Manipulatif
Di sinilah Brina dan Narion kini berada. Di dalam sebuah kendaraan roda empat yang tengah membelah jalanan raya yang terlihat cukup padat dengan berbagai alat transportasi yang lainnya.
Hening, tidak ada yang berbicara diantara mereka.
Narion sesekali menyempatkan dirinya untuk melirik sekilas ke arah Brina yang sedang mengedarkan pandangannya ke samping jendela.
Mimik wajah perempuan itu memang terlihat sangat antusias untuk dapat segera bertemu dengan orang yang amat disayangi olehnya.
Namun, entah mengapa gelagat tubuhnya tidak menyatakan demikian.
Brina terus saja meremat ujung rok abu-abunya dengan gusar. Perempuan itu merasakan gelisah yang teramat dalam. Ada rasa takut yang hinggap ketika memikirkan bagaimana respon dari Fino nanti.
Melihat hal tersebut, Narion mengulurkan tangannya untuk menyetel sebuah musik. Dirinya sengaja untuk memilih lagu yang memiliki tempo lambat.
Laki-laki itu pikir mungkin dengan begini dapat membuat perempuan yang sedang duduk di sebelahnya akan menjadi lebih rileks.
Brina langsung menolehkan kepalanya untuk memandang Narion sejenak sebagai tanggapan dirinya yang bingung akan sikap Narion yang tiba-tiba saja memutar musik.
Narion hanya mengendikkan bahunya dan memberikan senyuman tipis kepada perempuan itu sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak dilontarkan oleh Brina, namun tertulis dengan jelas pada dahinya.
Mendapati hal itu, Brina kemudian membalas senyuman Narion tadi dengan senyuman tulus yang membuat hati Narion menghangat. Perempuan itu lantas ikut menyenandungkan lirik lagu yang saat ini sedang mengudara.
Narion merasa sedikit lega ketika dirinya melihat Brina yang kembali menjadi riang seperti pada hari-hari biasanya. Setidanya untuk sekarang.
Tanpa terasa, akhirnya mereka berdua telah sampai pada tempat tujuan mereka. Ralat, mungkin ini hanyalah tempat yang menjadi tempat tujuan bagi Brina saja, tidak dengan Narion.
Setelah sampai di depan pintu kamar tempat Fino dirawat, Brina menghentikan langkahnya.
Narion yang dapat membaca dengan jelas apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan itu mengusap pundak Brina dengan lembut.
Laki-laki itu memberikan tatapan yang sangat teduh untuk meyakinkan Brina bahwa tidak akan terjadi hal buruk. Jika pun ada, maka dirinya tidak sendirian, karena ada Narion yang kini bersamanya.
Pergelutan hati Brina yang hampir saja membuat perempuan itu putar haluan untuk kembali ke rumah saja dirinya urungkan. Brina memilih untuk mencoba lagi menghadapi kenyataan yang dirasa cukup pahit baginya.
Dengan gerakan perlahan, Brina membuka pintu yang ada di depannya.
Deg.
Sepertinya pilihan yang diambil oleh perempuan itu kali ini salah.
Kedua anak muda yang berlawanan jenis di dalam ruangan itu langsung serempak mengalihkan atensi mereka karena merasa terusik oleh kedatangan Brina dan Narion.
Di sana, Najla terlihat sedang menyuapi Fino dengan begitu mesra.
Sakit.
Sakit sekali rasanya bagi Brina.
Perempuan itu merasa dirinya tidak sanggup untuk terus melihat Nononya bersanding dengan perempuan lain.
“Ayo,” ajak Narion sambil menggenggam tangan Brina.
Brina berusaha untuk mengatur napasnya dan perlahan mendekat ke arah brankar Fino.
“Lo ngapain dateng ke sini lagi?” tanya Fino dengan nada ketus yang membuat nyali Brina sedikit menciut.
Di sisi lain, Najla terlihat menatap Brina dengan sinis tidak suka dengan kehadiran dirinya di sini.
“A-aku bawain makanan kesukaan kamu, No. Batagor,” jawab Brina dengan sedikit tergagap karena dirinya kini sedang diliputi oleh rasa gugup.
Setelah mengatakan hal itu, Brina kemudian berusaha untuk membuka bungkusan yang telah dibawa olehnya.
Namun gerakan Brina tiba-tiba terhenti karena mendengar ucapan dari Najla, “Emang sejak kapan Fino suka makanan begituan? Dasar cewe ga jelas!”
Bukannya menatap Najla, Brina justru memusatkan kedua netranya untuk memaku tatap pada Fino yang tengah tersenyum miring ke arahnya.
Apa arti dari senyuman itu?
Terlintas sebuah ide licik di benak Najla ketika melihat perubahan raut wajah Brina yang mendadak menjadi kebingungan.
Dirinya pikir dengan melakukan hal ini, maka akan membuat Brina menjadi tambah buruk di mata Fino.
“Ahh panas!” teriak Najla yang sontak membuat semua orang memperhatikan dirinya.
Perempuan itu dengan sengaja menumpahkan kuah sup panas yang memang sedang dipegang olehnya ke tangannya sendiri.
Namun yang membuat geram di sini adalah, Najla seolah-olah membuat hal itu terjadi akibat ulah Brina bukan karena kecerobohan yang disengaja oleh dirinya sendiri.
Perempuan itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Brina kemudian mengguyur sedikit kuah panas ke arah tangan kirinya yang terbebas.
Dari arah pandang Brina dan Narion terlihat sangat jelas bahwa memang Najla yang menumpahkan kuah panas itu.
Akan tetapi, dari seberang sana Fino justru melihat senggolan pada legan Brina-lah yang menyebabkan mangkok itu kehilangan keseimbangannya dan berakhir sedikit bergoyang hingga menumpahkan apa yang ada di dalamnya.
“WOI! LO UDAH GILA?!” teriak Fino ke arah wajah Brina dengan suaranya yang mengglegar membuat perempuan itu berjengit ngeri.
“MAKSUD LO APA NYELAKAIN CEWE GUA KAYA GINI?!”
Brina terus saja menggelengkan kepalanya dengan ribut, “B-bukan aku. Itu d-dia yang numpahin sendiri.” Perempuan itu berusaha untuk membela dirinya sendiri.
“Aduh ini sakit banget sayang...” rengek Najla sambil mengeluarkan air mata buayanya. Tentu saja hal itu membuat Fino semakin menjadi tersulu emosi.
Fino turun dari atas brankarnya kemudian menyeret Brina dengan kasar ke arah pintu. Brina sedikit terseok-seok karena dirinya terpaksa untuk mengikuti langkah kaki Fino yang besar-besar.
Setelah sampai di depan pintu kamar rawat inapnya itu, Fino lantas menyentak lengan Brina dengan cukup kasar hingga membuat perempuan itu sedikit meringis karena menahan rasa sakit.
“KALO JADI COWO ITU GA USAH KASAR SAMA CEWE BISA GA?!” bentak Narion yang tidak terima melihat Brina diperlakukan seperti itu.
“Kalian keluar dari sini,” ucap Fino menatap nyalang ke arah Brina dan Narion. Jari telunjuk tangan kanannya terangkat untuk menunjuk wajah Brina, “Lo ga usah balik ke sini lagi.” Kemudian pandangan kedua netranya beralih kepada Narion, “Dan lo jaga cewe lo ini biar ga usah banyak tingkah!”
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Mengapa kini semuanya menjadi seperti ini?
Kacau, rusak, dan patah.
Brina mungkin tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan baik meskipun dirinya terpisah oleh Fino selama 9 tahun tanpa adanya satupun kabar dari laki-laki itu.
Namun jika Brina harus melihat tatapan kedua manik Fino yang kemarin-kemarin menatap dirinya dengan penuh kasih sayang, kini telah berubah menjadi tatapan yang dikabuti oleh kebencian.
Itu sulit.
Perempuan itu tidak dapat menghadapinya.
Semesta, tolong jangan ambil Nono dari Nana. Sebab terlalu banyak hal yang sudah Brina korbankan selama 18 tahun dirinya bernapas di muka bumi ini.
Brina membutuhkan ayah Nono, sumber kebahagiaannya.
by scndbrr