Perjumpaan Jevano dengan “D”
Ya, sesuai dengan dugaan kalian.
Jevano hanya bersandiwara mendapatkan panggilan dari sekretaris perusahaannya dan beralasan sedang mempunyai urusan mendesak di kantor. Pria itu melakukan semuanya untuk mengelabuhi Grena. Pasalnya, Jevano kini justru sedang melajukan mobil sedannya ke arah yang berlawanan dengan lokasi perusahaannya.
Cafe Athena.
Di tempat itulah Jevano bertemu dengan seorang laki-laki yang memang sudah tidak asing lagi di mata Jevano. Meskipun mereka berdua baru saling tahu kehadiran satu sama lainnya di dunia ini dalam kurun waktu yang tidak lebih dari umur tanaman jagung, namun ikatan yang mereka miliki tidaklah main-main.
Entahlah, tidak ada yang tahu mengenai ikatan yang telah dibuat oleh Jevano dengan laki-laki itu, namun yang pasti mereka berdua tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Tidak, Jevano merupakan pria normal yang masih menyukai seorang wanita. Jadi jangan berfikiran yang aneh-aneh sampai menganggap jika laki-laki itu adalah kekasih rahasianya.
Baik, mari kita lewatkan bagian itu. Sekarang Jevano sudah mendorong pintu masuk cafe tersebut dan kedua netranya memindai seluruh ruangan dengan nuasansa monokrom ini dengan seksama. Setelah mendapatkan sosok yang ia cari sedang duduk dengan kepala sedikit tertunduk di salah satu meja pada sudut ruangan, dirinya lantas melangkahkan kedua kaki jenjangnya ke sana.
Laki-laki itu menyadari kehadiran Jevano yang sudah mendaratkan tubuhnya untuk duduk di kursi. Dirinya mulai mengangkat wajahnya untuk menatap Jevano. Seringaian tipis yang terlihat cukup mengerikan terpatri pada bibirnya dan menghiasi wajah rupawan yang tak kalah tampan dari Jevano.
“Besok lagi, jangan maksa buat ketemu gue. Nanti Grena bisa curiga,” ucap Jevano membuka percakapan diantara mereka berdua.
“Oke sorry. Gue cuma penasaran aja kenapa Grena bisa masuk rumah sakit. Itu... ulah lo?” laki-laki itu melontarkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat kepala Jevano mendidih.
“Bukan. Dia sakit, gue nemuin dia pingsan di kamarya pas pulang dari kantor.”
Laki-laki itu mengerutkan dahinya cukup dalam begitu mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut Jevano untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“Kenapa ga lo biarin aja? Malah lebih gampang kan buat kita?”
Jevano memberikan laki-laki itu sebuah tatapan yang sangat tajam seperti sebuah pisau daging yang baru saja diasah dan siap untuk menguluti orang tersebut.
“Grena... minum obat depresi sama obat tidur dalam dosis yang tinggi,” ucap Jevano yang sengaja mengecilkan volume suaranya.
“Terus?” tanya laki-laki itu yang membuat Jevano melongo tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki itu bersikap seolah tidak peduli mendengar seseorang yang bisa saja terkena over dosis obat?
“Itu artinya bisa aja kan di selama ini ngrasa bersalah atas kejadian itu?” tambah Jevano dengan suaranya yang terdengar meyakinkan.
“Lo salah, Jev. Itu adalah cara pertahanannya dia buat ngelupain kejadian itu. Dia berusaha denial sama apa yang udah dia lakuin waktu itu.”
Jawaban laki-laki tadi membuat kedua telapak tangan Jevano terkepal kuat-kuat di atas meja. Rahang pria itu juga mengetat hingga membuat wajahnya memerah.
“Jangan sampe lo lupa sama kejadian waktu itu, Jev. Bahkan harusnya lo lebih kesel sama Grena ketimbang gue yang ga punya urusan sama dia atau orang itu. Tapi lo punya Jev, lo punya hubungan sama orang itu. Alasan lo buat ngejalanin rencana kita lebih kuat daripada gue.”
”...”
“Gue pamit duluan, ada urusan lain.”
Setiap kata yang baru saja keluar dari mulut laki-laki yang sudah meninggalkan Jevano sendirian saat ini, terus saja terngiang-ngiang di benaknya. Suaranya yang penuh dengan penekanan tadi membuat kalimat itu masih berdengung dengan jernih di gendang telinganya.
© scndbrr