Bertahan Hidup

Flashback.

Semua anak pastilah memiliki setidaknya satu buah mimpi di dalam hidup mereka. Hal tersebut tentu saja sangat beraneka ragam macamnya.

Ada anak yang mendambakan suatu keluarga yang dapat menyayanginya dan memperhatikannya setiap saat. Ada anak yang menginginkan hidup bahagia bersama saudara-saudarinya. Ada juga anak yang berharap dapat menyendokkan satu suap nasi ke dalam mulutnya pada esok hari dan hari-hari berikutnya.

Mimpi mereka semua berbeda dan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya tidaklah sama. Mulai dari keinginan yang sederhana hingga keinginan yang memiliki ambisi kuat di dalamnya tumbuh di dalam diri masing-masing anak tersebut.

Tidak munafik, dari dulu sampai detik ini pun memang uanglah yang dapat berkuasa berdiri dengan tegak di atas kejayaannya. Aturan mainnya adalah, “Jika kalian tidak punya uang, persiapkan dirimu untuk menjadi orang buangan”.

Terdengar kasar dan tidak bermoral ketika kita tinggal di sebuah negara hukum. Namun begitulah dunia ini bekerja. Yang kaya akan menjadi semakin banyak hartanya, sedangkan yang miskin akan semakin tertindas.

Seorang anak laki-laki yang memiliki otak cemerlang terpaksa harus merelakan segala impian yang telah terancang dengan apik di benaknya karena hambatan perihal barang tadi.

Uang.

Jika kalian semua bertanya, “mengapa dirinya tidak mencoba dulu untuk mencari beasiswa saja?” jawabannya adalah “sudah, tapi percuma”.

Orang yang berlagak sebagai karakter utama di dalam sebuah drama itu memiliki 1001 cara untuk dapat membuat orang kecil tadi tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Mereka tamak, seakan tidak mau membiarkan kaum bawah untuk juga dapat berkembang.

Jahat, adalah satu kata yang tepat untuk dapat menggambarkan perilaku mereka. Memang betul bahwa tidak semua orang bergelimangan harta akan berbuat demikian, namun sialnya anak laki-laki itu terus saja bertemu dengan mereka yang memiliki watak serakah.

Anak laki-laki itu harus merelakan masa mudanya yang biasanya dipenuhi oleh kenangan manis bersama dengan teman-teman sebayanya demi dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Kehilangan sosok ayah yang berperan sebagai kepala dan tulang punggung keluarga ketika dirinya masih mejadi seorang remaja yang labil bukanlah perkara yang mudah.

Dirinya harus dapat menebus obat-obatan milik ibunya yang terkena penyakit serius dan juga harus membiayai adiknya untuk dapat duduk di bangku sekolah mengikuti kegiatan pembelajaran.

Bagi dirinya, semua ini terjadi secara tiba-tiba. Dalam satu malam, kehidupannya yang bersinar dengan terang seakan-akan berubah diselimuti oleh kekelaman yang sangat menakutkan.

Dia, tidak pernah mengeluh mau bagaimana pun situasi yang telah dihadapinya sekarang ini. Ralat, bukannya tidak pernah. Namun lebi tepatnya, berusaha keras untuk terlihat tidak pernah mengeluh di depan dua orang yang kini bergantung kepadanya.

Bagaimana pun juga anak laki-laki itu masih seorang anak-anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan perlindungan penuh dari para orang dewasa.

Lagi-lagi sayangnya takdir Tuhan tidak mau berpihak kepadanya. Alhasil dirinya harus tetap menyunggingkan senyuman manis pada belah bibirnya padahal hatinya hancur, remuk, redam di dalam sana.

Terbesit kata “menyerah” pada pikirannya adalah hal yang dialami olehnya pada setiap saat. Namun, ketika anak laki-laki itu teringat akan wajah berseri milik ibunya ketika sedang bahagia dan bagaimana adik laki-lakinya tertawa dengan lelucon konyol yang sering dirinya lontarkan begitu saja, maka kata itu dapat musnah seketika.


Hari ini cuaca tampak tidak mau bersahabat dengan orang-orang yang memiliki aktivitas di luar ruangan. Bagaimana tidak jika matahari terlihat menyoroti bumi ini dengan sinarnya yang dapat membuat kulit siapapun akan terasa seolah-olah sedang terbakar. Hal itu sukses membuat suhu udara pada lingkungan sekitar menjadi naik.

Peluh terus saja mengalir pada pelipis orang-orang yang sedang menunggu kendaraan darat mereka ini agar segera melaju. Tidak jarang terdapat orang-orang yang mengibaskan tangannya untuk mendapatkan sedikit sensasi dingin yang sebetulnya tidak akan mereka peroleh dengan melakukan hal itu.

“Air mineralnya, bu? Mau yang biasa atau yang dingin? Saya ada semua” tawar seorang anak laki-laki yang menggunakan kaos hitam polos dan celana abu-abu seragam anak SMA.

“Yang biasa satu ya dek,” ucap wanita paruh baya itu dengan lembut kepada anak tadi yang menawarkan air kepadanya. Sesungguhnya wanita itu iba melihat anak laki-laki yang seumuran dengan putranya harus berjualan minuman seperti ini pada sebuah terminal bus.

“Baik bu,” jawab anak laki-laki tadi sambil meraih satu botol air mineral di dalam keranjang plastik besar yang ia bawa.

“WOI! BURUAN TURUN!! INI BUSNYA UDAH MAU JALAN!!!” bentak seorang laki-laki prauh baya yang diyakini merupakan kondektur bus ini.

“Terima kasih banyak bu. Iya pak tunggu sebentar,” jawab anak laki-laki tadi yang tengah terburu-buru untuk melangkahkan kedua kakinya menuju ke pintu bus untuk segera keluar dari sana.

Tidak berhenti di sana, anak laki-laki tadi terus saja berpindah dari bus yag satu ke bus yang lain untuk menawarkan air mineral dan berbagai minuman penyegar lainnya kepada para penumpang yang ada di sana.

Dirinya merasa bahwa hari ini terasa dua kali lipat lebih melelahkan daripada hari-hari yang dia tempuh biasanya. Bukan hanya karena cuaca yang cukup panas. Melainkan juga karena dari pagi hingga sore menjelang malam ini, dirinya belum juga mengisi perutnya yang sejak tadi sudah berteriak untuk meminta asupan. Anak laki-laki itu tidak sarapan dan juga melewatkan makan siangnya, padahal semalam dirinya juga tidak makan apapun.

Kini kepalanya menjadi pening dan penglihatannya mulai kabur. Dirinya berhenti berjalan dan meletakkan keranjang minumannya di tanah, kemudian tangan kanannya terulur untuk memegangi sebuah tiang besi untuk baliho yang tidak jauh dari tempatnya kini berdiri.

“P-pusing banget...” lirih anak laki-laki tadi sambil mencengkeram rambutnya sendiri kuat-kuat dengan menggunakan satu tangannya yang menganggur. Secara perlahan pertahanan anak laki-laki tadi runtuh. Tubuhnya ambruk begitu saja karena sudah kehilangan keseimbangannya.


Kedua kelopak mata anak laki-laki itu mulai terbuka setelah terpejam terhitung hampir dua jam lamanya dia tidak sadarkan diri. Kedua netranya bergerak untuk menyusuri ada di mana dirinya sekarang ini.

Dahinya berkerut dalam begitu anak laki-laki itu menangkap satu sosok pria dewasa yang wajahnya terlihat dingin sedang menatap ke arahnya.

“Akhirnya bangun juga,” gumam pria dewasa tadi yang masih bisa didengar oleh anak laki-laki itu.

“Anda siapa om? Ini saya lagi ada di mana? Kok saya bisa di sini?” tanya anak laki-laki itu berturut-turut mengekspresikan kebingungan yang tengah melandanya sekarang.

“Betul nama kamu Yarsa Audriant?” bukannya menjawab, pria tadi justru balik bertanya kepada anak laki-laki itu. Yarsa hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pria tadi kepadanya barusan.

“Sepertinya saya punya penawaran menari yang tidak akan kamu tolak,” ucap pria tadi yang tengah memandang lurus ke arah kedua manik Yarsa. Pria itu terlihat serius dengan ucapannya barusan. Kedua alis Yarsa bertaut seolah-olah menjelaskan bahwa anak laki-laki yang polos itu tidak mengetahui maksud dari perkataan pria tadi.

“Saya tahu kamu butuh uang buat bisa tetap hidup kan? Oh bukan kamu aja, tapi ada ibu dan adik laki-laki kamu. Benar?” jawab pria tadi yang sukses membuat kedua matanya membola begitu mendengar penuturan darinya.

Bagaimana bisa pria itu tahu kalau aku tinggal bersama dengan ibu dan adik laki-lakiku? batin Yarsa dalam hati. Menurut Yarsa, pria itu dapat mengetahui nama lengkapnya dari kartu pelajar yang ada di dompet miliknya. Namun bukankah dirinya tidak pernah membawa kartu keluarganya di dalam dompet? Lantas bagaimana pria itu dapat mengetahui informasi tentang keluarganya?

“Jangan bingung gitu. Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak cuma tahu informasi pribadi tentang kamu saja. Banyak orang di luar sana yang saya pegang juga informasi pribadinya,” jelas pria tadi yang paham akan kebingungan yang tergambar dengan gamblang di wajah Yarsa.

“Kalau kamu mau bekerja dengan saya, bergabung sama organisasi yang saya buat, saya bakal jamin kehidupan kamu akan menjadi lebih baik, bahkan sangat baik,” iming-iming pria tadi berusaha untuk meyakinkan Yarsa supaya mengiyakan ajakannya.

Yarsa yang hanya anak ABG tentu saja langsung tergiur begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria tadi. Kedua netranya terlihat memberikan sorot pengharapan yang besar kepada pria itu.

“Kerja apa, om?” tanya Yarsa yang terlihat antusias sekaligus penasaran pada satu periode yang sama.

“Black market.”

© scndbrr