scndbrr

Nolan bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya melalui pesan tadi. Pria itu kini sudah menggendong Valle ala bridal style menuju ke kamar mereka yang berada di lantai dua rumah ini.

Valle terdiam. Dirinya pasrah ketika kedua tangannya dengan sengaja dilingkarkan oleh Nolan untuk memeluk leher pria itu.

Perlahan-lahan, langkah demi langkah Nolan mengayunkan kedua kaki jenjangnya untuk menaiki tangga. Pandangannya berkali-kali mencuri tatap ke arah wajah cantik sang istri.

Merasa terus diperhatikan oleh suaminya, Valle menjadi salah tingkah. Semburat merah muda pada kedua pipinya tidak dapat dirinya hindari.

Dengan tingkat cahaya yang tidak begitu besar, Valle berharap Nolan tidak memergokinya yang tengah menahan rasa malu di tengah remang-remang.

Namun, rupanya benar apa kata orang. Tidak semua hal yang kita inginkan dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan itu juga.

Terbukti, sebab Nolan tiba-tiba saja menghentikan langkahnya ketika pria itu sudah berada tepat di depan pintu yang menjadi sekat tempatnya berpijak sekarang dengan kamarnya.

Masih menahan berat tubuh istrinya yang berada di dalam dekapannya, Nolan menatap wajah Valle lamat-lamat.

Oh tidak, sepertinya wajah Valle kini sudah semakin memerah mirip dengan kepiting rebus.

Siapapun itu, tolonglah wanita ini.

“Breathe baby,” suara berat Nolan menginterupsi Valle yang berusaha untuk tidak terlihat sedang menahan malu karena salah tingkah di depan suaminya sendiri.

Hal itu yang membuat wanita ini hingga lupa bagaimana caranya bernapas. Sejak tadi, Valle tidak sadar jika dirinya terus menahan napasnya lantaran kegugupan yang melingkupinya.

Kedua mata Valle mengerjap lucu menanggapi perkataan suaminya tadi. Nolan yang melihat itu terkekeh sebab terlalu gemas dengan istrinya.

“Jangan tahan napas gitu, sayang.”

Lagi, Nolan kembali berucap hingga membuat Valle tersentak dan kembali bernapas dengan normal.

Rasanya jika bisa, wanita itu begitu ingin menenggelamkan dirinya sekarang juga di palung Mariana. Terlalu malu.

Nolan menundukkan kepalanya untuk memajukan wajahnya mendekat ke arah wajah Valle. Tanpa aba-aba, pria itu memberikan kecupan pelan pada kening Valle. “Lucu,” ucapnya kemudian.

Valle yang sudah tidak bisa menahan dirinya, memilih untuk beringsut menyembunyikan wajahnya yang memanas pada dada bidang suaminya.

Kedua tangan Valle yang bertengger dengan manis melingkari leher Nolan menjadi semakin erat dan dirinya juga meremat ujung leher kaos Nolan itu.

Nolan tahu betul jika istrinya ini sedang salah tingkah. Karena tidak mau membuat waktu terlalu banyak, dirinya lansung bergegas untuk membuka pintu di depannya dan memasuki kamarnya.

Setelah berada di dalam kamarnya dengan Valle, Nolan meletakkan tubuh Valle di pinggir ranjang ukuran king sizenya.

Berhubungan sudah sampai di tempat tujuan dan dirinya telah diturunkan, itu artinya kini Valle sudah tidak dapat lagi menyembunyikan dirinya di dada bidang milik Nolan.

Alhasil, Valle berinisiatif untuk menutupi wajahnya yang diyakini oleh dirinya sendiri masih menunjukkan pigmen seperti warna buah tomat yang telah masak dengan kedua tangannya.

Nolan mengambil posisi duduk tepat di samping Valle. Pria itu menggeser tubuh istrinya agar berhadapan langsung dengan dirinya.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Nolan adalah mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan tangan Valle yang masih saja setia menutupi wajahnya sendiri.

Meski cukup sulit pada awalnya, namun tetaplah tenaga seorang pria jauh lebih besar ketimbang para kaum hawa. Akhirnya berhasil lah Nolan melihat kembali wajah Valle dengan kedua mata istrinya itu dalam keadaan terpejam.

Kedua ibu jari Nolan mengusap lembut kelompak mata Valle yang masih menutup, “Kamu kenapa, hm?” Tanya Nolan. Valle mengulum bibirnya tidak mau mau memberikan jawaban kepada Nolan.

“Kenapa harus ditutupin kalau lagi salting?”

Deg.

Nolan menyadarinya. Ternyata suaminya ini cukup peka. Meskipun Valle telah berusaha mati-matian untuk dapat menyembunyikan gelagat salah tingkahnya, namun sayang pada akhirnya tetap ketahuan oleh sang suami.

Lagi pula jiak dipikir-pikir kembali, siapa yang tidak akan menyadari hal tersebut? Bahkan orang lain yang hanya melihatnya dalam sekali lirikan pun akan dapat mengetahuinya dengan mudah.

Benar juga. Vallesha Eleanor menggeluti bidang permodelan, bukan seni akting. Rupanya inilah alasan mengapa ketika waktu dulu dirinya pernah mendaftarkan diri untuk menjadi seorang aktris, selalu tertolak. Aktingnya buruk.

Kembali lagi. Kini Valle masih memilih untuk diam membisu tanpa membuka matanya. Hingga dirinya merasakan jika area kedua matanya seperti ditutupi oleh sebuah tangan besar.

Dan juga sesuatu yang lembut, hangat, dan sedikit basah menyentuh pucuk bibirnya.

Cup.

Nolan mencium Valle.

Hanya ciuman biasa, tanpa adanya lumatan yang dipenuhi oleh nafsu di sana. Pria itu juga tampaknya tidak berniat untuk menggerakkan bibirnya.

“Kalau kamu malu, ini sekarang udah aku tutupin.” Ujar Nolan yang sudah menarik wajahnya untuk melepaskan tautan bibirnya dengan Valle.

Nolan menurunkan tangannya yang tadi dirinya gunakan untuk menutupi kedua mata istrinya itu.

Setelah merasa sudah tidak terdapat penghalang yang membatasi jangkauan pandangannya, Valle akhirnya memberanikan diri untuk membuka kedua matanya.

Hal pertama yang dilihat oleh wanita itu adalah tatapan teduh dari sang suami yang memancarkan ketulusan di sana. Iris sehitam jelaga milik Nolan mampu mengalihkan dunia Valle detik ini.

“Cantik,” gumam Nolan yang sedang menikmati wajah indah Valle di hadapannya sekarang. “You look so beautiful, Sha.” Tegas Nolan lagi.

“Your eyes”

“And then, your nose”

“Of course, your lips too.”

Setiap kali Nolan mengucapkan kalimat tadi, pria itu memberikan kecupan lembut pada area wajah Valle yang disebutkannya. Jujur saja, hal itu membuat perut Valle kini seperti terdapat ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam sana.

Euforia ini rasanya begitu fantastis. Menyenangkan.

Mereka berdua tenggelam di dalam arus kasih yang mereka ciptakan sendiri. Kedua saling berlomba-lomba untuk menunjukkan rasa sayang dan cintanya kepada sang pasangan.

Nolan pernah berkata bahwa dirinya berani bersumpah ketika Valle sedang salah tingkah, maka disitulah aura kecantikan Valle akan terpancar berjuta-juta kali lipat.

Itulah sebabnya yang membuat pria ini begitu gemar melakukan sesuatu hal yang dapat membuat istrinya menjadi salah tingkah sendiri.

Namun sayangnya, sepertinya pria itu melupakan satu kepingan yang tak kah penting dari kesenangan yang didapatkan dirinya ketika melihat Valle sedang salah tingkah.

Valle yang sedang salah tingkah akan menjadi lebih cantik. Dan Nolan yang melihat hal itu akan menjadi lebih salah tingkah lagi ketimbang Valle.

Do you get it?

Memang sedikit rumit dan tidak dapat dijelaskan secara sederhana. Yang pasti, pada intinya sekarang Nolan justru lebih-lebihan diselimuti oleh rasa gugup.

Valle tidak mengetahui itu.

Yang Valle tahu adalah, dirinya seperti tampak anak ABG yang sedang mengalami pubertas ketika menatap lawan jenis. Faktanya, Nolan pun juga merasakan hal yang sama. Bahkan, lebih parah darinya.

“Istri siapa yang cantik? Esha cantik, istrinya Olan.” —Nolan Azerio.

by scndbrr

Jika ada awal, maka pastilah juga akan terdapat akhir. Sama dengan kisah dua sejoli ini. Cerita cinta Nolan dan Valle usai sampai di sini.

Bentang garis takdir yang mempertemukan mereka berdua di dalam sebuah istilah yang disebut dengan kebetulan ternyata melahirkan berjuta kisah manis untuk keduanya.

Karakter pribadi mereka yang berbanding terbalik 180 derajat ternyata justru dapat membuat kedua anak manusia itu saling melengkapi.

Bagi Valle, Nolan adalah satu-satunya pria yang memperlakukannya bak ratu. Pria itu memiliki ketulusan yang begitu dalam. Tatapan yang dipancarkan oleh kedua matanya mampu menggambarkan itu semua.

Sedangkan di sisi lain, bagi Nolan Valle adalah satu-satunya wanita yang dapat membuatnya menjadi sejatuh ini. Sebelumnya tidak pernah ada. Wanita itu, cinta pertama dan terakhirnya.

Keduanya memiliki latar belakang keluarga yang berbeda, perangai yang berbeda, serta pola pikir yang berbeda pula. Namun, dengan satu perasaan yang sama, mereka akhirnya dapat bersatu.

Mereka menjelma menjadi sebuah penawar untuk rasa sakit yang mendera pikiran dan hati mereka dari kerasnya kehidupan mereka masing-masing.

Kata-kata penyemangat, rengkuhan hangat, serta kecupan kasih sayang membuat mereka dapat saling mengikatkan diri satu sama lain.

Tanpa sadar, mereka berdua sudah saling bergantung.

Mereka tidak akan dapat dipisahkan oleh hal apapun, kecuali maut. Dan satu lagi, dengan kuasa sang pemilik semesta ini. Manusia dapat berencana, namun Tuhan tetaplah yang menjadi penentunya di akhir nanti.

Nolan dan Valle mendapatkan julukan “Couple Mahal”.

Mengapa?

Mungkin bagi segilintir orang, mereka pasti akan langsung mengatakan seperti demikian. Karena si pria seorang pengusaha batu bara ternama dan wanitanya seorang model terkenal.

Apakah benar seperti itu?

Jawabannya adalah salah. Karena pada faktanya bukan demikian.

Mahal adalah satu kata yang menunjukkan tingginya suatu harga barang. Setidaknya begitu yang dijelaskan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Namun, mahal bagi Nolan dan Valle berbeda.

Mahal untuk mereka berdua adalah perkara ketulusan dan waktu.

Ketulusan.

Valle banyak belajar dari Nolan mengenai persoalan tersebut. Dari Nolan, wanita itu tahu jika masih ada seorang pria di muka bumi ini yang tulus mencintai seseorang. Mengerahkan seluruh usahanya untuk membuktikan ketulusannya pada sang pasangan.

Waktu.

Dari Valle, Nolan memahami apa arti penting dari sebuah waktu. Perihal menunggu dan ditunggu yang dialami oleh dirinya sendiri, membuatnya semakin yakin jika Valle adalah wanita yang tepat untuknya.

Mahal, semuanya begitu mahal.

Kesabaran Nolan menghadapi dirinya yang kala itu masih saja terus dibayang-bayangi oleh sang mantan, membuat Valle dapat merasakan ketulusan yang ada di dalam pria itu.

Kesabaran Valle dalam menunggunya untuk dapat menyelesaikan konflik internal keluarganya, juga membuat Nolan dapat merasakan kesetiaan dari wanitanya.

Jodoh, tidak akan ke mana.

Satu prinsip itu yang sama-sama dipegang teguh oleh keduanya.

Inilah akhir dari kisah manis pasangan Nolan dan Valle. Rajutan dari untaian-untaian cerita mereka telah selesai dienyam.

Salam tulip merah, yang melambangkan cinta sejati. —Nolan Azerio

by scndbrr

Membaca kata demi kata yang diutarakan oleh sang istri lewat ponselnya itu, membuat tangan Nolan bergetar dengan hebat.

Tidak berbohong, pikiran pria itu menjadi kalang kabut dan tubuhnya seolah-olah membeku sulit untuk digerakkan.

Beruntung dirinya sekarang sedang melakukan rapat dengan sahabatnya sendiri yaitu, Jacob. Sahabatnya itu dengan cekatan menawarkan dirinya untuk mengantarkan Nolan pulang ke rumah.

Jacob tahu betul jika dirinya membiarkan Nolan pulang sendirian dalam keadaan yang sekacau ini, maka kejadian yang tidak diinginkan mungkin tidak dapat terelakkan.

“Cepetan naik anjing! Ya kali lu harus gua gendong?!” sentak Jacob kepada Nolan yang masih saja menatap kosong ke arah depan sana.

Bukan. Bukannya apa-apa. Namun saat ini Nolan masih sulit untuk mencerna semuanya.

Apakah sebentar lagi akan ada makhluk kecil jiplakannya yang akan hadir ke dunia yang ia tinggali?

Nolan akan menjadi seorang ayah. Itu adalah sesuatu yang luar biasa.

Melihat sahabatnya yang tidak kunjung bergerak barang satu centi pun dari tempatnya berpijak, membuat Jacob mau tidak mau menyeret paksa tubuh Nolan.

Dalam perjalanan dari kantor Nolan menuju ke rumahnya, pria itu tidak henti-hentinya mengetatkan rahangnya dan juga meremas tautan kedua tangannya sendiri.

Nolan, sedang dilanda perasaan gelisah.

Awalnya tadi dirinya merasa begitu bahagia hingga rasanya tidak percaya jika dirinya akan mendapat anugerah besar seperti ini dari sang pemilik semesta.

Namun sekarang berbeda, di dalam otak pria itu kini sedang dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana keadaan wanita yang paling dicintainya itu sekarang?

Apakah bunga tulip cantiknya itu baik-baik saja? Apakah Eshanya merasakan kesakitan yang terlampau menyiksanya? Apakah istrinya itu akan dapat melewati semua ini dengan baik-baik saja?

Hanya itu, Nolan hanya memikirkan Valle. Dirinya begitu khawatir dengan si cantik.

Bahkan Nolan sekarang terlihat sedang merutuki kebodoan dirinya sendiri yang tetap pergi ke kantor untuk bekerja meninggalkan sang istri sendirian di rumah.

Memang benar jika itu semua permintaan dari Valle, namun bukankah dirinya dapat menolaknya dan tetap bersihkeras untuk tinggal? Tidak sesulit itu bukan untuk melakukannya?

Ditambah lagi dengan fakta tidak ada orang satu pun di tempat tinggal kedua pasangan sumi istri itu sekarang tambah membuat detak jantung Nolan meningkat menjadi tidak karuan.

“Tuhan, saya mohon tolong lindungi Esha dan anak kami...” gumam Nolan dengan suara lirihnya yang terdengar begitu pasrah.

Jacob sesekali mencuri pandang ke arah sahabatnya yang terduduk pada kursi penumpang yang terdapat tepat di sampingnya dengan raut wajah frustasi itu.

Meskipun bukan istrinya yang akan melahirkan, Jacob juga dapat merasakan kegundahan sahabatnya yang terus saja bergerak gelisah sejak tadi.

Ketika lampu lalu lintas di depan sana memancarkan warna merah, Jacob memberanikan dirinya untuk memalingkan wajahnya guna melihat wajah sahabatnya dan berbicara, “Tenang aja bro. Lo tau kalo istri lo sama Nolan junior itu kuat kan? Mereka pasti baik-baik aja.”

Nolan menatap Jacob dengan tanpa membalas perkataan sahabatnya itu. Dirinya hanya menganggukan kepalanya dengan lemah.

Jacob menghembuskan napasnya sebelum akhirnya fokus dirinya kembali beralih untuk mengendarai kendaraan roda empat ini dengan aman.

Dirinya dapat memahami situasi dan kondisi sahabatnya saat ini. Mungkin jika dirinya sendiri yang ada di posisi Nolan sekarang, maka gelagatnya pun akan sama atau bahkan lebih parah dari ini.

Yang bisa Jacob lakukan sekarang untuk membantu meringankan beban sahabatnya adalah membawa Nolan segera untuk dapat bertemu dengan Valle dan calon anaknya itu.


Setelah mobil yang ditumpangi oleh Nolan dan Jacob telah sampai di depan rumah Nolan, pria itu tidak segan-segan untuk langsung berkari memasuki rumahnya sendiri.

Beruntung pintu depan rumah mereka tidak dalam keadaan terkunci, tentu saja hal itu membuat Nolan memiliki akses lebih mudah untuk masuk ke dalam.

Pria itu sepertinya melupakan kehadiran Jacob yang berperan besar untuknya dapat tiba di rumah. Nolan meninggalkan Jacob begitu saja tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

“Sayang!” teriak Nolan memanggil Valle.

“Tidak mendapat jawaban membuat Nolan tidak berhenti untuk memanggil sang istri sambil terus mencari keberadaan istrinya tersebut.

“Sayang kamu di mana?”

Tempat tujuan pertama Nolan adalah kamar tamu yang berada di lantai bawah. Tempat yang sudah hampir beberapa bulan ini beralih fungsi menjadi kamar utama mereka.

Sebenarnya kamar utama pasangan suami istri ini berada di lantai dua. Namun tepat ketika Valle dinyatakan telah mengandung Nolan lantas mengambil keputusan untuk memindahkan kamar mereka ke lantai satu.

Alasannya adalah Nolan tidak mau jika Valle harus bolak-balik naik tangga dengan keadaan perutnya yang sudah mulai membesar. Menurutnya hal itu akan sangat berbahaya bagi istrinya dan calon anaknya.

Kembali lagi, ketika dirinya masih berusaha untuk menemukan di mana istrinya berada. Nolan membuka pintu kamar tamu itu dengan kasar. Berharap dirinya dapat segera mendapati sosok cantiknya.

Namun sayangnya nihil. Kosong. Tidak terdapat tanda-tanda Valle ada di dalam ruangan ini.

Suara gemericik air yang berasal dari arah kamar mandi pun mengalihkan atensi Nolan. Pria itu bergegas untuk pergi ke sana.

Dan benar saja, Valle sedang terduduk di atas toilet dengan keadaan tubuh yang begitu lemas. Beruntung wanita itu tidak pingsan.

“Astaga ya Tuhan! Sayang?!”

“M-mas?” Jawab lemah Valle sambil menerbitkan senyum tipisnya.

Nolan meraih tubuh lemah Valle dengan sangat hati-hati. Pria itu membawa istrinya untuk masuk ke dalam rangkumannya. “Kamu abis jatuh?!” Tanya Nolan begitu khawatir melihat keadaan istrinya.

Valle menggelengkan kepalanya dengan pelan untuk menjawab pertanyaan Nolan barusan. “Aku nggak jatuh kok mas. Kamu tenang aja nggak usah panik gitu. Tadi aku habis dari kamar mandi terus ngerasain kram perut makanya duduk di atas toilet,” ujar wanita itu berusaha untuk menjelaskan apa yang terjadi kepadanya.

Mendengar penuturan Valle barusan membuat Nolan dapat bernapas dengan lega.

Perlahan pria itu hendak berniat untuk menggendong Valle ala bridal style namun sedang bersiap, tangannya ditahan oleh sang istri. “Sekarang aku berat, mas. Kamu bantu mapah aku buat jalan aja.”

Nolan menulikan dirinya dan tetap menggendong Valle. Pria itu menghiraukan pukulan ringan yang dilayangkan oleh sang istri pada pundaknya.

“Kamu itu masih lemes, sayang. Udah nurut aja. Lagian aku nggak ngerasa kesusahan gendong kamu kok,” ujar Nolan yang masih sibuk menggendong Valle menuju ke ranjang tidur mereka berdua.

Setelah meletakkan istrinya di pinggir ranjang, Nolan berlutut di lantai untuk memudahkan Valle menatap dirinya. Pria itu tidak mau membuat Valle mendongak terlalu lama.

“Sekarang perutnya masih sakit, hm?” Tanya Nolan dengan suaranya yang begitu lembut. Tatapan pria itu menyiratkan semua kekhawatirannya saat menuju kembali ke rumah.

Valle mengulurkan tangan kanannya untuk membelai surai suaminya yang tampak sedikit berantakan. Wanita itu dapat menebak jika suaminya ini habis berlarian untuk dapat menemukan dirinya.

Jemari lentiknya tadi perlahan mulai beralih dari suari sang suami menuju ke pipi tirus yang dimiliki oleh Nolan. Valle baru saja menyadari jika suaminya itu menjadi sedikit lebih kurus.

Ditambah lagi dengan kantung mata yang terlihat menggembung serta lingkaran yang bewarna gelap di bawa mata Nolan, membuat Valle mengetahui perjuangan yang juga dilakukan oleh suaminya ketika dirinya sedang mengandung buah hati mereka berdua.

Perjuangan apa yang dimaksud oleh dirinya?

Pengorbanan Nolan yang rela bangun lebih awal agar dirinya bisa sampai di kantor lebih pagi untuk mengerjakan tugasnya sebagai seorang CEO lebih cepat, sehingga nantinya dia akan dapat pulang lebih awal juga.

Pengorbanan Nolan yang harus selalu siap siaga pergi ke mana pun dan kapan pun waktunya itu untuk memenuhi keinginan sang istri yang sedang mengidam sesuatu.

Pengorbanan Nolan yang rela tidak tidur semalaman karena istrinya terus saja mengaduh kesakitan di bagian perutnya.

Dirinya terjaga sepanjang bulan bertengger di cakrawala dengan tangannya yang terus memijit bagian punggung bawah sang istri. Berharap dengan kontribusi yang dilakukannya itu akan membuat rasa sakit yang menyerang sang istri akan sirna.

Belum lagi selain dirinya yang bangun lebih awal, Nolan juga berusaha untuk curi-curi waktu melanjutkan pekerjaannya di rumah. Pria itu memijit sang istri sambil membaca berkas perusahaannya.

Kurang lebih itulah yang membuat Nolan seperti zombie hidup akhi-akhir waktu ini.

Sebetulnya pria itu benci membahas tentang hal ini. Sebab dirinya tahu betul jika apa yang dilakukannya untuk membuat istrinya memperoleh kenyamanan itu tidak sebanding dengan sulitnya seorang ibu yang tengah mengandung.

Nolan melakukan semuanya dengan hati yang ikhlas. Demi istri tercinta dan calon sang buah hatinya yang akan segera lahir itu dirinya rela berbuat apapun.

“Maafin aku ya, mas?” Cicit Valle dengan suaranya yang begitu kecil hampir tidak terdengar oleh Nolan.

Kening Nolan berkerut membentuk lipatan-lipatan. Pria itu tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang istri barusan.

Mengapa wanitanya itu tiba-tiba saja meminta maaf kepadanya? Bukankah dirinya hanya bertanya apakah perut istrinya itu masih sakit atau tidak? Lantas mengapa kini Valle mengubah topik pembicaraan?

Kedua alis Nolan yang menyatu seolah-olah memberikan sinyal kepada Valle supaya dirinya menjelaskan maksud dari kata maaf yang keluar dari mulutnya.

Valle menundukkan kepalanya tidak mau menatap iris sehitam jelaga milik suaminya. “Karena aku lagi hamil, penampilan kamu jadi berantakan. Aku nggak ada waktu buat merhatiin kamu, mas... Maaf,” ujar Valle menjelaskan.

Air mata wanita itu mengalir begitu saja tanpa permisi. Entah mengapa sejak dirinya mengandung sang buah hati, Valle merasa tidak dapat mengendalikan emosinya dengan baik. Dirinya menjadi lebih mudah menitikkan air mata.

“Hei hei sayang, jangan nangis.” Ucap Nolan yang langsung menyeka air mata Valle yang menggenang di kedua sisi pipi mulus wanita itu.

“Kamu ngomong apa sih? Ngapain minta maaf? Itu bukan salah kamu. Lagian aku juga baik-baik aja kok. Justru harusnya aku yang minta maaf ke kamu...”

“Aku masih belum bisa jadi suami dan calon ayah yang baik ya?”

I'm sorry, Sha...”

“Aku pasti akan terus berusaha yang terbaik buat kalian berdua. Kamu dan anak kita nanti.”

Valle mengalungkan kedua tangannya pada leher Nolan. Wanita itu tidak bisa menahan isak tangisnya lagi. Di dalam rengkuhan hangat Nolan, Valle kembali menangis.

Wanita itu masih saja sering dikejutkan dengan fakta memiliki Nolan sebagai suami sahnya. Bagaimana bisa demikian? Bagaimana bisa dirinya diberikan seorang pria gentle seperti Nolan?

Yang dapat Valle lakukan adalah dirinya yang tidak pernah untuk berhenti bersyukur atas garis takdir yang telah digariskan oleh sang pemilik semesta untuknya.

Nolan membalas pelukan Valle dengan mengusap-usap punggu istrinya itu dengan gerakan lembut. “Dengerin aku, sayang.”

“Kamu itu istri dan calon ibu terbaik yang ada di dunia, Sha. Di mata aku, kamu begitu.”

“Udah, jangan nangis lagi ya? Aku nggak bisa liat kamu nangis kaya begini. Dedek bayi juga pasti nggak mau ibunya sedih.”

Valle mengangguk-anggukkan kepalanya lucu di dalam rengkuhan Nolan. Wanita itu memilih untuk menelusupkan kepalanya di dada bidang sang suami. Dirinya begitu candu dengan aroma tubuh prianya.


Di dalam ruangan bersalin, Valle kini tengah terbaring lemah di atas brankar pasien rumah sakit.

Nolan tetap setia berdiri tepat di samping Valle sambil terus menggenggam tangan istrinya itu. Dirinya berharap dapat menyalurkan sedikit kekuatan untuk sang istri.

Buliran bening seukuran biji jagung memenuhi area dahi Valle. Dirinya sedang berusaha semaksimal mungkin untuk momen yang sangat ditunggu-tunggu olehnya dan Nolan.

“Ayo bu, kita coba sekali lagi ya?” “1... 2... 3...”

“AAAKKKK!!” “HUH... HAH... HUH... HAH...”

Nolan tidak tega hati melihat perjuangan sang istri yang sedang berjuang untuk menghadirkan jagoan kecilnya ke dunia ini.

“Semangat sayang, aku yakin kamu pasti bisa.”

Nolan meneteskan air matanya tanpa sadar ketika dirinya melihat raut wajah sang istri yang kesakitan.

Pria iu memang tidak tahu rasa sakit orang yang sedang melahirkan. Namun, dapat Nolan tarik kesimpulan rasanya sangatlah sakit.

Sejak awal tadi, Nolan telah meminta istrinya untuk mendengarkan saran yang diberikan oleh dokter kandungan yang menanganinya. Dokter tersebut menyarankan Valle untuk melakukan proses persalinan secara caesar.

Sayangnya Valle menolak hal tersebut dan bersihkukuh ingin melahirkan anak pertamanya ini secara normal.

“Sayang udah ya? Kita pakai operasi caesar aja. Kamu udah kesakitan banget ini,” celetuk Nolan tiba-tiba di tengah prosesi persalinan yang sedang berjalan ini.

Valle tidak bersuara apapun untuk menjawab ucapan Nolan. Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah sambil berusaha untuk menetralkan napasnya yang tersendat-sendat.

Setelah dirasa dirinya sudah dapat menghirup oksigen dengan baik, Valle meminta Nolan untuk lebih mendekat ke arah dirinya. Nolan langsung memenuhi permintaan istrinya itu.

“Mas, kamu yang kasih nama buat anak kita ya.” Valle menyunggingkan senyuman manisnya ke arah Nolan setelah berucap demikian. Nolan menganggukkan kepalanya mantap kemudian beralih mengecup pelan dahi sang istri dengan penuh sayang.

“AAAAAKKKKKKH!!!”

“Oek... Oekk... Oekk...”

Kedua manik Nolan langsung berkaca-kaca begitu dirinya mendengar suara tangisan seorang bayi yang pecah dengan keras ketika telah digendong oleh sang dokter kandungan.

“Selamat, pak dan bu. Bayinya laki-laki.”

Nolan menangis dalam diam melihat makhluk kecil yang berwarna sedikit kemerahan itu sedang dibersihkan oleh sang suster.

Pria itu berjalan menghampiri Valle yang memejamkan matanya dengan keadaan sudah tidak ada tenaga lagi.

“Thank you, my tulips!”

“Makasih banyak ya atas perjuangan keras kamu selama sembilan bulan sepuluh hari ini untuk mengandung dedek bayi sampai melahirkan dia ke dunia kita.”

“Kamu wanita terkuat yang pernah aku kenal setelah mama aku.”

“Aku sayang banget kamu, Sha”

Tulus. Begitu tulus tatapan yang dipancarkan oleh kedua bola mata Nolan untuk Valle. Pria itu selalu begini. Dirinya tidak akan pernah berhenti menatap sang tambatan hatinya seperti itu. Selamanya pun akan demikian. Sampai maut memisahkan mereka berdua, Nolan akan selalu tulus kepada Valle.

Selamat berbahagia Nolan dan Valle. Selamat atas kelahiran putra pertama kalian.

by scndbrr

Pagi ini Nolan sudah dihinggapi rasa gugup yang luar biasa. Rupanya pria itu juga dapat merasakan hal seperti ini. Sangat diluar ekspetasi.

Sudah hampir tiga puluh menit lamanya Nolan terus saja berjalan dari satu titik ke titik yang lain secara berulang. “Woi bro! Duduk sini napa, heran mondaR-mandir mulu lu kaya setrikaan!” Celetuk Jacob, sahabatnya.

Ucapan Jacob tadi mengundang tatapan tajam dari Nolan yang tidak terima dan menuai kekehan ringan dari kedua temannya yang lain, Khava dan Rego.

“Halah biasa itumah, kayak gak tau aja lu orang yang lagi kebelet nikah!”

Jacob melayangkan pukulan pelan ke arah bahu Rego untuk mengekspresikan emosinya yang pecah mendengar penuturan Khava barusan.

“ANJING! Sakit bego!” Sentak Rego sang korban penerima hantaman kepalan tangan Jacob.

Memang benar jika pukulan yang diberikan oleh Jacob pelan, namun tampaknya pria itu lupa jika temannya yang satu ini memiliki tubuh yang jauh lebih kecil perawakannya dari dia.

Nolan menggelengkan kepalanya melihat kelakuan teman-temannya yang masih seperti kumpulan anak sekolah dasar itu.

Tidak mau terlalu menghiraukan temannya, dirinya memilih untuk berjalan, melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk mencapai tempat cermin besar disandarkan pada ruangan tersebut.

Kedua tangan besarnya terulur untuk sedikit merapihkan dasi model kupu-kupu berwarna hitam pekat yang bertengger dengan manis pada kerah kemeja putihnya.

Hari ini aura maskulin Nolan terpancar dengan kuat. Wajahnya yang rupawan menambah kesan gagah yang dimiliki oleh pria itu.

Nolan mengenakan tuxedo berwarna senada dengan dasi kupu-kupunya tadi yang melekat dengan sempurna pada tubuh semampainya.

Helai demi helai surainya yang berwarna hitam sedikit kecoklatan itu tersusun rapih dengan bantuan gel rambut yang dipakaikan oleh hairstylistnya tadi.

Semerbak aroma musk dari parfum yang dipilihnya hari ini menguar menusuk ke dalam indera penciuman, membuat siapapun dapat terlena dengan harum lembut nan elegan itu.

Alas kaki yang berupa sepatu kulit tanpa tambahan sol lagi karena sepertinya dirinya tidak membutuhkan fungsi dari hal tersebut membuat pria ini semakin terlihat indah.

Perfect!

Sempurna, adalah satu-satunya kata yang paling tepat untuk dapat mendeskripsikan bagaimana penampilan Nolan pada detik ini.

Semuanya memang sudah sengaja pria itu persiapkan dari jauh-jauh hari. Dirinya begitu menghargai hari bersejarah ini. Pria itu tidak mau terdapat barang satu hal saja yang terlewatkan.

Sebab hari ini adalah harinya. Hari dirinya dengan Valle. Hari di mana mereka berdua akan saling mengikat.

*Tok... tok... tok...” Ceklek.

Suara ketukan pintu yang kemudian disambung langsung dengan deritan sekat kayu tersebut yang terbuka membuat Nolan memalingkan wajahnya ke arah sumber suara tadi.

“Sudah waktunya.”

Pria itu mengangguk mantap menanggapi perkataan salah satu orang yang bertugas untuk mempersiapkan hari bahagianya ini.

Setelah dirinya berulang kali mengambil napas dan menghembuskannya secara perlahan, Nola akhirnya menyusul teman-temannya yang sudah berdiri di depan ruangan ini.

Melihat Nolan yang sudah keluar, teman-temannya lantas mempersilahkan Nolan untuk berjalan terlebih dahulu di depan mereka semua.

Dengan hati gembira yang masih saja tetap dialiri oleh perasaan gugup, Nolan melangkahkan kedua kakinya satu per satu untuk menuju ke tempat yang akan menjadi saksi bisu hari bahagianya.


Di sisi lain, sebuah ruangan yang ukurannya tidak terlalu luas dan didominasi oleh warna putih itu terdapat seorang wanita di dalamnya yang juga tak kalah gugup.

Wanita itu ditemani oleh bunda dan kakak perempuannya. Satu lagi, sahabat dekatnya juga.

Dia, adalah Valle.

Kedua tangannya bertaut di atas gaun putih panjang yang desainnya tidak terlalu muluk-muluk, terlihat sederhana, namun justru terkesan lebih elegan.

Tangannya yang telah mengenakan sarung tangan renda terasa sedikit lembab sebab sepertinya wanita itu terlampau gugup hingga telapak tangannya mengeluarkan keringat dari sana.

Valle memiliki sebuah kebiasaan sejak dirinya masih kecil hingga sekarang sudah dewasa yang tidak pernah hilang.

Ketika dirinya merasa gugup, wanita itu akan menggigiti bibir bagian bawahnya sendiri sampai berdarah.

Rupanya kebiasaan itu sangat sulit untuk dihilangkan, sebab kini dirinya melakukan hal tersebut kembali.

Usapan lembut pada sisi pipi kanan Valle membuat wanita itu tersentak dari pikirannya yang sedang digandrungi oleh perasaan gugup tadi.

Di hadapannya, terdapat sepasang manik indah yang menatapnya dengan penuh perhatian.

Bunda Seira.

Wanita paruh baya itu menatap Valle dalam diamnya tanpa mengutarakan satu patah kata pun. Namun putrinya itu dapat mengerti maksudnya.

Bundanya, sedang memberikan ketenangan kepada dirinya. Bundanya itu sedang berusaha untuk membuat kegugupan putrinya sirna. Bundanya ingin mengatakan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Valle tahu itu sebab dirinya sudah bersama dengan wanita paruh baya yang sudah dianggap sebagai ibu kandungnya sendiri selama hampir lebih dari 20 tahun lamanya.

Senyuman teduh yang terpatri pada belah bibir Seira membuat suara bising yang memenuhi isi pikiran Valle lama-kelamaan mulai menghilang.

“Alle...” Suara lembut Seira yang memanggil dirinya membuat Valle menautkan kedua alisnya menunggu kalimat berikutnya yang meluncur dari mulut wanita paruh baya itu.

Lagi. Seira tersenyum lagi.

Namun, kali ini berbeda. Mungkin bagi orang lain yang melihat garis lengkung tersebut tidak akan berpikir demikian.

Lain halnya dengan Valle. Entah mengapa wanita itu merasakan bahwa senyuman bundanya terlihat sedikit menyedihkan.

“P-putri kecil bunda s-sudah besar...” Terdapat rasa nyeri yang langsung menyerang hati Valle begitu bundanya berucap demikian.

Putri kecil bunda.

Selalu seperti ini. Seira selalu menganggap dirinya sebagai putri kecilnya. Seira begitu menyayangi dan mencintai Valle seperti putri kandungnya sendiri.

Belum sempat melanjutkan kalimatnya yang sengaja dirinya jeda tadi, Seira sudah menjatuhkan cairan bening yang sudah mendesak meminta untuk dikeluarkan dari pelupuk matanya.

“Bunda...”

Valle tidak bisa. Dirinya tidak bisa melihat bundanya menangis. Dirinya tidak bisa melihat bundanya bersedih seperti ini. Terlebih lagi jika penyebabnya adalah dirinya.

Seira menggelengkan kepalanya pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengusap aliran air matanya yang menggenang pada kedua sisi pipinya.

“Alle sudah besar. Putri kecil bunda ini sudah bisa menemukan laki-laki pilihannya. Anak bunda yang satu ini mau memasuki jenjang kehidupan yang selanjutnya.”

“Bunda seneng. Bunda seneng banget kok, Le. Bunda seneng ngeliat Alle bahagia.”

“Bunda gak tahu bunda boleh bilang begini sama Alle apa enggak, tapi di saat yang bersamaan bunda juga ngerasa sedih...”

“Bunda sedih karena putri bunda udah jadi milik orang lain. Bunda sedih karena Alle bukan putri kecilnya bunda lagi yang kalau sakit pasti cuma mau tidur sama bunda. B-bunda... bunda... s-sedih...”

Deg.

Pertahanan Seira akhirnya runtuh. Isak tangis wanita paruh baya itu pecah memenuhi seluruh penjuru ruangan ini.

Valle yang tidak kuasa melihat keadaan bundanya itu langsung memajukan tubuhnya dan merangkum tubuh Seira yang bergetar hebat sebab dirinya yang masih menangis.

“Bunda jangan ngomong kaya gitu...”

“Alle bakalan tetep jadi putri kecil bunda sampai kapanpun.”

“Bunda jangan nangis. Alle gak mau lihat bunda sedih kaya gini.”

Seira membalas rengkungan hangat yang diberikan oleh Valle kepadanya. Wanita paruh baya itu terus saja mengusap punggung sempit putri kecilnya.

“Makasih ya sayang?”

“Makasih karena kamu udah lahir ke dunia ini. Makasih karena kamu udah mau jadi putri kecil bunda. Makasih juga karena kamu selalu ngasih bunda kebahagian ke bunda dan keluarga.”

Hati mungil Valle tersentuh ketika rungunya mendengar penuturan dari Seira.

Pada kenyataannya hidupnya selama ini berharga.

Pikiran sempitnya beberapa tahun lalu yang sempat ingin mengakhiri hidupnya sendiri ternyata salah.

Pikirannya yang hampir membawanya pergi untuk menyusul kedua orang tuanya ternyata salah.

Pikirannya yang menganggap dirinya sebagai pribadi yang sebatang kara tanpa siapa-siapa di sisinya pun juga ternyata salah.

Aksi haru antara seorang ibu yang ingin melepas putrinya itu berlanjut hingga suara Yumna menginterupsi mereka berdua.

“Ayo, udah ditunggu tuh sama calonmu.”


Nolan berdiri dengan gagah di depan altar yang berhiaskan bunga-bunga tulip yang memang sesuai dengan requestan dirinya sendiri.

Bunga tulip berwarna merah, putih, dan merah muda telah tersusun dengan rapi.

Begitu suara yang timbul dari gesekan senar-senar biola dan petikan harpa mulai terdengar, Nolan memalingkan wajahnya menghadap ke arah depan sana.

Di sana, terlihat sosok seorang wanita cantik yang sudah tidak asing lagi di matanya. Bahkan Nolan begitu mengenal wanita tersebut.

Paras cantiknya yang pada hari ini terlihat sedikit berbeda mampu mengalihkan dunia Nolan untuk sekejap.

Cantik. Begitu cantik. Vallenya sangat cantik.

Langkah demi langkah Valle tempuh untuk dapat mencapai ke tempat tujuannya, yaitu altar.

Dirinya didampingi oleh sang ayah yang menggenggam tangannya dengan penuh hati-hati.

Valle merasakan sedikit getaran pada telapak tangan ayahnya itu. Ketika dirinya sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat sang ayah, yang didapati wanita itu hanyalah senyuman manis dari Bondan.

Namun, Valle tahu betul jika senyuman itu palsu.

Setelah sampai di depan altar, sebelum Bondan melepaskan genggaman tautan tangannya dengan Valle, pria paruh baya itu meminta waktu sejenak untuk mengatakan sesuatu kepada Nolan.

“Ini adalah bunga saya. Bunga yang paling cantik yang pernah saya miliki. Bunga yang begitu indah yang pernah saya rawat. Bunga yang sangat saya sayangi dan juga saya cintai.”

“Saya tahu jika saya tidak bisa memiliki bunga kecil ini untuk selamanya... Saya tahu dia pasti akan pergi jika waktunya sudah tiba.”

“Seperti sekarang ini...”

“Nolan, saya percayakan putri kecil saya kepada kamu. Satu permintaan saya. Jangan pernah sakiti dia.”

“Saya tidak pernah berkata kasar kepada dia. Saya tidak pernah melayangkan tangan saya kepada dia. Saya juga tidak pernah membiarkan air matanya jatuh dengan sia-sia.”

“Sekarang, bunga saya akan saya percayakan kepada kamu. Jaga dia sebaik mungkin ya, nak Nolan?”

“Tolong jangan kecewakan saya.” “Saya mohon...”

Jika ada nominasi seorang anak yang paling beruntung di dunia ini, mungkin nama Vallesha Eleanor lah yang nantinya akan menempati posisi pertama pada leaderboard.

Pertanyaannya sekarang hanyalah bagaimana?

Bagaimana bisa Valle mendapatkan kasih sayang dari orang yang tidak sedarah dengan dirinya sebanyak ini?

Seira dan Bondan bukanlah kerabat jauh Valle, mereka hanya pasangan suami-istri yang kebetulan mengenal almarhum kedua orang tua Valle saja.

Kebaikan apa yang telah diperbuat almarhum orang tuanya hingga membuat sosok malaikat tak bersayap seperti Bondan dan Seira dapat menyayanginya seperti ini?

Valle tidak tahu. Yang pasti, Valle begitu beruntung.


“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Nolan Azerio, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Vallesha Eleanor menjadi suami istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”

“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Vallesha Eleanor, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Nolan Azerio menjadi suami saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”

Setelah kedua sejoli itu mengucapkan janji pernikahan mereka di hadapan khalayak, maka kini resmilah mereka berdua menjadi pasangan suami-istri yang telah sah.

Tangan besar Nolan terulur untuk menggenggam jemari lentik milik Valle. Pria itu menatap istrinya dengan penuh ketulusan.

“Sha, this is our day.” “I love you, my tulips!

Penyatuan belah bibir kedua anak manusia ini terlihat begitu murni. Tidak ada nafsu yang menggebu-gebu di sana. Keduanya terlihat sama-sama hanya ingin menyalurkan rasa cintanya yang besar.

Tanpa disadari, Nolan menitikkan air matanya hingga jatuh ke pipi Valle. Pria itu bukan menangis karena bersedih, melainkan dirinya sangat berbahagia sekarang ini.

Nolan bahagia, karena dirinya dapat menjemput kebahagiannya yang selalu ia nanti-nantikan ketika berada di titik terendah di dalam hidupnya.

Bagi pria itu, Valle adalah kebahagiannya yang nilainya tidak dapat dideskripsikan dengan apapun.

Sesayang, secinta, dan setulus itulah Nolan Azerio kepada wanitanya. Hanya Vallesha Eleanor seorang.

by scndbrr

Kedua tangan Nolan meremat stir kemudi mobilnya dengan begitu erat. Pria itu seakan-akan melampiaskan kekesalannya saat ini.

Mengapa? Mengapa harus sekarang? Ini adalah momen penting yang amat dinanti-nantikan oleh pria itu.

Usapan lembut yang dirasakan Nolan pada punggung tangannya membuat dirinya menoleh sekilas ke arah kursi penumpang yang ada di sampingnya.

“Gapapa,” ucap Valle dengan bersungguh-sungguh.

Wanita itu tidak terlalu mempermasalahkan acaranya yang gagal ini. Menurutnya, tanggung jawab kekasihnya sekarang yang sudah menjadi seorang CEO tidaklah main-main.

Sudah dapat dipastikan jika jadwal pria itu akan bertambah padat. Maka ketika terjadi hal seperti ini, dirinya tidak akan keberatan untuk mengalah.

Garis lengkung yng terpatri karena kedua sudut bibir wanitanya yang tertarik ke atas itu, membuat Nolan menghembuskan napasnya dengan kasar.

Pria itu dapat sedikit merasa lega karena memiliki seorang pacar yang begitu pengertian. Namun, di sisi lain dirinya juga merasa bersalah karena pada pertemuan pertama mereka setelah belakangan ini tidak berjumpa berakhir dengan begitu cepat.

Ditambah lagi dengan persiapa yang telah dilakukan oleh Nolan untuk melamar Valle. Bukan masalah berapa jumlah nominal yang telah dikeluarkan olehnya untuk mempersiapkan segalanya itu.

Ini adalah soal waktu.

Nolan tidak ingin menyia-nyiakan waktunya terlalu lama. Dirinya sudah sangat yakin akan keputusan yang diambilnya.

“Maaf...,” lirih Nolan setelah menepikan mobilnya dengan suara yang begitu kecil hingga hampir tidak terdengar.

Valle menggelengkan kepalanya kemudian sedikit memajukan tubuhnya ke arah Nolan. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Nolan dan membawa wajah Nolan menghadap ke arahnya.

No! Jangan minta maaf, sayang. Gapapa. Aku gapapa kok.”

Nolan merapikan surai Valle yang menutupi wajah cantik wanita itu, “Bentar aja. Ini cuma bentar doang kok. Kalo aku minta kamu buat nunggu, kamu mau?”

Mendapat jawaban anggukan gemas dari kekasihnya membuat Nolan terkekeh kemudian membawa wanitanya itu untuk masuk ke dalam rengkuhan hangatnya.

“Makasih, sayang.”


Ting tong... Ting tong... Ting tong...

Suara bel apartemen milik Valle terus berbunyi sejak tadi. Valle yang medengar hal itu mengerutkan dahinya heran sebab kini jarum panjang sudah menunjukkan pukul 12 malam.

Siapa yang bertamu malam-malam begini, batinnya.

Sebelumnya, Valle memang sudah tinggal sendiri di sebuah unit apartemen yang dibelinya dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Wanita itu memutuskan untuk keluar dari rumah ayah dan bunda bukan karena terdapat suatu masalah dengan mereka, melainkan dengan dalih tidak ingin merepotkan keluarga baik itu terlalu jauh.

Ayah, bunda, dan kak Yumna hanya dapat menerima keputusan Valle dengan berat hati begitu si bungsu menyampaikan keinginannya untuk pindah ke apartemen.

Meskipun demikian, hubungan Valle dengan keluarga yang telah merawat dirinya dari kecil itu tidak putus. Mereka akan saling meluangkan waktunya masing-masing untuk dapat berjumpa dengan satu sama lain.

Kembali lagi, Valle menjadi sedikit was-was ketika bel apartemennya tidak kunjung berhenti berbunyi sejak tadi. Wanita ini termasuk ke dalam jajaran orang yang penakut.

Ting.

Suara yang menandakan adanya pesan masuk pada ponsel milik Valle membuat atensi wanita itu seluruhnya tertuju pada benda persegi panjang yang tergeletak di atas nakas sebelah ranjangnya.

Cantik, udah tidur? Aku di depan apart kamu, sayang.

Tanpa berlama-lama lagi Valle langsung bergegas untuk membukakan pintu apartemennya. Ternyata itu adalah prianya.

Ceklek.

“Loh kamu kok? Urusannya udamhhpptt!”

Begitu pintu yang menjadi sekat di depannya ini terbuka dan memunculkan sosok yang begitu dirinya ingin temui, Nolan langsung masuk dan mempertemukan bibirnya dengan bibir ranum milik Valle.

Pria itu melumat bibir Valle dengan begitu lembut hingga aksinya ini sukses membuat Valle menjadi mabuk kepayang. Valle akui skill mencium Nolan begitu baik. Sudah seperti pro player saja pria ini.

Tangan besar Nolan meraih tengkuk Valle dan menekannya untuk dapat memperdalam pagutan mereka berdua. Semakin lama, ciuman lembut tadi berubah menjadi sedikit agresif.

Valle yang merasakan pasokan oksigennya sudah mulai menipis memukul-mukul pelan bahu Nolan meminta agar pria itu untuk melepaskan tautan mereka sejenak.

Nolan yang mengerti kode dari Valle akhirnya melakukan hal yang dimaksud dari wanita itu. Dirinya memandangi penampakan Valle yang sudah berantakan akibat ulahnya.

Wajahnya yang memerah, buliran bening sebesar biji jagung pada sudut-sudut dahi wanita itu, dan deru napasnya yang tersengal-sengal membuat Nolan tersenyum tertahan melihatnya.

Tangan besar laki-laki itu membelai lembut wajah cantik kekasihnya ini, “Cantik. Kamu selalu cantik.”

Gerakan Nolan yang menggendong dirinya membuat Valle terkejut bukan main. Wanita itu berusaha untuk melepaskan dirinya dari gendongan Nolan, namun sayangnya usahanya sia-sia. Tenaganya kalah kuat dengan pria itu.

“E-eh ini ngapain pake digendong-gendong segala sih?” Tanya Valle yang masih berusaha untuk melepaskan dirinya.

Nolan tidak menjawab pertanyaan wanitanya itu. Dirinya berjalan masuk ke dalam unit apartemen sang kekasih dan menuju ke arah dapur.

Pria itu mendudukkan kekasihnya di atas bar pantry yang ada di sana. “Vallesha Eleanor, happy birthday!

Kedua mata Valle membola sempurna begitu rungunya mendengar ucapan Nolan barusan.

Hari ini adalah hari lahirnya? Ke mana saja dirinya hingga melupakan hari bersejarah di hidupnya, hari di mana ia lahir ke dunia ini.

“Makasih ya? Makasih karena udah hadir di dalam hidup aku. Makasih karena udah bantu aku buat mewarnai hari-hari aku. Makasih juga karena udah buat aku berubah jadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Nolan menjeda kalimatnya sebentar untuk dapat mengambil napas, “Doa terbaik aku akan selalu menyertai kamu, Sha. Bahagia terus ya cantik. I love you!

Valle menarik kerah kemeja yang dipakai oleh Nolan. Wanita itu menyatukan benda kenyal kepunyaan mereka berdua masing-masing kembali.

Nolan membalas tindakan Valle dengan senang hati. Pria itu sesekali menghisap bibir bagian atas wanitanya dan juga menusupkan benda lunak tak bertulang miliknya untuk mengeksplor bagian dalam mulut Valle.

“Eungghh”

Terdengar lenguhan dari Valle yang menurut Nolan begitu merdu di telinganya. Suara tadi membuat dirinya semakin gencar memiringkan kepalanya mencari posisi yang paling nyaman.

Valle melampiaskan apa yang sedang dirasakannya sekarang dengan menjambak kecil rambut Nolan.

Tangan Nolan tidak dibiarkan menganggur begitu saja oleh sang empunya. Keduanya bertengger dengan manis pada pinggang ramping Valle dan memberikan gerakan remasan di sana.

Kedua muda-mudi ini saling memagut dalam waktu yang cukup lama. Setelah dirasa puas, akhirnya mereka berdua dengan tidak rela melepaskan tautan bibir mereka.

“Sayang?” Panggil Nolan dengan suara lembutnya.

“Heung? Hahh... hhah.. hahh...” Jawab Valle yang masih berusaha untuk menstabilkan napasnya yang terputus-putus.

Nolan mengacak rambut Valle gemas dengan wajah sayu wanita itu.

“Apa? Kamu mau ngomong apa?” Tanya Valle yang penasaran dengan tujuan Nolan memanggilnya barusan ini.

Nolan menyugar rambutnya ke belakang, “Maaf, aku sebenernya udah ada nyiapin sesuatu buat hadiah kamu, tapi karna ada urusan kantor jadi berantakan semuanya deh...” Adu pria itu yang membuat Valle tersenyum geli.

“Apaan sih, aku bukan anak kecil lagi yang kalo setiap ulang tahun harus dirayaain, sayang. Jadi, gapapa. Gak usah ngerasa bersalah gitu. Orang sebenernya aku juga lupa kalo ini hari ulang tahunku.”

“Kalo menurut aku pribadi yang namanya ulang tahun itu kan artinya kita bertambah usia. Nah, daripada mikirin soal hadiah yang dikasih orang, lebih penting buat mikin step berikutnya yang bakal kita ambil.”

Valle mengusap lembut pipi Nolan, “Lagian kamu juga udah banyak ngasih aku hadiah, sayang.”

“Kalo kata kamu tadi lebih penting buat mikirin langkah selanjutnya yang bakal kamu ambil, kayanya aku bisa bantu kasih itu ke kamu sekarang juga.”

Nolan mengambil benda kotak merah mudah kecil yang berada di dalam saku celananya, “Let's Grow Old Together, Sha.”

“Kamu itu wanita yang jadi cinta pertama sekaligus cinta terakhir aku. Gak masalah kalau misalnya aku bukan cinta pertama kamu, tapi yang pasti aku bakal jadi cinta terakhir kamu.”

“Aku mau jadiin kamu sebagai partner hidup aku buat selamanya sampai maut memisahkan kita berdua, Sha. Aku mau kamu jadi pendamping hidup aku. Aku mau kamu jadi tempat ternyaman buat aku.”

“Kita jalanin semuanya bareng-bareng ya, Sha? Suka, duka, sakit, susah, kita laluin itu semuanya sama-sama.”

“Aku sayang banget sama kamu, Sha. Gak tau lagi deh rasa cinta aku ke kamu itu gak bisa diungkapin pake kata-kata. Aku cuma mau kamu, Vallesha Eleanor.”

“Will you marry me?”


Flashback

Seorang pria kini nampak tengah sibuk mempersiapkan bahan materi yang kali ini memang dengan sengaja dirinya jelaskan secara detail.

Setelah selesai membuat materi tadi, dirinya masih harus disibukkan dengan merekam sebuah video yang menunjukkan dirinya yang sedang melakukan presentasi.

(Percakapan di telpon).

“Selamat malam, Pak Anthony. Ini dengan saya, Nolan Azerio dari J Corps.”

“Selamat malam juga, Pak Nolan. Jadi besok kita akan bertemu?”

“Niat saya menghubungi bapak juga ingi membicarakan lagi soal itu. Mohon maaf sebelumnya pak, tanpa mengurangi rasa hormat saya ingin meminta izin kepada bapak untuk menyampaikan alasan saya yang membuat saya tidak dapat menemui bapak besok.”

“Baik, silahkan.”

“Calon istri saya menunggu, pak... ...Hari ini saya berniat untuk melamar dia.”

”...”

“Saya tahu mungkin ini terdengar tidak profesional.”

”...”

“Baru saja, saya mengirimkan video presentasi dan bahan materi yang lebih lengkap ke alamat email bapak.”

”...”

“Saya juga mempersilahkan bapak untuk menghubungi saya di luar jam kerja untuk bertanya apabila masih terdapat hal-hal yang kurang jelas di sana.”

”...”

“Tapi jika Pak Anthony tidak berkenan untuk untuk melanjutkan ini, maka saya juga tidak akan memaksa. Saya-”

“Saya terima tawaran kerjasama dengan anda, Pak Nolan. A Corps akan bekerja sama dengan J Corps.”

“M-maksud bapak? Ini langsung diterima gitu aja, pak? Bapak yakin?”

“Saya yakin seorang pria yang dapat menghargai wanitanya dengan baik, maka dirinya juga akan dapat menghargai hal lain dengan baik juga.

”...”

“Oh ya Pak Nolan, anda itu bukannya tidak profesional. Justru anda lebih dari kata tersebut. Karena jika anda tidak profesional, terus buat apa anda mau membuat video presentasi dan bahan materi yang begitu detail untuk diberikan kepada saya?”

Nolan, pria itu melakukan semua ini hanya untuk Valle, wanitanya.

by scndbrr

Valle berulang kali menekan tombol bel apartemen milik Nolan. Sejak tadi, wanita itu terus saja bergerak gelisah mengingat kembali pesan yang dikirimkan Jacob kepadanya belum lama ini.

“Dia kacau banget, Vall...”

Satu kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di benak Valle bak kaset rusak. Tenggorokannya menjadi kering dan rasanya seperti tercekat mendengar kabar yang tak mengenakkan itu.

Mengapa kekasihnya kacau? Apa yang telah terjadi kepadanya? Apakah semua ini berkaitan dengan kejadian tadi siang?

Sekacau itukah prianya? Valle menjadi semakin merasa bersalah sebab dirinya tahu bahwa dialah yang menjadi muara dari persoalan siang tadi.

Namun jika bukan karena hal itu, maka Valle tidak tahu. Sekeras apapun wanita itu memaksa otaknya untuk berpikir, namun sayangnya dirinya tidak dapat menemukan jawabannya.

Tidak mau berpusing ria memikirkan alasannya terlebih dahulu, kini hanya ada satu hal yang dirinya ingin pastikan Nolannya baik-baik saja. Hanya itu. Cukup itu saja.

Tidak berbohong, Valle begitu khawatir dengan Nolan. Hal itu dikarenakan prianya belum pernah memperlihatkan kelemahannya kepada dirinya sama sekali.

Bukan, bukan maksud Valle kelemahan yang membuat Nolan terlihat begitu menyedihkan. Namun maksudnya di sini adalah Kekasihnya itu kurang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.

Pernah mendengar suatu statement yang menyatakan bahwa seseorang yang selalu memendam perasaan dirinya sendiri dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk bagi orang tersebut?

Itu benar.

Pernyataan itu memang benar adanya.

Perasaan terpendam tadi akan menjadi sebuah boomerang yang berbalik kepada diri kita sendiri. Menjadi sebuah penyakit hati yang membuat batin kita tertekan.

Seringkali banyak orang yang menyepelekan hal ini.

Menurut segilintir dari mereka, seseorang yang terlihat biasa-biasa saja ketika menjalani hidupnya bahkan ketika musibah menimpa mereka namun mereka dapat melewatinya dengan baik akan disebut sebagai pribadi yang tegar.

Namun mereka lupa. Mereka semua lupa jika orang-orang yang perasaannya tersembunyi itulah yang yang justru akan memiliki luka paling dalam.

Luka hati dan luka perasaaan seseorang merupakan dua hal sangat sulit untuk disembuhkan. Mereka akan selalu ada. Mereka akan terus menjadi bayang-bayang penderitanya. Mereka akan bersarang hingga dapat menimbulkan trauma.

Valle tidak mau. Wanita itu bahkan tidak mau memikirkan betapa sulitnya dalam posisi seperti itu. Dirinya masih menaruh harap dengan penuh kesungguhan jika luka kekasihnya tidak seberat itu.

Ting tong... ting tong... ting tong...

Tok... tok... tok...

“Olan, buka pintunya!” “Buka pintunya, ini aku Esha!”

Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Tidak ada juga tanda-tanda sekat yang ada di hadapan wanita ini akan terbuka.

Valle bukanlah orang yang mudah menyerah begitu saja. Dirinya bersikeras untuk terus menekan bel apartemen milik Nolan hingga suaranya mungkin memekakan telinga orang di dalamnya.

Tangan Wanita itu juga menolak berhenti untuk sesekali mengetuk pintu di depannya.

Ketika dirinya merasa lelah, barulah Valle membalikkan badannya dan menyandarkan punggungnya ke pintu hingga merosot ke lantai. Wanita itu terduduk pada lantai dingin.

Meskipun demikian, tekadnya untuk melihat sang tambatan hati tidak sirna begitu saja. Sudah sangat bulat, maka dirinya akan menunggu prianya untuk membuka pintu ini.

Setidaknya wanita itu akan menunggu dalam rentang waktu satu hingga dua jam lagi di sini. Nolan tidak sekejam itu kan? Pria itu tidak mungkin membiarkan wanitanya seperti orang terlantar di depan unit apartemennya kan?

Semoga tidak.


Keadaan di dalam ruangan ini sedikit tidak mengenakkan. Suasana canggung menyelimuti kedua anak manusia yang tadi siang ini masih lekat satu sama lain.

Benar. Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya Nolan membukakan pintu apartemennya.

Meskipun pada awalnya pria itu berniat untuk langsung menutupnya kembali begitu melihat sosok tak asing berdiri di depannya, namun karena langkah cekatan yang diambil oleh Valle, pria itu akhirnya hanya dapat membiarkan kekasihnya memasuki apartemennya.

Valle pintar. Wanita itu sempat menahan pintu yang tadi hampir tertutup dengan kakinya sendiri. Setelah tertahan, dirinya langsung melesak masuk ke dalam begitu saja.

“Sha...”

“Lan...”

Panggil mereka berdua bersamaan, “Kamu duluan aja.” Nolan meminta Valle untuk mengutarakan ucapannya terlebih dahulu.

Valle sempat terdiam cukup lama sebelum akhirnya mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu, “K-kamu... gapapa?”

Hancur sudah. Pertahanan Nolan hancur. Sejak tadi pria itu berusaha mati-matian untuk dapat menahan semuanya. Akan tetapi, kalimat yang keluar dari belah bibir Valle mampu membuat dirinya kalang kabut.

Ini pertama kalinya. Ini adalah kali pertama ada orang lain yang menanyakan keadaannya. Baru kali ini Nolan merasakannya.

Senang. Rasanya senang sekali.

Nolan merasakan kebahagiaan, namun mengapa kedua matanya justru berkaca-kaca? Mengapa dadanya menjadi sesak seperti ditimpa dengan beribu-ribu ton beban?

Sesak, rasanya sakit sekali.

Pria itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan lemah. Sekali mengerjap, buliran bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya itu akhirnya terjatuh bebas. “Aku c-capek sayang...”

Mendapat jawaban yang membuat hatinya bagai tersayat pisau yang baru saja diasah, Valle merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Wanita itu mengucapkan satu kata tanpa bersuara.

“Sini.”

Nolan tidak menggubris Valle. Pria itu justru masih setia duduk pada tempatnya, tidak mendekat ke arah Valle seperti yang kekasihnya inginkan.

Tidak mau menunggu terlalu lama lagi, Valle akhirnya yang memutuskan untuk mendekat ke arah Nolan. Mencondongkan tubuhnya hingga jarak keduanya menjadi begitu dekat sampai tak berjarak.

Perlahan-lahan, Valle menarik masuk tubuh besar Nolan yang terlihat lesu itu. Pundak tegap yang dimiliki kekasihnya kini turun ke bawah seolah-olah menandakan bahwa beban yang dipikul di sana begitu berat.

Usapan lembut yang Valle berikan mulai dari bagian kepala belakang Nolan hingga ke punggung prianya membuat Nolan semakin tidak dapat menahan gejolak di dalam tubuhnya sendiri.

Tubuh pria itu bergetar, menandakan dirinya sedang menumpahkan emosinya.

Nolan, menangis.

Pria itu menangis tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Valle dapat merasakan pakaian yang dikenakannya mulai basah. Kedua tangan besar Nolan terulur untuk dilingkarkan pada pinggang ramping milik Valle.

Valle membiarkan kekasihnya untuk melepaskan semua sedih dan sakitnya. Awalnya wanita itu tidak menyangka jika prianya akan menangis di depannya sebab ia hafal betul watak Nolan.

Namun di sisi lain, Valle juga sangat bersyukur. Karena setidaknya Nolan mau mulai mengekspresikan perasaannya dengan baik di depan dirinya sekarang ini.

Cukup lama Nolan membiarkan cairan bening mengalir dengan bebas dari kedua matanya.

Setelah dirasa cukup puas, Nolan kemudian menyamankan posisinya dengan menelusupkan wajahnya pada ceruk leher Valle. Pria itu menghirup aroma cotton candy khas dari parfum yang selalu dipakai oleh kekasihnya.

Nolan menggenggam tangan Valle dan tangan yang lain mengusap-usap punggung tangan Valle yang ada di atas genggamannya itu, “Maaf...,” celetuk Nolan dengan suara seraknya.

“Hngg?” Valle mengernyitkan dahinya bingung dengan satu kata yang keluar pertama kali dari mulut Nolan setelah mereka berdua saling terdiam.

“Maafin aku...,” ucap Nolan lagi kepada Valle.

“Kamu minta maaf buat apa?” tanya Valle balik kepada Nolan. Wanita itu ingin memastikan apa maksud dari permintaan maaf Nolan kepadanya ini.

Nolan menarik wajahnya dari tempat yang menurutnya paling nyaman. Sebelum bersiap untuk menjelaskan semuanya kepada wanitanya, pria itu menghembuskan napas beratnya.

“Semuanya salah aku, Sha.”

Nolan dengan sengaja menjeda kalimatnya untuk menatap kedua iris kecoklatan milik Valle. Pria itu selalu terhipnotis ketika melihatnya. Entah mengapa, dirinya selalu dapat merasa tenang ketika melihatnya.

“Yang bikin karir kamu hancur itu aku. Tadi siangjuga aku bentak-bentak kamu, aku ngomong hal paling bodoh ke kamu, Sha. Maaf...”

Valle mulai dapat mencerna maksud dari arah pembicaraan ini. Dirinya paham mungkin Nolan merasa bersalah setelah berteriak kepadanya soal kejadian siang tadi.

Akan tetapi, masih terdapat satu pertanyaan di benak Valle. Mengapa kekasihnya ini mengatakan bahwa dia yang menghancurkan karirnya? Apa yang dimaksud oleh prianya ini?

“Papa...”

Ketika pikiran Valle sedang melanglang buana ke mana-mana, suara Nolan kembali menginterupsinya.

“Papa. Papa aku orang dibalik thread twitter itu...”

Deg.

Mulut Valle ternganga begitu rungunya mendengar kalimat lanjutan Nolan. Tangannya secara refleks ia tarik dari genggaman pria itu.

Nolan sudah tahu risikonya. Dirinya paham jika Valle mungkin dapat berpaling darinya setelah ini. Namun tak mengapa, menurutnya itu adalah pilihan dari wanitanya.

“K-kenapa? Nggak... maksud aku, kok bisa?” tanya Valle yang masih sulit menerima kenyataan ini.

Nolan memalingkan wajahnya ke arah samping. Pria itu malu. Dirinya malu untuk menceritakan hal ini kepada kekasihnya.

“Papa benci sama aku. Papa gak suka sama aku. Papa gak mau aku bahagia.”

Tangan Valle terulur untuk meraih dagu Nolan. Wanita itu membawa wajah Nolan untuk kembali menghadap ke arahnya, “Sayang?” panggil Valle.

Nolan hanya diam tidak menjawab panggilan itu. Namun dirinya membiarkan Valle untuk membelai wajahnya dengan jemari-jemari lentik milik kekasihnya itu.

“Capek ya?”

“Sini, senderan di bahu aku aja. Iya aku tahu kok. Aku tahu kalau bahu aku sempit, gak lebar kaya punya kamu...”

”... Tapi bahu aku masih punya banyak space dan cukup kuat buat ditempatin sama beban kamu.”

Nolan menatap Valle tidak percaya. Bahkan dirinya sudah mempersiapkan skenario terburuknya jika Valle meminta untuk mengakhiri hubungan dengan dirinya. Bagaimana bisa wanita ini justru berkata demikian?

“Kita udah jadian kan? Sekarang kita itu lagi pacaran kan, sayang?”

“Jadi, ayo sini bagi beban kamu ke aku. Aku gak masalah Nolan. Asalkan itu kamu, aku gak masalah.”

“Karena aku tahu, kamu pun juga akan begitu. Bahkan kamu juga udah ngelakuin hal yang sama buat aku.”

“Makasih ya?”

Valle memajukan wajahnya kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibir Nolan. Wanita itu mendiamkan bibirnya di sana cukup lama. Dirinya ingin menyalurkan rasa cintanya yang begitu besar kepada sang kekasih.

Valle menyelesaikannya dengan memberikan satu kecupan di akhir, “Jadiin aku sebagai sandaran kamu ya?”

Nolan tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Pria itu berganti menarik tubuh Valle untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya.

“I love you!”

Valle dan Nolan, kedua muda-mudi yang memiliki problematika kisah hidup mereka masing-masing dipertemuka untuk dapat bersatu.

Apakah mereka berdua dapat saling menjadi rumah untuk satu sama lain?

Apakah mereka berdua dapat saling menjadi penawar ketika sakitnya kehidupan menghampiri?

Apakah mereka berdua dapat saling menjadi penghiburan ketika sedih dan kecewa datang silih berganti?

Entahlah kita tidak dapat memastikan itu semua.

Sebab perjalanan mereka berdua masih panjang. Masih cukup jauh untuk mengatakan bahwa mereka telah berada pada titik puncak.

Semoga semesta ini mengizinkan mereka untuk selalu bersama.

by scndbrr

Flashback.

“Jadi gimana? Kamu udah tahu jenis kelaminnya dia?” tanya seorang pria yang berusia 30 tahunan itu kepada istrinya.

Sang istri yang usianya tidak jauh berbeda usianya menatap takut ke kedua manik milik suaminya itu, “U-udah.”

Suaminya menganggukkan kepalanya mengerti, “Perempuan kan?” tanyanya lagi dengan suara penuh penekanan.

Kedua tangan sang istri meremat ujung bajunya sendiri. Ini dia yang dirinya takutkan. Apa jawaban yang harus diberikan oleh dirinya?

Pria itu yang tidak kunjung mendapatkan jawaban yang diinginkannya kembali bertanya sambil meletakkan kedua tangannya di atas pundak sang istri, “Harla? Calon anak kedua kita perempuan kan?”

Masih belum mendapatkan jawaban, pria itu mencengkeram kedua lengan istrinya sendiri.

Selalu seperti ini. Jika terdapat sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannnya, Baskara akan melampiaskannya kepada Harla, istrinya.

“JAWAB HARLA!” bentak Baskara yang sudah geram.

Harla, wanita itu berjengit ngeri mendengar suara suaminya yang meninggi. Dirinya menggelengkan kepalanya pelan untuk menjawab pertanyaan Baskara.

“B-bukan, d-dia laki-laki... lagi.” Kedua mata Baskara membola dan deru napasnya menjadi semakin memburu begitu mendengar penuturan dari istrinya.

“Maaf...,” cicit Harla yang langsung menundukkan kepalanya sebab wanita itu tidak berani untuk menatap raut wajah suaminya yang telah berubah.

Tangan kanan Baskara terulur untuk mencengkeram pipi Harla dengan begitu kuat hingga membuat sang empu meringis kesakitan.

“Kamu tahu apa artinya itu kan?!”

Harla memejamkan kedua matanya dan meloloskan cairan bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya. Dirinya menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang terpatah-patah.

Baskara melepaskan cengkeraman tangannya pada pipi sang istri. Dirinya mendorong tubuh Harla hingga wanita itu terhunyung.

Beruntung, tangan Harla dapat berpegangan pada sisi meja yang tidak jauh dari sana, sehingga dirinya tidak berakhir tersungkur di lantai.

Ingat, kini wanita itu sedang membawa satu nyawa di dalam perutnya. Maka jika dirinya tadi terjatuh, tidak terbayangkan nasib dari calon anak keduanya itu.

Gila? Memang.

Baskara adalah pria gila yang hanya dapat mementingkan dirinya sendiri saja. Dirinya tidak peduli dengan siapapun kecuali anak pertamanya, Javio.

“Gugurin.”

Harla terhenyak mendengar satu kata yang meluncur dari mulut suaminya barusan. Apa katanya tadi? Bagaimana bisa dia setega itu? Dengan calon anak kandungnya sendiri?

“M-mas...,” panggil Harla dengan suaranya yang begitu parau. Wanita itu menyiratkan perasaan kecewanya terhadap pria yang dicintainya ini.

Sang suami mendekat ke arah istrinya yang terduduk lemas di lantai karena shock mencerna ucapannya barusan. Baskara merendahkan tubuhnya hingga berakhir berlutut dengan bertumpu pada salah satu kakinya.

“Kamu tahu kan kalau gimana pun caranya, aku harus bisa jadi ahli waris orang tua aku?” tanya Baskara sambil mengusap surai Harla dengan lembut.

Namun sayangnya usapan lembut tadi berubah menjadi tarikan keras hingga membuat Harla memekik tertahan merasakan beberapa helainya rambutnya tercabut dari akarnya.

“Mereka cuma mau cucu selanjutnya CUCU PEREMPUAN yang bisa dijodohin sama perusahaan sebelah, Harla!!” bentak Baskara tepat di depan wajah istrinya itu.

“Kita udah punya Javio yang bisa nerusin aku kelak. Aku gak butuh lagi anak laki-laki, kamu ngerti?!” Baskara menghempaskan kepala Harla ke samping dengan begitu kuat.

Jemari lentik milik Harla berusaha untuk merapihkan surainya yang berantakan akibat ulah suaminya barusan. Wanita itu juga menyeka air matanya yang berlinang pada kedua pipinya.

“A-aku bukan Tuhan, Bas. Aku gak tahu kalau calon anak kita ini laki-laki,” bela Harla dengan perasaan gugup yang melingkupi dirinya. Wanita itu takut suaminya akan berbuat kasar lagi kepadanya.

Prang.

Suara benda pecah belah yang dilemparkan oleh Baskara, menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan ini. Pria itu mengambil serpihan guci yang telah dilemparnya barusan.

“Makanya aku bilang, GUGURIN!” bentaknya lagi sambil menyodorkan seprihan guci itu ke arah perut Harla yang sudah mulai membesar.

Perlahan namun pasti, Baskara sedikit mulai sedikit menggorekan ujung serpihan guci tadi ke perut Harla. Darah segar mulai mengalir keluar membuat Baskra tersenyum penuh kemenangan.

“Sheshh, JANGAN GILA KAMU, BAS!” teriak Harla yang berusaha untuk menahan tangan Baskara agar tidak semakin melesakkan serpihan guci itu.

Rasa sakit mulai menyerang perutnya, ketika wanita itu merasakan janin yang ada di dalamnya ikut bergerak gelisah seolah-olah paham akan situasi yang tengah terjadi di luar sini.

“Akkhh s-sakit!” pekik Harla menggenggam pergelangan tangan suaminya. Dirinya berharap suaminya ini akan tersadar atas perbuatan yang dilakukannya sekarang.

Darah yang berwarna merah pekat mengalur dari pangkal paha Harla. Pakaian dress yang dikenakan oleh wanita itu membuat aliran darah dapat terlihat dengan begitu jelas.

Baskara ikut panik bukan main ketika dirinya melihat keadaan sang istri. Dirinya langsung menangkap tubuh ringkih wanita itu yang hampir terhunyung ke arah lantai.

“Mas, t-tolongh...,” pinta Harla dengan sangat putus asa kepada Baskara, sebelum akhirnya wanita itu menutup kedua matanya dan tidak sadarkan diri.

Tangan besar Baskara ia tepuk-tepukkan pada kedua pipi Harla dengan lembut, “Harla! Harla bangun!! Bangun Harla!! Astaga, sayang BANGUN!!!”

Tanpa berlama-lama lagi, Baskara langsung menggendong tubuh lemah Harla ala bridal style. Pria itu melupakan amarahnya yang tadi sedang meluap-luap sejenak.

Langkah tegasnya membawa dirinya untuk menuju ke mobil miliknya yang masih terparkir di depan rumahnya. Tujuannya saat ini adalah ke rumah sakit.

Menurutnya yang terpenting adalah untuk dapat memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Itu saja. Hanya itu. Bahkan pria itu tidak mempedulikan bagaimana keadaan calon putra keduanya.

Asalkan istrinya tidak apa-apa, maka hal itu sudah lebih dari cukup baginya. Persetan dengan janin yang ada di rahim istrinya.

Meskipun Baskara adalah seorang pria yang memiliki temperamental yang buruk dan suka bermain tangan dengan istrinya sendiri, namun rasa sayangnya kepada Harla sangatlah besar hingga tidak dapat diungkapkan dengan apapun.

Pria itu begitu menyayangi dan mencintai istrinya melebihi apapun. Sebab dirinya tahu jika hanya wanita itulah yang memahami dirinya. Hanya wanita itulah yang masih mau bertahan dengan perangai buruknya ini.

Sayangnya, keserakahan yang dimiliki oleh dirinya mampu membutakan Baskara. Pria itu hanya mementingkan materi, materi, dan materi saja.

Hal itulah yang membuat dirinya harus membenci calon anaknya yang tidak bersalah.

Menurut silsilah pada keluarga besarnya, setiap keluarga di dalam keluarga ini harus dapat mempunyai keturunan satu orang putra sebagai anak pertama dan satu orang putri sebagai anak kedua.

Putra pertama dari mereka akan mendapatkan jabatan di perusahaan keluarga mereka atau dapat juga menjadi seorang ahli waris. Sedangkan putri kedua dari mereka harus mau dijodohkan dengan putra dari perusahaan relasi mereka.

Semuanya ini dilakukan untuk membuat perusahaan keluarga mereka semakin besar dan berkembang.

Konyol memang, namun memang seperti itulah yang terjadi di sini. Di keluarga Azerio ini.

Memang dapat dikatakan sangat tidak adil.

Memangnya mereka semua tinggal di zaman apa? Bukankah saat ini semuanya sudah maju dan menjadi lebih terbuka? Lantas mengapa pola pikir mereka masih sangat kuno?

Bagaimana mungkin hanya karena kebiasaan yan dimiliki oleh suatu keluarga dapat membuat seorang ayah kandung membenci calon anaknya sendiri?

Semuanya terlalu klise.


“Hiks... hiks... hiks...”

“Hiks... mama... mama...”

“Mama bangun... hiks... hiks...”

Suara isak tangis dari seorang anak laki-laki membuat Harla terbangun. Panggilan 'mama' yang terus digumamkan oleh anak itu membuat Harla langsung dapat mengetahui pemilik suara ini.

“Javio kenapa nangis nak?”

Anak laki-laki itu adalah Javio. Putra pertama Harla dan Baskara.

Tidak menjawab pertanyaan mamanya, Javio langsung menghambur untuk memeluk tubuh mamanya yang masih terbaring di atas brankar rumah sakit.

“Mama gak boleh sakit lagi... hiks...”

“Hiks... De-dedek bayi juga harus sehat sehat teruss..!”

Harla tersenyum melihat tingkah lucu putra sulungnya itu. Anaknya sedang mengusap-usapkan telapak tangannya yang mungil di atas perutnya sambil masih terus menangis dan meracau.

“Iya, mama sama dedek bayi gak akan sakit sakit lagi. Maaf ya?” ucap Harla dengan suaranya yang begitu lembut dan menenangkan.

Javio mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lucu untuk membalas perkataan dari mamanya barusan.

“Javio, sayang..,” panggil Harla sambil menyeka air mata putranya yang masih terus mengalir di kedua pipi gembul putih itu.

“Hngg?” jawab Javio yang masih sesenggukan berusaha untuk menetralkan deru napasnya yang tersengal-sengal. Rupanya anak kecil itu kesulitan bernapas karena terlalu banyak menangis.

Harla menatap lamat-lamat wajah memerah putranya dan sesekali wanita itu merapihkan surai sang anak, “Kamu kan mau jadi abang... Mama boleh minta sesuatu sama Javio?”

Lagi-lagi anak kecil menganggukkan kepalanya, “Boleh banget dong mama cantik!” serunya dengan antusias.

Lengkungan yang tercetak jelas pada bibir Harla tidak dapat terelakkan begitu saja. Dirinya merasa bahagia memiliki putra seperti Javio.

“Besok kalo dedek bayi udah lahir, Javio harus sayang sama dia ya? Javio harus bisa jadi abang yang ngelindungin dia. Misalnya nanti papa gak suka sama dedek bayi, Javio bisa gantiin papa buat suka sama kehadiran dedek bayi kan?”

Javio mengerjapkan kedua matanya mendengar perkataan mamanya barusan. Sepertinya anak itu sedikit kesulitan untuk dapat memahami apa maksud dari sang mama.

“Maksud mama, mama minta tolong Javio jadi abang yang baik buat dedek bayi ya? Bisa?”

Mulut Javio membentuk huruf o, anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan sangat mantap. “Siap ma! Javio janji!!” ucapnya yang menyodorkan jari kelingkingnya untuk ditautkan dengan milik sang mama.

Dirinya sangat bersyukur. Setidaknya jika suaminya tidak menerima kehadiran calon putra keduanya ini, masih ada Javio, kakaknya yang mau menerimanya.

Mulai detik ini Harla kembali pada prinsipnya. Wanita itu akan bangkit untuk melindungi calon putranya. Dirinya tidak akan membiarkan siapapun mengganggu anaknya, termasuk suaminya sendiri.

Harla berharap, jika setidaknya suatu saat nanti suaminya akan luluh. Pintu hatinya yang terkunci dengan sangat rapat itu perlahan-lahan akan dapat terbuka.

Wanita itu terus berharap hingga sekarang. Meskipun pada kenyataan, faktanya berkata lain.

Baskara, tidak akan pernah menerima kehadiran Nolan.

Sampai kapanpun itu.

by scndbrr

Nolan hari ini terlihat sangat bahagia. Pria itu mengemudikan kendaraan roda empatnya sambil bersenandung kecil.

Rupanya dirinya tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan sang tambatan hati. Kepadatan jadwal kantornya membuat dirinya menjadi jarang bertemu dengan Valle.

Benar, meskipun perusahaan tempat di mana pria itu bekerja merupakan perusahaan milik papanya sendiri, namun Nolan memegang teguh prinsip profesionalitas pada profesi yang digelutinya sekarang.

Dirinya tidak mau dianggap sebagai anak seorang pemimpin perusahaan yang bertindak seenak jidatnya saja ketika sedang bekerja. Nolan juga menolak segala bentu perlakuan istimewayang terkadang ia dapati dari beberapa karyawan di sana.

Menurutnya ketika bekerja, semua orang di perusahaan itu sama. Tidak ada yang kedudukannya lebih tinggi karena dia memiliki hubungan darah dengan sang pemilik perusahaan atau sebagainya.

Sikap Nolan yang demikian sering kali menuai pujian dari para karwayan yang ada di sana. Terlebih lagi tim yang bekerja langsung dengan Nolan untuk menghadapi sebuah proyek-proyek.

Dari kesaksian para karyawan itu, menurut mereka Nolan adalah seorang yang pekerja keras dan tidak pernah membedakan orang lain berdasarkan jabatannya.

Salah satu dari mereka semua mengatakan bahwa Nolan pernah bilang seperti ni, “Tidak peduli jabatan kalian apa, kalau kalian mempunyai performa yang baik ketika sedang bekerja, maka kedudukan kalian akan menjadi lebih tinggi.”

Bekerja sama dengan Nolan merupakan hal terbaik yang dapat dirasakan oleh para karwayan perusahaan papanya ini.

Kembali lagi kini bersama Nolan yang sudah tidak tahan untuk dapat segera melepas rindu dengan sang kekasih, Valle.

Ternyata tidak berjumpa dengan wajah cantik dan senyuman menenangkan milik wanita itu mampu membuat Nolan merasakan pening pada kepalanya.

Pria itu merasakan ada yang kurang di dalam hari-harinya saat dirinya tidak memiliki waktu untuk mengobrol santai dengan pacarnya.

Sesibuk itulah Nolan hingga yang paling memungkinkan adalah pria itu hanya dapat bertukar pesan dengan kekasihnya.

Sebenarnya bukan hanya Nolan saja di sini yang memiliki jadwal padat sepadat orang terpenting di dunia. Namun, Valle pun juga demikian.

Jika Nolan memiliki waktu senggang di malam hari, Valle justru sudah terlelap ke alam mimpinya sebab kelelahan dari pagi hingga malam wanita itu pemotretan.

Sebaliknya, terkadang jika Valle memiliki waktu luang di pagi atau siang hari ketika dirinya terdapat har libur tanpa adanya pemotretan, sayangnya Nolan lah yang memiliki jadwal meeting yang berlapis-lapis.

Itulah sebabnya kedua sejoli ini sudah tidak bertatap muka dalam beberapa hari belakangan ini. Cukup lama juga sesungguhnya.

Meskipun demikian mereka berdua sama-sama percaya dengan pasangannya masing-masing.

Valle yakin jika prianya itu kini memang sedang sibuk mengurusi perusahaan dan begitu juga dengan Nolan yang percaya bahwa wanitanya sedang sibuk kembali merintis karirnya yang sempat berada di ujung tanduk.

Mereka berdua saling percaya, setidaknya hingga detik ini.


Nolan yang baru sampai di tempat lokasi pemotretan Valle sedang berusaha untuk memarkirkan mobilnya pada tempat yang telah tersedia di sana.

Setelah memastika semua barang bawaan, beberapa macam makanan favorit Valle sudah dirinya bawa, maka pria itu bergegas untuk keluar dari mobil dan mencari keberadaan kekasihnya.

Kedua manik milik Nolan menelisik seluruh bagian tempat ini untuk dapat menemukan batang hidung Valle, “Sayang!” panggilnya dengan suara yang sedikit keras agar kekasihnya dapat mendengarnya.

Rungu Valle yang mampu menangkap suara khas milik seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya itu langsung menolehkan kepalanya ke sana dan kemari untuk dapat menemukan sumber suara tadi.

Senyuman lebar langsung terpatri begitu saja setelah wanita itu melihat lambaian tangan seseorang yang kini juga sedang menyunggingkan senyuman manisnya.

Nolan melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk dapat menghampiri Valle. Pria itu mengusap lembut surai kekasihnya begitu dirinya sudah sampai di hadapan Valle.

“Hai! Aku dateng,” ucap Nolan yang tidak berhenti menatap Valle dengan sorot mata yang seperti biasanya, penuh dengan ketulusan.

Valle yang tadinya berada dalam posisi terduduk pada sebuah kursi langsung beranjak berdiri dan dirinya melingkarkan tangannya pada leher Nolan. Wanita itu memeluk kekasinya.

“Kangen...” lirih Valle dengan suara yang amat kecil namun masih bisa didengar oleh Nolan.

Nolan membalas pelukan dari Valle. Pria itu melingkarkan kedua tangan besarnya pada pinggang ramping milik Valle, “Sama, aku juga.”

Tenang saja, kali ini kedua pasangan muda-mudi itu tidak sedang memamerkan kemesraan mereka berdua di tempat yang terbuka. Mereka sedang berada di dalam ruang tunggu Valle.

Sudah dirasa cukup puas kedua sejoli itu menyalurkan rasa rindu mereka masing-masing, Nolan kini sedikit melonggarkan pelukannya dan menatap tepat pada kedua manik Valle.

“Mau ice cream? Aku bawain nih, tapi kali ini gak sama trucknya.”

Bukannya menjawab tawaran Nolan barusan, Valle justru terkekeh sambil melayangkan pukulan-pukulan ringan pada dada bidang kekasihnya.

Ceklek.

Pintu ruangan itu terbuka, menampilkan seorang pria dengan perawakan tubuh besar semampai di depan sana.

Dia, Joshua.

“Eh sorry sorry gue gak tau ada orang lain di dalem sini,” ucap Joshua dengan muka pura-pura bersalahnya.

“Jadi kalau Esha lagi sendirian lo gapapa gitu?” batin Nolan tidak suka.

Valle tersenyum canggung ke arah Joshua setelah melihat perubahan raut wajah Nolan yang menjadi tidak bersahabat saat ini, “H-halo kak Josh! Ada apa nih?” tanya Valle ingin dapat sedikit mencairkan suasanan yang tiba-tiba menjadi tegang.

“Ini gue mau ngasih sedikit briefing buat nanti Vall,” jawab Joshua jujur.

Sebelum menjawab, Valle melirik Nolan dengan ekor matanya. Wanita itu kemudian mengangguk mantap, “Oh ya udah gapapa kak, ayo langsung aja jelasin sekarang. Ini cowo gue yang pernah gue ceritain, gapapa kan kalo dia di sini?”

Nolan sedikit terkejut dengan penuturan Valle barusan. Pria itu tidak menyangka jika wanitanya ini akan berterus terang seperti tadi. Dirinya pikir Valle akan memintanya keluar dari sini.

“O-oh iya iya gapapa kok gapapa, santai.”

Joshua mengulurkan tangannya berniat untuk menjabat tangan Nolan, “Kenalin, gue Joshua.”

Nolan meraih uluran tangan Joshua, “Nolan. Pacarnya Vallesha,” ucap Nolan dengan sedikit menekankan kalimatnya.

Valle menatap ke arah Nolan dan Joshua secara berhantian, wanita itu kemudian langsung membuka mulutnya, “Kak Josh, tadi mau ngasih briefing gimana?” tanyanya berusaha untuk mengalihkan Joshua dan Nolan yang tadi sedang bertatapan dengan sengit.

Joshua memusatkan perhatiannya kini hanya pada Valle. Pria itu kemudian memberikan arahan-arahan kepada modelnya.

Tidak mau mengganggu kekasihnya yang memang sedang bekerja, Nolan akhirnya mengalah dan memilih untuk duduk di salah satu sofa single yang terletak di sudut ruangan.

Terbesit pikiran licik oleh Joshua.

Pria itu dengan sengaja mendekatkan tubuhnya hingga hampir rapat tidak ada celah lagi dengan Valle. Sesekali juga, tangannya dengan kurang ajar menyentuh pundak Valle.

Nolan yang melihat hal itu menjadi geram dan hampir bangkir berdiri untuk menarik paksa Joshua dari sana.

Namun kode yang diberikan kepadanya melalui mata cantik dan gelengan lemah dari wanitanya membuat pria itu berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya.

Paham dengan maksud sang kekasih. Nolan tahu jika kali ini dirinya bertindak gegabah, maka karir Valle akan kembali menjadi taruhannya.


Dari belakang, Nolan memperhatikan Valle yang sedang melakukan pemotretan di depan sana.

Sejak tadi pria itu sudah mengepalkan kedua tangannya karena melihat tingkah Joshua yang semakin menjadi-jadi.

Mungkin bagia segilintir orang yang melihat apa yang dilakukan oleh pria brengsek itu akan merasa biasa saja. Namun, bebeda untuk Nolan.

Nolan dapat melihat dengan jelas wajah Joshua yang memancarkan aura mesum dan bejatnya ketika memandang tubuh Valle yang saat ini sedikit terekspos karena bajunya yang bermodel sedikit terbuka.

Valle berusaha untuk tersenyum untuk dapat menenangkan Nolan yang sedang kebakaran jenggot di belakang sana. Anggukan pelan dari Valle membuat Nolan mau tidak mau kembali menurutinya.

Sebenarnya Valle juga merasa tidak nyaman dengan sikap Joshua saat ini, Dirinya juga merasakan keanehan pada fotografer itu. Namun mau bagaimana lagi? Inilah kerasnya dunia permodelan.

Memang toxic.

Rupanya stok kesabaran Nolan sudah habis begitu kedua bola matanya melihat tangan Joshua yang menyentuk pinggang Valle dengan sengaja.

Bahkan pria kurang ajar itu melakukan sedikit gerakan meremas di sana.

Cerdik, adalah kata yang pas untuk dapat menggambarkan sosok dari Joshua Salttero.

Pria itu menutupi aksinya dengan tubuhnya yang besar, namun kegiatannya masih dapat dilihat dengan jelas oleh Nolan.

Sebab ini adalah tujuannya dari awal.

Nolan langsung berlari ke arah Joshua, mencengkeram kerah baju pria itu untuk menariknya ke belakang, kemudian langsung melayangkan bogeman mentah tepat pada pipi kanan Joshua.

Bugh.

“Brengsek lo!”

Tidak berhenti sampai di sana, Nolan masih terus melayangkan pukulan bertubi-tubi hingga membuat wajah Joshua menjadi babak belur.

“Lo kurang ajar, anjing!”

Nolan melakukan itu karena kedua matanya melihat Joshua yang sedang meneringai ke arah dirinya. Pria itu mengejek Nolan.

Perbuatan Nolan tidak luput dari penglihatan orang-orang yang ada di tempat ini. Mereka semua terkejut dengan aksi Nolan, tak terkecuali dengan Valle sendiri.

Orang-orang di sana mulai berbisik-bisik menggunjingkan Nolan. Valle yang mendengar hal itu langsung menarik tubuh Nolan yang sedang menindih tubuh Joshua dan masih terus saja melayangkan tinjuannya.

“U-udah Lan,” pinta Valle dengan suaranya yang sedikit bergetar. Kedua tangan mungilnya berusaha untuk memegangi lengan Nolan.

Jujur saja, wanita itu sedikit ketakutan melihat Nolan yang sedang membabi buta memukuli Joshua.

Nolan tidak menggubris sama seklai permintaan Valle.

Dirinya masih setia untuk memukuli wajah Joshua yang sudah membengkak dan dipenuhi oleh darah segar yang mengalir dari beberapa bagian di wajahnya.

“AKU BILANG BERHENTI NOLAN!!” teriak Valle untuk menyadarkan Nolan yang sekarang keadaannya seperti sedang kerasukan setan.

Nolan tersadar dan pasrah begitu saja ketika dirinya diseret paksa oleh Valle untuk menjauh dari sana.


“Kamu tuh apa-apaan sih tadi?!” bentak Valle dengan suara yang meninggi ke arah Nolan.

Nolan memejamkan kedua matanya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

Tangan Valle terulur untuk kembali menghadapkan Nolan ke arah dirinya, “Aku lagi nanya sama kamu Nolan, JAWAB!!” teriak Valle lagi.

“DIA NGELECEHIN KAMU, SHA!!!” bentak Nolan dengan suaranya yang menggelegar membuat Valle berjengit dan sedikit memundurkan tubuhnya ke arah belakang.

Ini, adalah pertama kalinya Nolan membentak dirinya.

“Aku lagi ngomong sama kamu, Sha. Kenapa diem aja sekarang?”

Valle masih terdiam mematung menatap ke kosong ke arah Nolan. Wanita itu juga tahu jika barusan dirinya telah pendapat pelecehan. Namun rasanya sulit untuk mengakui hal itu.

“Oh, aku tahu. Kamu suka ya digituin sama cowo brengsek itu tadi? IYA KAYA GITU?!”

Kalimat yang meluncur dengan mulus dari mulut Nolan membuat Valle menatap kedua iris sehitam jelaga milik Nolan dengan tatapan tidak percaya.

Bagaimana bisa kekasihnya mengatakan hal itu?

“Harusnya waktu itu threadnya bukan tentang lo yang jual diri ke anak pengusaha batu bara. TAPI LO JUAL BADAN LO KE FOTOGRAFER LO SENDIRI!!”

Deg.

Jantung mencelos begitu mendengar ucapan Nolan barusan. Rasa nyeri mendera hatinya mendengarkan kekasihnya berucap hal demikian.

“Iya kan, Sha? Gue bener kan? JAWAB GUE ESHA JANGAN DIEM AJA!!”

Serendah itukah dirinya? Sehina itukah dirinya? Setidak percaya itukah kekasihnya?

Apakah Nolan tidak mengetahui niat baik yang ingin Valle lakukan untuk dirinya?

Apakah Nolan tidak tahu jika maksud Valle menghentikan Nolan memukuli Joshua untuk menyelamatkan citra pria itu?

Apakah Nolan tidak tidak tahu jika Valle tidak mau orang-orang memiliki kesan buruk dengan dirinya?

Ya. Jawabannya memang Nolan tidak tahu.

Yang terdapat di dalam isi pikiran pria itu sekarang ini hanyalah api kecemburuan yang sedang berkobar-kobar membakar hatinya.

Pria itu begitu menyayangi wanita yang baru saja meloloskan air matanya ini. Dirinya hanya tidak ingin hal buruk terjadi kepada kekasihnya.

Hanya itu saja.

Namun rupanya caranya kali ini salah ya? Caranya kali ini membuat wanitanya justru menangis ya? Caranya kali ini menyakiti orang yang paling disayanginya ya?

Nolan tidak tahan melihat Valle yang sedang menangis tanpa suara di hadapannya sekarang.

Ingin rasanya pria itu merengkuh tubuh kecil Valle yang bergetar hebat.

Namun sulit, tubuhnya seolah-olah tidak dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya sendiri.

Rupanya ego pria itu yang menjadikan dirinya sebagai orang yang angkuh dan tidak memliki empati kembali lagi.

Nolan, kembali pada dirinya yang dulu.

Lagi.

Pria itu pergi dari sana meninggalkan Valle yang masih menutupi kedua matanya dengan tangannya.

Setelah dirasa cukup jauh dari Valle, Nolan menghentikan langkahnya.

Pria itu tiba-tiba bergerak untuk memukul tembok yang ada di sisi tubuhnya, hingga buku-buku tangan kanannnya mengeluarkan darah segar.

“Goblok! Lo tolol banget Nolan!!”

Bugh.

“Bangsat! Kenapa tadi lo ngomong kaya gitu ke Esha?!”

Bugh.

“Lo bajingan, Lan!!”

Bugh.

Nolan terus melayangkan tinjuan ke tembok tak bersalah itu sambil memaki dirinya sendiri karena merasa telah melakukan hal terbodoh di dalam hidupnya.

Berkata kasar dengan wanitanya, adalah hal yang yang tidak pernah ada dan tidak boleh sampai terjadi di dalam pikiran pria itu.

Dirinya berusaha untuk hanya selalu mengucapkan kata-kata indah kepada kekasihnya, bukannya kata hinaan keji seperti tadi.

Namun, Nolan gagal.

Pria itu telah melukai wanitanya sendiri, dengan ucapannya sendiri.

Maaf, Sha...

by scndbrr

Sejak kendaraan roda empat milik Nolan melaju membelah jalan raya yang cukup padat pada malam hari ini, Valle terus saja bergerak gelisah.

Kedua tangannya bertaut saling meremas dan wanita itu menggigiti bibir bagian bawahnya untuk menyalurkan perasaan gugup yang menyelimutinya.

Pada awalnya Nolan tidak menyadari hal tersebut.

Namun ketika mobilnya berhenti di belakang garis marka mengikuti lampu apill di depan sana yang memancarkan sinar merah, pria itu memalingkan wajahnya ke arah samping, tempat Valle duduk dan akhirnya mengetahuinya.

Tanpa berbasa-basi lagi, Nolan langsung mengambil salah satu tangan Valle yang masih saling bertaut tadi kemudian digenggamnya dengan erat dan diletakkan di atas pahanya sendiri.

Valle sedikit tersentak karena terkejut dengan perbuatan tiba-tiba yang dilakukan oleh Nolan barusan. Wanita itu mengerutkan dahinya dan menyatukan alisnya, menatap Nolan dengan raut wajah kebingungan.

Mengerti tanda tanya yang terpampang dengan jelas di dahi wanita itu, Nolan hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman yang sangat manis.

Bahkan senyuman tadi kelewat manis hingga Valle pun secara tidak sadar juga ikut tersenyum dengan sendirinya. Wanita itu mampu melupakan perasaan gugupnya sejenak.

Ketika lampu lalu lintas telah berganti warna menjadi hijau, Nolan bergegas kembali melajukan mobilnya agar dapat segera sampai di tempat yang menjadi tujuannya dengan Valle saat ini.

Rumah Nolan.


Setelah melewati perjalanan yang tidak terlalu lama, Nolan dan Valle akhirnya telah sampai.

Valle masih saja tercengang dari saat kendaraan roda empat yang ditumpanginya itu membawanya masuk ke dalam perumahan elit yang diisi dengan deretan rumah mewah.

Memang benar jika Valle sudah mengetahui fakta bahwa kekasihnya ini adalahnya putra dari seorang pengusaha batu bara yang terkenal sangat kaya raya.

Namun, tetap saja rasanya masih sulit mempercayainya. Valle menjadi semakin rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak pantas dapat bersanding dengan sosok Nolan Azerio.

Lagi dan lagi, kedua manik Nolan itu sangatlah jeli jika menyangkut wanitanya. Dirinya dapat kembali menangkap basah Valle yang kini terlihat lebih gusar daripada tadi.

Wajah cantik kekasihya yang sedikit tertunduk mampu menjelaskan apa yang sedang dirasakan oleh dirinya itu.

Terdengar hembusan napas pelan dari Nolan sebelum pria itu memajukan tubuhnya supaya tangannya dapat meraih dan membukakan sabuk pengaman Valle.

Valle menahan napasnya sendiri karena kini jarah wajahnya dan wajah Nolan sangatlah begitu dekat. Mungkin hanya terdapat ruang beberapa inci saja.

Klik.

Meskipun sabuk pengaman Valle sudah terlepas, namun Nolan tidak kunjung menyingkir dari hadapan Valle. Hal itu tentu saja membuat Valle masih saja menahan napasnya hingga kini wajahnya menjadi memerah.

Nolan mengecup pelan bibir ranum Valle yang terlihat menggoda di matanya sebab hari ini sepertinya wanita itu memoleskan pewarna bibir yang berbeda dari biasanya.

Cup.

Hanya kecupan lembut dan singkat yang Nolan berikan. Pria itu tidak berniat untuk melumat bibir kekasihnya, sebab dirinya tahu hal itu akan memakan waktu yang cukup lama.

Keluargnya sudah menunggu mereka berdua di dalam bukan?

“Bernapas sayang,” ucap Nolan dengan suara baritonnya yang mampu menggetarkan hati Valle.

Valle mengerjapkan kedua matanya lucu setelah dirinya terkejut mendapatkan kecupan ringan dari kekasihnya ini.

Nolan terkekeh melihat kegemasan yang disuguhkan di depan kedua matanya secara langsung.

Tangannya terulur untuk mengusap surai milik Valle. Pria itu melakukannya dengan sangat hati-hati, takut merusak tatanan rambut yang telah dipersiapkan wanitanya ini.

“Sayang, nanti kamu cukup jadi diri kamu sendiri aja. Cukup jadi seorang Vallesha Eleanor yang biasanya,” ucap Nolan sambil memainkan jemari lentik milik Valle.

“Alasan aku sayang dan cinta sama kamu itu bukan karena kamu cantik. Bukan juga karena kamu seorang model yang terkenal.” Nolan menjeda kalimatnya untuk menatap manik Valle dengan begitu dalam.

Telapak tangan kanan Nolan menangkup salah satu sisi pipi Valle dan ibu jarinya bergerak untuk mengusapnya, “Tapi alasan aku cuma satu. Ya itu karena kamu Vallesha Eleanor, bukan yang lain.” Nolan

“Kalo cuma karena kamu cantik. Itu artinya nanti kalo kamu udah tua terus jadi nenek-nenek yang keriput, aku udah ga sayang lagi dong sama kamu?”

“Kalo juga cuma karena kamu itu seorang model terkenal. Berarti nanti kalo kamu udah pensiun jadi model atau kaya sekarang ini contohnya kamu lagi sep, aku udah ga cinta lagi sama kamu?”

“Jawabannya udah pasti enggak kan?” ujar Nolan dengan begitu tegas menandakan bahwa pria itu bersungguh-sungguh dengan penuturannya barusan.

“Aku cuma mau kamu. Aku sayang sama kamu karena kamu itu ya kamu, sayang. Ngerti kan sekarang, cantik?” tanya Nolan yang mendapatkan anggukan lemah dari lawan bicaranya ini.

Melihat kekasihnya yang masih terlihat ragu, Nolan langsung menarik tangan Valle dan membuat tubuh mungil milik wanita itu masuk ke dalam rengkuhan hangatnya.

Kedua tangan besar Nolan bergantian mengusap punggung sempit Valle, “It's okay, everything will be fine.”

Nolan melepaskan dekapannya. Pria itu keluar dari mobil terlebih dahulu kemudian berjalan memutari mobil untuk sampai tepat di samping pintu penumpang Valle.

Pria itu membukakan pintu untuk Valle dan mengulurkan tangannya untuk menjadi pegangan bagi sang kekasih.

Salah satu tangannya yang menganggur diangkatnya untuk menutupi bagian atas mobil, berniat supaya kepala Valle tidak terkantuk benda keras tersebut.

Kedua anak manusia itu berjalan beriringan dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain untuk memasuki sebuah bangunan besar yang merupakan rumah Nolan.


Kata-kata dari Nolan tadi dipegang dengan teguh oleh Valle. Wanita itu merasa menjadi lebih baik setelah meresapi kata-kata penenang yang diberikan olah sang tambatan hatinya.

Terbukti dengan saat ini. Valle berhasil menerapkannya dengan bersikap seperti dirinya yang biasanya di depan kedua orang tua dan kakak Nolan.

Wanita itu tidak canggung dengan mama Nolan. Bahkan Valle tidak segan-segan untuk melemparkan candaaan ringan kepada wanita paruh baya yang kecantikannya masih paripurna meskipun usianya sudah hampir setengah abad.

Mama Nolan tampak dengan senang hati bercengkerama dengan Valle karena wanita itu juga memang sudah mengenal dan pernah bertemu dengannya.

Sebetulnya ketika Nolan dan Valle memasuki rumah, Harla sedikit kaget begitu matanya menangkap bayangan Valle yang sedang digandeng oleh putra bungsunya.

Jadi ternyata wanita ini yang dimaksud oleh Nolan, batinnya.

Karena sudah lama Harla menanti-nantikan hari ini di dalam hidupnya, tentu saja wanita itu mendukung penuh keputusan Nolan yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius dengan Valle.

Harla ini adalah tipikal orang tua zaman sekarang. Dirinya memiliki pikiran yang open minded sehingga tidak terlalu mempermasalahkan keinginan Valle untuk menjadi seorang wanita karir meski nanti dirinya sudah menikah.

Karena dirinya pun juga demikian. Sehingga dapat dikatakan, Harla seperti sedang bercermin jika sedang bersama dengan Valle. Dirinya dapat melihat pribadinya sendiri di dalam diri Valle.

“Ayo Vallesha, kita makan dulu yuk. Makanannya udah siap tuh,” ajak Harla yang langsung melingkarkan lengannya dengan lengan Valle.

Kedua wanita itu berjalan terlebih dahulu di depan sana meninggalkan para kaum adam yang mengekori mereka.

Baru saja tangan Valle terulur untuk menarik kursi tempatnya duduk, gerakan cepat yang dilakukan Nolan untuk melakukan hal yang sama membuat Valle tersenyum kikuk begitu dirinya menyadari semua mata kini tertuju padanya dan Nolan.

“Sini, Sha. Duduk,” ucap Nolan yang mempersilahkan Valle duduk.

Javio, kakak Nolan itu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah adeknya yang terlihat begitu asing di depannya ini.

Dirinya baru pertama kali melihat Nolan mau melakukan hal seperti itu untuk orang lain.

Tidak sampai di situ saja. Nolan kembali membuat seluruh atensi keluarganya terpusat kembali kepada dirinya hanya dengan perkataannya barusan.

“Bi, olahan udang sama kerangnya jangan lupa ya.”

Harla langsung menatap Nolan dengan pandangan yang tidak terbaca. Wanita paruh baya itu bingung akan maksud Nolan yang berbicara seperti itu kepada pelayan rumahnya.

“Oh, tenang aja itu bukan buat aku kok ma. Esha yang suka sama udang dan kerang,” jelasnya tanpa melihat ke arah mamanya. Pria itu justru sibuk menuangkan air tawar ke gelas milik Valle.

Harla tertawa renyah melihat sikap perhatian yang diberikan oleh putranya kepada kekasih hatinya itu. Dirinya tidak menyangka jika anak secuek Nolan ternyata juga bisa berbuat demikian.

Acara makan malam keluarga itu berlangsung dengan lancar. Ketakutan yang sempat terbesit pada benak Valle sirna begitu saja berkat Nolan yang selalu membuatnya merasa nyaman di sini.

Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia dengan kehadiran orang baru di rumah mereka ini. Valle, yang sebentar lagi akan menjadi bagian keluarga mereka.

Namun terkecuali dengan satu orang. Orang itu sejak tadi hanya berdiam diri saja. Dirinya tidak menyambut Valle dengan baik seperti yang lainnya.

Entah apa alasan dari orang tersebut. Yang pasti, orang itu tidak menyukai Valle.

by scndbrr

Sejak kendaraan roda empat milik Nolan melaju membelah jalan raya yang cukup padat pada malam hari ini, Valle terus saja bergerak gelisah.

Kedua tangannya bertaut saling meremas dan wanita itu menggigiti bibir bagian bawahnya untuk menyalurkan perasaan gugup yang menyelimutinya.

Pada awalnya Nolan tidak menyadari hal tersebut.

Namun ketika mobilnya berhenti di belakang garis marka mengikuti lampu apill di depan sana yang memancarkan sinar merah, pria itu memalingkan wajahnya ke arah samping, tempat Valle duduk dan akhirnya mengetahuinya.

Tanpa berbasa-basi lagi, Nolan langsung mengambil salah satu tangan Valle yang masih saling bertaut tadi kemudian digenggamnya dengan erat dan diletakkan di atas pahanya sendiri.

Valle sedikit tersentak karena terkejut dengan perbuatan tiba-tiba yang dilakukan oleh Nolan barusan. Wanita itu mengerutkan dahinya dan menyatukan alisnya, menatap Nolan dengan raut wajah kebingungan.

Mengerti tanda tanya yang terpampang dengan jelas di dahi wanita itu, Nolan hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman yang sangat manis.

Bahkan senyuman tadi kelewat manis hingga Valle pun secara tidak sadar juga ikut tersenyum dengan sendirinya. Wanita itu mampu melupakan perasaan gugupnya sejenak.

Ketika lampu lalu lintas telah berganti warna menjadi hijau, Nolan bergegas kembali melajukan mobilnya agar dapat segera sampai di tempat yang menjadi tujuannya dengan Valle saat ini.

Rumah Nolan.


Setelah melewati perjalanan yang tidak terlalu lama, Nolan dan Valle akhirnya telah sampai.

Valle masih saja tercengang dari saat kendaraan roda empat yang ditumpanginya itu membawanya masuk ke dalam perumahan elit yang diisi dengan deretan rumah mewah.

Memang benar jika Valle sudah mengetahui fakta bahwa kekasihnya ini adalahnya putra dari seorang pengusaha batu bara yang terkenal sangat kaya raya.

Namun, tetap saja rasanya masih sulit mempercayainya. Valle menjadi semakin rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak pantas dapat bersanding dengan sosok Nolan Azerio.

Lagi dan lagi, kedua manik Nolan itu sangatlah jeli jika menyangkut wanitanya. Dirinya dapat kembali menangkap basah Valle yang kini terlihat lebih gusar daripada tadi.

Wajah cantik kekasihya yang sedikit tertunduk mampu menjelaskan apa yang sedang dirasakan oleh dirinya itu.

Terdengar hembusan napas pelan dari Nolan sebelum pria itu memajukan tubuhnya supaya tangannya dapat meraih dan membukakan sabuk pengaman Valle.

Valle menahan napasnya sendiri karena kini jarah wajahnya dan wajah Nolan sangatlah begitu dekat. Mungkin hanya terdapat ruang beberapa inci saja.

Klik.

Meskipun sabuk pengaman Valle sudah terlepas, namun Nolan tidak kunjung menyingkir dari hadapan Valle. Hal itu tentu saja membuat Valle masih saja menahan napasnya hingga kini wajahnya menjadi memerah.

Nolan mengecup pelan bibir ranum Valle yang terlihat menggoda di matanya sebab hari ini sepertinya wanita itu memoleskan pewarna bibir yang berbeda dari biasanya.

Cup.

Hanya kecupan lembut dan singkat yang Nolan berikan. Pria itu tidak berniat untuk melumat bibir kekasihnya, sebab dirinya tahu hal itu akan memakan waktu yang cukup lama.

Keluargnya sudah menunggu mereka berdua di dalam bukan?

“Bernapas sayang,” ucap Nolan dengan suara baritonnya yang mampu menggetarkan hati Valle.

Valle mengerjapkan kedua matanya lucu setelah dirinya terkejut mendapatkan kecupan ringan dari kekasihnya ini.

Nolan terkekeh melihat kegemasan yang disuguhkan di depan kedua matanya secara langsung.

Tangannya terulur untuk mengusap surai milik Valle. Pria itu melakukannya dengan sangat hati-hati, takut merusak tatanan rambut yang telah dipersiapkan wanitanya ini.

“Sayang, nanti kamu cukup jadi diri kamu sendiri aja. Cukup jadi seorang Vallesha Eleanor yang biasanya,” ucap Nolan sambil memainkan jemari lentik milik Valle.

“Alasan aku sayang dan cinta sama kamu itu bukan karena kamu cantik. Bukan juga karena kamu seorang model yang terkenal.” Nolan menjeda kalimatnya untuk menatap manik Valle dengan begitu dalam.

Telapak tangan kanan Nolan menangkup salah satu sisi pipi Valle dan ibu jarinya bergerak untuk mengusapnya, “Tapi alasan aku cuma satu. Ya itu karena kamu Vallesha Eleanor, bukan yang lain.” Nolan

“Kalo cuma karena kamu cantik. Itu artinya nanti kalo kamu udah tua terus jadi nenek-nenek yang keriput, aku udah ga sayang lagi dong sama kamu?”

“Kalo juga cuma karena kamu itu seorang model terkenal. Berarti nanti kalo kamu udah pensiun jadi model atau kaya sekarang ini contohnya kamu lagi sep, aku udah ga cinta lagi sama kamu?”

“Jawabannya udah pasti enggak kan?” ujar Nolan dengan begitu tegas menandakan bahwa pria itu bersungguh-sungguh dengan penuturannya barusan.

“Aku cuma mau kamu. Aku sayang sama kamu karena kamu itu ya kamu, sayang. Ngerti kan sekarang, cantik?” tanya Nolan yang mendapatkan anggukan lemah dari lawan bicaranya ini.

Melihat kekasihnya yang masih terlihat ragu, Nolan langsung menarik tangan Valle dan membuat tubuh mungil milik wanita itu masuk ke dalam rengkuhan hangatnya.

Kedua tangan besar Nolan bergantian mengusap punggung sempit Valle, “It's okay, everything will be fine.”

Nolan melepaskan dekapannya. Pria itu keluar dari mobil terlebih dahulu kemudian berjalan memutari mobil untuk sampai tepat di samping pintu penumpang Valle.

Pria itu membukakan pintu untuk Valle dan mengulurkan tangannya untuk menjadi pegangan bagi sang kekasih.

Salah satu tangannya yang menganggur diangkatnya untuk menutupi bagian atas mobil, berniat supaya kepala Valle tidak terkantuk benda keras tersebut.

Kedua anak manusia itu berjalan beriringan dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam satu sama lain untuk memasuki sebuah bangunan besar yang merupakan rumah Nolan.


Kata-kata dari Nolan tadi dipegang dengan teguh oleh Valle. Wanita itu merasa menjadi lebih baik setelah meresapi kata-kata penenang yang diberikan olah sang tambatan hatinya.

Terbukti dengan saat ini. Valle berhasil menerapkannya dengan bersikap seperti dirinya yang biasanya di depan kedua orang tua dan kakak Nolan.

Wanita itu tidak canggung dengan mama Nolan. Bahkan Valle tidak segan-segan untuk melemparkan candaaan ringan kepada wanita paruh baya yang kecantikannya masih paripurna meskipun usianya sudah hampir setengah abad.

Mama Nolan tampak dengan senang hati bercengkerama dengan Valle karena wanita itu juga memang sudah mengenal dan pernah bertemu dengannya.

Sebetulnya ketika Nolan dan Valle memasuki rumah, Harla sedikit kaget begitu matanya menangkap bayangan Valle yang sedang digandeng oleh putra bungsunya.

Jadi ternyata wanita ini yang dimaksud oleh Nolan, batinnya.

Karena sudah lama Harla menanti-nantikan hari ini di dalam hidupnya, tentu saja wanita itu mendukung penuh keputusan Nolan yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius dengan Valle.

Harla ini adalah tipikal orang tua zaman sekarang. Dirinya memiliki pikiran yang open minded sehingga tidak terlalu mempermasalahkan keinginan Valle untuk menjadi seorang wanita karir meski nanti dirinya sudah menikah.

Karena dirinya pun juga demikian. Sehingga dapat dikatakan, Harla seperti sedang bercermin jika sedang bersama dengan Valle. Dirinya dapat melihat pribadinya sendiri di dalam diri Valle.

“Ayo Vallesha, kita makan dulu yuk. Makanannya udah siap tuh,” ajak Harla yang langsung melingkarkan lengannya dengan lengan Valle.

Kedua wanita itu berjalan terlebih dahulu di depan sana meninggalkan para kaum adam yang mengekori mereka.

Baru saja tangan Valle terulur untuk menarik kursi tempatnya duduk, gerakan cepat yang dilakukan Nolan untuk melakukan hal yang sama membuat Valle tersenyum kikuk begitu dirinya menyadari semua mata kini tertuju padanya dan Nolan.

“Sini, Sha. Duduk,” ucap Nolan yang mempersilahkan Valle duduk.

Javio, kakak Nolan itu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah adeknya yang terlihat begitu asing di depannya ini.

Dirinya baru pertama kali melihat Nolan mau melakukan hal seperti itu untuk orang lain.

Tidak sampai di situ saja. Nolan kembali membuat seluruh atensi keluarganya terpusat kembali kepada dirinya hanya dengan perkataannya barusan.

“Bi, olahan udang sama kerangnya jangan lupa ya.”

Harla langsung menatap Nolan dengan pandangan yang tidak terbaca. Wanita paruh baya itu bingung akan maksud Nolan yang berbicara seperti itu kepada pelayan rumahnya.

“Oh, tenang aja itu bukan buat aku kok ma. Esha yang suka sama udang dan kerang,” jelasnya tanpa melihat ke arah mamanya. Pria itu justru sibuk menuangkan air tawar ke gelas milik Valle.

Harla tertawa renyah melihat sikap perhatian yang diberikan oleh putranya kepada kekasih hatinya itu. Dirinya tidak menyangka jika anak secuek Nolan ternyata juga bisa berbuat demikian.

Acara makan malam keluarga itu berlangsung dengan lancar. Ketakutan yang sempat terbesit pada benak Valle sirna begitu saja berkat Nolan yang selalu membuatnya merasa nyaman di sini.

Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia dengan kehadiran orang baru di rumah mereka ini. Valle, yang sebentar lagi akan menjadi bagian keluarga mereka.

Namun terkecuali dengan satu orang. Orang itu sejak tadi hanya berdiam diri saja. Dirinya tidak menyambut Valle dengan baik seperti yang lainnya.

Entah apa alasan dari orang tersebut. Yang pasti, orang itu tidak menyukai Valle.

by scndbrr