Menyakiti dan Mengobati
Jevano mengenal sosok Margo ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat itu Jevano pernah mengalami perundungan. dentitas dirinya sudah terkenal sebagai putra dari anak konglomerat, membuat Jevano harus merasakan dirisak oleh preman sekolah. Para anak remaja yang bersikap sok jagoan itu selalu mengemis uang kepada Jevano tanpa punya rasa malu.
Margo yang merupakan pemimpin dari para preman sekolah itu merasa tidak terima atas perlakuan anak buahnya. Dirinya pernah menekankan yang dimaksud preman sekolah disini adalah orang-orang yang akan berada pada barisan terdepan ketika sedang melakukan aksi tawuran dengan sekolah tetangga, bukanlah melakukan tindakan bullying dan pemalakan terhadap teman satu sekolahnya.
Karena Margo telah menegur anak buahnya yang berlaku seenaknya dengan Jevano, maka mulai saat itu mereka berdua justru menjadi akrab. Meskipun Margo tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi, namun dirinya masih sering bertukar kabar dengan Jevano melalui telfon. Jevano juga telah mengetahui pekerjaan yang digeluti oleh Margo karena pria itu menceritakannya kepadanya.
Awalnya Jevano terkejut dan sangat menyayangkan keputusan Margo untuk menekuni bidang pekerjaannya itu. Namun ketika mengingat bahwa dirinya sendiri tidak memiliki hak maupun kewenangan untuk melarangnya, maka dia hanya mewajarkan profesi Margo. Pekerjaan Margo adalah sebagai pembunuh bayaran atau penyiksa seseorang atas permintaan client-nya.
Disinilah Grena berada sekarang. Pada sebuah gudang lama yang telah terbengkelai. Wanita itu terduduk pada sebuah kursi dengan ikatan tali yang melilit di bagian kaki dan tangannya. Karena masih berada dalam obat bius, hingga kini Grena belum membuka kedua kelopak matanya.
Jevano baru saja sampai di lokasi ini setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dirinya mendapati Margo yang sedang menyiapkan cambuk di sudut ruangan. Margo yang menyadari kedatangan Jevano segera berjalan mendekat ke arahnya.
“Sekali lagi gue nanya, lo yakin?”
“Iya.”
“Oke, kalau gitu gue bakal ngelakuin sesuai sama apa yang lo minta.”
Margo mengambil satu botol air mineral di tangannya dan mendekat ke arah Grena yang masih saja belum sadarkan diri. Kepalanya tertunduk yang menyebabkan surai panjangnya menutupi wajah cantik wanita itu.
Margo tanpa segan-segan langsung menarik surai panjang Grena ke belakang kemudian menyiramkan air mineral tadi ke wajah Grena. Karena wanita itu ak kunjung sadarkan diri, maka tangan Margo mengayun dengan mulus dan memberikan tamparan yang kuat pada sisi kanan pipi Grena.
Plak
Grena sedikit tersentak kemudian membelalakkan kedua matanya begitu melihat keadaannya sekarang. Awalnya wanita itu hendak berteriak dengan nyaring begitu melihat seorang pria asing yang berdiri di depannya, namun ia urungkan begitu ekor matanya melihat sosok Jevano yang berdiri tak jauh di depan sana.
“Mulai, Mar.”
Grena mengerutkan dahinya dalam begitu mendengar penuturan dari Jevano. Wanita itu bingung, dengan ucapan suaminya barusan. Bukankah seharusnya pria itu menghajar laki-laki yang ada di depannya kini dan menyelamatkan dirinya? Mengapa justru Jevano menyuruh laki-laki tadi untuk memulai, bahkan memulai apa?
Margo menganggukkan kepalanya sekali ke arah Jevano kemudian berlalu untuk mengambil cambuk. Setelah kembali, dirinya menarik kasar tubuh Grena hingga wanita itu terjatuh dari atas kursi tempatnya tadi duduk. Sekarang Grena tersungkur pada lantai gudang yang tak berkeramik. Wanita itu meringis begitu lututnya terkantuk dengan sangat keras.
Jevano hanya melipat kedua tangannya di depan dada dan melihat hal itu dengan wajah datarnya.
Belum sempat memberi waktu Grena untuk berpikir dirinya sedang berada di dalam situasi seperti apa, Margo menendang keras kursi tadi hingga terpental membentur tembok. Suara yang dihasilkan tadi sukses membuat Grena terperanjat sambil memejamkan kedua matanya kuat-kuat.
Margo melakukan hal itu untuk mempermudah ketika nanti dirinya akan melakukan cambukan pada punggu sempit milik Grena. Benar saja, tak begitu lama Margo sudah melayangkan cambukan yang pertama bagi Grena. Cambukan itu tepat mengenai pada bagian tengah punggung wanita itu.
Ctas
“Ahkk!!”
Ctas
“Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!”
Ctas
“Saya bilang berhenti!”
Ctas
“Ahkk s-sakit.”
Ctas
“Jev, tolong...”
Ctas
“Ini s-sakit banget.”
Grena menangis dengan tersedu-sedu dan wajahnya kini sudah berubah warna menjadi kemerahan. Wanita itu dari tadi tidak berhenti untuk berteriak meminta tolong hingga suaranya menjadi serak. Ketika cambuk mengenai kulitnya, Grena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakitnya. Hingga tak sadar, bibirnya kini ikut terluka dan mengeluarkan darah segar.
Margo memberikan cambukan berulang-ulang pada bagian punggung, kedua lengan hingga bahkan bagian depan tubuh Grena. Seakan seperti sedang kerasukan setan, pria itu terlihat membabi-buta untuk memberikan cambukan pada Grena. Dirinya menulikan pendengarannya dari suara jeritan pilu Grena yang memintanya untuk berhenti menyiksa dirinya.
Penampilan Grena sudah tidak karuan. Kedua matanya sembab karena sudah menangis sejak satu jam yang lalu, wajahnya basah berlinangan air mata, pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak tidak beraturan. Jangan lupakan juga luka cambuk yang kini telah menghiasi tubuh Grena seakan-akan mereka semua menjadi tatto yang memang dengan sengaja diukir di sana.
Di sisi lain, Jevano hanya terdiam memperhatikan bagaimana temannya itu sedang melakukan pekerjaannya. Pria itu juga melihat istrinya yang sudah berteriak kesakitan dan terus-terusan meminta pertolongan kepadanya. Namun, karena masih diliputi oleh dendam yang begitu dalam, maka Jevano justru bersikap acuh dengan Grena yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang nanar.
Brak
Tubuh Grena akhirnya tumbang, lantaran sudah tidak dapat menahan segala rasa sakit yang bercampur dengan perih dan nyeri.
“Lanjut, jangan nih?”
“Stop.”
Jevano menghampiri Grena yang sudah tidak sadarkan diri namun tubuh wanita itu bergetar dengan hebat. Tanpa berlama-lama lagi, Jevano langsung menggendong Grena ala bridal style dan berjalan menuju ke mobilnya meninggalkan Margo sendirian di sana. Pria itu bisa merasakan tubuh Grena yang lemas dan racauan-racauan tak jelas dari mulut kecil kecil wanita itu.
“Sakit, s-sakit, sakit, s-sakit, sakit...”
Sesampainya di rumah, Jevano membawa Grena ke kamarnya kemudian membaringkan wanita itu pada kasurnya. Pria itu beranjak untuk mengambil sesuatu dari tas kerjanya. Salep. Ternyata saat mampir ke apotek di tengah jalan tadi, dirinya membeli obat oles tersebut untuk Grena.
Dengan hati-hati Jevano membuka satu per satu kancing kemeja yang masih melekat pada tubuh Grena. Bukan, pria itu bukan mencari kesempatan pada kondisi yang seperti ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia mendengar perintah mutlak kepadanya untuk mengobati istrinya itu.
Kedua netra Jevano memanas begitu melihat tubuh Grena yang penuh dengan luka cambuk. Pria itu memejamkan kedua matanya sejenak, kemudian memberikan kecupan lembut pada setiap luka cambuk tadi. Setelah itu, dirinya mengambil salep dan langsung mengoleskannya pada luka tersebut. Jevano ikut meringis ketika dirinya melihat Grena yang menggeliat karena kesakitan.
“Maaf, maafin saya.”
© scndbrr