Janji Nolan Untuk Valle
Nolan menancap pedal gas kendaraan roda empat miliknya seperti orang yang kesetanan. Di dalam kepala pria itu kini hanya dipenuhi oleh satu nama, Eshanya.
Meskipun dirinya sudah dapat sedikit bernapas lega karena berhasil menemukan pelaku di balik kejadian buruk ini, namun hatinya tetap tidak tenang karena wanita itu tak kunjung membalas pesannya sejak tadi.
Tidak berbohong, pria itu betulan khawatir bukan main dengan Valle. Terbukti dengan semua yang telah dilakukan pria itu.
Sudah pernah dikatakan bukan? Bahwa Nolan itu merupakan tipikal orang yang tidak suka bahkan sangat benci untuk mencampuri urusan orang lain.
Namun, lihatlah dengan kasus yang sedang terjadi sekarang ini. Pria itu rela melakukan apapun untuk dapat memberikan usaha terbaiknya demi wanitanya.
Entahlah, Nolan juga tidak tahu mengapa dirinya dapat berubah secara drastis seperti ini.
Yang pasti adalah pria itu sudah yakin jika orang yang mampu membuatnya keluar dari zona nyamannya selama ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah seorang Vallesha Eleanor.
Sekarang, tujuan Nolan hanyalah rumah Valle. Setelah bertanya dengan koneksinya yang bekerja di agensi tempat Valle, pria itu mendapati informasi bahwa wanita itu mengambil cuti hari ini.
Maka dari itulah dirinya sangat yakin bahwa Valle kini sedang berada di rumahnya. Mungkin wanita itu sedang murung karena membaca gosip menjijikan tentang dirinya sendiri pada media sosial.
Nolan terus saja merapalkan berbagai macam doa berharap sekaligus memohon kepada pemilik semesta ini supaya tidak membuat wanitanya itu menjadi terlalu sedih. Kalau sedikit saja tidak mengapa, pikirnya.
Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya mobil Nolan kini terparkir dengan manis di halaman pekarangan rumah Valle.
Sebetulnya jarak antara kantornya dengan rumah Valle tidaklah jauh. Namun kamacetan ibu kota ini pada jam sibuk siang hari ini tidak dapat terelakkan.
Alhasil perjalanan yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu setengah jam harus dirinya jalani sebanyak 2 kali lipatnya.
Tidak mau berlama-lama, Nolan langsung turun dari mobilnya kemudian berjalan dengan langkah tegapnya menuju ke pintu utama rumah ini.
Setelah sedikit merapikan rambut hitam legam miliknya dengan menyugar helai demi helainya ke belakang, tangan kanan pria itu kemudian terulur untuk menekan bel rumah yang ada di depannya.
Ting tong, ting tong, ting tong.
Pintu tersebut terbuka dan menampilkan seorang pria paruh baya yang bertubuh tinggi nan besar. Dapat Nolan perkirakan pria tersebut seumuran dengan ayahnya.
“Cari siapa?” tanya pria paruh baya tersebut yang merupakan ayah Valle.
Nolan sedikit tergagap. Lidah pria itu mendadak menjadi kelu dan sulit sekali rasanya untuk dapat menjawab pertanyaan dari pria paruh baya tersebut.
Sepertinya Nolan sedang Nervous. Terlihat jelas dari gelagat tubuhnya yang dapat menjabarkan kegugupan pria itu untuk bertemu dengan ayah dari wanita yang disukai olehnya.
Nolan berusaha untuk menetralkan deru napasnya yang terdengar tidak stabil. Pria itu berdeham sebelum memantapkan dirinya untuk menjabat pria yang berdiri di hadapannya sekarang.
“S-saya Nolan om. Mau ketemu sama anak om, Valle.”
Sedikit apresiasi untuk Nolan. Pria itu telah berhasil mengucapkan kalimat tadi dengan selamat.
Bondan, pria itu menatap bingung ke arah Nolan. Dirinya menelisik setiap inci dan lekuk tubuh Nolan.
Jangan salahkan sikap Bondan barusan, sebab dirinya memang baru pertama kali ini berjumpa dengan Nolan. Bahkan baik istrinya, Seira dan anaknya sendiri, Yumna tidak ada yang menceritakan soal Nolan kepadanya.
Maka tidak heran jika dirinya terlihat sangat terkejut sekarang. Pasalnya Nolan adalah laki-laki pertama yang datang ke kediamannya.
Benar, dulu ketika Valle masih menjalin hubungan dengan Morgan. Dirinya mendapat larangan keras dari kakaknya, Yumna untuk membawa Morgan ke rumah.
Hal itu Yumna lakukan bukan semata-mata karena dirinya yang terang-terangan tidak suka dengan Morgan, kekasih adeknya itu. Namun, juga karena ayahnya ini memang sebetulnya cukup strict dengan kedua putrinya.
Ayah Bondan mengetahui fakta dimana Valle, putri bungsunya itu sudah mengukirkan kisah asmaranya dengan seorang pria. Dirinya juga tahu jika hubungan mereka pun kandas hanya karena keegoisan dari pihak keluarga Morgan.
Namun, hingga saat ini ayah Bondan hanya bungkam. Dirinya memilih untuk menutup mulutnya karena juga dirinya tidak pernah dimintai pendapat langsung oleh Valle.
Prinsipnya adalah begini, jika putrinya itu belum mau terbuka untuk menceritakan segalanya kepadanya, pria itu tidak masalah. Yang terpenting adalah ketika putrinya merasakan sakit, dirinya harus diperbolehkan untuk mendampingi putrinya menangis.
Ayah Bondan tidak akan memarahi putrinya. Dirinya juga tidak akan melarang putrinya untuk bersedih hati. Namun dirinya akan selalu siap sedia ketika putrinya sedang merasakan kesedihan.
Tidak. Lebih tepatnya, ayah Bondan akan menemani putrinya di saat apapun. Baik ketika dalam suasana yang bahagia maupun berduka.
Namun, tak jarang juga dirinya memberika kesempatan putrinya untuk memiliki waktu sendiri.
Terkadang diri kita tidak selalu butuh hiburan orang lain bukan? Mungkin kita hanya membutuhkan sedikit jeda pada ruangan yang terdapat diri kita seorang.
Ayah Bondan adalah ayah terbaik di dunia ini, dirinya adalah seorang ayah idaman.
Kini terdapat satu pertanyaan yang terbesit pada benaknya, siapakah pria muda yang ada di hadapanku sekarang ini?
Ketika Nolan baru saja ingin kembali membuka mulutnya, suara interupsi dari seorang wanita muda di belakang sana menghentikannya.
“Astaga ini mendung banget, pasti bentar lagi mau hujan. Eh loh Nolan?” ucap wanita muda tersebut yang tak lain adalah Yumna, kakak Valle.
Nolan menganggukan kepalanya sopan untuk menyapa Yumna. Pria itu juga menyunggingkan senyuman manisnya secara tipis.
Yumna hanya menanggapi Nolan sekilas saja kemudian wanita itu beralih kepada ayahnya, “Yah, ini Alle gimana? Tempat itu kan lumayan bahaya kalau hujan,” ucap Valle dengan nada yang begitu khawatir.
Jadi Valle sedang tidak ada di rumah? Lantas di mana wanita itu sekarang berada? tanyanya di dalam batinnya sendiri.
“Yumna mau nyusulin Alle sekarang ya yah, boleh?” izin Yumna yang suaranya hampir teredam dengan suara petir yang begitu menggelegar.
“Jangan kak, bahaya. Liat tuh udah ada petir aja. Ini juga sekarang mulai hujan,” larang Ayah Bondan menahan lengan putrinya.
“Ya kalo ayah tau sekarang bahaya, itu artinya Alle juga dalam bahaya yah!” pekik Yumna dengan nada yang sedikit tinggi. Rupanya Yumna sudah tidak dapat menahan emosinya lagi.
Nolan yang tadinya menyimak pembicaraan putri dan ayah tersebut membelalakkan kedua matanya, dirinya terkejut.
“Bahaya?” gumamnya dengan suara yang amat kecil.
“Iya kak, ayah tahu. Tapi kamu aja baru sekali ke sana waktu itu. Kalau kamu maksain, nanti tersesat gimana?”
Di dalam hatinya, Yumna mengiyakan ucapan ayahya barusan ini. Memang benar, sebetulnya Yumna tidak terlalu mengenal tempat itu.
“Udah biar ayah aja yang nyusulin Alle,” final Ayah Bondan.
“Kamu itu sama aja kaya Yumna mas. Meskipun kamu udah tahu benar seluk-beluk tempat itu, tapi usia kamu gak bisa berbohong.” Bunda Seira muncul dan ikut menimbrung pada pembicaraan ini.
Ketiga orang yang ada di sana kompak memusatkan perhatian kepada bunda Seira karena sepertinya wanita paruh baya itu belum menyelesaikan kalimatnya.
“Nolan maaf, bunda bisa minta tolong sama kamu?”
Di sisi lain, seorang wanita dengan napas yang terputus-putus karena baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh. Perjalanan itu ia lakukan secara manual, dengan berjalan kaki.
Maka tidak heran, jika dahinya kini dipenuhi bintik air sebesar biji jagung yang merupakan peluhnya.
Jika ditanya mengapa wanita tersebut berjalan kaki menuju ke tempat ini? Jawabannya sederhana, karena memang akses yang tersedia hanya untuk para pejalan kaki saja.
Bagi segilintir orang, tempat ini merupakan salah satu destinasi yang menyuguhkan keindahan panorama yang begitu menakjubkan. Banyak diantara mereka yang menyalurkan hobi mereka pada tempat ini.
Pemandangan yang dapat memanjakan kedua mata kita, udara yang masih segar, serta keasrian tempat ini merupakan beberapa alasan diantara alasan lainnya.
Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas tinggi-tinggi begitu dirinya telah sampai pada titik yang ia tuju.
Di depannya terdapat dua pohon besar yang menjulang tinggi, “Mah, pah. Esha dateng,” ucap wanita itu sambil mengusap kedua pohon tadi kemudian meletakkan bunga yang dibawa olehnya di dekat kedua pohon itu.
Benar, wanita itu adalah Valle.
“Maaf ya? Esha akhir-akhir ini jarang berkunjung,” ucapnya sambil berusaha mati-matian untuk menahan sesuatu yang mendesak untuk dikeluarkan.
“Bukannya Esha lupa sama kalian. Tapi Esha berusaha untuk keliatan baik-baik aja. Soalnya ayah Bondan, bunda Seira, sama kak Yumna tahu kalau Esha ke sini pasti mereka kira Esha ada masalah.”
“Ayah Bondan, bunda Seira, dan kak Yumna baik banget loh sama Esha. Mereka bahkan nganggep Esha selayaknya keluarga mereka sendiri,” ucapnya dengan suara parau.
Valle memejamkan kedua matanya sejenak, dirinya berusaha untuk menstabilkan napasnya yang begitu memburu.
“T-tapi Esha gak bisa terus-terusan bergantung sama mereka kan?” tanyanya yang diakhiri dengan senyuman getir.
“Esha capek... ...capek banget.”
Air mata Valle yang telah menumpuk pada kedua pelupuk matanya tidak dapat ditahan lebih lama lagi. Perlahan, air matanya terjun bebas tanpa mengucap kata permisi.
“Kenapa kalian perginya gak ngajak Esha?” “Kenapa kalian ninggalin Esha sendirian?” “Kenapa kalian gak pamit dulu ke Esha?”
“Kenapa...” racau Esha terus menerus dengan suara lirihnya.
“Dunia ini jahat mah, pah. Orang-orang yang ada di dalemnya jahat. Mereka semua bikin Esha takut.”
Rintik hujan yang awalnya turun perlahan, kini mengguyur dengan begitu derasnya membasahi tanah tempat ini.
Namun, hal itu tidak membuat Valle beranjak pergi dari sana untuk berteduh. Wanita itu tetap bepijak dengan kedua kakinya di sini.
“Esha gak j-jual diri mah, pah.” “Aku gak mungkin ngelakuin hal itu...”
Jujur saja, hati Valle saat ini begitu sakit, sakitnya bukan main rasanya. Bagaiman bisa hasil jerih payahnya selama beberapa hari belakangan ini dituding merupakan hasil dari tindakan tercelanya?
Apakah mereka semua yang bergosip ria di belakang sana mengetahui bagaimana usaha Valle selama ini?
Apakah mereka semua tahu jika wanita ini bahkan terkadang hampir lupa untuk menyuap barang satu suap nasi ke dalam mulutnya sendiri?
Apakah mereka semua tahu jika wanita ini rela bersiap dari pagi-pagi buta dan kembali dalam keadaan hari yang sudah menggelap lagi?
Tidak bukan?
Mereka semua tidak tahu menahu apa-apa. Mereka hanya dapat mencaci maki. Mereka menghakimi orang yang sedang berusaha untuk merintis karirnya.
Kesalahan dan dosa apa yang telah diperbuat Valle kepada mereka? Mengapa pikiran, mulut, dan jari mereka tertuang dalam suatu pernyataan yang menjadi begitu kejam?
Ini adalah salah satu sisi Valle yang tidak banyak orang ketahui. Sifatnya yang begitu periang dan ceria di hadapan semua orang hanyalah sebuah topeng untuk menutupi lukanya.
Kehilangan kedua orang yang begitu berharga di dalam hidupnya ketika dirinya masih kecil dulu membuat dunianya seolah-olah berhenti berputar.
Sempat berulang kali wanita itu mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran merasa sudah tidak ada gunanya untuk tetap bernapas.
Namun, bertemu dengan keluarga ayah Bondan membuat secercah harapan muncul di hadapannya.
Keluarga kecil yang memberikannya kehangatan dan kasih sayang tanpa membedakan siapa dirinya membuat Valle mendapatkan keseimbangannya kembali untuk terus berpijak.
Ayah Bonda yang begitu menyayanginya, bunda Seira yang begitu memperhatikannya, serta kak Yumna yang begitu melindunginya membuat Valle menemukan bagian yang rumpang pada kehidupannya.
Semuanya bahkan menjadi sangat sempurna yang terkadang membuat Valle lupa bahwa hatinya telah tergores hingga menimbulkan luka yang mendalam.
Mungkin luka itu memang sudah ditutup dengan cukup baik. Namun, jika luka itu mengalami gesekan dengan rasa sakit baru yang lain. Bukankah dia juga akan kembali menganga?
Sakit di atas luka. Perih di atas pedih. Hidup di atas mati.
Semuanya begitu menyakitkan.
Topeng pertahanan yang dibentuk dengan apik oleh Valle, jika hal ini terus terjadi lama-kelamaan akan hancur menjadi kepingan yang tak berbentuk.
Wanita itu tentu tidak dapat terus-terusan menyembunyikan kesedihannya dengan mematri senyuman lebar pada bibirnya.
Akan ada waktunya di mana Valle memilih untuk menyerah ketimbang melanjutkan hal yang begitu melelahkan ini.
Valle terduduk begitu saja di atas tanah dengan tubuh yang terus terguyur oleh air hujan.
Penampilan wanita itu kini sudah tidak karuan. Baju dan rambutnya yang basah kuyup membuatnya dirinya terlihat menjadi begitu kacau.
Kepalanya tertunduk ke dalam dan kedua tangannya mengepal begitu erat di atas tanah. Valle terus saja meracaukan kata 'maaf' yang ia tujukan kepada mamah dan papahnya.
“Maaf, maaf, maaf”
Derap langkah yang sedikit mengusik Valle karena suaranya itu yang memasuki rungunya tidak membuat dirinya kunjung menolehkan kepalanya sejenak untuk melihatnya.
Merasakan bahwa kepalanya tidak lagi dijatuhi oleh buliran air hujan, padahal pada sisi tubuhnya air hujan masih saja terus berjatuhan, membuat Valle mendongakkan kepalanya untuk memeriksanya.
Wanita itu sedikit terkejut karena di atasnya kini sudah terdapat payung hitam besar yang menghalau air hujan untuk membasahi tubuhnya.
Tanpa berlama-lama lagi, Valle langsung menghadap ke arah belakang untuk melihat siapa orang yang sudah berbaik hati untuk melakukan hal ini kepada dirinya.
Valle semakin terkejut begitu dirinya mendapati sosok yang sudah tidak asing lagi di matanya kini tengah tersenyum manis dan menatapnya begitu dalam.
Dia adalah Nolan.
Kedua alis wanita itu terangkat ke atas, seolah-olah mengutarakan tanda tanya mengenai bagaimana pria itu dapat mengetahui keberadaannya sekarang ini?
Tidak, yang lebih penting yaitu bagaimana pria itu bisa tahu tempat ini?
Nolan merendahkan tubuhnya dan berjongkok tepat di depan Valle. Pria itu menyodorkan seluruh bagian payung yang dibawanya untuk menutupi tubuh Valle.
Hal itu tentu saja membuat dirinya kini membiarkan air hujan membasahinya dengan bebas.
“Maaf, gue telat ya?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut.
Lagi dan lagi, Valle dapat menangkap sorot yang begitu tulus terpancar dari kedua mata pria itu.
Valle diam mematung. Dirinya tidak menjawab pertanyaan Nolan barusan. Wanita itu kini justru menatap pria yang ada di hadapannya dengan lamat-lamat.
“Sha,” panggil Nolan yang menyadarkan Valle. Wanita itu menanggapinya hanya dengan dehaman singkat
Nolan menatap kedua iris Valle yang berwarna hitam kecoklatan itu kemudian melajutkan kalimatnya tadi yang sengaja ia jeda, “Lo mau minjem peluk gue?”
Hancur lagi pertahanan Valle saat ini. Tadinya wanita itu sudah berhenti menangis menyisakan kedua matanya yang berubah warna menjadi sedikit kemerahan dan sembab itu.
Mendengar tawaran dari Nolan entah mengapa membuat dirinya menjadi tidak dapat terlihat tegar di depan di depan pria itu.
Valle terbiasa untuk menyembunyikan semua rasa sakit dan lukanya di depan orang-orang terdekatnya. Namun di depan Nolan, wanita itu tidak bisa.
Ini bukanlah yang pertama kalinya.
Karena Valle tidak kunjung menjawab atau mengiyakan tawarannya tadi, Nolan berinisiatif untuk menarik tubuh Valle ke dalam rengkuhannya.
Tubuh besarnya itu mendekap tubuh mungil Valle. Membuatnya kepala wanita itu tenggelam pada dada bidangnya.
Valle menangis dengan begitu pilu di dalam pelukan hangat yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Suara tangisnya itu membuat hati kita terasa teriris-iris.
Tidak berbohong, Nolan turut merasakan sakit pada hatinya ketika melihat wanita yang disukainya ini menangis.
Rasanya pria itu ingin menghancurkan siapapun dan apapun yang membuat keadaan Eshanya menjadi seperti sekarang ini.
“Sha, gue mau ngomong dulu. Boleh?” tanya Nolan yang sedikit melonggarkan rengkuhannya begitu suara tangisan Valle sudah tidak begitu terdengar keras lagi.
Valle menganggukkan kepalanya, mengiyakan pria tersebut.
“Lo pernah denger kata orang yang bilang kalo kita itu gak mungkin bisa nutup mulut seribu orang sekaligus, tapi kita bisa nutup telinga kita sendiri gak, Sha?”
Valle memandang wajah Nolan yang begitu dekat dengan wajahnya sendiri. Wanita itu menggeleng pelan.
“Terkadang hidup tanpa mendengarkan pendapat orang lain tentang diri kita itu perlu, Sha. Bukan artinya gue nyuruh lo buat jadi orang yang anti kritik ya.” tukas Nolan yang membuat Valle kini memusatkan perhatiannya kepada pria itu.
“Maksud gue di sini, kita gak perlu repot-repot dengerin omong kosong orang-orang gila di luar sana yang bahkan mereka sendiri gak tahu kebenarannya itu kaya gimana.”
“Kalau emang kita gak ngelakuin hal yang mereka tuduhin ke kita. Ya udah, itu udah cukup. Biarin aja mereka berspekulasi, toh emang itu hak asasi mereka. Ya meskipun udah ngelanggar juga sih.”
“Tapi, tenang aja Sha. Kita harus inget kalo kita itu manusia yang ber Tuhan. Serahin aja semuanya sama Yang Di Atas. Lo mengakui adanya hukum karma kan?” tanya Nolan yang mengakhiri penuturan panjangnya.
Nolan mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut Valle yang terlihat acak-acakan itu.
“Sha, kita gak bisa bikin semua orang suka sama kita. Itu namanya kita terlalu serakah kalau mau ngelakuin hal itu.”
“Cukup diri lo sendiri, Sha. Lo harus bisa suka sama diri lo sendiri. Lo itu harus bisa ngehargin diri lo dengan sebaik mungkin. Ini tentang diri kita sendiri, kalau bukan kita siapa lagi?”
“Misalnya lo ngrasa itu semua belum cukup, gue ada di sini, Sha. Gue sekarang ada di sini itu cuma buat lo. Gue bisa pastiin gue akan selalu suka sama lo sampai kapanpun juga. Gue janji, Sha.”
Nolan mengecup pelan kening Valle dengan penuh kasih sayang. Pria itu ingin menyalurkan sedikit kekuatan untuk wanitanya. Dirinya berharap hal ini akan membantu Valle untuk dapat bangkit kembali.
Nolan, tepati janjimu itu ya?
by scndbrr