Balas Dendam

Flashback.

Sore ini tidak seperti biasanya. Matahari seolah-olah sudah menyembunyikan dirinya dan beralih dengan awan hitam pekat yang mulai menggantung di langit.

Sekarang jam dinding yang ada di ruang tamu pada sebuah rumah kontrakan kecil menunjukkan pukul 5 sore.

Seorang anak laki-laki yang baru saja pulang ke rumah itu setelah menghabiskan waktunya untuk berlatih futsal di luar jam sekolah hari ini mendudukkan dirinya di sofa.

Dirinya sangat keheranan ketika berulang kali memanggil nama adiknya di depan tadi namun tidak kunjung mendapatkan sahutan dari adiknya itu.

Ditambah lagi dengan pintu rumah yang masih dalam keadaan terkunci rapat dan kuncinya itu juga masih berada di bawah pot tanaman bunga anggrek yang tidak jauh dari sana.

Memang sudah menjadi kebiasaan bagi kedua bersaudara itu untuk meletakkan kunci rumah di sana.

Karena mereka berdua bersekolah di tempat yang berbeda, sehingga kemungkinan besar mereka akan menjadi lebih sering pulang terpisah. Tidak tahu siapa yang akan sampai di rumah duluan, entah itu sang kakak ataupun sang adik.

Maka dari itulah mereka berdua memutuskan untuk berbuat demikian, hal itu bertujuan agar dapat mempermudah keduanya.

Kembali lagi, jika tadi anak laki-laki itu menemukan kunci rumah ini masih berada di bawa pot tanaman itu artinya sang adik belum kembali dari sekolahnya bukan?

Dirinya beralih untuk melihat jadwal sekolah adiknya yang terpampang dengan jelas pada dinding kamarnya. Tidak. Tidak ada jadwal tambahan bagi mata pelajaran apapun atau bahkan kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh adiknya itu.

Hari ini, hari Selasa. Seharusnya adiknya itu justru pulang lebih awal karena memang di jadwal tertulis seperti itu.

Entah mengapa rasa khawatir mulai muncul dan membuat pikiran sang kakak menjadi bercabang ke mana-mana.

Jujur, anak laki-laki itu takut. Kali ini dirinya tidak akan kehilangan anggota keluarganya lagi kan?

Keterbatasan ekonomi yang menjulang tinggi dan berubah menjadi pagar yang mengelilinginya, membuat anak laki-laki itu bergegas untuk mendatangi sekolahan adiknya.

Dirinya tidak dapat hanya sekedar bertanya dari rumah, karena anak laki-laki itu tidak memiliki alat komunikasi yang bernama telepon.

Anak laki-laki itu berlari dengan sekuat tenaga dan kekuatan yang masih tersisa di dalam dirinya pada hari ini. Sesungguhnya dirinya sudah sangat lelah, namun firasatnya kali ini kurang baik. Di sepanjang perjalanan, anak laki-laki itu tak henti-hentinya menggumamkan kata, “Vivian pasti baik-baik aja.”

Terdengar bodoh, namun dirinya berusaha untuk mempercayai benar adanya kehadiran sebuah sugesti. Kata orang, jika kita meyakinkan diri kita akan terjadi hal yang baik, maka hal baik itu akan betulan datang.

Maka dari itu, setidaknya biarkanlah sekali ini saja hal baik terjadi kepadanya. Jangan melulu hal buruk yang menimpanya, namun berikanlah suatu hal yang juga dapat menjadi penghiburan bagi dirinya.

Sekali ini saja.


Belum sampai di tempat menuntut ilmu adik tercintanya itu, sang kakak justru dibuat terkejut karena menemukan sosok yang sedang dicarinya dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

Di pinggir jalan yang sangat sepi ini, seorang anak perempuan yang usianya masih muda belia tergeletak begitu saja. Pakaiannya sudah terkoyak dan sekujur tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka yang masih basah.

Dengan langkah yang terseok-seok, sang anak laki-laki berusaha untuk mendekati tubuh anak perempuan itu. Tubuhnya menegang begitu sudah memastikan dengan betul siapa anak perempuan itu.

Dia, adiknya.

Kedua mata anak perempuan itu tertutup tidak sempurna dan suara napasnya terdengar tidak beraturan. Sepertinya dirinya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Tubuhnya ambruk begitu saja ke tanah. Kedua tangannya terulur untuk meraih kepala sang adik dan dengan hati-hati dirinya meletakkannya di pangkuannya.

Anak laki-laki itu meneriaki nama adiknya dengan jeritan pilu dan berusaha untuk meminta pertolongan pada orang lain.

“VIVIAN!” “VIVIAN BANGUN!!” “T-TOLONG!” “SIAPAPUN TOLONGIN A-ADEK SAYA!!”

Namun sayangnya, lingkungan ini sangatlah sepi sehingga pada saat itu tidak terdapat satu pun orang dewasa yang dapat dimintai bantuan olehnya.

Dengan berlinangan air mata dan tangan yang sedikit gemetar, sang kakak berusaha untuk membawa adiknya itu pulang ke rumah kecil mereka.

Kenapa? Itu adalah pertanyaan yang sangat ingin anak laki-laki itu utarakan.

Kenapa selalu saja begini?

Di saat dirinya baru saja bangkit dari keterpurukannya ditinggal selamanya oleh dua orang yang berarti, yang mampu memberikannya kesempatan untuk melihat dunia ini, kenapa datang musibah lainnya?

Musibah baru yang kali ini dirinya sendiri sudah tidak sanggup lagi untuk menghadapinya.

Jika kalian semua lupa, biar diingatkan sekali lagi. Dia, hanya seorang anak laki-laki yang bahkan belum cukup umur untuk dapat memiliki kartu identitas.

Lantas mengapa semesta seolah-olah sangat kejam sekali kepadanya? Memang apa kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lampau sehingga membuat dirinya harus menanggung semua ini?

“B-bang... ...bang H-hasta...”

Panggilan lembut dengan menggunakan suara yang sangat lembah dari sang adik kepada kakaknya itu membuat dirinya berhenti meratapi nasib malangnya.

Atensi dari seorang kakak itu kini hanya tertuju kepada sang adik seluruhnya. Dirinya memang sudah menunggu adiknya ini siuman kemudian dapat menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya.

Setelah mendengar penjelasan dari sang adik yang membuat hatinya teriris-iris, tubuh Hasta memanas. Kedua tangannya terkepal dengan sangat kuat dan napas anak laki-laki itu memburu. Giginya bergemelatuk dan urat-urat lehernya tercetak dengan sangat jelas.

Hasta sedang berusaha untuk dapat menahan emosinya.

Anak laki-laki itu kini sedang sangat marah.

“Narion, Rayyan. Tunggu pembalasan dari gue BRENGSEK!”

by scndbrr