Tidak Menerima Kehadirannya
Flashback.
“Jadi gimana? Kamu udah tahu jenis kelaminnya dia?” tanya seorang pria yang berusia 30 tahunan itu kepada istrinya.
Sang istri yang usianya tidak jauh berbeda usianya menatap takut ke kedua manik milik suaminya itu, “U-udah.”
Suaminya menganggukkan kepalanya mengerti, “Perempuan kan?” tanyanya lagi dengan suara penuh penekanan.
Kedua tangan sang istri meremat ujung bajunya sendiri. Ini dia yang dirinya takutkan. Apa jawaban yang harus diberikan oleh dirinya?
Pria itu yang tidak kunjung mendapatkan jawaban yang diinginkannya kembali bertanya sambil meletakkan kedua tangannya di atas pundak sang istri, “Harla? Calon anak kedua kita perempuan kan?”
Masih belum mendapatkan jawaban, pria itu mencengkeram kedua lengan istrinya sendiri.
Selalu seperti ini. Jika terdapat sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannnya, Baskara akan melampiaskannya kepada Harla, istrinya.
“JAWAB HARLA!” bentak Baskara yang sudah geram.
Harla, wanita itu berjengit ngeri mendengar suara suaminya yang meninggi. Dirinya menggelengkan kepalanya pelan untuk menjawab pertanyaan Baskara.
“B-bukan, d-dia laki-laki... lagi.” Kedua mata Baskara membola dan deru napasnya menjadi semakin memburu begitu mendengar penuturan dari istrinya.
“Maaf...,” cicit Harla yang langsung menundukkan kepalanya sebab wanita itu tidak berani untuk menatap raut wajah suaminya yang telah berubah.
Tangan kanan Baskara terulur untuk mencengkeram pipi Harla dengan begitu kuat hingga membuat sang empu meringis kesakitan.
“Kamu tahu apa artinya itu kan?!”
Harla memejamkan kedua matanya dan meloloskan cairan bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya. Dirinya menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang terpatah-patah.
Baskara melepaskan cengkeraman tangannya pada pipi sang istri. Dirinya mendorong tubuh Harla hingga wanita itu terhunyung.
Beruntung, tangan Harla dapat berpegangan pada sisi meja yang tidak jauh dari sana, sehingga dirinya tidak berakhir tersungkur di lantai.
Ingat, kini wanita itu sedang membawa satu nyawa di dalam perutnya. Maka jika dirinya tadi terjatuh, tidak terbayangkan nasib dari calon anak keduanya itu.
Gila? Memang.
Baskara adalah pria gila yang hanya dapat mementingkan dirinya sendiri saja. Dirinya tidak peduli dengan siapapun kecuali anak pertamanya, Javio.
“Gugurin.”
Harla terhenyak mendengar satu kata yang meluncur dari mulut suaminya barusan. Apa katanya tadi? Bagaimana bisa dia setega itu? Dengan calon anak kandungnya sendiri?
“M-mas...,” panggil Harla dengan suaranya yang begitu parau. Wanita itu menyiratkan perasaan kecewanya terhadap pria yang dicintainya ini.
Sang suami mendekat ke arah istrinya yang terduduk lemas di lantai karena shock mencerna ucapannya barusan. Baskara merendahkan tubuhnya hingga berakhir berlutut dengan bertumpu pada salah satu kakinya.
“Kamu tahu kan kalau gimana pun caranya, aku harus bisa jadi ahli waris orang tua aku?” tanya Baskara sambil mengusap surai Harla dengan lembut.
Namun sayangnya usapan lembut tadi berubah menjadi tarikan keras hingga membuat Harla memekik tertahan merasakan beberapa helainya rambutnya tercabut dari akarnya.
“Mereka cuma mau cucu selanjutnya CUCU PEREMPUAN yang bisa dijodohin sama perusahaan sebelah, Harla!!” bentak Baskara tepat di depan wajah istrinya itu.
“Kita udah punya Javio yang bisa nerusin aku kelak. Aku gak butuh lagi anak laki-laki, kamu ngerti?!” Baskara menghempaskan kepala Harla ke samping dengan begitu kuat.
Jemari lentik milik Harla berusaha untuk merapihkan surainya yang berantakan akibat ulah suaminya barusan. Wanita itu juga menyeka air matanya yang berlinang pada kedua pipinya.
“A-aku bukan Tuhan, Bas. Aku gak tahu kalau calon anak kita ini laki-laki,” bela Harla dengan perasaan gugup yang melingkupi dirinya. Wanita itu takut suaminya akan berbuat kasar lagi kepadanya.
Prang.
Suara benda pecah belah yang dilemparkan oleh Baskara, menggema memenuhi seluruh penjuru ruangan ini. Pria itu mengambil serpihan guci yang telah dilemparnya barusan.
“Makanya aku bilang, GUGURIN!” bentaknya lagi sambil menyodorkan seprihan guci itu ke arah perut Harla yang sudah mulai membesar.
Perlahan namun pasti, Baskara sedikit mulai sedikit menggorekan ujung serpihan guci tadi ke perut Harla. Darah segar mulai mengalir keluar membuat Baskra tersenyum penuh kemenangan.
“Sheshh, JANGAN GILA KAMU, BAS!” teriak Harla yang berusaha untuk menahan tangan Baskara agar tidak semakin melesakkan serpihan guci itu.
Rasa sakit mulai menyerang perutnya, ketika wanita itu merasakan janin yang ada di dalamnya ikut bergerak gelisah seolah-olah paham akan situasi yang tengah terjadi di luar sini.
“Akkhh s-sakit!” pekik Harla menggenggam pergelangan tangan suaminya. Dirinya berharap suaminya ini akan tersadar atas perbuatan yang dilakukannya sekarang.
Darah yang berwarna merah pekat mengalur dari pangkal paha Harla. Pakaian dress yang dikenakan oleh wanita itu membuat aliran darah dapat terlihat dengan begitu jelas.
Baskara ikut panik bukan main ketika dirinya melihat keadaan sang istri. Dirinya langsung menangkap tubuh ringkih wanita itu yang hampir terhunyung ke arah lantai.
“Mas, t-tolongh...,” pinta Harla dengan sangat putus asa kepada Baskara, sebelum akhirnya wanita itu menutup kedua matanya dan tidak sadarkan diri.
Tangan besar Baskara ia tepuk-tepukkan pada kedua pipi Harla dengan lembut, “Harla! Harla bangun!! Bangun Harla!! Astaga, sayang BANGUN!!!”
Tanpa berlama-lama lagi, Baskara langsung menggendong tubuh lemah Harla ala bridal style. Pria itu melupakan amarahnya yang tadi sedang meluap-luap sejenak.
Langkah tegasnya membawa dirinya untuk menuju ke mobil miliknya yang masih terparkir di depan rumahnya. Tujuannya saat ini adalah ke rumah sakit.
Menurutnya yang terpenting adalah untuk dapat memastikan bahwa istrinya baik-baik saja. Itu saja. Hanya itu. Bahkan pria itu tidak mempedulikan bagaimana keadaan calon putra keduanya.
Asalkan istrinya tidak apa-apa, maka hal itu sudah lebih dari cukup baginya. Persetan dengan janin yang ada di rahim istrinya.
Meskipun Baskara adalah seorang pria yang memiliki temperamental yang buruk dan suka bermain tangan dengan istrinya sendiri, namun rasa sayangnya kepada Harla sangatlah besar hingga tidak dapat diungkapkan dengan apapun.
Pria itu begitu menyayangi dan mencintai istrinya melebihi apapun. Sebab dirinya tahu jika hanya wanita itulah yang memahami dirinya. Hanya wanita itulah yang masih mau bertahan dengan perangai buruknya ini.
Sayangnya, keserakahan yang dimiliki oleh dirinya mampu membutakan Baskara. Pria itu hanya mementingkan materi, materi, dan materi saja.
Hal itulah yang membuat dirinya harus membenci calon anaknya yang tidak bersalah.
Menurut silsilah pada keluarga besarnya, setiap keluarga di dalam keluarga ini harus dapat mempunyai keturunan satu orang putra sebagai anak pertama dan satu orang putri sebagai anak kedua.
Putra pertama dari mereka akan mendapatkan jabatan di perusahaan keluarga mereka atau dapat juga menjadi seorang ahli waris. Sedangkan putri kedua dari mereka harus mau dijodohkan dengan putra dari perusahaan relasi mereka.
Semuanya ini dilakukan untuk membuat perusahaan keluarga mereka semakin besar dan berkembang.
Konyol memang, namun memang seperti itulah yang terjadi di sini. Di keluarga Azerio ini.
Memang dapat dikatakan sangat tidak adil.
Memangnya mereka semua tinggal di zaman apa? Bukankah saat ini semuanya sudah maju dan menjadi lebih terbuka? Lantas mengapa pola pikir mereka masih sangat kuno?
Bagaimana mungkin hanya karena kebiasaan yan dimiliki oleh suatu keluarga dapat membuat seorang ayah kandung membenci calon anaknya sendiri?
Semuanya terlalu klise.
“Hiks... hiks... hiks...”
“Hiks... mama... mama...”
“Mama bangun... hiks... hiks...”
Suara isak tangis dari seorang anak laki-laki membuat Harla terbangun. Panggilan 'mama' yang terus digumamkan oleh anak itu membuat Harla langsung dapat mengetahui pemilik suara ini.
“Javio kenapa nangis nak?”
Anak laki-laki itu adalah Javio. Putra pertama Harla dan Baskara.
Tidak menjawab pertanyaan mamanya, Javio langsung menghambur untuk memeluk tubuh mamanya yang masih terbaring di atas brankar rumah sakit.
“Mama gak boleh sakit lagi... hiks...”
“Hiks... De-dedek bayi juga harus sehat sehat teruss..!”
Harla tersenyum melihat tingkah lucu putra sulungnya itu. Anaknya sedang mengusap-usapkan telapak tangannya yang mungil di atas perutnya sambil masih terus menangis dan meracau.
“Iya, mama sama dedek bayi gak akan sakit sakit lagi. Maaf ya?” ucap Harla dengan suaranya yang begitu lembut dan menenangkan.
Javio mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lucu untuk membalas perkataan dari mamanya barusan.
“Javio, sayang..,” panggil Harla sambil menyeka air mata putranya yang masih terus mengalir di kedua pipi gembul putih itu.
“Hngg?” jawab Javio yang masih sesenggukan berusaha untuk menetralkan deru napasnya yang tersengal-sengal. Rupanya anak kecil itu kesulitan bernapas karena terlalu banyak menangis.
Harla menatap lamat-lamat wajah memerah putranya dan sesekali wanita itu merapihkan surai sang anak, “Kamu kan mau jadi abang... Mama boleh minta sesuatu sama Javio?”
Lagi-lagi anak kecil menganggukkan kepalanya, “Boleh banget dong mama cantik!” serunya dengan antusias.
Lengkungan yang tercetak jelas pada bibir Harla tidak dapat terelakkan begitu saja. Dirinya merasa bahagia memiliki putra seperti Javio.
“Besok kalo dedek bayi udah lahir, Javio harus sayang sama dia ya? Javio harus bisa jadi abang yang ngelindungin dia. Misalnya nanti papa gak suka sama dedek bayi, Javio bisa gantiin papa buat suka sama kehadiran dedek bayi kan?”
Javio mengerjapkan kedua matanya mendengar perkataan mamanya barusan. Sepertinya anak itu sedikit kesulitan untuk dapat memahami apa maksud dari sang mama.
“Maksud mama, mama minta tolong Javio jadi abang yang baik buat dedek bayi ya? Bisa?”
Mulut Javio membentuk huruf o, anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan sangat mantap. “Siap ma! Javio janji!!” ucapnya yang menyodorkan jari kelingkingnya untuk ditautkan dengan milik sang mama.
Dirinya sangat bersyukur. Setidaknya jika suaminya tidak menerima kehadiran calon putra keduanya ini, masih ada Javio, kakaknya yang mau menerimanya.
Mulai detik ini Harla kembali pada prinsipnya. Wanita itu akan bangkit untuk melindungi calon putranya. Dirinya tidak akan membiarkan siapapun mengganggu anaknya, termasuk suaminya sendiri.
Harla berharap, jika setidaknya suatu saat nanti suaminya akan luluh. Pintu hatinya yang terkunci dengan sangat rapat itu perlahan-lahan akan dapat terbuka.
Wanita itu terus berharap hingga sekarang. Meskipun pada kenyataan, faktanya berkata lain.
Baskara, tidak akan pernah menerima kehadiran Nolan.
Sampai kapanpun itu.
by scndbrr