Tumpah Ruah

Narion dan Brina masih berada di sekitar kawasan rumah sakit. Mereka berdua berada di dalam mobil yang masih terparkir dengan rapi di tempat parkir rumah sakit ini.

Brina terduduk pada kursi penumpang, menatap lurus ke arah depan dengan tatapannya yang kosong.

Perempuan itu masih tidak dapat mempercayai hal yang sedang menimpa dirinya pada kali ini.

Bukankah itu semua terdengar sangat konyol?

Namun mau bagaimanapun juga hal ini adalah nyata adanya.

Narion ikut terdiam bersama dengan keterdiaman Brina yang sejak tadi tidak mau membuka mulutnya untuk mengeluarkan barang satu patah kata pun.

Karena merasa sesak yang teramat dalam pada dadanya ketika kejadian yang baru saja terjadi tadi melintas di otak Brina.

Perempuan itu mengepalkan telapak tangan kanannya erat-erat, kemudian membawanya ke depan dadanya sendiri, lantas memukulkannya di sana dengan cukup keras.

Kedua matanya sengaja perempuan itu pejamkan kuat-kuat sebagai perlindungan dirinya yang tengah menahan rasa sakit luar biasa di hatinya.

Tidak.

Brina tidak menangis.

Perempuan itu masih belum mengizinkan cairan bening yang sudah menumpuk pada kedua pelupuk matanya untuk lolos begitu saja.

Narion yang pada awalnya menundukkan kepalanya frustasi, langsung menoleh ke arah Brina setelah mendengar suara yang dihasilkan dari benturan kulit yangan perempuan itu dengan tulang dadanya sendiri.

Laki-laki itu terkejut kemudian dirinya memberanikan diri untuk menangkap tangan Brina yang masih saja terus menyakiti dirinya sendiri. Berusaha untuk menghentikan aksi perempuan itu.

Perlahan Narion membawa tubuh mungil Brina untuk masuk ke dalam dekapannya. Laki-laki merengkuhnya dengan sangat hati-hati, takut jika saja dirinya membuat Brina tidak nyaman.

Hening.

Tidak ada suara apapun selain dari suara deru napas mereka berdua yang saling beradu dan bersahutan satu sama yang lainnya.

Hingga pada akhirnya mulailah terdengar isakan yang awalnya lirih kemudian lama-lama berubah menjadi keras.

Brina menangis.

Benteng kokoh yang telah dibangun oleh perempuan itu akhirnya runtuh juga sekarang.

Di dalam pelukan hangat yang diberikan oleh Narion kepada Brina, perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala rasa kesedihan dan juga rasa kecewanya.

Narion yang menyadari betapa sakitnya perempuan yang ia sayangi ini hanya bisa menenangkannya dengan terus memberikan usapan lembut pada punggung Brina.

Laki-laki itu berharap, hal yang dirinya lakukan ini dapat sedikit memberikan kekuatan untuk Brina supaya dirinya dapat kembali bangkit dari keterpurukannya.

Suara rintik hujan di luar mobil membuat suara tangisan Brina menjadi teredam karena kalah kuat dengannya.

Lihat, semesta itu lucu bukan?

Bukankah semesta yang menciptakan kondisi tidak masuk akal seperti ini untuk Brina?

Bukankah semesta yang mengambil sumber kebahagian Brina yang beru saja ia temukan kembali?

Bukankah semesta yang menghancurkan segalanya untuk Brina?

Hancur berantakan.

Lantas mengapa semesta terlihat seolah-olah sedang memberikan simpatinya untuk Brina yang sedang menangis sekarang?

Jika dikatakan semesta pun tahu luka yang sedang dialami oleh manusia yang tinggal di dalamnya sehingga mereka pun ikut menemani dengan menumpahkan kesedihannya dalam bentuk tetesan air dari langit, lantas mengapa semesta harus merampas kebahagiaan Brina secara tiba-tiba?

Semesta yang berbuat, semesta juga yang ingin terlihat seperti pahlawan.

Kalau disebut sebagai pahlawan kesiangan, Brina setuju.

Sudah cukup.

Brina muak dengan semesta dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

by scndbrr