Luka

CW // Self Harm CW // Blood

Di balik pintu kayu berlapiskan besi yang menjadi sekat antar ruang sempit tempat membuang hajat, di sana terdapat seorang gadis muda yang tengah terduduk di atas kloset duduk.

Kepalanya tertunduk dalam, hingga surai kecoklatan yang hari ini dengan sengaja dirinya biarkan terurai begitu saja menutupi seluruh bagian wajahnya.

Jemari-jemari lentiknya meremat ujung rok abu-abu yang dikenakan oleh dirinya dengan erat-erat dan tubuhnya terlihat bergetar dengan sangat hebat.

Karena sibuk untuk menenangkan tubuhnya yang terus saja bergetar, tanpa dirinya sadari, gadis itu menggigit bibir bawahnya hingga mengalirkan darah segar dari sana.

Sekuat tenaga gadis itu mati-matian menahan cairan bening yang mendesak untuk segera diloloskan dari kedua bola matanya yang mulai memanas.

Sesak.

Itu yang dirinya rasakan sekarang.

Jangan. Tolong, jangan lagi.

Dengan ragu-ragu tangan kanannya melepaskan rematan pada ujung roknya dan terulur untuk mengambil sebuah benda yang ada di dalam tasnya.

Benda itu.

Benda yang tidak pernah absen untuk selalu dirinya bawa ke manapun dirinya pergi.

Benda yang menjadi alat pelampiasannya ketika dirinya sedang berada di dalam kondisi yang seperti sekarang ini.

Benda yang sudah lama dirinya tinggalkan berkat kedua sahabatnya, Hasta dan Narion.

Namun sayangnya dengan sangat terpaksa, pada hari ini benda itu harus Brina gunakan kembali.

Benda tadi, merupakan sebuah cutter.

Brina membuka penutup cutter tersebut hingga terbuka dan menampilkan bagian tajamnya dengan sempurna.

Setelah terdiam sejenak untuk mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Brina memutuskan untuk melakukan aksinya yang sempat tertunda.

Cutter yang sebelumnya digenggam oleh tangan kanannya, kini dialihkan ke tangan yang kiri. Kemudian Brina merentangkan tangan kanannnya lurus ke depan.

Tanpa rasa takut, Brina menggoreskan bagian tajam cutter tadi pada tangan kanannya. Dirinya terlihat membuat pola-pola abstrak yang tidak beratura bentuknya di sana.

Apakah rasanya sakit? Tentu saja sakit.

Bagaimana bisa tidak sakit jika perlakuan gadis ini sekarang membuat darah segar bercucuran dari lengannya?

Namun, bagi Brina sendiri tidak mengapa. Karena hanya dengan cara inilah rasa cemas dan takut akibat trauma masa kecilnya dapat berangsur-angsur menghilang.


Di sisi lain, Fino tampak panik setengah mati karena tidak dapat menemukan sosok Nananya di manapun.

Pemuda itu sudah berlarian ke sana kemari untuk mencari Brina. Namun sayang, hasilnya nihil.

Bayangan Brina tidak dapat ditangkap oleh kedua netranya yang masih saja sibuk menelisik ke setiap sudut tempat ini.

“Kamu di mana sih, Na?” gumam Fino dengan nada yang terdengar sangat frustasi.

Dirinya mengusak surainya dengan kasar dan menendang kerikil-kerikil kecil yang ada di hadapannya untuk menyalurkan rasa kesal dan emosi yang meluap-luap.

“Apa mungkin masih di kamar mandi ya?” tanyanya kepada dirinya sendiri.

Tanpa berlama-lama lagi Fino menyusuri semua toilet wanita umum yang ada di tempat ini.

Mengabaikan tatapan aneh dan teriakan dari para kaum hawa yang terkejut melihat dirinya memasuki daerah yang dapat dikatakan cukup privasi untuk gender tersebut.

Sampai pada akhirnya Fino berhenti di depan salah satu pintu toilet yang terlihat terkunci dari dalam.

Menurut firasat pemuda itu, orang yang sedang dicarinya sekarang ada di dalam sana.

“Na? Nana? Kamu ada di dalem sini, Na?” panggil Fino sambil mengetuk pintu toilet itu.

Hening.

Tidak ada sahutan dari sana.

Samar-samar, Fino mendengar suara isakan lirih yang tertahan.

Fino yang yakin dengan apa kata hatinya sekarang, langsung berusaha untuk mendobrak pintu di depannya.

Berulang kali pemuda itu menabrakkan tubuhnya pada benda yang menjadi penghalang bagi dirinya sekarang.

Tanpa kenal lelah dan memikirkan rasa sakit yang mulai menjalar pada lengan dan bahunya, Fino terus berusaha seperti orang yang sedang kerasukan setan.

Setelah mencoba terus-menerus tanpa beristirahat, akhirnya pintu tadi berhasil terbuka.

Brak.

Tiada hasil yang mengkhianati usaha keras kita.

Untuk kali ini, Fino mengakui benar adanya slogan tersebut.

Betapa terkejutnya Fino ketika kedua bola matanya melihat pemandangan menyakitkan di depannya ini.

Di depan sana, Nananya tergelak begitu saja di lantai toilet yang sedikit basah dan dingin. Penampilannya tampak sangat kacau dengan darah yang berceceran di mana-mana.

Hati Fino berdenyut nyeri mendapati luka sayatan di sekujur lengan bawah kanan Brina.

Dia tahu.

Fino tahu bahwa Brina sendirilah yang membuat luka itu.

Dan hal itu semakin membuatnya menjadi ikut merasakan sakit.

Fino menggendong tubuh lemah Brina ala bridal style dan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.

Setelah sampai di rumah sakit, Brina segera mendapatkan pertolongan dari perawat di sana.

Fino yang dipersilahkan untuk menunggu di ruang tunggu hanya bisa menuruti perkataan perawat tadi.

Memang bukanlah luka besar atau penyakit yang amat serius, namun Fino masih saja diliputi oleh rasa gelisah.

Dirinya menautkan jemari kedua tangannya dan menekannya dengan kuat.

Buliran air bening sebesar biji jagung keluar bermunculan di sekitar daerah dahi dan pelipis pemuda itu.

Dia, cemas.

Fino tidak dapat menyembunyikan perasaan itu.

Perawat yang keluar dan menghampiri Fino pun belum selesai mengucapkan semua kalimat yang ingin disampaikannya kepada Fino.

Namun, Fino justru sudah berlari terlebih dahulu menuju brankar tempat Brina terbaring.

Fino mendudukkan dirinya pada kursi yang memang sudah tersedia di sana.

Setelah menghela napasnya dengan berat, salah satu tangan besarnya terulur untuk merapikan anak rambut Sabrina yang menjuntai dengan tidak rapi.

Dirinya menyelipkan rambut-rambut kecil tadi pada sela telinga kanan dan kiri Brina.

Sesekali, ditatapnya wajah tenang Brina yang sekarang sedang terlelap dengan lekat.

Pandangan yang dipancarkan oleh kedua manik Fino tampak sangat teduh.

Setelah puas memandangi wajah cantik yang tak akan pernah membuatnya bosan untuk memperhatikannya, Fino meraih tangan kanan Brina yang sudah dibalut oleh perban.

Fino mengusap perban luka itu menggunakan telapak tangannya dengan sangat hati-hati, kemudian mengecupnya.

“Na...” “Bunda Nana,” panggil Fino yang sudah tahu bahwa dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun.

Don't do that again.“ “Please, I beg you.

Setelah mengatakan hal itu, Fino menitikkan air matanya.

Pemuda itu menangis.

Menangis dalam diam, tanpa suara.

Dirinya tidak mau sampai mengganggu dan membuat Nananya terbangun.

Namun ternyata dia salah.

Brina, gadis itu tidak tertidur.

Dirinya hanya memejamkan kedua matanya karena tidak mau bersitatap dengan iris hitam legam milik pemuda ini.

Brina dapat merasakan perlakuan Fino barusan kepadanya.

Dirinya mendengarkan semua rentetan kata yang keluar dari belah bibir Fino.

Dan satu lagi.

Gadis ini juga tahu bahwa pemuda yang sekarang ini sedang bersamanya tengah menangis.

Nono menangis untuk Nananya.

by scndbrr