Takut

CW // Self Harm CW // Blood

Tengah malam dimana seharusnya merupakan waktu orang-orang untuk memejamkan matanya, rehat sejenak dari urusan duniawi, melepas penat yang kian membuat kepala ini menjadi berat.

Sayangnya tengah malam kali ini membuat segelintir orang kalang kabut. Mereka panik, mereka khawatir, mereka ketakutan. Takut akan kehilangan seseorang yang mereka sayangi dengan sepenuh hati.

Brina, gadis muda itu kini tengah duduk di lantai kamarnya yang dingin selepas dirinya melakukan hal yang itu kembali.

Meski sudah sempat diperingati oleh sahabat dekatnya, namun ternyata kabar mengejutkan yang dirinya ketahui malam ini mampu membuat akal sehat gadis itu melayang.

Gadis itu tahu bahwa apa yang ia lakukan ini salah. Gadis itu tahu dengan melakukan hal ini tidak akan membuat Fino langsung sadar begitu saja.

Namun, bagi gadis itu hanya dengan melakukan hal inilah dirinya akan merasakan sedikit ketenangan. Ketenangan yang perlahan masuk ke dalam tubuhnya dan bersemayam di dalam jiwanya.

Membuatnya bisa kembali bernapas dengan lega, meskipun rasa nyeri dari torehan lukanya itu menganga dan mengalirkan darah segar yang cukup deras.

Brina melakukan self harm lagi.

Dengan penampilan yang terlihat berantakan, gadis itu menutup kedua matanya dan menggigit ujung bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan isakan tangis yang minta diloloskan.

Bukan.

Brina bukan ingin menumpahkan air matanya karena merasa kesakitan setelah kembali menyayat tangannya sendiri.

Melainkan, gadis itu merasakan sakit yang teramat dalam pada hatinya ketika harus membayangkan bagaimana keadaan Fino sekarang.

Jika ditanya rasanya seperti apa, gadis itu ingin sekali menjawab bahwa rasanya seperti sedang ditimpa oleh ribuan ton beban pada pundak sempitnya itu.

Sekuat apapun Brina berusaha untuk tegar dan menunggu kedatangan dari kedua sahabatnya Narion dan Hasta itu, akhirnya dirinya pun tak kuasa untuk menahan pedihnya.

Dia menangis. Brina menangis dengan sangat pilu.

Buliran bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya akhirnya lolos dan terjun bebas dengan sangat brutal. Membuat wajah cantik milik gadis itu terlihat berwarna merah dan berlinangan air mata.

Tangisan Brina yang mampu menyayat hati siapapun pendengarnya. Termasuk Narion dan Hasta yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumah besar yang hanya ditinggali oleh perempuan malang itu.

Narion dan Hasta saling bertukar pandangan sebelum akhirnya Narion melangkahkan kedua kaki jenjangnya dengan tempo yang cepat menuju ke ruangan yang tadi disebutkan oleh Hasta.

Di kamar.

Hasta juga tak mau kalah. Dirinya segera bergegas untuk menyusul Narion yang memimpin jauh di depannya, bahkan hampir sampai di depan pintu putih yang menjadi sekat ruangan pribadi perempuan itu.

Tanpa berlama-lama lagi, Narion langsung membuka kenop pintu tersebut dan langsung terpampanglah pemandangan yang membuat hatinya ikut berdenyut nyeri.

Benar.

Kedua sahabat dekat Brina, Narion dan Hasta juga mengetahui bahwa sahabat perempuannya itu akan bertindak untuk menyakiti dirinya sendiri ketika sedang dilanda rasa cemas dan takut.

Namun sepengetahuan mereka berdua, Brina sudah tidak pernah melakukan aksi itu lagi setelah hal itu hampir saja merenggut nyawanya pada waktu lampau.

Yang mengetahui tentang tragedi itu hanyalah empat orang saja. Diantaranya adalah Narion, Hasta, Brina sendiri, dan yang terakhir adalah Maya, ibu tiri Brina.

Maya memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak memberitahukannya kepada siapapun termasuk suaminya sebab itu adalah permintaan yang diajukan langsung oleh putri tirinya itu sendiri.

Karena Brina berjanji kepada Maya bahwa dirinya tidak akan lagi melakukan hal itu kembali, maka akhirnya Maya pun setuju untuk membungkam mulutnya.

Mengingat mengenai tragedi itu, Narion dan Hasta tidak habis pikir dengan apa yang kedua netra mereka lihat sekarang. Pasalnya lagi-lagi cairan yang berwarna merah pekat itu mengalir dari bagian tubuh Brina yang sama pada saat itu.

Entah mengapa Brina selalu menggoreskan benda tajam pada bagian lengan bawahnya yang dekat dengan nadi-nadinya itu bersarang. Apakah dirinya tidak mengetahui seberapa bahayanya hal tersebut?

Narion sempat membeku setelah melihat genangan darah yang tercecer di sekitar tubuh Brina duduk.

Kedua maniknya terpaku justru terpaku dengan hal itu, bukannya dengan perempuan yang sedang menangis dengan tersedu-sedu hingga untuk bernapaspun rasanya sulit.

Hasta yang menyadari hal itu langsung menghampiri Brina dan mendekapnya dengan hangat. Laki-laki itu berharap dirinya dapat menyalurkan ketenangan untuk perempuan itu.

Secara perlahan, Hasta menaik-turunkan telapak tangannya pada punggung ringkih milik Brina secara berangsur-angsur sambil terus menggumamkan kalimat ini dengan lembut,

It's okay, i'ts okay Brin. Fino pasti baik-baik aja.”

Brina yang mendengarkan begitu kalimat itu mengudara dan menyapada indera pendengarannya kemudian mencengkeram erat ujung baju milik Hasta dan kembali menangis sambil meracau dengan suaranya yang terputus-putus dan napasnya yang tersengal-sengal.

“F-fino...” “Fino gimana, Has?” “Fino beneran bakal baik-baik aja?” “Fino pasti bisa sadar kan? Iya kan, Has?”

“Gue belum sempet bilang ke dia soal perasaan gue yang sebenernya.” “Gue belum ceritain masalah yang gue hadepin ke dia, sesuai sama apa yang dia minta.” “Gue belum sempet dengerin kisahnya dia selama kita ga bareng-bareng.”

“A-ayah Nono...”

“Gue sayang banget sama ayah Nono!” “Gue belum lama ketemu sama orang yang jadi alasan bahagia gue.” “Gue ga mau kehilangan dia.”

“Takut...”

by scndbrr