This is Our Day
Pagi ini Nolan sudah dihinggapi rasa gugup yang luar biasa. Rupanya pria itu juga dapat merasakan hal seperti ini. Sangat diluar ekspetasi.
Sudah hampir tiga puluh menit lamanya Nolan terus saja berjalan dari satu titik ke titik yang lain secara berulang. “Woi bro! Duduk sini napa, heran mondaR-mandir mulu lu kaya setrikaan!” Celetuk Jacob, sahabatnya.
Ucapan Jacob tadi mengundang tatapan tajam dari Nolan yang tidak terima dan menuai kekehan ringan dari kedua temannya yang lain, Khava dan Rego.
“Halah biasa itumah, kayak gak tau aja lu orang yang lagi kebelet nikah!”
Jacob melayangkan pukulan pelan ke arah bahu Rego untuk mengekspresikan emosinya yang pecah mendengar penuturan Khava barusan.
“ANJING! Sakit bego!” Sentak Rego sang korban penerima hantaman kepalan tangan Jacob.
Memang benar jika pukulan yang diberikan oleh Jacob pelan, namun tampaknya pria itu lupa jika temannya yang satu ini memiliki tubuh yang jauh lebih kecil perawakannya dari dia.
Nolan menggelengkan kepalanya melihat kelakuan teman-temannya yang masih seperti kumpulan anak sekolah dasar itu.
Tidak mau terlalu menghiraukan temannya, dirinya memilih untuk berjalan, melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk mencapai tempat cermin besar disandarkan pada ruangan tersebut.
Kedua tangan besarnya terulur untuk sedikit merapihkan dasi model kupu-kupu berwarna hitam pekat yang bertengger dengan manis pada kerah kemeja putihnya.
Hari ini aura maskulin Nolan terpancar dengan kuat. Wajahnya yang rupawan menambah kesan gagah yang dimiliki oleh pria itu.
Nolan mengenakan tuxedo berwarna senada dengan dasi kupu-kupunya tadi yang melekat dengan sempurna pada tubuh semampainya.
Helai demi helai surainya yang berwarna hitam sedikit kecoklatan itu tersusun rapih dengan bantuan gel rambut yang dipakaikan oleh hairstylistnya tadi.
Semerbak aroma musk dari parfum yang dipilihnya hari ini menguar menusuk ke dalam indera penciuman, membuat siapapun dapat terlena dengan harum lembut nan elegan itu.
Alas kaki yang berupa sepatu kulit tanpa tambahan sol lagi karena sepertinya dirinya tidak membutuhkan fungsi dari hal tersebut membuat pria ini semakin terlihat indah.
Perfect!
Sempurna, adalah satu-satunya kata yang paling tepat untuk dapat mendeskripsikan bagaimana penampilan Nolan pada detik ini.
Semuanya memang sudah sengaja pria itu persiapkan dari jauh-jauh hari. Dirinya begitu menghargai hari bersejarah ini. Pria itu tidak mau terdapat barang satu hal saja yang terlewatkan.
Sebab hari ini adalah harinya. Hari dirinya dengan Valle. Hari di mana mereka berdua akan saling mengikat.
*Tok... tok... tok...” Ceklek.
Suara ketukan pintu yang kemudian disambung langsung dengan deritan sekat kayu tersebut yang terbuka membuat Nolan memalingkan wajahnya ke arah sumber suara tadi.
“Sudah waktunya.”
Pria itu mengangguk mantap menanggapi perkataan salah satu orang yang bertugas untuk mempersiapkan hari bahagianya ini.
Setelah dirinya berulang kali mengambil napas dan menghembuskannya secara perlahan, Nola akhirnya menyusul teman-temannya yang sudah berdiri di depan ruangan ini.
Melihat Nolan yang sudah keluar, teman-temannya lantas mempersilahkan Nolan untuk berjalan terlebih dahulu di depan mereka semua.
Dengan hati gembira yang masih saja tetap dialiri oleh perasaan gugup, Nolan melangkahkan kedua kakinya satu per satu untuk menuju ke tempat yang akan menjadi saksi bisu hari bahagianya.
Di sisi lain, sebuah ruangan yang ukurannya tidak terlalu luas dan didominasi oleh warna putih itu terdapat seorang wanita di dalamnya yang juga tak kalah gugup.
Wanita itu ditemani oleh bunda dan kakak perempuannya. Satu lagi, sahabat dekatnya juga.
Dia, adalah Valle.
Kedua tangannya bertaut di atas gaun putih panjang yang desainnya tidak terlalu muluk-muluk, terlihat sederhana, namun justru terkesan lebih elegan.
Tangannya yang telah mengenakan sarung tangan renda terasa sedikit lembab sebab sepertinya wanita itu terlampau gugup hingga telapak tangannya mengeluarkan keringat dari sana.
Valle memiliki sebuah kebiasaan sejak dirinya masih kecil hingga sekarang sudah dewasa yang tidak pernah hilang.
Ketika dirinya merasa gugup, wanita itu akan menggigiti bibir bagian bawahnya sendiri sampai berdarah.
Rupanya kebiasaan itu sangat sulit untuk dihilangkan, sebab kini dirinya melakukan hal tersebut kembali.
Usapan lembut pada sisi pipi kanan Valle membuat wanita itu tersentak dari pikirannya yang sedang digandrungi oleh perasaan gugup tadi.
Di hadapannya, terdapat sepasang manik indah yang menatapnya dengan penuh perhatian.
Bunda Seira.
Wanita paruh baya itu menatap Valle dalam diamnya tanpa mengutarakan satu patah kata pun. Namun putrinya itu dapat mengerti maksudnya.
Bundanya, sedang memberikan ketenangan kepada dirinya. Bundanya itu sedang berusaha untuk membuat kegugupan putrinya sirna. Bundanya ingin mengatakan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Valle tahu itu sebab dirinya sudah bersama dengan wanita paruh baya yang sudah dianggap sebagai ibu kandungnya sendiri selama hampir lebih dari 20 tahun lamanya.
Senyuman teduh yang terpatri pada belah bibir Seira membuat suara bising yang memenuhi isi pikiran Valle lama-kelamaan mulai menghilang.
“Alle...” Suara lembut Seira yang memanggil dirinya membuat Valle menautkan kedua alisnya menunggu kalimat berikutnya yang meluncur dari mulut wanita paruh baya itu.
Lagi. Seira tersenyum lagi.
Namun, kali ini berbeda. Mungkin bagi orang lain yang melihat garis lengkung tersebut tidak akan berpikir demikian.
Lain halnya dengan Valle. Entah mengapa wanita itu merasakan bahwa senyuman bundanya terlihat sedikit menyedihkan.
“P-putri kecil bunda s-sudah besar...” Terdapat rasa nyeri yang langsung menyerang hati Valle begitu bundanya berucap demikian.
Putri kecil bunda.
Selalu seperti ini. Seira selalu menganggap dirinya sebagai putri kecilnya. Seira begitu menyayangi dan mencintai Valle seperti putri kandungnya sendiri.
Belum sempat melanjutkan kalimatnya yang sengaja dirinya jeda tadi, Seira sudah menjatuhkan cairan bening yang sudah mendesak meminta untuk dikeluarkan dari pelupuk matanya.
“Bunda...”
Valle tidak bisa. Dirinya tidak bisa melihat bundanya menangis. Dirinya tidak bisa melihat bundanya bersedih seperti ini. Terlebih lagi jika penyebabnya adalah dirinya.
Seira menggelengkan kepalanya pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengusap aliran air matanya yang menggenang pada kedua sisi pipinya.
“Alle sudah besar. Putri kecil bunda ini sudah bisa menemukan laki-laki pilihannya. Anak bunda yang satu ini mau memasuki jenjang kehidupan yang selanjutnya.”
“Bunda seneng. Bunda seneng banget kok, Le. Bunda seneng ngeliat Alle bahagia.”
“Bunda gak tahu bunda boleh bilang begini sama Alle apa enggak, tapi di saat yang bersamaan bunda juga ngerasa sedih...”
“Bunda sedih karena putri bunda udah jadi milik orang lain. Bunda sedih karena Alle bukan putri kecilnya bunda lagi yang kalau sakit pasti cuma mau tidur sama bunda. B-bunda... bunda... s-sedih...”
Deg.
Pertahanan Seira akhirnya runtuh. Isak tangis wanita paruh baya itu pecah memenuhi seluruh penjuru ruangan ini.
Valle yang tidak kuasa melihat keadaan bundanya itu langsung memajukan tubuhnya dan merangkum tubuh Seira yang bergetar hebat sebab dirinya yang masih menangis.
“Bunda jangan ngomong kaya gitu...”
“Alle bakalan tetep jadi putri kecil bunda sampai kapanpun.”
“Bunda jangan nangis. Alle gak mau lihat bunda sedih kaya gini.”
Seira membalas rengkungan hangat yang diberikan oleh Valle kepadanya. Wanita paruh baya itu terus saja mengusap punggung sempit putri kecilnya.
“Makasih ya sayang?”
“Makasih karena kamu udah lahir ke dunia ini. Makasih karena kamu udah mau jadi putri kecil bunda. Makasih juga karena kamu selalu ngasih bunda kebahagian ke bunda dan keluarga.”
Hati mungil Valle tersentuh ketika rungunya mendengar penuturan dari Seira.
Pada kenyataannya hidupnya selama ini berharga.
Pikiran sempitnya beberapa tahun lalu yang sempat ingin mengakhiri hidupnya sendiri ternyata salah.
Pikirannya yang hampir membawanya pergi untuk menyusul kedua orang tuanya ternyata salah.
Pikirannya yang menganggap dirinya sebagai pribadi yang sebatang kara tanpa siapa-siapa di sisinya pun juga ternyata salah.
Aksi haru antara seorang ibu yang ingin melepas putrinya itu berlanjut hingga suara Yumna menginterupsi mereka berdua.
“Ayo, udah ditunggu tuh sama calonmu.”
Nolan berdiri dengan gagah di depan altar yang berhiaskan bunga-bunga tulip yang memang sesuai dengan requestan dirinya sendiri.
Bunga tulip berwarna merah, putih, dan merah muda telah tersusun dengan rapi.
Begitu suara yang timbul dari gesekan senar-senar biola dan petikan harpa mulai terdengar, Nolan memalingkan wajahnya menghadap ke arah depan sana.
Di sana, terlihat sosok seorang wanita cantik yang sudah tidak asing lagi di matanya. Bahkan Nolan begitu mengenal wanita tersebut.
Paras cantiknya yang pada hari ini terlihat sedikit berbeda mampu mengalihkan dunia Nolan untuk sekejap.
Cantik. Begitu cantik. Vallenya sangat cantik.
Langkah demi langkah Valle tempuh untuk dapat mencapai ke tempat tujuannya, yaitu altar.
Dirinya didampingi oleh sang ayah yang menggenggam tangannya dengan penuh hati-hati.
Valle merasakan sedikit getaran pada telapak tangan ayahnya itu. Ketika dirinya sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat sang ayah, yang didapati wanita itu hanyalah senyuman manis dari Bondan.
Namun, Valle tahu betul jika senyuman itu palsu.
Setelah sampai di depan altar, sebelum Bondan melepaskan genggaman tautan tangannya dengan Valle, pria paruh baya itu meminta waktu sejenak untuk mengatakan sesuatu kepada Nolan.
“Ini adalah bunga saya. Bunga yang paling cantik yang pernah saya miliki. Bunga yang begitu indah yang pernah saya rawat. Bunga yang sangat saya sayangi dan juga saya cintai.”
“Saya tahu jika saya tidak bisa memiliki bunga kecil ini untuk selamanya... Saya tahu dia pasti akan pergi jika waktunya sudah tiba.”
“Seperti sekarang ini...”
“Nolan, saya percayakan putri kecil saya kepada kamu. Satu permintaan saya. Jangan pernah sakiti dia.”
“Saya tidak pernah berkata kasar kepada dia. Saya tidak pernah melayangkan tangan saya kepada dia. Saya juga tidak pernah membiarkan air matanya jatuh dengan sia-sia.”
“Sekarang, bunga saya akan saya percayakan kepada kamu. Jaga dia sebaik mungkin ya, nak Nolan?”
“Tolong jangan kecewakan saya.” “Saya mohon...”
Jika ada nominasi seorang anak yang paling beruntung di dunia ini, mungkin nama Vallesha Eleanor lah yang nantinya akan menempati posisi pertama pada leaderboard.
Pertanyaannya sekarang hanyalah bagaimana?
Bagaimana bisa Valle mendapatkan kasih sayang dari orang yang tidak sedarah dengan dirinya sebanyak ini?
Seira dan Bondan bukanlah kerabat jauh Valle, mereka hanya pasangan suami-istri yang kebetulan mengenal almarhum kedua orang tua Valle saja.
Kebaikan apa yang telah diperbuat almarhum orang tuanya hingga membuat sosok malaikat tak bersayap seperti Bondan dan Seira dapat menyayanginya seperti ini?
Valle tidak tahu. Yang pasti, Valle begitu beruntung.
“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Nolan Azerio, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Vallesha Eleanor menjadi suami istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”
“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Vallesha Eleanor, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Nolan Azerio menjadi suami saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”
Setelah kedua sejoli itu mengucapkan janji pernikahan mereka di hadapan khalayak, maka kini resmilah mereka berdua menjadi pasangan suami-istri yang telah sah.
Tangan besar Nolan terulur untuk menggenggam jemari lentik milik Valle. Pria itu menatap istrinya dengan penuh ketulusan.
“Sha, this is our day.” “I love you, my tulips!“
Penyatuan belah bibir kedua anak manusia ini terlihat begitu murni. Tidak ada nafsu yang menggebu-gebu di sana. Keduanya terlihat sama-sama hanya ingin menyalurkan rasa cintanya yang besar.
Tanpa disadari, Nolan menitikkan air matanya hingga jatuh ke pipi Valle. Pria itu bukan menangis karena bersedih, melainkan dirinya sangat berbahagia sekarang ini.
Nolan bahagia, karena dirinya dapat menjemput kebahagiannya yang selalu ia nanti-nantikan ketika berada di titik terendah di dalam hidupnya.
Bagi pria itu, Valle adalah kebahagiannya yang nilainya tidak dapat dideskripsikan dengan apapun.
Sesayang, secinta, dan setulus itulah Nolan Azerio kepada wanitanya. Hanya Vallesha Eleanor seorang.
by scndbrr