Asing
Perempuan yang memiliki nama lengkap Johana Sabrina itu terlihat sangat tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang dirinya amat sayangi.
Fino.
Keadaannya pada pagi hari ini terlihat jauh lebih baik ketimbang dengan semalam. Bahkan perempuan itu sudah dapat menerbitkan senyuman manisnya yang membuat siapapun yang melihatnya menghangat.
Termasuk dengan Narion dan Hasta.
Kedua laki-laki itu tidak dapat menyembunyikan perasaan mereka untuk sahabat dekatnya. Tampak dari gelagat aneh Narion yang tidak berani untuk menatap langsung kedua iris kecoklatan milik Brina.
Lqain halnya dengan Narion. Ketika sedang salah tingkah karena lawan jenis, Hasta biasanya justru menjadi pribadi yang berputar 180 derajat sikapnya. Laki-laki itu akan berubah menjadi kalem, sangat berbeda dengan sifat aslinya yang cenderung ke arah banyak tingkah.
Baiklah, mari kita lupakan sejenak tentang dua laki-laki itu.
Kembali lagi dengan Brina yang kini sudah sampai di rumah sakit yang ia dapati informasinya menjadi tempat pengobatan Fino. Perempuan itu langsung berjalan menuju ke arah resepsionis untuk menanyakan ruangan yang ditempati oleh Nononya.
Setelah mendapatkan informasi mengenai di mana laki-laki itu berada, Brina langsung menghampiri Narion dan Hasta kembali dan mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke ruangan yang dituju.
Ketika mereka bertiga sudah sampai di depan pintu ruangan tersebut, Brina menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak.
Perempuan itu tidak langsung mengetuk pintu dan masuk ke sana, melainkan dirinya memilih untuk menetralkan debaran jantungnya yang sudah tidak karuan.
Yang benar saja, mengapa di saat seperti ini perasaaan Brina seperti memiliki firasat yang buruk?
Entah mengapa di kepala perempuan itu sejak berjalan menuju ke ruangan ini terus saja berspekulasi tentang kemungkinan-kemungkinan aneh yang dapat membuat dirinya merasa gusar.
itu semua memang hanyalah imajinasi liar yang tiba-tiba saja hinggap di otaknya. Namun, rasanya semua imajinasi tadi bisa saja terjadi pada detik ini juga.
Sempat menghela napas dengan berat, Brina akhirnya memberanikan diri untuk membuka sekat yang menjadi penghalang di depannya itu.
Narion dan Hasta pun turut masuk ke dalam mengekori Brina.
Tidak.
Bukan ini yang Brina mau.
Betapa terkejutnya Brina bahkan Narion dan Hasta pun juga sama ketika melihat pemandangan yang tersaji untuk mereka bertiga ini.
Sedikit sesak.
Bohong.
Bahkan rasanya sangatlah sesak.
Brina melihat Nononya sedang terbaring di atas brankar sambil memeluk seorang perempuan yang dirinya sama sekali tidak kenal.
“Anjing!” umpat Hasta keceplosan.
Narion langsung menatap Brina dan laki-laki itu mengetahui bahwa perempuan yang hari ini sangat excited untuk bertemu dengan laki-laki yang sedang terlelap dengan perempuan lain itu terluka.
Hal itu Narion yakini, pasalnya Brina meremat kuat-kuat buket bunga yang dirinya tadi sempatkan beli terlebih dahulu sebelum datang ke tempat ini.
Fino yang merasa waktu tidurnya sedikit terusik setelah terdengar suara pintu yang tiba-tiba terbuka dan juga suara laki-laki yang sedang mengumpat pun lantas membuka matanya secara perlahan.
Laki-laki itu tampak tengah menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indera penglihatannya.
Setelah dirasa dirinya sudah sepenuhnya sadar dan jiwanya pun juga telah terkumpul, Fino bangkit dari posisi tidurnya dengan perlahan untuk dapat beralih menjadi posisi duduk.
Dirinya terlihat bergerak dengan sangat hati-hati karena takut membuat perempuan yang juga tadi ikut terlelap bersamanya bangun.
“No...” panggil Brina lirih dengan suaranya yang terdengar gemetar.
“Kalian siapa?” tanya Fino kepada mereka.
“Kamu nggak inget aku?” tanya Brina kembali sambil menatap Fino dengan nanar.
“Kalian salah masuk kamar ya?”
Deg.
Apa lagi ini, ya Tuhan?
“Eh bro, lo masa ga kenal? Brina ini, Sabrina.” Hasta yang sediki geram dengan Fino langsung menyela Brina ketika Brina terlihat ingin mengucapkan sesuatu.
“Lo ga mungkin amnesia kan?” tanya Narion yang membuat atensi Brina, Fino dan Hasta terpusat padanya.
“Gue cuma nanya aja. Tapi ga mungkin lah ya? Ya kali.” ucap Narion yang diakhiri dengan kekehan garingnya.
Mungkin karena merasa terganggu dengan suara orang-orang yang ada di ruangan ini, akhirnya perempuan yang terbaring di sebelah Fino terbangun.
Dirinya sedikit terkejut karena mendapati banyak orang yang mengelilinginya.
Ralat, mengelilingi Fino maksudnya.
“Eh kalian temennya Nono, ya?” bukannya menyapa terlebih dahulu, perempuan itu justru langsung melontarkan pertanyaan kepada Brina, Narion dan Hasta yang kini sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan.
Tunggu dulu.
Tadi apa kata perempuan itu?
Nono?
Itu kan panggilan kesayangan milik Brina, kenapa perempuan itu bisa tahu dan memakainya juga?
“Sayang kamu keganggu ya tidurnya? Maaf ya, Na.” ujar Fino kepada perempuan itu dengan lembut sambil mengusap pelan rambut panjangnya.
Katakan kalau ini semua hanyalah mimpi.
Cepat katakan.
Lutut Brina melemas, jika tidak ada Narion yang menahan pinggang ramping perempuan itu, mungkin Brina sekarang sudah tersungkur di lantai kamar ini.
“Dia siapa lo? Cewe lo?” tanya Hasta dengan nada suaranya yang tidak santai.
“Hai, kenalin ya aku Najla. Bunda Nana sayangnya ayah Nono.” bukannya Fino yang menjawab, melainkan perempuan itu sendiri yang kini terlihat memperkenalkan dirinya dengan bangga.
“Bunda Nana?” gumam Brina sambil menatap ke arah Najla, perempuan yang sedang tersenyum sinis kepadanya.
Najla menganggukkan kepalanya lantas meraih tangan besar milik Fino dan menautkan jari-jarinya di sana.
“Iya, gue cewenya Fino.” tambah Najla lagi yang sukses membuat satu buliran bening mengalir begitu saja dari bola matanya tanpa disadari oleh Brina.
“Kalian siapa sih? Beneran temen gue? Tapi kok gue ngrasa ga kenal sama kalian semua ya? Terutama lo.” ucap Fino sambil mengarahkan jari telunjuk tangannya yang terbebas dari genggaman Najla ke arah muka Brina.
Sakit.
Rasanya sakit sekali.
Ingin sekali Brina rasanya untuk berteriak sekarang dan bertanya dengan lantang. Sebenernya ini yang lagi mimpi siapa sih? Dirinya atau justru Fino?
Tidak mungkin ini sebuah realitan kan?
Iya kan?
Ayolah, siapapun itu tolong katakan juka ini hanya prank tidak jelas atau bunga tidur diantara kita saja, bukan yang lain.
Tolong.
Siapapun itu tolong Brina.
“Kok malah pada diem? Ga jelas banget sih lo semua! Mending kalian pergi deh! Ganggu orang lagi istirahat aja!” ketus Fino dengan sedikit mengintimidasi mereka bertiga.
Hasta yang mulai tersulut emosinya pun baru akan melangkahkan kakinya menuju ke arah ranjang Fino, namun langkah laki-laki terhenti ketika melihat gelengan lemah dari Brina.
Hasta mengusak surainya dengan kasar dan akhirnya pun mengalah untuk menuruti permintaan sahabat dekatnya itu.
“No, aku ga tau kamu kenapa. Aku juga ga kenal sama perempuan ini. Aku jujur udah ngrasa seneng banget ngeliat keadaan kamu sekarang yang udah baik-baik aja. Makasih ya karna udah sadar. Makasih juga karna ga pergi gitu aja. Makasih karna kamu nepatin janji kamu ke aku...
...Tapi bunda Nana sayang kamu itu aku No, bukan dia!” tangisan yang telah ditahan mati-matian oleh perempuan itu akhirnya pecah juga.
Brina kembali menangis.
Lagi.
Kali ini penyebabnya datang dari orang yang dirinya anggap sebagai sumber kebahagiannya.
Orang yang pada waktu itu telah mendeklarasikan dirinya dengan mantap bahwa dia akan selalu ada untuk Brina.
Orang yang pada waktu itu telah berjanji akan selalu menunggu Brina hingga kapanpun juga.
Orang yang pada waktu itu telah menyatakan dirinya dengan jelas bahwa dia akan ikut terjatuh disaat Brina juga terjatuh.
Namun mengapa sekarang orang itu justru menyakitinya?
Mengapa orang itu justru menghancurkannya?
Menghancurkan kepercayaan yang telah Brina bangun dengan susah payah.
Melawan berbagai trust issues yang dimilikinya sejak dirinya kecil.
Mengapa?
Sekali lagi, semesta dan pencipnya mengambil kebahagian Brina.
Entah untuk sementara saja, atau justru hingga selama-lamanya.
Tidak ada yang tahu.
by scndbrr