Merasa Gagal
Seorang pemuda tengah berdiri di depan salah satu pintu ruangan pasien rawat inap jangka panjang yang ada di rumah sakit ini. Dirinya hanya terdiam di sana dan terlihat ragu untuk masuk ke dalamnya.
Setelah memantapkan hatinya, akhirnya pemuda itu menggeser sekat yang menjadi penghalang di depannya sekarang ini. Pintu tadi pun terbuka dan menyuguhkan pemandangan yang selalu ia lihat beberapa tahun kebelakang.
Terlihat sosok seorang gadis muda yang sedang duduk di atas brankar dengan pandangan kedua netranya mengarah ke jendela untuk melihat dunia luar.
Tiba-tiba saja rasa sesak menyeruak di dalam dirinya. Matanya memanas dan seketika kedua kakinya melemas seolah kehilangan tumpuan untuk dapat berpijak dengan tegak.
Tidak mau sampai gadis yang menjadi satu-satunya sumber kebahagiannya itu menyadari bahwa dirinya sedang berusaha mati-matian untuk dapat menahan tangisnya, pemuda itu mengalihkan perasaan kalutnya dengan mulai menyapanya dengan lembut.
“Hai, princess! Kamu lagi ngapain?” ucap pemuda itu dengan suaranya yang sedikit bergetar maka dirinya berusaha untuk menyamarkannya dengan berdeham singkat di akhir.
Hening. Tidak ada jawaban dari sang lawan bicara. Tidak apa-apa, karena pemuda itu sudah sangat terbiasa dengan hal ini.
Pemuda itu mengulurkan tangannya dengan hati-hati, berniat untuk menyentuh tangan sang gadis tadi dan menyadarkannya dari lamunannya.
Namun ketika baru saja kulit mereka bersentuhan, gadis tadi langsung berteriak dengan sangat histeris kemudian menangis dengan pilu sambil berusaha untuk menghindari dan menjauhi pemuda tadi.
“J-JANGAN!” “JANGAN S-SENTUH AKU!!” “S-SAYA SALAH!” “SAYA BERJANJI TIDAK AKAN MENYUKAI KAKAK!!” “SAYA J-JANJI KAK, JANGAN PUKUL SAYA LAGI!!!” ucap gadis itu sambil terus mengatupkan kedua tangannya menjadi satu lantas menggosoknya dengan gerakan yang acak.
Dirinya sedang memohon. Memohon ampun untuk sesuatu yang sama sekali bukan menjadi bagian dari kesalahannya.
Pemuda itu panik bukan main ketika melihat sang gadis ternyata mulai kambuh lagi. Sudah beberapa bulan ini dirinya tidak pernah melihat keadaan seseorang yang kini berada di hadapannya dengan keadaan yang sekacau ini. Dirinya pikir dia sudah sembuh, namun ternyata salah.
“Vi, ini aku!” “Adek, ini abang kamu bukan orang brengsek itu!!” “SADAR!” teriak pemuda itu berusaha untuk menyadarkan orang itu.
Bukan. Bukannya pemuda itu sengaja membuat dirinya terlihat sangat kejam dengan meneriaki sesorang yang jelas-jelas sedang ketakutan itu. Namun, hanya inilah satu-satunya cara untuk dapat membuatnya menjadi lebih baik.
Suara teriakan dari gadis itu mulai melemah ketika sang pemuda tadi merengkuh tubuhnya dengan perlahan. Tangannya mengusap lembut punggung sang gadis berusaha untuk memberikan ketenangan kepadanya.
“Gapapa.” “Gapapa sayang, semuanya udah gapapa.” “Sekarang kamu aman sama abang. Udah ya,” bujuk pemuda itu kepada gadis itu yang dibalas oleh anggukan kecil darinya.
Perlahan-lahan kedua mata sang gadis mulai terpejam karena merasakan sebuah kenyaman yang melingkupinya. Sang pemuda yang melihat hal itu hanya bisa menghela napasnya dengan lega.
Dirinya dengan sangat hati-hati menggendong gadis itu ala bridal style dan meletakkannya di ranjang tidurnya kembali. Tadi karena aksinya sendiri yang berusaha untuk menghindari pemuda itu, sang gadis sampai harus terbangun dan turun dari atas brankarnya.
Pemuda itu menatap sendu ke arah wajah gadis di depannya ini. Secara refleks tangannya merapihkan rambut sang gadis yang menutupi wajahnya sendiri.
Dirinya juga mengambil sapu tangan miliknya yang memang selalu ia bawa dan dirinya letakkan di saku belakang celananya untuk mengusap daerah dahi dan pelipis gadis itu yang mengalirkan buliran bening.
Hatinya sangat hancur bahkan hingga berkeping-keping dan sudah tidak dapat lagi diperbaiki ketika melihat satu-satunya sumber kebahagiannya itu seperti tadi.
Dunianya seakan runtuh dan dirinya menjadi orang yang paling gagal di dunia ini untuk dapat menjaga adik kandung perempuannya.
Ketika mengingat kembali siapa yang telah menyebabkan adiknya menjadi menderita seperti ini, rasanya pemuda itu ingin langsung menghabisi orang tersebut tanpa berbasa-basi lagi.
Bogeman mentah tangannya sudah siap untuk didaratkan pada pipi manusia bejat itu yang membuat sumber kebahagiannya ini menjadi rapuh.
Namun sayangnya dunia tidak berpihak kepadanya. Dirinya hanya sendirian di dunia yang kejam dan penuh dengan monster mengerikan bernama manusia beserta tipu daya muslihatnya yang tak kalah akan dapat membuat kita bergidik ngeri.
Setidaknya pemuda itu harus memiliki persiapan dan rencana yang benar-benar matang untuk dapat memberikan pelajaran yang setimpal kepada sang pelaku.
Karena sebetulnya dari awal pun pemuda itu sudah tahu bahwa lawannya bukanlah orang biasa juga sepertinya, melainkan seseorang yang memliki kekuasaan dan bergelimangan harta.
Dirinya bisa apa? Apa yang dapat dilakukan oleh seorang laki-laki yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas? Bagaimana bisa dirinya melawan orang-orang yang masih saja berlindung di balik ketiak orang tuanya itu?
Baginya, mereka adalah pengecut yang berani berbuat namun tidak berani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adiknya harus menjadi korban dan menanggung trauma berat yang tidak dapat disepelekan begitu saja.
Mental kejiwaannya terganggu sehingga mengharuskannya untuk putus sekolah dan membuatnya terkurung di dalam jeruji luka batin dan fisik yang mendalam bagi dirinya.
Semuanya semakin menjadi ketika mengingat mereka berdua hanyalah sebatang kara di sini. Mereka tidak punya satu pun orang dewasa yang ada di sisinya untuk dapat diandalkan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, dan sanggup tidak sanggup sang pemuda yang merupakan kakak kandung dari gadis itu harus siap menjadi tameng baja dapat melindungi adiknya itu.
Namun sayangnya semuanya tidak berjalan dengan mulus sesuai dengan apa yang telah diekspetasikan oleh dirinya. Pemuda itu, gagal dalam menjalankan misinya. Dirinya tidak dapat menjadi sang adik.
Gagal. Gue gagal.
by scndbrr