Saling Menguatkan

Setelah mendapati pesan yang kurang mengenakkan dari sang ayah, sekarang yang terbesit di pikiran Fino hanyalah Brina. Dirinya membutuhkan Brina saat ini.

Beruntung karena sebelumnya dirinya sudah membuat janji untuk berjumpa dengan gadis itu setelah pulang sekolah, maka Fino tidak perlu bersusah payah untuk mencari berbagai alasan lain tanpa mengatakan yang sebenarnya kepada Brina.

Karena Fino dan Brina bersekolah di tempat yang berbeda, maka Fino memutuskan untuk menjemput Brina di sekolahan gadis itu.

Pada awalnya Brina sempat menolak niat baik yang ditawarkan oleh Fino, namun ketika Fino terus saja bersih keras untuk melakukannya maka Brina tidak mempunyai pilihan lain selain hanya pasrah menuruti kemauan laki-laki itu.

Di sinilah Brina sekarang berada. Duduk di halte tempat pemberhentian bus yang letaknya tepat di samping sekolahnya. Jarak antara halte tersebut dengan sekolahannya bahkan sangatlah dekat.

Gadis itu mendudukkan dirinya di salah satu sisi pada kursi panjang yang ada di sana.

Setelah mendapatkan pesan bahwa Fino sudah dalam perjalanan untuk menemuinya, Brina memutuskan untuk memasukkan ponsel miliknya itu ke dalam tas.

Karena sedikit mulai merasa bosan menunggu Fino yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya, Brina mengambil kembali ponsel miliknya yang tadi sudah dirinya masukkan ke dalam tas sekolahnya.

Tidak hanya itu, Brina juga mengeluarkan earphone bluetooth miliknya yang memang selalu dirinya bawa ke manapun gadis itu pergi.

Jemari lentiknya bergerak dengan lincah untuk mencari playlist yang menurutnya cocok dengan suasana hati dirinya sendiri pada saat ini.

Setelah menemukan deretan lagu yang dicarinya, Brina mulai menekan tombol untuk memainkan salah satu lagu pilihannya yang telah dipilihnya untuk menjadi lagu pertama yang ia dengarkan.

Keadaan di sekitar halte pada saat ini sudah sepi lantaran jam pulang sekolah sudah lewat sejak tadi. Semua siswa dan siswi SMANSA sudah pulang menyisakan beberapa murid yang masih berkegiatan di sekolah dan juga yang belum dijemput.

Secara refleks, kedua mata Brina terpejam untuk dapat lebih menikmati sebuah lagu favoritnya yang mengalun dengan merdu memasuki indera pendengarannya itu.

Kedua kaki gadis itu yang sedikit tergantung bebas di atas tanah, ia gerakkan ke arah depan secara bergantian. Kemudian kedua tangannya melakukan gerakan acak yang tidak terlalu jelas. Dirinya hanya melakukan itu secara alami.

Ketika bagian reff dinyanyikan oleh sang pemilik lagu, Brina menyunggingkan senyuman termanisnya. Kata-kata yang terangkai dengan indah membuatnya teringat akan seseorang.

Terlalu asik berlarut dan melebur di dalam dunia yang ia ciptakan sendiri ini, membuat Brina tidak menyadari terdapat orang lain yang tengah menikmati senyuman manisnya itu.

Dia, Fino.

Laki-laki itu sudah sampai di sini kurang lebih sekitar setengah jam yang lalu. Namun dirinya dengan sengaja tidak langsung menghampiri gadis yang terlihat sedang bersenandung ria itu.

Fino menatap teduh ke arah Brina duduk. Laki-laki itu merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Bahkan dirinya berani mengajukan diri sebagai kandidat orang paling beruntung sedunia jika memang terdapat acara penghargaannya.

Bagaimana tidak? Jika laki-laki itu masih diberi kesempatan oleh sang pemilik semesta ini untuk dapat berjumpa kembali dengan orang yang sangat dirinya sayangi bahkan melebihi dirinya sendiri.

Tidak. Bukannya Fino tidak menyayangi keluarganya sendiri dan sahabatnya, Rayyan.

Kehadiran Brina di dalam hidupnya tidak dapat dibandingkan dengan eksistensi siapapun itu. Karena hanya Brinanya lah yang selalu ada untuknya di saat laki-laki itu merasakan keterpurukan. Tidak hanya di dalam sukacitanya saja.

Mungkin terlalu dini untuk dapat menyatakan hal ini. Namun percayalah, kasih sayang yang muda-mudi itu salurkan satu sama lain adalah sejati. Ketulusan hati mereka berdua tidak perlu lagi diragukan.

Mereka adalah seorang anak yang tidak dapat memperoleh kebahagian dari kedua belah keluarganya masing-masing. Meskipun permasalahan yang dihadapi oleh mereka berbeda, namun mereka sama-sama hancur di sini.

Keluarga, tempat pertama di mana kita mengenal dunia ini justru menjadi tempat yang menurut mereka paling mengerikan. Mereka membencinya karena hanya luka dan trauma yang mereka dapatkan.

Rasa kecewa kepada sosok yang seharusnya menjadi role model dari para anak-anaknya sangatlah mendalam. Bahkan sudah tidak dapat dijelaskan lagi oleh kata-kata yang keluar dari mulut.

Memang betul jika mereka berdua masih bisa mencapai ke titik ini dengan baik, namun siapa yang tahu jika di belakang layar mereka tidak henti-hentinya menitikkan air mata di dalam perjalanannya?

Tidak ada yang tahu. Itulah sifat alamiah dari manusia. Mereka hanya melihat dari luar saja.

Brina memang terlihat sebagai seorang anak perempuan yang sempurna dengan segala hal yang ia kuasai. Dirinya memiliki paras yang cantik, dirinya memiliki otak yang cemerlang, dan dirinya juga memiliki keluarga dengan latar belakang yang bagus.

Namun, apakah semua orang juga tahu bahwa Brina juga memiliki bekas luka sayatan di pergelangan tangan kanannya?

Mungkin hampir semua orang tidak menyadarinya karena gadis itu berusaha untuk menutupinya dengan menggunakan jam tangan yang tidak pernah ia lupa untuk memakainya.

Luka sayatan itulah yang menjadi bukti konkret dari kerumpangan keadaannya yang selalu terlihat sempurna di mata orang lain. Luka sayatan itu yang menjadi saksi betapa frustasinya seorang gadis yang bahkan usianya masih belasan tahun.

Di sisi lain, kita memiliki Fino yang selalu dielu-elukan menjadi pria paling rupawan di mana pun dirinya berpijak. Pria yang terlihat keren karena dapat memenangkan beberapa macam pertandingan balap mobil yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Pria yang memiliki seorang ayah kaya raya dan masa depannya yang terjamin karena dirinya pasti akan menjadi ahli waris perusahaan ayahnya itu kelak.

Namun, apakah semua orang juga tahu jika Fino harus mendengarkan hal yang sangat tidak pantas?

Hal yang membuat dirinya sendiri pun merasa menyesal bukan main setelah mendengarkannya. Hal yang menjadi kelemahannya selama ini. Hal yang membuatnya tidak dapat menegakkan kepalanya dengan bebas untuk melihat dunia sekitar.

Memang itu semua bukan suatu kesalahan yang diperbuat oleh dirinya sendiri, namun tetap saja jika berkaitan dengan orang yang berhubungan darah langsung dengannya, maka sama saja dirinya juga terhubung bukan?

Fino amat membenci kenyataan ini. Ketika kesehatan mentalnya harus terganggu karena tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari kedua orang tuanya itu, lantas mengapa dirinya juga harus menanggung kesalahan dari orang tuanya juga?

Tidak adil rasanya. Sangatlah tidak adil.

Brina yang baru saja membuka matanya kembali untuk memastikan apakah orang yang akan menjemputnya itu sudah datang atau belum sedikit terkejut karena ternyata di hadapannya kini sudah terdapat orang tersebut.

Fino berdiri dan sedikit menyandarkan tubuh tegapnya di motor besar kesayangannya itu. Laki-laki itu menyapa Brina yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman lebar hingga membuat kedua matanya menipis membentuk bulan sabit.

Brina yang melihat hal itu bergegas untuk memasukkan ponsel dan earphone miliknya ke dalam tas. Kemudian gadis itu segera menghampiri Fino yang ditebaknya sudah cukup lama menunggu di sana.

“Udah lama ya pasti?” ucap Brina sambil menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.

“Cantik.” Alih-alih menjawab, Fino justru berucap demikian dan membuat semburat merah muda muncul pada kedua pipi putih milik Brina.

Brina berdeham singkat dan langsung menolehkan pandangan kedua matanya ke arah lain untuk dapat menghindari wajah Fino yang membuat jantungnya berdegup dengan cepat.

Rupanya gadis itu sedang salting.

Fino hanya terkekeh melihat tingkah dari Brina yang sangat menggemaskan itu menurutnya. Tangannya kemudian beralih untuk mengambil helm yang baru saja ia beli terlebih dahulu sebelum ke sini berjaga-jaga jika Brina tidak membawanya.

Betul saja, gadis itu memang tidak membawa helm, bahkan mempunya saja tidak, karena setiap hari dirinya memang diantar-jemput menggunakan kendaraan roda empat.

Pada detik ini juga Fino memutuskan untuk memberikan hak milik mutlak atas helm berwarna biru langit itu kepada Brina.

Tidak hanya mengambilkan helm dan menyerahkannya kepada Brina, namun yang Fino lakukan adalah memakaikannya pada kepala gadis itu dengan sangat hati-hati. Dirinya tentu tidak mau membuat kepala gadis itu terluka.

Tubuh Brina menegang dan dirinya menahan napasnya ketika Fino sedang berusaha untuk mengaitkan kaitan helmnya. Jarak tubuh mereka berdua yang hanya terpaut dengan sangat tipis itu membuat Brina dapat merasakan hembusan hangat napas Fino yang menerpa kulit wajahnya.

“Dah,” celetuk Fino yang diakhiri dengan tangan kanannya yang terulur untuk mengusap kepala Brina. Ralat, yang betul adalah kepala Brina yang sudah terbalut dengan helm.

Lagi, laki-laki itu tersenyum kembali.

Tidak sampai di situ saja. Sebelum membiarkan Brina untuk menaiki motornya, Fino menurunkan footstep motornya terlebih dahulu dengan menggunakan tangannya.

Brina mematung menyaksikan semua yang dilakukan oleh Fino. Gadis itu merasakan sebuah de javu saat ini. Semuanya sama seperti saat dirinya pertama kali bertemu kembali dengan Fino setelah berpisah bertahun-tahun tanpa saling bertukar kabar.

“Na, ayo,” ajak Fino yang dibalas oleh anggukan lucu dari Brina.

Fino sejak tadi sedang mati-matian untuk menahan dirinya berbuat lebih kepada Brina. Mengapa gadis yang sangat disayanginya ini begitu menggemaskan? Bikin repot hati aja, batin Fino.

Setelah Brina sudah naik dan mendudukkan dirinya di jok motor Fino, dirinya menjadi bingung harus berpegangan di mana. Alhasil berakhir kedua tangannya yang terjuntai begitu saja ke bawah.

“Pegangannya di sini, Na.” Fino langsung mengaitkan kedua tangan Brina di depan perutnya menghiraukan reaksi Brina yang bisa saja protes akan tindakannya ini.

Tangan kanan laki-laki itu menepuk pelan sekali ke arah kaitan tangan Brina sebelum dirinya beralih untuk menyalakan motornya dan mulai melajukannya meninggalkan area sekolah gadisnya.

Sore ini mereka berdua berkendara tanpa memiliki tujuan arah yang jelas. Fino mengendarai motornya dengan kecepatan sedang memutari kota ini. Brina menyamankan kepalanya pada punggung lebar milik Fino.

Biarkanlah mereka berdua melakukan hal ini. Karena hanya inilah cara yang dilakukan mereka untuk dapat saling menguatkan satu sama lain.

by scndbrr