannya.
Tatanan model rambut yang dengan sengaja memperlihatkan area dahinya itu, menambah kesan rupawan yang terpancar dari wajahnya.
Sepatu kulit yang terlihat mengkilat setelah disemir menandakan betapa siapnya pria itu untuk menempuh kehidupan barunya.
Eksistensi dari pria itu menarik banyak atensi dari para tamu undangan yang telah hadir di sini.
Satu-satunya putra dari keluarga Adelard itu akan melepas status lajangnya setelah sekian lama tidak pernah dikabarkan memiliki hubungan dengan wanita manapun.
Jevano Adelard.
Di sisi lain, seorang wanita kini tengah berjalan menuju ke tempat di mana pria itu sekarang menginjakkan kakinya.
Wanita itu berjalan dengan sangat pelan, karena dirinya begitu hati-hati dengan gaun yang melekat pada tubuhnya.
Di dalam hati, wanita itu sudah berkata kasar berulang kali.
Dirinya menjadi kesal apabila mengingat siapa yang telah memilihkan gaun berwarna putih tulang yang sangat panjang ini.
Tentu saja pria yang sebentar lagi akan secara resmi menjadi suaminya itu adalah orang yang terpaksa membuatnya menyetujui pilihan gaun pernikahannya.
“Kan jadi susah jalannya,” pikir sang wanita.
Wanita itu tidak berjalan sendirian, namun ia juga didampingi oleh seorang pria paruh baya yang usianya sudah menyentuh setengah abad lebih.
Pria paruh baya itu mengaitkan lengan sang wanita pada lengannya.
Dirinya menarik kedua ujung sudut bibirnya ke atas sehingga terpatri lengkungan besar pada bibirnya itu.
Berbeda dengan wanita yang merupakan putri tunggalnya itu.
Justru raut wajahnya terlihat sangat datar dan dingin, tidak ada unsur kebahagian di sana.
Mau ditekuk sampai seperti apapun wajahnya itu, tetap saja masih bisa mamancarkan aura kecantikan yang begitu luar biasa.
Hanya dengan dirias secara sederhana saja, wanita itu sudah sukses membuat para kaumnya merasa iri dengannya.
Agrena Khanzanaya.
Kini pria dan wanita itu sudah berdiri berdampingan di depan sebuah altar yang akan menjadi saksi bisu kebahagian mereka.
Tidak.
Mungkin bukan kebahagiaan, namun hanya status yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Entahlah, itu urusan yang hanya diketahui oleh mereka berdua saja.
“Agrena Khanzanaya. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.”
“Jevano Adelard. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.”
Janji suci pernikahan telah mereka deklarasikan masing-masing dengan lantang.
Sangat disayangkan diantara mereka berdua tidak ada yang menganggap serius janji tadi.
Seharusnya mereka tidak boleh bermain dengan suatu hal yang bersifat sakral seperti ini.
Namun baik Jevano maupun Grena memiliki alasan kuat yang mengharuskan mereka berdua bertindak sejauh ini.
Mereka menikah bukan karena atas dasar cinta, melainkan sebuah perjanjian.
Setelah sama-sama telah mengucap janji suci pernikahan, Jevano kini menarik pinggang Grena dan menariknya untuk mendekat kearahnya.
Pria itu secara perlahan mendekatkan wajahnya dengan wajah wanita yang sudah menjadi istrinya itu.
Grena sedikit tersentak begitu merasakan sebuah benda yang kenyal namun lembab itu mendarat dengan mulus di bibirnya.
Wanita itu terkejut.
Namun dirinya kemudian mengikuti permainan dari Jevano, perlahan wanita itu mulai memejamkan matanya.
Jevano memang tidak berniat untuk berbuat lebih dengan menggerakkan bibir miliknya.
Bagi pria itu, yang penting sudah terlihat bahwa dirinya dan Grena bersungguh-sungguh dengan pernikahan ini di depan banyak orang.
Hanya itu, dan tidak lebih.
Para tamu undangan yang melihat secara langsung adegan mesra di depan mereka bersorak kegirangan dan memberikan tepuk tangan yang meriah, tanpa mengetahui fakta aslinya.
Resmi sudah.
© scndbrr