Sandaran
Valle berulang kali menekan tombol bel apartemen milik Nolan. Sejak tadi, wanita itu terus saja bergerak gelisah mengingat kembali pesan yang dikirimkan Jacob kepadanya belum lama ini.
“Dia kacau banget, Vall...”
Satu kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di benak Valle bak kaset rusak. Tenggorokannya menjadi kering dan rasanya seperti tercekat mendengar kabar yang tak mengenakkan itu.
Mengapa kekasihnya kacau? Apa yang telah terjadi kepadanya? Apakah semua ini berkaitan dengan kejadian tadi siang?
Sekacau itukah prianya? Valle menjadi semakin merasa bersalah sebab dirinya tahu bahwa dialah yang menjadi muara dari persoalan siang tadi.
Namun jika bukan karena hal itu, maka Valle tidak tahu. Sekeras apapun wanita itu memaksa otaknya untuk berpikir, namun sayangnya dirinya tidak dapat menemukan jawabannya.
Tidak mau berpusing ria memikirkan alasannya terlebih dahulu, kini hanya ada satu hal yang dirinya ingin pastikan Nolannya baik-baik saja. Hanya itu. Cukup itu saja.
Tidak berbohong, Valle begitu khawatir dengan Nolan. Hal itu dikarenakan prianya belum pernah memperlihatkan kelemahannya kepada dirinya sama sekali.
Bukan, bukan maksud Valle kelemahan yang membuat Nolan terlihat begitu menyedihkan. Namun maksudnya di sini adalah Kekasihnya itu kurang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.
Pernah mendengar suatu statement yang menyatakan bahwa seseorang yang selalu memendam perasaan dirinya sendiri dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk bagi orang tersebut?
Itu benar.
Pernyataan itu memang benar adanya.
Perasaan terpendam tadi akan menjadi sebuah boomerang yang berbalik kepada diri kita sendiri. Menjadi sebuah penyakit hati yang membuat batin kita tertekan.
Seringkali banyak orang yang menyepelekan hal ini.
Menurut segilintir dari mereka, seseorang yang terlihat biasa-biasa saja ketika menjalani hidupnya bahkan ketika musibah menimpa mereka namun mereka dapat melewatinya dengan baik akan disebut sebagai pribadi yang tegar.
Namun mereka lupa. Mereka semua lupa jika orang-orang yang perasaannya tersembunyi itulah yang yang justru akan memiliki luka paling dalam.
Luka hati dan luka perasaaan seseorang merupakan dua hal sangat sulit untuk disembuhkan. Mereka akan selalu ada. Mereka akan terus menjadi bayang-bayang penderitanya. Mereka akan bersarang hingga dapat menimbulkan trauma.
Valle tidak mau. Wanita itu bahkan tidak mau memikirkan betapa sulitnya dalam posisi seperti itu. Dirinya masih menaruh harap dengan penuh kesungguhan jika luka kekasihnya tidak seberat itu.
Ting tong... ting tong... ting tong...
Tok... tok... tok...
“Olan, buka pintunya!” “Buka pintunya, ini aku Esha!”
Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Tidak ada juga tanda-tanda sekat yang ada di hadapan wanita ini akan terbuka.
Valle bukanlah orang yang mudah menyerah begitu saja. Dirinya bersikeras untuk terus menekan bel apartemen milik Nolan hingga suaranya mungkin memekakan telinga orang di dalamnya.
Tangan Wanita itu juga menolak berhenti untuk sesekali mengetuk pintu di depannya.
Ketika dirinya merasa lelah, barulah Valle membalikkan badannya dan menyandarkan punggungnya ke pintu hingga merosot ke lantai. Wanita itu terduduk pada lantai dingin.
Meskipun demikian, tekadnya untuk melihat sang tambatan hati tidak sirna begitu saja. Sudah sangat bulat, maka dirinya akan menunggu prianya untuk membuka pintu ini.
Setidaknya wanita itu akan menunggu dalam rentang waktu satu hingga dua jam lagi di sini. Nolan tidak sekejam itu kan? Pria itu tidak mungkin membiarkan wanitanya seperti orang terlantar di depan unit apartemennya kan?
Semoga tidak.
Keadaan di dalam ruangan ini sedikit tidak mengenakkan. Suasana canggung menyelimuti kedua anak manusia yang tadi siang ini masih lekat satu sama lain.
Benar. Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya Nolan membukakan pintu apartemennya.
Meskipun pada awalnya pria itu berniat untuk langsung menutupnya kembali begitu melihat sosok tak asing berdiri di depannya, namun karena langkah cekatan yang diambil oleh Valle, pria itu akhirnya hanya dapat membiarkan kekasihnya memasuki apartemennya.
Valle pintar. Wanita itu sempat menahan pintu yang tadi hampir tertutup dengan kakinya sendiri. Setelah tertahan, dirinya langsung melesak masuk ke dalam begitu saja.
“Sha...”
“Lan...”
Panggil mereka berdua bersamaan, “Kamu duluan aja.” Nolan meminta Valle untuk mengutarakan ucapannya terlebih dahulu.
Valle sempat terdiam cukup lama sebelum akhirnya mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu, “K-kamu... gapapa?”
Hancur sudah. Pertahanan Nolan hancur. Sejak tadi pria itu berusaha mati-matian untuk dapat menahan semuanya. Akan tetapi, kalimat yang keluar dari belah bibir Valle mampu membuat dirinya kalang kabut.
Ini pertama kalinya. Ini adalah kali pertama ada orang lain yang menanyakan keadaannya. Baru kali ini Nolan merasakannya.
Senang. Rasanya senang sekali.
Nolan merasakan kebahagiaan, namun mengapa kedua matanya justru berkaca-kaca? Mengapa dadanya menjadi sesak seperti ditimpa dengan beribu-ribu ton beban?
Sesak, rasanya sakit sekali.
Pria itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan lemah. Sekali mengerjap, buliran bening yang menumpuk pada kedua pelupuk matanya itu akhirnya terjatuh bebas. “Aku c-capek sayang...”
Mendapat jawaban yang membuat hatinya bagai tersayat pisau yang baru saja diasah, Valle merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Wanita itu mengucapkan satu kata tanpa bersuara.
“Sini.”
Nolan tidak menggubris Valle. Pria itu justru masih setia duduk pada tempatnya, tidak mendekat ke arah Valle seperti yang kekasihnya inginkan.
Tidak mau menunggu terlalu lama lagi, Valle akhirnya yang memutuskan untuk mendekat ke arah Nolan. Mencondongkan tubuhnya hingga jarak keduanya menjadi begitu dekat sampai tak berjarak.
Perlahan-lahan, Valle menarik masuk tubuh besar Nolan yang terlihat lesu itu. Pundak tegap yang dimiliki kekasihnya kini turun ke bawah seolah-olah menandakan bahwa beban yang dipikul di sana begitu berat.
Usapan lembut yang Valle berikan mulai dari bagian kepala belakang Nolan hingga ke punggung prianya membuat Nolan semakin tidak dapat menahan gejolak di dalam tubuhnya sendiri.
Tubuh pria itu bergetar, menandakan dirinya sedang menumpahkan emosinya.
Nolan, menangis.
Pria itu menangis tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Valle dapat merasakan pakaian yang dikenakannya mulai basah. Kedua tangan besar Nolan terulur untuk dilingkarkan pada pinggang ramping milik Valle.
Valle membiarkan kekasihnya untuk melepaskan semua sedih dan sakitnya. Awalnya wanita itu tidak menyangka jika prianya akan menangis di depannya sebab ia hafal betul watak Nolan.
Namun di sisi lain, Valle juga sangat bersyukur. Karena setidaknya Nolan mau mulai mengekspresikan perasaannya dengan baik di depan dirinya sekarang ini.
Cukup lama Nolan membiarkan cairan bening mengalir dengan bebas dari kedua matanya.
Setelah dirasa cukup puas, Nolan kemudian menyamankan posisinya dengan menelusupkan wajahnya pada ceruk leher Valle. Pria itu menghirup aroma cotton candy khas dari parfum yang selalu dipakai oleh kekasihnya.
Nolan menggenggam tangan Valle dan tangan yang lain mengusap-usap punggung tangan Valle yang ada di atas genggamannya itu, “Maaf...,” celetuk Nolan dengan suara seraknya.
“Hngg?” Valle mengernyitkan dahinya bingung dengan satu kata yang keluar pertama kali dari mulut Nolan setelah mereka berdua saling terdiam.
“Maafin aku...,” ucap Nolan lagi kepada Valle.
“Kamu minta maaf buat apa?” tanya Valle balik kepada Nolan. Wanita itu ingin memastikan apa maksud dari permintaan maaf Nolan kepadanya ini.
Nolan menarik wajahnya dari tempat yang menurutnya paling nyaman. Sebelum bersiap untuk menjelaskan semuanya kepada wanitanya, pria itu menghembuskan napas beratnya.
“Semuanya salah aku, Sha.”
Nolan dengan sengaja menjeda kalimatnya untuk menatap kedua iris kecoklatan milik Valle. Pria itu selalu terhipnotis ketika melihatnya. Entah mengapa, dirinya selalu dapat merasa tenang ketika melihatnya.
“Yang bikin karir kamu hancur itu aku. Tadi siangjuga aku bentak-bentak kamu, aku ngomong hal paling bodoh ke kamu, Sha. Maaf...”
Valle mulai dapat mencerna maksud dari arah pembicaraan ini. Dirinya paham mungkin Nolan merasa bersalah setelah berteriak kepadanya soal kejadian siang tadi.
Akan tetapi, masih terdapat satu pertanyaan di benak Valle. Mengapa kekasihnya ini mengatakan bahwa dia yang menghancurkan karirnya? Apa yang dimaksud oleh prianya ini?
“Papa...”
Ketika pikiran Valle sedang melanglang buana ke mana-mana, suara Nolan kembali menginterupsinya.
“Papa. Papa aku orang dibalik thread twitter itu...”
Deg.
Mulut Valle ternganga begitu rungunya mendengar kalimat lanjutan Nolan. Tangannya secara refleks ia tarik dari genggaman pria itu.
Nolan sudah tahu risikonya. Dirinya paham jika Valle mungkin dapat berpaling darinya setelah ini. Namun tak mengapa, menurutnya itu adalah pilihan dari wanitanya.
“K-kenapa? Nggak... maksud aku, kok bisa?” tanya Valle yang masih sulit menerima kenyataan ini.
Nolan memalingkan wajahnya ke arah samping. Pria itu malu. Dirinya malu untuk menceritakan hal ini kepada kekasihnya.
“Papa benci sama aku. Papa gak suka sama aku. Papa gak mau aku bahagia.”
Tangan Valle terulur untuk meraih dagu Nolan. Wanita itu membawa wajah Nolan untuk kembali menghadap ke arahnya, “Sayang?” panggil Valle.
Nolan hanya diam tidak menjawab panggilan itu. Namun dirinya membiarkan Valle untuk membelai wajahnya dengan jemari-jemari lentik milik kekasihnya itu.
“Capek ya?”
“Sini, senderan di bahu aku aja. Iya aku tahu kok. Aku tahu kalau bahu aku sempit, gak lebar kaya punya kamu...”
”... Tapi bahu aku masih punya banyak space dan cukup kuat buat ditempatin sama beban kamu.”
Nolan menatap Valle tidak percaya. Bahkan dirinya sudah mempersiapkan skenario terburuknya jika Valle meminta untuk mengakhiri hubungan dengan dirinya. Bagaimana bisa wanita ini justru berkata demikian?
“Kita udah jadian kan? Sekarang kita itu lagi pacaran kan, sayang?”
“Jadi, ayo sini bagi beban kamu ke aku. Aku gak masalah Nolan. Asalkan itu kamu, aku gak masalah.”
“Karena aku tahu, kamu pun juga akan begitu. Bahkan kamu juga udah ngelakuin hal yang sama buat aku.”
“Makasih ya?”
Valle memajukan wajahnya kemudian mendaratkan bibirnya di atas bibir Nolan. Wanita itu mendiamkan bibirnya di sana cukup lama. Dirinya ingin menyalurkan rasa cintanya yang begitu besar kepada sang kekasih.
Valle menyelesaikannya dengan memberikan satu kecupan di akhir, “Jadiin aku sebagai sandaran kamu ya?”
Nolan tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Pria itu berganti menarik tubuh Valle untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya.
“I love you!”
Valle dan Nolan, kedua muda-mudi yang memiliki problematika kisah hidup mereka masing-masing dipertemuka untuk dapat bersatu.
Apakah mereka berdua dapat saling menjadi rumah untuk satu sama lain?
Apakah mereka berdua dapat saling menjadi penawar ketika sakitnya kehidupan menghampiri?
Apakah mereka berdua dapat saling menjadi penghiburan ketika sedih dan kecewa datang silih berganti?
Entahlah kita tidak dapat memastikan itu semua.
Sebab perjalanan mereka berdua masih panjang. Masih cukup jauh untuk mengatakan bahwa mereka telah berada pada titik puncak.
Semoga semesta ini mengizinkan mereka untuk selalu bersama.
by scndbrr