Jalanin Bareng
Brina terus saja meronta kepada Fino untuk segera melepaskan genggaman tangannya. Namun laki-laki itu memilih untuk menulikan pendengarannya dan terus melangkah ke suatu tempat yang menjadi tujuannya sekarang.
Rooftop.
Setelah sampai di tempat ini, Fino akhirnya membebaskan tangan Brina darinya. Tatapan laki-laki itu tidak berpaling barang sedetik saja dari perempuan yang kini sedang berdiri tepat di hadapannya.
“Ngapain ke sini sih?” tanya Brina dengan sedikit ketus lantaran dirinya sedang menahan kesal.
Fino tidak menjawab. Dirinya hanya diam seribu bahasa, mengunci mulutnya rapat-rapat.
Brina yang awalnya tidak memandang Fino ketika dirinya bertanya tadi, akhirnya mulai memandangi laki-laki itu dengan dahinya yang sedikit berkerut. Perempuan ini bingung, mengapa lawan bicaranya tidak menanggapi pertanyaan yang telah dilotarkan olehnya.
Lantas, perempuan itu menjulurkan tangan kanannya dan membuat gerakan ke arah kanan dan kiri seperti kerja dari wiper pembersih kaca mobil ketika sedang turun hujan.
Tiba-tiba saja Fino menahan tangan Brina yang masih setiap untuk bergerak menyadarkannya. Laki-laki itu masih tetap diam. Dirinya hanya memaku tatap pada Brina sekarang.
Gerakan Fino yang sangat tiba-tiba tadi membuat Brina merasakan gelenyar aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya, perempuan itu berusaha untuk meloloskan tangannya yang kini digenggam oleh Fino.
Brina sedikit menunduk untuk dapat menutupi semburat merah pada pipinya yang tidak tahu waktu muncul begitu saja sekarang ini. Oh ayolah, mengapa harus muncul sekarang sih? Timming yang sangat tidak tepat.
“Na, liat aku.” suara bariton milik Fino membuat pergerakan Brina berhenti total.
“Na, please...” ucapnya lagi berharap kali ini Nananya mau mendengarkan dirinya.
Dengan ragu-ragu, Brina pun mengalah kemudian sedikit mendongakkan kepalanya untuk dapat melihat raut wajah Fino.
Fino yang melihat hal itupun langsung menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan mencetak senyuman manisnya.
Siapapun yang melihat sunggingan senyum yang terpatri pada wajah Fino sekarang ini pasti juga akan terdorong untuk berbuat hal yang sama. Tidak terkecuali dengan Brina. Dirinya juga kini tengah mati-matian untuk menahan senyumnya di depan Fino.
“Apa?” cicit Brina berniat untuk membuka percakapan diantara mereka berdua setelah beberapa detik hanya saling memaku tatap satu sama lain tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Fino tidak langsung menjawab Brina, dirinya memilih untuk mengelus pelan pucuk kepala Brina. Laki-laki itu tampak menikmati semerbak wangi aroma strawberry yang menguar dari rambut hitam legam milik Brina ketika sedang diusapnya.
Brina memejamkan kedua matanya dengan spontan begitu rasa nyaman mengerubungi dirinya. Entah mengapa usapan lembut Fino dapat membuat perempuan itu menjadi tenang.
“Jangan menghindar dari aku lagi, ya?” interupsi dari Fino membuat Brina membuka matanya kembali dan menatap kedua manik laki-laki itu dengan tatapan yang terlihat sedikit sendu.
“Tapi ga semua masalah harus aku bagi sama kamu kan, No?” Brina mengembalikan pertanyaan Fino dengan pertanyaan dari dirinya sendiri.
Mungkin perempuan itu tidak sadar berucap dengan suara yang terdengar gemetar dan lemah, namun Fino dapat merasakan semua hal itu dengan sangat jelas. Dirinya merasakan beban yang dipikul oleh Brina bukanlah beban yang sepele, melainkan cukup berat.
“Iya, Na. Kamu Bener. Tapi aku mau kamu tahu satu hal ini, Na...
... Kita semua butuh satu orang yang bisa jadi tempat berbagi beban kita. Dan aku berharap aku bisa jadi satu orang itu buat kamu. Kita jalanin semuanya bareng-bareng ya, Na?”
by scndbrr