Comeback

Suasana ruang Osis yang sedang digunakan untuk saling bertukar pikiran antar para peserta rapat pada siang menjelang sore hari ini terlihat semakin memanas.

Bukan.

Bukan karena orang-orang yang duduk di dalam sana kini sedang mendebatkan suatu persoalan.

Namun, karena para anggota rapat yang mulai kelelahan dengan pembahasan yang tidak kungjung menjumpai benang merah sejak tadi.

Hal itu ditambah lagi dengan perasaan jengkel yang hinggap pada beberapa orang diantara mereka. Mereka merasa kesal waktu pulangnya menjadi lebih lama dari para murid lain. Hasta contohnya.

Di sisi lain, terdapat Brina yang justru sibuk dengan pikirannya sendiri yang terus saja berputar mengelilingi benaknya sampai dirinya pun menjadi pening.

Eh Fino tau nggak sih kalo gue sekolah di SMANSA? Dia bakal ke sini ga ya? Gue kangen sama Fino, kangen banget malahan. Tapi jujur gue takut buat ketemu sama dia. Takut canggung.

Kira-kira begitulah isi pikiran Brina yang membuat fokusnya menjadi terbagi pada saat ini. Hingga ketika Narion memanggil namanya pun, gadis itu tidak menyadarinya.

“Brina,” panggil Narion lagi yang ketiga kalinya.

“Brin, lo dengerin gue tadi kan?” tanya Narion memastikan apakah Brina memperhatikan dirinya ketika sedang menjelaskan mekanisme event yang akan meraka garap bersama dalam waktu dekat ini.

Hasta yang melihat sahabatnya itu masih saja tidak merespon Narion sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Brina dan tangan kanannya terulur untuk menepuk pelan pipi gadis itu.

“Heh! Lo ditanyain itu sama si Narion, nyet!” seru Hasta yang mampu membangunkan Brina dari lamunannya.

“Eh? Gimana-gimana? Sorry, tadi gue kurang merhatiin hehe,” ucap Brina jujur yang diakhiri dengan kekehan garingnya.

“Oke kalau gitu, kita cukupkan aja rapat kali ini. Gue liat kalian udah pada cape, jadi kurang bisa fokus ke forum ini. Besok, kita lanjut lagi ya. Untuk jamnya menyusul. Terima kasih semua,” ujar Narion selaku pemimpin rapat.

Para anggota rapat terlihat sumringah ketika mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh kepala mereka. Akhirnya ketua mereka ini melunak setidaknya untuk hari ini saja.

Satu per satu anggota pengurus Osis bergegas meninggalkan ruangan rapat ini hingga tinggal menyisakan tiga anak di dalamnya.

Di sana ada Brina, Hasta, dan Narion.

Baru saja Narion ingin membuka mulutnya untuk menanyakan mengapa hari ini Brina tidak terlihat seperti biasanya, namun gadis itu justru sudah meninggalkan ruangan rapat begitu saja.

“Gue balik duluan yak, lagi mau ada urusan mendadak nih,” pamitnya kepada kedua sahabatnya yang menampilkan raut wajah kebingungan.


Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, seorang gadis belia tengah berdiam diri, terpaku pada sosok yang ditangkap oleh kedua netranya itu. Sang gadis masih tidak percaya akan apa yang dilihat oleh dirinya sendiri.

Semuanya terasa seperti mimpi.

Sebab dari kata “kebetulan” yang sering diucapkan oleh orang-orang disekitarnya, persentase dirinya untuk dapat mengalami hal ini sangatlah kecil, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin.

Dia.

Sosok yang mengisi ruangan khusus di dalam hatinya, ada di depan sana. Berdiri dengan gagah serta menyunggingkan senyuman manis khasnya yang membuat kedua matanya menghilang.

“Woi, brin! Napa lu? Abis liat setan? Kok cengo gitu mukanya?” tanya Hasta terus-menerus yang merasa heran melihat gelagat aneh Brina.

“Nyet! Lo kemasukan apa gimana, njing?!” tambah Hasta yang mulai sedikit meninggikan nada bicaranya.

Di seberang sana, seorang pemuda yang menyadari atensi dari orang yang telah membuat dirinya menunggu hingga hampir satu jam itu mulai mendekat.

Dirinya melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk memasuki kawasan sekolah yang bukan merupakan almamaternya sendiri.

Tatapan kedua manik yang memiliki iris hitam legam itu mampu membuat siapapun yang melihatnya dapat ikut turut tenggelam bersamanya.

Teduh sekali pembawaannya. Rasa nyaman langsung menyeruak di dalam diri gadis itu ketika dirinya bersitatap dengan pribadi yang selalu mengisi kepalanya selama sembilan tahun ke belakang.

Setelah dirinya sudah berpijak tepat di hadapan gadisnya itu, lantas tanpa berbasa-basi lagi, Fino langsung menarik lengan Brina ke arahnya hingga membuat Brina yang tidak siap dengan gerakan cepat Fino menjadi limbung dan menabrak dada bidang milik pemuda itu.

Kedua tangan besar Fino mendekap punggung sempit Brina yang kini sedang berada di dalam pelukannya.

Karena selisih tinggi badan mereka berdua yang terpaut cukup jauh, membuat Fino menumpukan dagunya di atas kepala Brina dengan nyaman.

“Nana, I miss you, I miss you, I miss you,” gumam Fino yang masih dapat didengar dengan jelas oleh indera pendengaran Brina.

Brina hanya dapat menahan senyumnya. Kedua ujung bibirnya terus saja memaksa untuk terangkat ke arah kanan dan kiri ketika mengetahui bahwa Nononya ini tidak berubah. Dia masih Nono yang dulu. Nono yang selalu memberikan pelukan hangat baginya.

Posisi keduanya saat ini sukses membuat siswa-siswi lain yang masih ada di sana terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Pasalnya mereka seperti sedang melihat sepasang kekasih yang tengah saling menyalurkan rasa rindu yang telah lama terpendam dalam waktu yang cukup lama.

Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Hasta dan Narion.

Hasta sampai menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan kedua tangannya akibat terlalu shock melihat kejadian yang ada di depan matanya ini.

Sedangkan Narion masih dengan wajah dingin dan cueknya menatap tajam ke arah Fino. Jujur saja, tatapan Narion cukup sulit untuk dapat diartikan.

Brina yang mulai menyadari bahwa kini dirinya dan Fino tengah disoroti oleh beberapa pasang mata, maka dirinya langsung melepaskan pelukan dari Fino.

Fino yang mengetahui bahwa Brina sedang menghindari tatapan-tatapan yang mengisyaratkan tanda tanya besar dari orang-orang yang ada di sana justru menggenggam jemari lentik milik Brina.

Pemuda itu membawa Brina ke arah tempat parkir motornya yang tidak jauh dari sana.

Fino meraih sebuah helm bogo yang memang baru ia beli berusan untuk Brina. Pemuda itu memakaikan helm tadi dengan sangat hati-hati kepada Brina.

Setelah selesai memakaikan helm, Fino lantas menurunkan footstep pada motornya untuk Brina.

Brina hanya terdiam dengan kedua sorot matanya yang tidak pernah lepas dari gerak-gerik pemuda itu.

Masih belum selesai. Fino melangjutkannya dengan melepas jaket yang ia kenakan dan mengikatkannya di pinggang ramping milik Brina.

Tampaknya pemuda itu tahu jika rok Brina cukup pendek, sehingga jika dirinya naik motor maka nanti akan tersingkap.

Fino ingin memberikan kenyamanan untuk Brina supaya gadis itu tidak merasa risih.

Sekarang, pertahanan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Brina harus runtuh, hancur, berantakan begitu saja. Dan Fino adalah pelakunya.

by scndbrr