Kekhawatiran Berujung Penyesalan

Jevano langsung membuang kasar lembaran kertas yang kini sedang dipegang oleh kedua tangannya.

Entah mengapa, namun perasasan pria itu menjadi tak karuan hanya karena istrinya tidak tidak membalas panggilan maupun pesannya.

Hal itu diperkeruh lagi dengan ingatannya beberapa saat yang lalu.

Nasa, juniornya saat masih kuliah yang diketahui sebegai sahabat dekat Grena menanyakan kabar istrinya dengan panik.

Sungguh, pikiran Jevano sekarang menjadi bercabang kemana-mana, ada sedikit guratan khawatir yang menghiasi benaknya.

Akhirnya pria itu memutuskan untuk segera bangkit dari kursi kerjanya dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja.

Kedua kaki jenjangnya membawa tubuh besar nan tinggi itu dengan cepat.

Dia berlari.

Pria itu segera menuju ke bassemant lokasi di mana kendaraan roda empatnya terparkir.

Tanpa berlama-lama lagi, dirinya membuka pintu, masuk, dan lupa untuk langsung mengenakan sabuk pengaman.

Kakinya menginjak pedal gas dengan tidak santai sama sekali.

Kedua bola mata Jevano bergerak gelisah sembari terus memperhatikan jalanan.

Perasaan kalut melingkupi ruang sempit di dalam mobil itu ketika dirinya menyadari sesuatu.

Istrinya sempat mengiriminya pesan dengan “typo” yang tidak biasanya grena lakukan.

Jevano berpikir saat itu Grena mungkin tengah berusaha untuk memberitahu keadaannya, namun dirinya justru menanggapinya dengan ketus.

Di dalam hati, pria itu terus merutuki dirinya sendiri.

Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Grena maka yang patut disalahkan adalah dirinya.


Sesampainya di kediaman pribadi miliknya itu, Jevano langsung bergegas menuju ke kamar tamu di mana sekarang sudah menjadi kamar istrinya.

Betapa terkejutnya pria itu ketika melihat tubuh Grena yang sedang meringkuk di bawah lantai ruangan yang dingin.

Jevano segera mendekat dan membawa tubuh Grena ke pangkuan kedua pahanya.

Oh tidak.

Lihatlah betapa pucat wajah istrinya itu, belah bibir ranumnya terlihat sedikit membiru, dan tubuhnya juga basah kuyup dengan air keringat.

Jevano merasakan panas ketika menyentuhkan punggung tangan kanannya ke arah dahi Grena yang sedikit tertutup dengan anak rambut.

Namun anehnya, di saat yang bersamaan dirinya juga merasakan dingin ketika tangannya tergerak untuk menggenggam tangan istrinya itu.

“Gren.” “Grena.” “Agrena bangun.”

”...”

Sia-sia usaha Jevano yang terus mengguncangkan tubuh Grena dan menepuk pelan salah satu pipi miliknya, karena tidak ada jawaban atau reaksi sama sekali dari wanita itu.

Pria itu menjadi kalang kabut dan mulai berpikiran yang tidak-tidak.

Lantas dirinya langsung menggendong tubuh ramping milik Grena ala bridal style.

Tujuan Jevano kini adalah sebuah rumah sakit terdekat yang dapat dirinya jangkau dengan cepat.

Mungkin jika Grena masih memiliki sedikit kesadaran dan bukannya terkulai lemas tanpa sadarkan diri seperti sekarang ini, dirinya akan meneriaki orang yang sekarang berada di balik kemudi mobil ini.

Bagaimana tidak?

Pria itu mengendarai kendaraan roda empat keluaran negara Jepang seperti orang yang sedang kerasukan setan.

Tidak menghiraukan apakah tindakannya sekarang dapat menggangu bahkan merugikan kendaraan dan orang lain, dirinya terus melajukan mobil itu pada kecepatan di atas rata-rata.


Setelah berkelut dengan padatnya jalan raya tadi bahkan sampai kena semprot sopir bus, kini dirinya berlari dengan nafas yang terengah-engah menuju ke unit gawat darurat rumah sakit ini.

“Sus, hubungi dokter Windra sekarang.”

Wajah seorang wanita yang mengenakan setelah putih-putih lengkap itu terlihat bingung ketika Jevano berbicara seperti tadi kepadanya.

“Sus! jangan malah bengong dong, cepetan panggilin dokter Windra dan suruh dia ke UGD sekarang!!”

Bentakan Jevano yang menggelegar itu sukses menarik atensi baik dari para pasien maupun staff rumah sakit yang ada di sana.

Dari arah belakang terlihat seorang pria dewasa yang diperkirakan usianya sepantar dengan Jevano berlari mendekat ke arah meja resepsionis, tempat Jevano marah-marah sekarang.

“Jev, kenapa?” pria dengan jas putih yang tersampir pada lengan kirinya itu melirik wanita yang terkena bentakan Jevano tadi dan menganggukkan kepalanya sekali ke arahnya.

“Win, tolongin Grena.” “Gue ga tau dia kenapa.” “Pas pulang tadi, gue nemuin dia pingsan di kamar.”

“Lo tenang ya Jev, biar gue periksa dulu istri lo.”

Jevano menunggu dokter tadi untuk memeriksa keadaan Grena dalam kegelisahan yang terus menyelimutinya.

Dokter yang sedang menangani Grena sekarang merupakan teman dekat Jevano saat kuliah dulu.

Windra Mahasatya, merupakan nama lengkap yang disandangnya.

Maka tak heran saat sedang panik tadi, Jevano dengan seenaknya menyuruh suster yang berjaga pada meja resepsionis untuk memanggilkan seorang Direktur rumah sakit ini.


Jevano langsung berdiri begitu Windra menyingkap tirai yang menutupi brankar Grena.

“Kita omongin di ruangan gue aja ya, Jev.”

Jevano hanya mengangguk lemah dan mulai mengikuti arah Windra pergi.

Kepalanya tertoleh ke belakang dan kedua netranya menatap tirai tadi dengan sendu hingga dirinya memusatkan perhatiannya ke depan.

“Istri lo gapapa, dia cuma kecapean aja.” “Jadwal pemotretannya sepadet apa sih sampe dia bisa kaya gini?”

“Setau gue ga terlalu padet kok, dan ga setiap hari juga.”

“Ada yang lebih mengejutkan sih, Jev.”

“Apa?”

“Dia mengonsumsi obat tidur sama obat anti-depresi dalam dosis yang tinggi.”

Jevano menatap kedua manik Windra dengan tatapan tidak percaya, berharap bahwa kalimat yang dikeluarkan oleh mulut sahabatnya itu tidak benar.


Pria itu keluar dari ruangan Direktur rumah sakit ini dengan langkah yang gontai dan bahu yang merosot ke bawah.

Langkah kakinya membawanya ke sebuah ruangan VVIP di mana istrinya kini sedang terbaring lemah di atas brankar.

Jevano duduk di sisi brankar tersebut menatap raut wajah Grena dengan tatapan nanar.

Hatinya terasa sedikit berdenyut nyeri ketika melihat Grena yang kini sedang berada dalam kondisi tidak berdaya.

Tangan besarnya terulur untuk menggenggam tangan yang jauh lebih kecil dari miliknya.

Ibu jarinya mengelus punggung tangan Grena dengan lembut dan penuh rasa hati-hati.

“Kamu ga boleh sakit.” “Karena yang boleh bikin kamu sakit itu cuma saya Grena.”

© scndbrr