Luka Lama

Flashback.

Muak.

Anak perempuan yang masih kecil itu sudah tidak tahan lagi untuk menjadi saksi dari adu mulut dari kedua orang tuanya yang sama-sama egois.

Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan putri semata wayang mereka berdua yang harus menutup telinga rapat-rapat ketika suara benda yang melayang bersahutan dengan nada tinggi dari kedua orang dewasa itu.

Katanya sih sudah dewasa, namun kelakuan mereka berdua tidak mencerminkan hal tersebut. Mungkin jika dibandingkan, anak mereka justru akan terlihat lebih dewasa di sini.

Jika mereka berpikiran bahwa putri mereka masih kecil sehingga hal yang mereka perbuat saat ini tidak akan membuat anak tersebut terluka, jawabannya adalah salah.

Pernah dengar penjelasan dari para ahli yang menjelaskan bahwa ingatan dari masa kanak-kanak seseorang justru akan membekas lebih lama daripada ingatan mereka yang lainnya.

Dan itulah yang Brina rasakan.

Dirinya lelah, bahkan sangat terlampau lelah.

Entah dari mana harus mulai menceritakan kisah kelam keluarganya.

Yang pasti sejak di malam itu, hari-hari Brina yang awalnya berisikan ketenangan karena kesibukan tuntutan pekerjaan orang tuanya masing-masing, langsung berubah diisi oleh suara-suara pertengkaran mereka mereka berdua.

Mengapa dikatakan jika hari-hari yang Brina lalui memang selalu tenang sejak awal? Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kedua orang tua dari anak perempuan itu memiliki watak gila kerja yang sama.

Mereka berdua terbiasa bangun pagi-pagi buta dan kembali ketika matahari sudah tenggelam. Tentu saja hal itu membuat mereka tidak dapat berjumpa dengan Brina.

Satu-satunya hal yang seharusnya membuat Hari dan Sania menyesal hingga detik ini, adalah ketika kedua orang itu tidak dapat melihat putri semata wayangnya itu tumbuh.

Namun, jika Brina disuruh memilih menjalani harinya dengan rasa sepi dan sunyi yang menggerogotinya atau menjalani harinya dengan rasa sakit dan takut melihat kedua orang yang ia sayangi beradu argumen, maka dapat dipastikan Brina pasti akan memilih yang pertama.

Tidak apa jika dirinya harus merasakan seolah-olah tidak mempunya orang tua, ketimbang dirinya harus mendengarkan sumpah serapa yang keluar dari mulut kedua orang tuanya yang saling menyerang satu sama lain.

Karena percayalah, itu semua lebih sakit.

Brina tidak tahu siapa yang salah di sini. Apakah papanya? Atau justru mamanya?

Anak perempuan yang usianya bahkan belum genap 10 tahun itu lebih memilih untuk menaruh kepercayaan kepada mamanya karena sebetulnya Brina lebih dekat dengan Sania ketimbang dengan Hari.

Ditambah lagi dengan fakta yang tidak dapat Hari elak lagi. Pria dewasa itu sering kali kelepasan dengan menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya ketika sedang bersitegang dengan Sania.

Hal itu membuat Brina menarik kesimpulan dengan pasti bahwa papanya-lah yang bersalah di sini.

Sakit.

Hari merasakan hatinya hancur berkeping-keping ketika putri semata wayangnya yang amat dirinya sayangi itu mendeklarikan pernyataan kekecewaannya kepada dirinya.

Bukan ini yang dirinya mau. Bukan ini juga yang seharusnya terjadi.

Ingin sekali pria itu menjelaskan semuanya dengan gamblang kepada Brina tanpa menutup-nutupinya. Namun sayangnya, sosok ayah telah melekat dengan sangat kuat pada dirinya.

Hari memilih untuk bungkam.

Bukan karena pria itu terlalu malas untuk memberikan pernyataan pembelaannya, namun dirinya hanya tidak mau jika nanti justru putrinya ikut terluka karenanya.

Sudah cukup.

Biarkan dirinya saja yang terluka, putri kecilnya jangan sampai.

Hari berharap agar suatu saat Brina mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Tapi jika boleh, dirinya juga lebih berharap lagi Brina melupakannya dan tidak mengingatnya lagi.

Karena jika putrinya itu tahu apa alasan dari pria itu yang bertindak keras kepada istrinya, Brina akan semakin sakit.


“Halo sayang? Kamu apa kabar?” sapa Sania begitu panggilan suaranya telah tersambung dengan seseorang di sana. Wanita itu kini tengah bertelepon di balkon ruang santai keluarga.

”...”

Sania menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum kembali berbicara,“Ih aku kesel banget deh sama si Hari. Dia itu drama banget tau ga sih!” ucapnya sambil memainkan gelas piala berisi alkohol dengan memutar-mutarkannya secara perlahan.

”...”

“Padahalkan gampang, dia tinggal ceraiin aku aja, ngapain dibuat ribet gini coba?!” suara Sania meninggi karena dirinya merasa kesal ketika mulai membahas tentang topik ini.

Wanita itu menyibak surainya ke arah yang berlawanan kemudian berbalik badan dengan kepala yang menunduk memperhatikan tangannya yang membenahi piyama berbahan satin miliknya.

”...”

Sambil mendengarkan penuturan sesorang di seberang sana, Sania masih belum mengangkat kepalanya dan masih sibuk dengan piyamanya yang berbahan satin itu.

”...”

“Iya deh mending gitu aja. Cuma bisa nunggu sih aku mah bener kata kamu. Kalau gitu udah dulu ya sayang, selamat malam, selamat tidur. Jangan lupa mimpiin aku nanti, I love you!

Deg.

Sania terkejut bukan main begitu menatap lurus ke depan dan mendapati Brina, putri kecilnya itu sedang menatapnya dengan tatapan yang memancarkan kekecewaan mendalam.

Hening.

Selama beberapa saat, ibu dan anak itu hanya saling memaku tatap satu sama lain. Tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut mereka. Mereka memilih untuk menutup mulu masing-masing dengan rapat.

Sebenarnya wajah Brina juga tidak kalah terkejutnya dengan Sania, bahkan anak kecil itu tadi sempat membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf o dan menutupnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya sendiri.

Bagaimana bisa?

Bukankah selama ini penjahatnya adalah papanya? Lantas apa ini? Maksud dari perkataan mamanya barusan kepada orang yang ditelpon dengannya tadi itu apa?

Apakah satu kata yang terus saja berputar-putar di dalam kepala Brina adalah jawabannya?

Tidak.

Hanya dengan membayangkannya saja Brina sudah tidak mampu. Namun, bukankah hal yang dilihat dan didengarkannya barusan itu sudah dapat menjelaskan semuanya?

Selingkuh.

Sania bermain di belakang Hari.

Brina kehilangan kemampuannya untuk berbicara lagi. Dirinya yang masih kecil saja sudah dapat mencerna hal itu dengan sangat baik.

Jadi ini adalah alasan dari keributan yang selalu diperdebatkan oelh merek berdua?

Karena hadirnya orang ketiga di dalam hubungan yang dibina oleh kedua orang tuanya?

“Pantesan,” celetuk Brina tiba-tiba yang membuat Sania menatapnya dengan perasaan yang sudah kalut.

Sania berusaha untuk berjalan mendekati putrinya, namun Brina mengangkat salah satu tangannya mengisyaratkan agar mamanya itu tetap diam di tempatnya berpijak sekarang.

“Mama jahat,” lirih Brina lagi disusul oleh air matanya yang meluncur begitu mulus pada pipi putihnya.

Sania menggelengkan kepalanya dengan ribut dan menggigit belah bibir bawahnya kuat-kuat. Hatinya ikut berdenyut nyeri begitu melihat pertahan putrinya yang hancur.

Brina mengusap air matanya yang berlinangan dengan kasar kemudian berusaha untuk mentralkan napasnya yang sedikit terengah-engah.

Anak perempuan itu menatap sosok ibu di depannya ini dengan tatapan nyalang yang menyiratkan semua amarahnya. “Papah terlalu buat Mamah! Brina benci sama Mamah!”

Setelah mengutarakan hal itu, Brina berbalik dan berlari menuju ke kamarnya. Anak perempuan itu menutup pintu ruangan pribadi miliknya dengan kasar kemudian menguncinya dari dalam.

Sania tiba-tiba saja merasakan bahwa dirinya seakan-akan kehilangan keseimbangannya. Dirinya luruh begitu saja.

Bukankah dia sudah melakukan hal ini dengan lama?

Bukankah ketika menyadari bahwa suami sahnya itu mengetahui kelakuannya ini, dirinya tidak peduli?

Lantas mengapa ketika dipergoki secara langsung oleh putrinya, ada rasa sesal yang menyerbu ruang pada rongga dadanya?

Bahkan rasanya sangatlah sesak.

Entah mengapa dirinya merasa menyesal.

Menyesal telah melukai putri semata wayangnya itu sendiri.

Dirinya sendiri yang telah melukainya, bukan orang lain, namun dirinya-lah sendiri.

by scndbrr