Harus Ingat Kembali
Dua laki-laki itu terdiam, larut di dalam keheningan yang mereka berdua ciptakan masing-masing.
Diantara mereka tampaknya tidak ada yang memiliki niatan untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang ini, bahkan hingga membuat temperatur suhu di sekitar mereka seakan-akan meningkat drastis.
Setelah kesunyian menyelimuti mereka cukup lama, akhirnya suara dehaman dari Rayyan yang menggema di dalam ruangan pribadinya menjadi awal mula percakapannya dengan Fino
Ekhem.
Fino yang pada awalnya menundukkan kepalanya pun langsung menoleh ke arah sahabatnya itu begitu mendapatkan sinyal bahwa sahabatnya ini akan mulai berbicara.
“Iya,” ucap Rayyan tiba-tiba sambil menatap Fino.
Fino yang masih belum dapat menangkap konteks dari maksud konfirmasi Rayyan barusan menaikkan kedua alisnya menyiratkan bahwa dirinya tidak memahami arah pembicaraan ini.
Bohong.
Sudah jelas jika Fino mengetahui artinya.
Laki-laki itu hanya ingin memastikan sekali lagi fakta mengejutkan yang ia ketahui pada hari ini.
Itu saja.
“Iya, bener. Brina itu adek tiri gue,” jelas Rayyan kemudian bangkit dari posisi duduknya dan dirinya beralih untuk membelakangi Fino.
Fino tidak langsung menanggapi perkataan Rayyan barusan. Laki-laki itu justru mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Terdapat juga kerutan dalam pada dahinya yang terpampang dengan sangat jelas.
”...”
“Lo, serius?” tanya Fino dengan suara yang amat pelan hingga hampir tak terdengar oleh Rayyan.
Rayyan membalikkan badannya untuk menatap Fino sekilas, kemudian dirinya mengusak surainya yang sudah mulai panjang itu dengan kasar.
Sebelum menjawab pertanyaan retorik dari sahabatnya ini, Rayyan sempat berusaha untuk menenangkan dirinya yang entah mengapa tiba-tiba menjadi emosi sekarang.
“Nyokap... Ehm maksud gue, mami sendiri yang ngasih tau.”
Tidak ada jawaban apa-apa dari Fino. Laki-laki itu terlihat terkejut bukan main dengan kenyataan ini. Meskipun dirinya masih belum dapat mengingat Brina, namun mengetahui suatu hal penting tentang kehidupan perempuan itu membuat hati Fino sedikit menghangat.
Fino juga tidak tahu apa arti dari semua perasaan anehnya saat ini.
Karena tak kunjung mendapatkan reaksi dari lawan bicaranya, Rayyan berniat untuk melanjutkan perkataannya. Laki-laki itu terlihat ingin mengungkapkan semua hal yang ada di isi otaknya sekarang.
Semuanya itu, berkaitan dengan Brina...
...dan sudah pasti juga dengan Fino.
Setelah menghirup udara dan mengeluarkannya dengan rileks berulang kali, Rayyan akhirnya mengutarakan seluruh pemikirannya kepada Fino.
“Fin, gue mau ngomong. Jujur gue ga terlalu tau tentang sejarah lo sama Brina itu gimana. Gue cuma tau kalo Brina itu first love lo dan kalian ketemu pas waktu masih SD. Udah itu aja. Gue ga tau lebih dalem lagi, karna lo ga pernah cerita selain tentang tadi.”
Fino terdiam, berusaha untuk memusatkan seluruh atensinya kepada sahabatnya yang kini berdiri di hadapannya.
“Iya, gue ngerti kok. Ga ada di dunia ini yang mau buat ngalamin kecelakaan. Apalagi kecelakaan parah kaya lo sampe bisa bikin lo hilang ingatan. Lo ga salah, gue paham. Tapi...” Rayyan berhenti sejenak untuk menetralkan deru napasnya yang mulai terdengar tidak beraturan. Rasa sesak tiba-tiba saja menggerogoti laki-laki itu.
Fino masih setia untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Dirinya juga tidak menatap ke arah kedua netra Rayyan yang justru terlihat sedang memandanginya dengan intens.
Meskipun ucapan sahabatnya ini terjeda, Fino masih saja tidak berniat untuk mengeluarkan barang satu patah kata pun, bahkan sekedar untuk menanyakan mengapa laki-laki itu berhenti berbicara pun tidak.
Dirinya hanya berusaha sabar untuk menunggu lanjutan rangkaian kata-kata yang akan kembali dituturkan oleh sahabatnya itu.
”...Tapi sekarang beda Fin. Gue ga bisa mentolerir sikap lo lagi. Kalo gue boleh ngomong jujur sama lo, selama beberapa hari ke belakang ini, perlakuan lo ke Brina udah cukup keterlaluan. Ga seharusnya lo kaya gitu ke dia. Apalagi kalo lo inget dia itu siapa.” Rayyan sengaja menegaskan kalimat terkhirnya dengan jelas membuat Fino tercekat.
“Dia adek gue, jangan lo sakitin!” seru Rayyan menambahkan lagi.
Kepingan-kepingan memori yang acak tiba-tiba saja memenuhi kepala Fino.
Di sana, Fino dapat melihat dengan jelas wajah cantik Brina yang sedang tersenyum dengan sangat manis ke arahnya.
Fino merasakan denyuta nyeri pada kepalanya sehingga kedua tangan besarnya terulur untuk memegangi kepalanya sendiri.
Rayyan yang melihat perubahan ekspresi datar Fino tadi menjadi seperti orang sedang amat kesakitan juga ikut panik. Dirinya melupakan sejenak rasa kesalnya kepada sahabatnya ini yang telah memperlakukan adik tirinya dengan tidak baik.
“Fin? Fino, lo kenapa? Lo gapapa kan?” Rayyan kesulitan untuk menghentikan tangan Fino yang sedang berusaha untuk mencengkeram rambutnya dengan kuat-kuat.
“S-sakit anjing!”
“Gua juga pengen bisa inget semuanya, tapi gua belum bisa!”
“Ga segampang itu buat percaya tentang yang kalian omongin soal Brina ke gua!”
Fino terus saja meracau tidak jelas sambil juga diiringi dengan umpatannya.
Rayyan juga tidak tega melihat kondisi Fino yang seperti sekarang ini. Namun, satu-satunya yang dapat membuat sahabatnya itu mendapatkan kembali ingatannya hanyalah dirinya sendiri.
Tekad yang kuat pastilah akan membuahkan hasil yang baik.
Seharusnya Fino menyadari slogan itu sejak awal. Bukannya mudah termakan dengan hasutan licik dari Najla, perempuan yang bahkan tidak ia ketahui kehadirannya sebelumnya.
Atau justru bukan dari situ hal ini terjadi?
Apakah semuanya bermula dari orang itu?
Orang yang sepertinya memiliki dendam besar kepada Fino hingga berniat untuk merampas semua hal yang ada di sisi laki-laki itu.
Sekarang jalan keluar satu-satunya adalah Fino harus segera dapat mengingat kembali memori-memori yang terjerembab di dalam labirin pikirannya.
Karena hanya dengan begitulah semua teka-teki yang rumpang ini akan dapat terpecahkan.
by scndbrr