Berpisah?

Keadaan jalanan pada sore hari ini terlihat sangatlah padat mengingat sekarang merupakan jam pulang untuk orang-orang yang sedang bekerja.

Lalu lintas yang membuat kepala siapapun menjadi pening ini juga semakin membuat Brina menjadi bergerak dengan gelisah pada kursi penumpang.

Kedua mata Brina sejak tadi tidak henti-hentinya untuk mengeluarkan cairan bening dari sana. Gadis muda itu menatap lurus ke arah depan dan terus menggumamkan nama seseorang yang sangat ia takuti akan pergi meninggalkannya hari ini.

Fino.

Rayyan yang mampu menangkap pemandangan itu dari ekor matanya menjadi tidak tega. Meskipun dirinya tidak tahu permasalan yang sedang terjadi di antara adik tirinya dengan sahabat karibnya itu, namun dapat dia tebak bahwa semuanya sedang tidak baik-baik saja.

Tangan kiri Rayyan terulur untuk menyentuk tautan kedua tangan Brina di atas pahanya yang terlihat gemetar hebat. Dirinya berusaha untuk menenangkan sang adik, “Tenang brin. Bentar lagi kita sampai kok,” ucap Rayyan tanpa menolehkan kepalanya untuk memandang ke arah Brina, laki-laki itu harus tetap fokus menyetir.


Brina langsung turun begitu saja dan berlari masuk ke dalam bandara meninggalkan sang kakak ketika dua saudara tak sedarah itu telah sampai di tempat tujuan mereka berdua.

Rupanya yang ada di pikiran gadis itu hanyalah Fino, Fino, dan Fino saja. Hal itu terbukti dengan dirinya yang tidak menyadari bahwa kini dia menggunakan alas kaki yang berbeda.

Tidak berbohong, Brina memang panik bukan main saat ini.

Gadis itu melangkahkan kakinya ke sana dan ke sini. Pandangannya menyapu seluruh penjuru untuk dapat menemukan sosok yang sangat ingin ia lihat.

Keadaan Brina sekarang sudah sangat kacau. Wajahnya memerah, kedua matanya sembab, dahinya yang dipenuhi oleh peluh, rambutnya yang terlihat acak-acakan, dan napasnya pun tersengal-sengal.

Berlarian menyusuri sebuah gedung yang begitu luas ini bukanlah perkara yang mudah. Terlebih lagi dengan tujuan untuk dapat menemukan satu orang di antara ribuan orang yang ada di sini.

Merasakan pasokan udaranya yang sudah habis, membuat Brina mau tidak mau berhenti sejenak untuk beristirahat.

Tubuh gadis itu membungkuk dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua lututnya sendiri. Dirinya berusaha untuk dapat menetralkan deru napasnya yang terdengar putus-putus itu.

Setelah dirasa cukup, tangan kanan Brina terulur untuk mengusap keringatnya yang membanjiri wajah cantik gadis itu, “Ayo Na, kamu harus ketemu sama Fino sekarang.”

Kalimat itulah yang membuat Brina tidak menyerah begitu saja. Sebab gadis itu sangat tahu jika dirinya tidak dapat menemukan sosok yang menjadi sumber kebahagiannya itu sekarang, maka kemungkinan besar hingga selamanya pun dirinya juga tidak akan bertemu lagi dengan Fino.

Sudah hentikan. Bahkan hanya untuk membayangkannya saja Brina tidak sanggup.


Ada kemauan, pasti ada jalan. Sudah sangat sering kalimat motivasi itu dikumandangkan. Namun bagaimana jika kasusnya ada kemauan tetapi tetap tidak ada jalan? Jawabannya mudah. Tentu kita harus membuat jalan itu sendiri.

Memang benar jika berkata itu lebih mudah ketimbang berbuat. Pasalnya tidak sesuai dengan teori yang ada, tidak semuanya dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita mau.

Jika sudah begini, bolehkah Brina untuk menyerah? Dirinya sudah berjuang untuk hubungannya dengan Fino. Namun bukankah jika hanya satu dari mereka berdua yang berjuang, maka hasilnya akan kosong?

Brina tidak ingin membela dirinya sendiri dengan mengakui bahwa alasannya tetap memberika sedikit batasan kepada Fino karena gadis itu masih trauma. Dirinya takut hubungannya berakhir dengan hadirnya orang ketiga seperti apa yang terjadi kepada keluarganya.

Dia hanya takut. Ketakutannya itu amatlah besar.

Bertemu dengan sosok Fino yang mampu menjadi penawar atas rasa sakit yang dideritanya membuat Brina merasa menjadi seorang perempuan yang sangat beruntung.

Biarkanlah rasa kecewa yang menggerogoti jiwanya itu dilipur oleh senyuman manis dari seorang laki-laki yang selalu meratukan dirinya.

Gadis itu paham betul jika bersyukur saja tidak akan cukup. Dirinya juga harus menjaga anugerah pemberian dang sang pemilik semesta ini bukan?

Namun jika situasinya seperti sekarang, lantas apa yang harus diperbuat oleh gadis itu? Menangis sudah. Berusaha mencari juga sudah. Mana hasilnya? Tidak ada. Semuanya terasa sia-sia.


Dengan tubuh yang sudah lesu dan lemas layaknya tak bertulang, gadis itu berjalan dengan tatapan kosong dan mendudukkan dirinya pada sebuah bangko yang kosong.

Satu tetes air matanya yang dengan tidak sopan meluncur begitu saja tanpa permisi, membuat dirinya mengusap pipinya yang basah itu dengan gerakan kasar.

Sudah selesai, ya?

Gadis itu berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri dengan pertanyaan retorik yang ia ucapkan di dalam hatinya. Kini Brina berdiri dari posisi duduknya tadi dan berniat untuk pulang saja.

Sebut saja ini adalah kemurahan tak ternilai harganya yang diberikan oleh sang pemilik semesta ini kepada dua insan muda-mudi yang sedang dimabuk asmara itu.

Brina tiba-tiba saja merasakan sebuah dekapan hangat dari arah belakang tubuhnya. Tangan besar orang itu bertengger dan melingkar dengan manis di pinggang ramping miliknya.

Erat.

Dekapan itu sangatlah erat seperti orang itu mau mengatakan bahwa dirinya membenci takdir yang membuatnya harus berdiri di atas kata perpisahan yang menyakitkan.

Menyadari siapa pemilik dari tangan itu, Brina membalikkan tubuhnya untuk dapat melihat dan memastikannya dengan kedua mata kepalanya sendiri.

“F-fin?” panggil Brina dengan suara yang sedikit gemetar karena dirinya berusaha untuk dapat menahan tangsinya yang sejak tadi minta dilepaskan.

Iris yang berwarna hitam kecoklatan dan hitam pekat itu saling beradu pandang dalam waktu yang tidak singkat. Kedua orang itu terlihat seolah-olah sedang berbicara, menyampaikan isi hati mereka melalui sorot tatap mereka berdua.

Fino adalah yang pertama memutuskan kontak mata mereka.

Posisi keduanya sekarang terlihat sangat intim karena tubuh mereka yang berhimpitan seperti tidak bercelah.

Laki-laki itu masih setia melingkarkan tangan besarnya pada pinggang gadisnya itu sebelum akhirnya tangannya itu ia alihkan untuk sedikit membenahi helaian rambut gadisnya yang terlihat berantakan.

Entah dikomando oleh siapa, namun secara tiba-tiba Fino menyatukan bibirnya dengan milik Brina. Dirinya tidak berniat untuk menggerakkannya sama sekali. Laki-laki itu hanya berusaha untuk mengucapkan salam perpisaha yang terakhir kalinya.

Brina sedikit tersentak karena terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh Fino. Namun seakan mengerti, gadis itu tidak menolaknya. Dirinya memejamkan kedua matanya, berusaha untuk merasakan kenyamanan itu.

Setelah dirasa cukup, Fino melepaskan tautan bibir mereka berdua dan menatap lurus ke arah manik gadis yang ada di hadapannya ini,

“Makasih untuk segalanya, Na. Maaf, aku belum bisa nepatin janji aku buat nunggu kamu dan ngelewatin semua hal bareng-bareng. Aku pamit sekarang ya? Jaga diri kamu baik-baik... ...dan aku mohon lupain aku.”

Deg.

by scndbrr